BB - 7. Sahabat Kecil (2)
Bab 7. Bertahan part 2
Dan saat pintu ruang tamu dibuka.
"Assalamualaikum, Ivy."
Aku sedikit terkejut, cepat-cepat kucium tangan keriput pria di depanku. Tumben sekali ayah mertua datang ke sini pagi-pagi, sendiri pula. Ada apa, ya.
"Ayah ayo duduk, Ivy buatin minum ya. Ayah mau apa?"
Tirta menggeleng lalu duduk di sofa tunggal. "Suami kamu ke mana? Dia libur kerja, kan?"
"Iya Mas Yudha libur kerja. Dia lagi keluar, Yah. Ivy permisi sebentar mau ambil air putih."
Aku langsung melesat ke dapur setelah Ayah mertua mengangguk. Aku melihat pantulan wajah di kaca rak piring. Semoga saja ayah tak menyadari mataku yang agak membengkak ini. Dengan satu tarikan napas, aku berjalan kembali ke ruang tamu.
Di sana, kulihat kini ada dua orang pria yang berbincang serius. Yudha sudah pulang. Awalnya aku ingin bersembunyi, tapi mereka lebih dulu menyadari kehadiranku.
"Ayah tau kalian sedang bertengkar sekarang."
Gerakan tanganku sejenak berhenti di udara, menatap penuh pada wajah ayah mertuaku. Hanya sekilas, setelah itu aku buru-buru meletakkan nampan lalu duduk. Wajah ayah meski sudah tua dan ketempanannya perlahan pudar, tapi masih ada kesan tegas di sana.
"Pasti karena kedatangan Ibumu, kan?"
Suaranya kembali menginterupsi, namun hanya kehampaan yang membalas kalimatnya. Aku dan Yudha membisu. Yang paling parah, aku cuma bisa menunduk sedalam-dalamnya.
Yudha, kenapa dia terus menatapku seperti itu. Tatapan anak dan ayah itu benar-benar mampu menyusutkan keberanianku. Ah, aku baru sadar mata tajam Yudha ternyata kopian milik ayah.
"Aku sangat tahu apa yang diperbincangkan istri dan menantuku kemarin sore." Napas panjang keluar menjeda kalimat Tirta.
"Maafkan ibumu Ivy. Dia memang sangat keterlaluan padamu. Seharusnya dia tak perlu menekanmu untuk memenuhi kemauannya."
Seditik. Dua detik. Akhirnya aku menggeleng sambil menjawab, "Ibu gak pernah menekan Ivy, Yah. Hanya...."
"Ivy! Bisa tidak kamu berkata jujur! Kenapa kamu berubah dan sering berbohong. Aku minta jangan tutupin apapun dariku. KAMU NGERTI!"
Dadaku sesak. Bibirku tak mampu berucap. Hanya mata saja yang bisa menatap wajah suamiku yang memerah. Dia baru saja membentakku. Aku tak pernah bermaksud membohonginya.
Aku hanya tak ingin Yudha membenci ibunya. Karena apa pun masalah yang terjadi di keluarga ini adalah salahku. Ibu tak pantas mendapat kebencian dari putra tunggalnya sendiri.
"Ayah mohon maaf. Tak seharusnya istri ayah ikut campur dalam rumah tangga kalian."
Pria 63 tahun itu kembali berujar, "Ivy, jangan pernah berpikir apa pun tentang permintaan ibumu. Pertahankan pernikahan kalian, fokus saja pada program hamil mu. Masih ada ayah dan Yudha yang akan selalu mendukungmu dan pastinya masih ada cinta dari suamimu. Berjuanglah, jangan menyerah. Kalian baru tiga tahun menikah. Ada banyak teman papa yang sampai belasan tahun baru diberi amanah seorang anak."
"Coba ingat seberapa banyak tantangan yang berhasil kalian lewati untuk bisa menikah. Jika kalian bercerai, usaha selama bertahun-tahun akan sia-sia."
Mengingat masa lalu. Usaha apa yang aku lupakan? Kecelakaan itu berhasil menghapus banyak hal.
Saat masih SMA aku punya banyak masalah. Tapi, bukanlah masalah yang besar. Pembullyan dan upaya pemerkosaan yang dilakukan Dimas. Dan tentu kemalanganku setelah kedua orang tua ku meninggal. Cuma itu hal pahit yang kuingat lainnya tak ada sedikit pun yang menyangkut hubunganku dan Yudha.
Sejak aku pulang dari Amerika, menyelesaikan studi di sana, aku masih berhubungan baik. Berteman dengannya. Bekerja di RS atas jasa Agian. Sampai akhirnya aku menerima pinangan dari pria yang kucintai seminggu setelah aku sadar dari koma. Itu yang Yudha katakan padaku.
Dan semua orang juga bilang begitu, Bita, Kak Dana. Tak ada alasan bagiku mencari-cari kepingan masa lalu. Karena aku memang sudah bahagia dengan kehidupan pernikahan kami.
"Apa kalian masih ingat pertemuan pertama kalian?"
Aku sempat melirik ke sofa single sebelah kiri, mataku sempat bersinggungan sebentar dengan iris coklat madu suamiku sebelum mengangguk pada ayah.
Aku masih ingat. Terngiang jelas di telingaku suara beratnya saat itu, terpaan hangat dari napasnya yang memburu. Dan sensasi ketakutan masih bisa ku rasakan hingga kini. Jika diingat- ingat suamiku dulu begitu brengsek. (Kisah ini ada di chapter 2 Endless Love Story)
"Malam itu, saat seorang gadis menyelamatkan Yudha. Ayah tak menyangka akan bertemu gadis kecil yang dulu selamat dari kecelakaan maut. Berita yang beredar delapan belas tahun lalu tentang kecelakaan itu adalah pemilik dari Devlop Corp dan istrinya meninggal di tempat."
Itu... Itu adalah kejadian 17 tahun yang lalu. Dari mana? Dari mana ayah tau semua itu?
"Iya menantuku, ayah dan ibumu."
Bibirku bergetar, Ya Allah aku lelah menangis. Sekali saja aku ingin rasa sesak ini segera hilang.
"Ayah ingin mengatakan sebuah fakta pada kalian. Kenyataan yang ayah tutup rapat-rapat, agar tak ada lagi luka lama yang harus terbuka. Tapi sekarang, ayah sudah lelah menyembunyikannya."
Surabaya, Mei 2013
"Pah, ayo cepetan. Tadi pas aku telpon mama, acaranya udah mau dimulai. Dan bentar lagi Yudha bakal tampil."
"Iya, Kak Tika. Papa minta maaf ya. Papa bener-bener lupa kalau hari ini perpisahan kelulusannya si Dede. Habis tadi itu ada meeting sama relasi. Papa pikir minggu depan acaranya."
Tirta terus membujuk Putri sulungnya yang merajuk. Ya, tadi pria berumur 46 tahun itu sangat terkejut saat Tika menyusul ke kantor dengan wajah ditekuk. Dan dirinya baru sadar telah melupakan janji yang dibuat pada putra kecilnya semalam.
Flashback
"Bener ya, Papa janji.„
Tirta menyodorkan kelingking pada Yudha sambil berujar, "Papa janji bakal dateng ke acara perpisahan di sekolah Dede."
"Ih, pah jangan panggil Yudha dede lagi. Yudha ini udah mau masuk SMP, udah gede. Malu tau Pah." Wajah tampan kopian sang ayah mendengus berkali-kali.
"Alah... dede tuh cengen, manja banget. Gitu yang namanya udah gede? Upilnya kali yang gede."
Tika tertawa puas, dia sangat suka menjahili adiknya itu. Sedangkan Yudha kecil merengut sebal, semua orang di sini mentertawakannya. Seketika ide jail juga terlintas di kepalanya. Dia gak akan diam saja.
"Kak Tika. Besok ajak juga cowok ganteng itu, yang tadi sore nganter Kak Tika pulang, ke acara perpisahan Yudha ya. Dulu dia juga pernah ke sini, kan? Terus ngasih aku coklat waktu ngerjain tugas bareng kakak. Hmm... siapa ya namanya. Ah, Kak Farel."
Yudha terkikik kecil, menikmati wajah tegang kakaknya. Hahaha... dan setelah itu ada banyak pertanyaan yang menghujani gadis berumur tujuh belas tahun itu.
Dan puataran film di kepala Tirta terputus saat suara telpon berdering. Ia meminta tolong putrinya untuk mengangkat panggilan.
"Pah, Yudha."
"Angkat, Kak. Speaker ya." Tika mengangguk. Lalu...
"PAPA DI MANA, SIH? YUDHA NUNGGUIN DARI TADI, POKOKNYA SEPULUH MENIT LAGI HARUS SAMPE. TITIK."
Tut... tut... tut...
Panggilan diputus sepihak. Sepatah kata pun tak bisa Tirta ucapkan untuk membela diri. Tapi, ya sudahlah ini memang salahnya.
Ia menambah kecepatan mobil saat memasuki jalan tol. Tirta terus melirik jam, melihat waktu tersisa yang dimilikinya. Laju mobil bertambah kencang, dia melirik lagi jam hitam di lengan kiri. Dan entah kenapa tiba-tiba saja mobil pajero putih yang tadi melaju kencang jauh di depannya kini sudah berjarak sepuluh meter.
Tika berteriak kencang. Tirta berusaha menghindar. Membanting setir ke kiri, namun tetap saja tabrakan tak tertahankan. Mobilnya yang ia tumpangi terus melaju meski sudah menekan rem, badan kiri mobil menempel pada pembatas tol menimbulkan bunyi decitan yang memekakkan gendang telinga.
Sedangkan mobil putih tadi terpental beberapa ratus meter kehilangan kendali dan akhirnya terperosok keluar dari jalur tol. Dan yang terakhir ia lakukan adalah membanting stir ke kanan menghindar dari mobil di depannya dan menabrak pembatas jalan.
"Ayah tau ini bukan hal yang mudah dimaafkan. Dua orang yang berharga bagimu terbunuh karena kecerobohan ayah. Ayah tak bisa mengganti semua itu. Untuk meringankan beban hati. Ayah mengajakmu tinggal bersama di rumah, memenuhi semua kebutuhan hidupmu. Tapi tetap saja sampai saat ini ayah masih dibayangi rasa bersalah padamu. Ayah sungguh minta maaf padamu."
"Itu bukan salah siapun. Semua sudah takdir. Ayah, Ivy mohon berhenti merasa bersalah."
Aku tersenyum meyakinkan ayah mertuaku. Dia pun perlahan menarik kedua susut bibir meski masih ada kepedihan di sana. Beberapa menit ruang tamu gening, namun suara ayah kembali menginterupsi.
"Awalnya tujuan ayah hanya itu. Mengurusmu. Dan misi waktu itu cuma sebagai alasan agar kamu menerima tawaran ayah. Tak pernah ayah sangka, ternyata kamu berhasil merubah Yudha menjadi pemuda baik."
Aku tersentak mendengar pengakuan terakhir di kalimat ayah. Rahasia yang selama ini aku simpan baik-baik dari Yudha. Aku menatap manik Yudha yang membalasku tak percaya.
"Kamu gak pernah cerita ke aku. Ternyata, kebaikan kamu selama ini ada tujuannya."
Aku tak bisa menjawab kalimatnya. Semua benar, pada awalnya memang begitu. Bukan kemauanku jatuh cinta pada Yudha. Aku menunduk saat dia membuang muka ke arah lain. Tak apa, meski rasanya perih. Aku pantas mendapatkan semua ini.
"Yudha, Ivy. Ayah mengungkap ini semua bukan untuk melihat kalian bertengkar. Saat ayah tau kalau Yudha punya niat mau nikahin Ivy. Ayah bahagia dan mendukung hubungan kalian. Ayah juga yang jadi saksi perjalanan cinta kalian.
Ayah ingin berpesan pada menantu ayah. Tetaplah jadi istri putra ayah sampai kapan pun. Buat Yudha, terus jagain Ivy. Papa udah nganggep Ivy sebagai anak Papa sendiri, jadi jangan sakitin dia."
Ayah menatapku dan Yudha bergantian. Melempar senyum hangat dan berpesan lagi, "Jaga pernikahan ini baik-baik."
Suara ketukan sepatu ayah menengahi kebungkaman kami. Ruangan kembali sunyi setelah ayah memutuskan untuk pamit pulang.
"Mas, maaf. Awalnya memang begitu. Aku melakukannya karena memang itu pekerjaanku. Tapi, seiring berjalannya waktu. Aku. Aku jatuh cinta sama kamu."
Aku menggeser duduk ke ujung sofa panjang mendekat ke arahnya. Kuraih lengan suamiku, turun ke telapak tangannya, keringat dingin. Keningku mengerut, kenapa tangannya bergetar. Aku berusha melihat wajahnya yang masih berpaling dariku.
"Mas"
Detik itu juga dia berpindah duduk di sampingku, meraih tubuhku dan mendekapnya. Tak ada ucapan apa pun. Namun, tubuhnya bergetar seperti menangis. Aku membalas pelukannya. Ku usap punggung suamiku.
Aku menyayangimu, sangat. Maaf aku banyak berbohong padamu, menyembunyikan banyak hal. Aku terlalu takut kehilanganmu. Iya, aku egois. Sangat.
"Ivy maaf, aku minta maaf. Jika saja aku tidak memaksa ayah dulu. Pasti tak akan ada kecelakaan dan kamu gak perlu kegilangan orang tuamu. Ini semua sudah jelas salahku. Tolong maafkan aku."
Suara seraknya terus saja mengucapkan kata maaf. Aku tercenung, Yudha udah gak marah lagi.
"Udah Mas, harusnya aku yang minta maaf. Semalam gak seharusnya aku minta ce-"
"Sst... udah gak usah bahas itu lagi. Maaf ya kemarin aku pulang telat dan tadi aku gak pamit ke mana aku pergi."
Dia melepas pelukan, mengulurkan kedua tangannya di bahuku. Aku tersenyum simpul, memilih diam tak ingin berkomentar apa pun. Setelah mengecup keningku sekilas dia kembali berujar.
"Sebenarnya, aku udah mempersiapkan semua keperluan kita untuk pergi ke Amerika. Program hamil kamu."
Ah, lagi-lagi aku dibuat terkejut dengan keputusannya. Dia sama sekali tak membicarakan apa pun tentang program kehamilan. Terakhir dua minggu lalu. Dan dia mau nelakukan program itu lagi. Jujur aku sudah bosan.
Menyadari raut wajahku yang berubah muram dia cepat-cepat menjelaskan padaku. "Aku janji ini untuk yang terakhir kalinya. Tolong, aku ingin berusaha semaksimal mungkin. Kali ini aku cari RS terbaik yang menangani program hamil."
Aku terpejam sejenak, menarik napas panjang dan mengangguk. Meski aku enggan melakukan ini, tapi baiklah. Yudha sudah berjanji ini untuk yang terakhir kalinya.
•<>•<>•<>•
"Ifa"
Orang yang dipanggil namanya menutup buku, menoleh kesana kemari mencari si empunya suara. Ifa memutar posisi duduk, tangan kirinya disangga pada sandaran kursi. Dari pintu masuk kantin karyawan, Romy berlari kecil dengan snelli di tangan kirinya. Oh... Ifa akui, pria itu nampak tampan bagaimana pun keadaannya. Sudah sore saja, wajah lesunya masih sangat keren dimata gadis 22 tahun ini.
"Kenapa, Rom?"
Romy duduk tepat di hadapannya, menyeruput teh milik Ifa. Melahap terlebih dulu dua butir semur telur puyuh di piring sebelum bicara.
"Kina lagi chek up. Lo, mau ketemu dia gak?"
"Serius?" Ifa mengangguk semangat. Tentu saja, dia ingin bertemu Kina. Sejak dulu dia ingin sekali punya adik perempuan. Tapi, apalah daya. Yang dia punya adik jagoannya.
"Iyalah. Cepetan."
Sementara Romy sudah lebih dulu berjalan menuju pintu keluar. Ifa merapikan ponsel, novel, dan beberapa barangnya yang tadi tergeletak di meja. Mengamankan semua ke dalam tas putihnya lalu melangkah menyusul Romy.
"Ayo dong Kak Ifa ikut aku pulang ke rumah. Aku masih kangen sama Kak Ifa."
Tangan gadis kecil itu terus menarik ujung snelli yang Ifa pakai. Bibirnya cemberut. Tak sedikit pun mendengarkan nasihat dari wanita senja yang mengaku sebagai neneknya.
"Nana gak boleh gitu. Kak Ifa juga mau bobo di rumah, dia juga capek. Udah yuk, pulang."
Kina terus saja merengek tak mau. Ifa tersenyum mengelus kepala gadis enam tahun itu.
"Kina, Kak Ifa janji kapan-kapan pasti main ke rumah Kina. Tapi, gak bisa sekarang. Udah malem. Kina juga harus istirahat biar cepet sembuh, terus bisa main tebak-tebakan lagi sama Kak Ifa. Kina nurut sama Nenek ya."
Ifa terkekeh saat Kina melipat tangan di dada, wajahnya mencebik kesal. Namun, tiba-tiba dia berubah menjadi sangat bahagia. Sepertinya bocah itu memiliki rencana sendiri.
"Ya udah. Nenek, berarti kalo Kina sembuh. Nanti ada Kak Ifa sama kak Evan ke rumah Kina, jadi asik dong mainnya."
"Iya sayang, pasti."
Ifa tersenyum, sedikit hambar. Tak tega karena entah mereka bisa bertemu lagi atau tidak. Mungkin bisa, jika Kina kembali chek up di sini. Kasihan, terkadang Ifa tak tega membohongi makhluk polos seperti Kina. Tapi mau bagaimana lagi. Kecil kemungkinan untuk bisa bertemu kembali.
Bersambung...
Yudha sensi amat ya sama Ivy. Bentak-bentak mulu nih :")
Bikin Ivy makin sad kan jadinya.
Gimana menurut kalian atasa sikap Yudha ini?
Vote ya kalau kamu suka ♡
Ditunggu notifnya
( ˘ ³˘)♥ ☞☆
See you next part!
Kota Santri, 6 April 2020
18.27 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro