BB - 8. Kepo
Be alert!
Part ini cukup menguras emosi.
Happy reading( ˘ ³˘)♥
०•०
Bab 8. Pertemuan
"Sebuah kebohongan itu ibarat bom waktu, yang setiap saat siap meledak menghancurkan masa-masa manis yang dilewatinya."
-OL
ಬ಼ಬ಼ಬ಼
Sambungan telpon terputus. Aku meletakkan ponsel putih di meja. Alunan instrumen biola, harumnya makanan, dan suhu hangat restoran tak memengaruhi nafsu makanku yang tiba-tiba menurun. Menu favorit yang kupesan sama sekali belum kucicipi.
Aku menatap ke arah jendela, musim yang paling kutunggu saat dulu kuliah di sini adalah musim gugur. Walau tak suka udara dingin. Tapi... entah sejak kapan, aku merasa lebih tenang dan senang setiap kali menyaksikan pohon maple menggugurkan daun jingganya lalu terbang kesana-kemari diterpa angin.
Sama seperti daun itu. Anganku melayang kesana-kemari dengan manik yang mengarah pada ponsel. Sebenarnya ada apa. Apa yang tidak aku ketahui. Seperti ada banyak hal yang sudah aku lewatkan selama ini.
"Ivy"
Aku tersentak akan kedatangan Yudha. Menoleh ke samping dan menyentuh telapak tangannya yang ada di bahu kananku. Aku melempar senyum singkat, bertanya ada apa saat mendapati wajah muramnya. Yudha yang baru saja kembali dari toilet lantas duduk di depanku.
"Dokter Johnson tadi telpon, ngasih tau kalau dia ada kepentingan mendadak. Jadi pertemuannya di undur satu jam."
Tiga puluh menit berlalu, makan siang sudah selesai. Ya, pada akhirnya aku akan tetap menghabiskan santapan siangku. Aku tak mau membuat Yudha khawatir karenanya. Selain itu aku butuh tenaga lebih untuk menghadapi kemungkinan terburuk yang akan kudengar hari ini. Namun, semoga saja bukan hal buruk yang kudengar.
Jarak dari restoran dengan rumah sakit tempat aku melakukan program hamil tidaklah terlalu jauh. Hanya perlu berjalan lima menit ke arah barat dengan menyusuri trotoar. Aku semakin mengeratkan blazer coklat yang kukenakan. Sampai di lobby rumah sakit. Kegugupan mulai terasa, dadaku berdegub kencang.
"Ya Allah berikanlah hamba kekuatan apapun hasilnya," batinku sembari menghela napas kecil. Ku langkahkan kaki dengan mantap menuju lift.
Langkahku sedikit terhambat, saat sebuah brankar membawa pasien dengan keadaan berlumurah darah baru saja datang. Aku rasa dia korban tabrak lari. Selain dengan para suster dan pasien, lobby ini juga ramai dengan orang yang berlalu lalang. Wajar saja, area lantai satu ini adalah persimpangan dari lima lorong rumah sakit.
Saat aku hendak melanjutkan langkah ke lift. Tiba-tiba saja, telapak tanganku ditarik Yudha untuk berbelok ke lorong lain. Aku membalasnya dengan menekuk alis tanda bertanya.
Dia semakin menggenggam erat telapak tanganku. Bersamaan dengan itu ia mendekat dan berbisik, "Aku harus sholat. Ngomong-ngomong telapak kamu jadi dingin."
Aku hanya tersenyum menjawabnya. Dan sepertinya dia mengerti tanpa perlu ku jawab. Di lorong yang panjang itu, kami berjalan dalam diam. Aku tersenyum kecil, saat Yudha mengusap-ngusap punggung tanganku. Area mushola berada di ujung lorong sebelah kiri.
Yudha melepas genggaman saat di sana. Dia memelukku lama, tangannya yang bebas terus saja mengelus punggungku. Beruntung area mushola ini agak masuk ke dalam, jadi tak ada orang yang berlalu lalang bisa langsung melihat mushola ini.
Suasana sunyi membuat perasaan pilu yang aku rasakan semakin menjadi-jadi. Membuatku semakin nyaman berlama-lama berada di pelukan suamiku. Aku berdoa, selalu berdoa.
Semoga pernikahanku dan Yudha akan baik-baik saja. Dan semoga aku diberi waktu untuk merasakan kebahagiaan keluarga kecil yang lengkap bersama Yudha.
Ya, semoga saja.
"Eh, sayang. Jangan nangis, dong. Padahal tadi mau aku cium, loh." Yudha berkata sambil terus mengusap pipiku yang basah. Entah sejak kapan ia melerai pelukan.
Dia mengangkat sebelah alis saat melihat aku yang diam tak merespon. Lalu tiba-tiba berceletuk, "Jadi gak nih, nyiumnya."
Aku tergelak kecil melihat raut wajah konyolnya yang menyebalkan itu.
"Ih, apa sih. Udah sana Mas Yudha sholat, gih!" titahku sambil mendorong punggungnya hingga ia duduk di pinggiran tangga mushola. Ah, jujur saja aku malu dibuatnya tadi.
"Sayang bilang aja, kamu juga mau kan aku cium. Pake malu-malu meong segala."
Ia terseyum jahil. Ya ampun, bibirku berkedut menahan senyum. Tak lagi bisa menahannya, aku berbalik membelakangi yudha seraya menutup wajah. Detik itu juga suara gelak tawa menggelegar darinya seakan menyatakan bahwa dia menang lagi.
Ya Allah, aku gak tahan dengan semua godaannya. Suamiku itu, selalu saja bisa membuat aku tersipu malu. Dan semua akan berakhir seperti ini. Gelak tawa yang membuat aku malu berkali-kali lipat.
Aku menoleh ke belakang, Yudha sudah di dalam. Kuputuskan untuk duduk di tangga mushola, berjalan dari restoran hingga ke sini sedikit membuat kakiku pegal. Aku menunduk menatap dedaunan pohon bougenvil yang berguguran di dekat kakiku.
Lagi-lagi aku memikirkan semua kalimat ibu mertuaku. "Sebenarnya apa yang aku lupakan. Janji apa. Siapa laki-laki yang ibu maksud? Aku hanya mencintai putranya."
"Sial, lima belas menit lagi istirahat habis."
Gerutuan seseorang dengan logat bahasa indonesia yang fasih, cukup membuatku penasaran dan menoleh kesana-kemari. Mendapati siluet orang di balik pot bunga bougenvil di samping kiri dari tempatku duduk sekarang, refleks membuatku berdiri.
"Ternyata ada orang indonesia di sini," batinku girang.
"Anda orang Indonesia juga?" tanyaku membuat seorang pria bersnelli putih itu menghentikan kegiatannya melepas sepatu.
"Ivy..."
Aku terdiam. Wajah dan mata itu... juga suaranya sangat familiar. Aku mencoba mengingat sesuatu. Perlahan sekelebat kejadian terlintas di kepalaku. Satu. Dua. Tiga. Empat. Dan lebih banyak lagi peristiwa yang melintas. Semua begitu cepat dan membingungkan.
"Fandi! Lo ngapain di sini?"
Aku menoleh pada suamiku. Yudha mengenal pria ini. Siapa tadi? Fandi.
Mendengar nama itu potongan-potongan peristiwa berputar silih berganti. Terlalu cepat. Dan entah kenapa rasanya kepalaku pusing dan sakit sekali. Disusul dengan kelopak mataku yang terasa begitu berat. Aku mengantuk sekali.
ಬ಼ಬ಼ಬ಼
"Sayang, meski program kita gagal lagi, aku akan tetap mempertahankan pernikahan kita. Karena aku cinta kamu. Sangat cinta."
Aku diam berbaring di atas ranjang pasien, sambil mendengarkan Yudha yang bermonolog sejak beberapa saat lalu.
Tok. Tok. Tok.
Cklek...
"Maaf saya ingin melihat keadaan-"
"Gue mau bicara sama lo. Di luar." Yudha dengan nada datar memotong kalimat seseorang.
Kemudian, ruangan kembali senyap. Yudha menggenggam dan mengelus tangan kiriku yang bebas infus. Tak lama setelahnya, kecupan singkat mendarat di keningku sambil bergumam 'aku sayang kamu'.
Aku berusaha keras menahan air mata yang melesak minta keluar. Benar. Sejak tadi aku sudah sadar. Namun, aku sedang tak ingin berkata apa pun padanya. Setelah mengingat apa yang dilakukan Yudha pasca kecelakaan yang menimpaku dulu. Iya, semua ingatanku sudah kembali.
Disaat pintu tertutup rapat. Aku membuka mata bersama dengan air mata yang mengalir deras.
Janji. Juga pria yang ibu maksud, semuanya sudah ku ingat dengan jelas.
"Ingat jika program hamilmu gagal. Kamu harus bisa membuat yudha menikah lagi dengan perempuan lain yang bisa memberinya anak. Seharusnya kamu menikah dengan lelaki lain, bukan putraku."
"Ingatlah janji yang pernah kamu buat padaku. Ah, aku lupa. Tapi sudahlah aku tak lagi peduli apabila membocorkan hal ini padamu. Biarlah putraku marah, asalkan dia bisa punya keturunan."
Aku bangkit dari pembaringan. Duduk sambil menekuk kaki. Ya Allah, ternyata pernikahanku dengan Yudha tak hanya menyakiti batin kami berdua saja. Namun juga mengorbankan perasaan banyak pihak.
Aku melanggar janji pada ibu mertua. Dan... Ya Allah aku tak bisa bayangkan bagaiman perasaan Fandi. Saat aku, calon istrinya malah menikahi pria lain. Semuanya terlalu perih, aku sungguh tak sanggup menahannya. Dengan gerakan cepat, aku menenggelamkan wajah pada bantal yang ada di pangkuanku. Menangis tersedu, berharap suara tangisku bisa diredam bantal ini.
Brakk...
"Brengsek! Apa maksud lo hah!"
Bugh
"Lo mau ngerebut Ivy dari gue?"
Bugh
"Kalo sampe terjadi apa-apa sama dia, gue gak akan tinggal diam. Bajingan!"
Aku melihat ke arah pintu, kegaduhan terjadi di depan kamar ini. Sepertinya ada pertengkaran di sana. Sayup-sayup aku mendengar suara lain yang mencoba melerai.
Karena penasaran aku berjalan perlahan sambil membawa botol infus. Mendekat pada pintu, mengintip sedikit melalui kaca pada pintu coklat. Dua orang perawat pria berlalu dari depan kamar rawatku setelah berhasil menghentikan perdebatan keduanya.
"Kedatangan lo di sini enggak dibutuhkan," celetuk suamiku membuka perbincangan.
"Saya hanya ingin melihat keadaan Ivy."
Kulihat Yudha mengepalkan tangannya. "Cih, gak usah basa-basi. Maksud lo apa muncul tiba-tiba di depan istri gue? Lo liat, sampe sekarang dia belum siuman."
"Saya sama sekali tidak bermaksud untuk muncul di hadapannya."
Yudha sepertinya memang tidak pernah suka dengan kehadiran Fandi. Entah kenapa aku pun tak tahu alasannya.
"Lo, mau ngambil Ivy dari gue? mau balas dendam?" Sunyi, hanya helaan napas berat entah dari siapa.
"Gak pernah sekali pun saya berniat begitu. Bukankah dulu anda yang merebut Ivy dari saya. Menggunakan kesempatan di dalam kesempitan."
Yudha mendengus tersenyum mengejek. "Gue gak pernah merasa ngerebut Ivy dari lo. Kenyataannya Ivy cinta sama gue, sedikit pun dia gak merasa terpaksa menikah sama gue. Lagipula pas itu lo masih berstatus calon suami."
Fandi dan Yudha sejak tadi duduk di kursi tunggu depan kamar rawatku. Di sini sunyi. Amat sunyi, Meski pintu tertutup rapat. Aku bisa mendengar semua perbincangan mereka dengan jelas. Aku melirik jam dinding, pukul 2 dini hari. Pantas jika koridor begitu sepi.
"Iya, Ivy memang mencintai anda."
Fandi tersenyum kecut, di sela-sela ucapannya. Kulihat laki-laki itu membuang pandangan ke arah pintu kamarku sebelum akhirnya menoleh pada Yudha, di samping kirinya.
"Ada hal lain yang mau saya bicarakan dengan Anda. ini berkaitan dengan kesehatan I-"
Belum sempat melanjutkan kalimat, dengan cepatnya Yudha berkata. "Gue udah tau, endometriosis kan?"
Fandi hanya terdiam, beberapa detik setelahnya Yudha kembali bercerita.
"Sebenernya setelah program bayi tabung ketiga ini, gue bakal ngajak Ivy berobat dan tinggal di sini untuk beberapa tahun ke depan sampe Ivy dinyatakan sembuh dari endometriosis dan bisa mengandung."
Aku begitu terharu mendengar kalimat Yudha, ternyata pria itu benar-benar tidak akan meninggalkanku fan menyerah begitu saja.
"Menurut dokter, faktor terbesar yang memicu gagalnya program hamil Ivy karena calon ibu stress. Gue mau ngejauhin Ivy dari pengaruh nyokap yang bersikap gak hangat sama dia. Tapi, lo ngancurin semua rencana gue."
Untuk beberapa detik, aku menahan napas. Aku berbalik, membelakangi pintu dan bersender di sana. Tubuhku rasanya lemas, rasa takut, kecewa, dan khawatir bercampur jadi satu. Banyak sekali berita buruk yang kuterima terus-menerus hari ini. Kegagalan program hamil, kenyataan pahit masa lalu, dan rahasia yang kusimpan rapat-rapat sudah terbongkar.
"Jaga dia baik-baik. Semoga pernikahan kalian bahagia. Saya permisi."
Entah apa yang mereka bicarakan, saat aku kembali menyimak pembicaraan. Fandi bangkit dari duduknya dan melangkah meninggalkan lorong ruang rawat pasien VVIP.
Aku berbalik, kaki yang hendak melangkah kembali ke tempat tidur sempat terhenti karena suara Yudha. "Sayang, kamu udah siuman?" tanyanya sambil memegang bahu kananku.
Aku menoleh sekilas, tersenyum kecil ke arahnya dan terus melanjutkan langkah kecil seraya menyeret tiang infus. Saat aku sedang berusaha naik ke ranjang pasien, tiba-tiba saja Yudha memeluk pinggangku sambil bersbisik, "Aku bantu."
Dengan entengnya dia mengangkat tubuhku dan mendudukan aku di pinggiran ranjang pasien. "Sebentar, aku akan panggilkan dokter."
Tangannya yang hendak memencet tombol di tembok dekat ranjang pasien kembali melipat saat melihat gelengan di kepalaku. Yudha menghembuskan napas kecil.
"Kamu dengar semuanya?" tanya Yudha seakan merasakan perubahan sikapku.
"Aku sudah mengingat semuanya."
"Maaf."
"Kamu egois," celetukku.
Ya Tuhan, kenapa rasanya begitu menyakitkan setelah tahu semuanya. Aku benci ketika melimpahkan semua penyebab masalah adalah Yudha.
"Aku mencintaimu, salahkah jika aku ingin menikahimu waktu itu. Aku pikir kamu juga mencintaiku Ivy?" Keadaan hening. Tak satu pun dari kami angkat bicara.
"Aku ingin kita bercerai."
Manik Yudha membola, ia maju selangkah memegang kedua bahu Ivy. "Kamu ini kenapa?"
"Aku mau kita cerai!" ucapku lagi kali ini dengan nada yang lebih tinggi.
"Tidak. Itu tidak akan pernah terjadi." Yudha menyudahi ucapannya. Ia berbalik, melangkah meninggalkan kamar rawatku saat itu juga.
Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya luruh juga, bersamaan dengan panggung Yudha yang menghilang di balik pintu. Aku menangis tersedu, aku tidak berdaya dengan keadaan. Bagaimana aku dan Yudha bisa bahagia jika keadaanku saja seperti ini. Untuk pertama kalinya, aku ingin menyerah saja.
•<>•<>•<>•
Tok tok tok...
"Kak Ifa gue masuk ya."
Gadis pemilik kamar yang tengah membaca novel dengan damainya sambil tengkurap di kasur mendadak gelagapan. Pintu kamar terbuka tanpa ia persilahkan. Ia buru-buru mencari ponselnya, pura-pura sibuk dan mengabaikan novel bersampul hitam yang tergeletak di kasur. Habis sudah, adiknya itu pasti akan bertanya banyak ketika melihat novel di kamarnya.
"Yes, gue ada temennya. Lo gak bisa tidur juga, ya. Eh, tapi kok tumben sih kagak nonton drakor."
Dengan santainya Fatir berbaring mengadap ke arah Ifa, tangan kirinya ia gunakan untuk menyangga kepala. Jika saja ada orang lain tahu tingkah mereka berdua, sudah pasti mereka akan mendapat julukan sepesang kekasih. Kalau Ifa perhatikan, mereka berdua secara fisik memang cocok. Karena Fatir itu menang tinggi jika dibandingkan denganya.
"Males download gue. Stok drakor di laptop udah habis."
Bo'ong banget. Padahal drakor yang gue download masih numpuk belum gue tonton satu episode pun. Sorry brother.
"Kalo gitu, hayuk temenin gue nonton pilm horor. Mau ya, kakakku yang cantik."
"Mck...." Ifa berdecak sambil menyingkirkan telunjuk sang adik yang menusuk-nusuk pipi tembamnya.
"Heh... kutu loncat apa-apaan, sih? Kuku lo tajem, sakit pipi gue. Udah sono pergi."
Bukannya pergi, Fatir malah senyum-senyum memoyong-moyongkan bibirnya ke arah Ifa. Ifa yang melihat itu sontak saja menggeser tubuh ke kiri, menjauh dari adiknya.
"Kenapa nih, bocah atu?"
"Co cweet banget, sih. Panggilan sayang baru buat aku ya? Uh, makin cinta deh. Sini ku kasih ciuman dulu."
Entah setan dari mana. Ifa menyambut bibir adiknya dengan sebuah tepukan yang amat menyakitkan.
"Panas," batin Fatir.
"Eh bocah, lo kenapa? Cium-cium, ogah gue. Bibir lo bau jigong tau gak sih."
Sambil mencibir dan mengusap bibir tipisnya Fatir bergumam, "Alah dulu aja suka banget nyiumin gue. Maksa lagi. Ah, sayang first kiss gue di ambil paksa ama gadis macem dia."
"Eh, ngomong apa sih bocah. Ngelantur tau gak. Masih kecil gak boleh ngomong kiss-kissan. Sangsi. Atau... jangan-jangan pilm horor itu ada adegan dewasanya lagi. Gue bilangin ayah loh, ya."
Ifa semakin gencar menggoda adiknya, saat melihat si jagoan itu bertingkah aneh. Ifa bisa mencium bau kebenaran yang sebentar lagi akan terungkap. Hahaha... bakal mampus adeknya kalo ayah mereka sampe tau Fatir suka nonton blue film. Eh, tapi jujur Ifa gak rela kalo adiknya sudah terkontaminasi hal yang nggak seharusnya.
"Kok tega sih ngomong gitu. Adek lo yang ganteng dan alim ini gak akan menonton film laknat itu. Cuma, ya temen-temen gue suka ngomongin hal itu sih. Jadi, yah gue ngerti dikit-dikit, deh. Apa itu salah gue juga?"
"Ya jelas lah. Lo salah pilih temen, jauh-jauh dari mereka."
"Yah, ga bisa gitu. Mereka sahabat gue. Kalo gue pikir nih, wajar ajalah ngomongin itu, namanya juga cowok."
Ifa memutar bola mata. Inilah tanda rusaknya generasi bangsa, membenarkan hal yang sudah jelas-jelas salah.
"Udah pergi gak, gue enek ngomongin hal itu. Sana keluar!"
"Gue ga ada temennya tau di kamar."
"Sabodo!"
"Kak, pokoknya lo harus tanggung jawab. Panas tau!"
Ifa yang mendengar kalimat adiknya langsung mendelik. Fatir saat ini masih berbaring menatap langit kamar, tangan kanannya mengelus-elus permukaan bibirnya.
"Panas? Tanggung jawab? Maksud lo, apa?"
"Bibir gue panas abis lo keplak. Pokoknya gue gak mau tau. Lo harus beliin gue eskrim tiga rasa Wolles yang tempatnya gede itu loh. Tempatnya nanti mau gue buat kotak bekal, lumayan. Beli es krim, gratis kotak bekal. He he he...."
Jika saja dirinya tak sedang dalam keadaan kesal, mungkin Ifa akan terpingkal-pingkal mendengar ocehan receh adiknya itu. Hanya saja sekarang ia geram, Fatir benar-benar menghabiskan waktunya.
"Iya besok gue beliin. Udah sana keluar, capek gue ngeladenin omongan lo yang ambigu itu."
"Oke. Eh, bentar apa nih? Wah novel, lo baca novel Kak?"
Ah, mampus. Ifa benar-benar lelah mendengar celotehan ABG satu itu. Ifa mekirik malas pada Fatir
"Nggak. Punya Ulfa ketinggalan."
"Masa? Gue, kaya pernah liat novel ini deh. Coba gue inget-inget dulu."
Ifa melipat tangan di dada. Diam sambil memerhatikan adiknya yang bergumana sepanjang membolak balik novel milik Ulfa.
"Ah, ini novel yang selalu ayah baca berkali-kali. Ya kan?"
Ifa mencebik kesal. "Dibilangin gak percaya yaudah. Berhenti banyak nanya, gue ngantuk mau tidur. Keluar atau es krimnya batal."
"Iya, iya. Sensi amat lagi pms ya?"
Ifa cuek saja, gadis itu benar-benar lelah meladeni adiknya yang banyak bicara itu. Lihat, setengah jam berlalu, seharusnya dia bisa membaca dua bab. Sifat kepo adiknya sangat merugikan.
Bersambung...
☆☜ pencet bintang jika kamu suka ceritanya.
Kutunggu notif darimu ♡(∩o∩)♡
-Revisi
Kota Santri, 6 April 2020
22.45 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro