Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BB - 6. Sahabat Kecil

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Bab 6. Bertahan

Sudah lima belas menit sejak menyelesaikan sholat maghrib munfarid. Aku masih betah duduk bersender di pinggir ranjang dengan mukena biru yang membalut tubuh. Sajadah krem pun masih setia melindungiku dari dinginnya lantai yang menusuk kulit. Iris gelap ini, sejak tadi terjebak pada benda itu, figura foto pernikahanku. Di sana ayah dan ibu berdiri di belakang pengantin, tersenyum bahagia dengan beribu doa akan kehidupan baru putranya.

Setahun pernikahan kami. Harapan demi harapan yang semakin tumbuh di benak ibu mertua terasa semakin menekan batinku. Aku tak tau harus berbuat apa atas keinginan ibu untuk memiliki cucu, sementara Yudha selalu menolak "menyentuhku" dengan alasan ingin menunda kehamilan. Hingga hari itu datang dan melenyapkan semua harapan. Aku dinyatakan mandul.

Belakangan ini, tekanan itu teramat menyakitkan. Tiga tahun pernikahan, mungkin ibu sudah lelah menungguku. Sampai kedatangannya sore tadi semakin membuat perih luka di hatiku.

"Sekarang sudah jelas kamu tak bisa hamil, berhentilah memberi harapan pada Yudha. Biarkan dia menikah dan memiliki bayi dari wanita lain. Keluarga ini menginginkan seorang penerus dan kamu tak bisa memenuhinya. Tak berguna."

Aku menunduk, menyembunyikan cairan bening yang terus mengalir. Setiap kata yang diucapkan ibu, kali ini benar-benar menamparku. Mengingatkanku akan kenyataan yang begitu getir.

"Wanita mandul sepertimu hanya membuang waktu dan menyusahkan Yudha saja. Hidup anakku pasti akan sangat bahagia setelah dia bisa jadi seorang ayah. Lebih baik ceraikan Yudha untuk kebahagiaannya atau paksa dia untuk memiliki dua istri."

Dadaku sesak, napas ini tercekat setiap mengingat semua kata-kata Ibu. Benar, keberadaanku tak ada gunanya selain hanya menjadi beban bagi Yudha. Mungkin memang sudah saatnya aku berhenti berjuang. Lalu melakukan apa yang seharusnya sudah kulakukan sejak lama.

Tiba-tiba rasa rindu pada ayah Hadi menyusup perlahan. Saat ini aku seperti berada pada posisi di mana aku tak lagi memiliki alasan untuk bertahan. Dulu ayah Hadi lah yang membawaku pada pelukannya sewaktu kehilangan kedua orang tua. Dialah alasanku tetap tersenyum saat itu. Walau kini aku tahu, almarhum memiliki alasan khusus menolongku saat kejadian delapan belas tahun silam.

Tiga tahun yang lalu, seminggu persis setelah acara pernikahanku. Pak Tian datang untuk meminta maaf dan berterima kasih karena telah membatalkan tuntutan Rachel pada pengadilan. Ada satu rahasia yang dia ungkap padaku saat itu.

"Saya ingin memberi tahumu satu hal yang berkaitan dengan ayah angkatmu. Hadi adalah salah satu korban dari kecelakaan lima belas tahun silam. Saat pihak yang berwenang hendak membawamu ke rumah sosial. Dia mengambil alih hak asuhmu, karena dia ingin membalas budi atas kebaikan almarhum ayahmu. Semasa hidupnya, ayah kandungmu telah banyak membantu banyak orang termasuk saya.

Kamu mirip sekali dengan ibumu, almarhum ibumu juga seorang wanita yang lembut. Sekarang saya sangat menyesal pernah berbuat jahat padamu. Dan saya terpaksa melakukannya. Mohon maafkan saya, Nak."

Suara kenop pintu dibuka menyadarkanku dari lamunan panjang. Aku tersentak saat Yudha masuk ke kamar sambil mengucap salam. Kulirik jam dinding putih di dekat meja rias. Jam tujuh lebih tiga puluh menit.

"Sayang kamu kenapa?"

Ada raut khawatir dan heran menjadi satu di wajah lelahnya. Aku tersenyum kecil dan menggeleng. Aku tak mau Yudha tau tentang permintaan ibu. Setelah mencium punggung tangannya, aku melepas mukena lalu berjalan ke kamar mandi.

"Mas, aku akan siapkan air hangat untuk kamu mandi. Lalu kita sholat isya bersama."

"Aku sudah sholat."

"Ya sudah. Kalau begitu setelah mandi kamu langsung makan. Akan kubuatkan sup untuk mu."

Dia diam tak merespon, aku segera masuk ke kamar mandi untuk berwudhu lalu sholat isya. Beberapa menit berlalu, kulipat kembali mukena lalu menyimpannya ke dalam laci. Saatnya menyiapkan makan malam untuk suamiku.

"Ivy, apa Mama tadi ke rumah?"

Tubuhku menegang. Posisiku masih sama, berdiri kaku di dekat ranjang. Aku menoleh ke arah balkon, ternyata Yudha duduk di sana masih dengan kemeja kerjanya.

"Tidak. Ibu ti-"

"Kenapa kamu bohong lagi?"

Kalimat yang terlontar dari Yudha membuat lidahku kelu. Aku hanya bisa menatap punggungnya dari sini. Nada suaranya sangat tidak bersahabat. Apa mungkin yudha tahu kalau ibu ke sini.

"Akhir-akhir ini kamu sering menyembunyikan banyak hal dariku. Apa kamu gak lagi percaya sama aku?"

Aku menggeleng kuat meski dia masih menatap keluar jendela. "Bukan begitu. Aku...."

"Kalau aku ingat-ingat. Sejak awal menikah, kamu memang gak pernah percaya sama aku. Kamu lebih milih tersenyum palsu dibanding membagi keluh kesah dan menangis dipundakku. Benar kan?"

Suara Yudha meninggi. Untuk sejenak ruangan kembali sunyi. Semilir angin malam membuat suasana di dalam semakin dingin. Ternyata dia salah mengartikan sikapku selama ini.

"Semua yang kamu pikirkan salah. Aku cuma gak mau nambah beban pikiranmu dengan menceritakan segala kesedihanku, lagi pula kesedihan itu akan pergi dengan sendirinya."

Yudha terkekeh hambar. Lalu bangkit dari duduknya. Menutup pintu kaca dan berkata, "Dan kamu pikir aku bahagia melihat senyum palsu itu. Sikapmu membuatku bingung."

"...."

"Selama ini aku hanya diam tak tahu harus melakukan apa untuk membantumu mencari jalan keluar dari setiap kesedihanmu. Aku gak berdaya, Ivy. Kamu membuatku merasa seperti orang lain yang gak penting bagimu. Dan itu yang kamu sebut aku bahagia?"

Setitik air yang menggenang di pelupuk mata akhirnya meluncur juga. Aku tak kuasa menahan tangis. Sebesar itukah kesedihan yang aku timbulkan pada suamiku. Tapi, entah kenapa aku memang merasa tak perlu memberitahu apapun padanya. Aku... sama sekali tak biasa menjadikannya sebagai tempat berkeluh kesah.

Aku diam, tak bisa menjawab pertanyaannya. Aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Sampai ia mendekat dan suaranya kembali menginterupsi.

"Aku mencintaimu, sayang."

Suara Yudha kali ini melembut. Tangannya terulur mengelus pipiku yang basah, mengangkat sedikit wajah agar aku membalas tatapannya. Dia menghela napas panjang dan terpejam sejenak lalu kembali angkat bicara.

"Jika memang kamu masih mencintaiku dan tak ingin aku merasa sedih. Maka, katakan satu hal yang selama ini menyita pikiranmu, yang membuat gelisah."

Aku menatap manik coklatnya dalam-dalam. Mungkinkah sekarang adalah waktu yang tepat. Aku menghela napas kecil. Baiklah, ku harap dia tak akan marah mendengarnya.

"Aku... aku ingin kita bercerai. Kamu gak akan bisa jadi seorang ayah jika terus bersamaku."

Tepat seperti yang sudah diduga. Yudha sangat terkejut mendengar uacapanku. Kedua tangannya perlahan turun, dia menatapku dengan sorot mata kecewa. Aku memilih duduk di pinggir ranjang menatap karpet berbulu lembut yang saat ini ku pijak. Dari jarak dua meter pun aku masih bisa mendengar deru napasnya.

"Barapa kali aku katakan padamu. Untuk mendapatkan seorang bayi, aku tak akan pernah melepaskanmu.

Maaf, aku tak akan melakukan itu untuk menghapus sedihmu. Ada banyak jalan lain yang bisa dilakukan. Dan aku sudah memiliki jalan keluarnya."

Aku menatap wajahnya. Kenapa sulit sekali membertitahunya, aku sudah tak ingin berjuang.

"Program hamil itu tak ada gunanya. Aku tak ingin melakukannya lagi. Semua usaha itu hanya menghabiskan biaya dan waktu. Jalan keluar yang terbaik adalah kita sudahi pernikahan ini."

"Apa maksudmu. Kita sedang berusaha. Tak ada istilah terbuang percuma. Aku akan tetap mempertahankan pernikahan kita."

Aku menghempaskan tangan Yudha yang terulur di kedua pundak. Membuang napas kasar di tengah usaha kerasku menahan isakkan.

"Aku lelah berharap lebih. Aku tak mau lagi membuatmu, ibu, dan ayah kecewa. Aku mandul, kamu tahu itu. Hanya ada lima persen peluang untukku hamil. Tak ada lagi alasan yang bisa membuatku bertahan."

"Sekalipun itu untuk cinta kita?"

Aku tercekat. Cinta. Aku sangat mencintaimu. Tapi, bukankah cinta memang terkadang harus merelakan. Dan mungkin kini saatnya aku melepaskan.

"Cinta saja tak cukup. Ada keluarga yang juga terlibat dalam pernikahan i-"

"Kamu mengorbankan kebahagiaan kita?"

Aku menghela napas. Untuk yang kesekian kalinya Yudha lagi-lagi memotong ucapanku.

"Tak ada satu pun kebahagiaan yang dikorbankan. Kamu, ibu, dan ayah akan bahagia jika ada bayi kecil di sini. Dan cinta, cinta bisa datang karena terbiasa. Aku akan bahagia jika kamu bahagia."

"Omong kosong. Aku tetep gak mau," tolaknya lagi. Yudha memang keras kepala.

"Kita tak boleh egois, Mas. Bagaimana dengan ibu dan a-"

"SIAPA YANG EGOIS, HAH! BERHENTI BERUSAHA MEMBUAT SEMUA ORANG BAHAGIA, KARENA KAMU GAK AKAN MAMPU."

Tubuhku dibuat mematung setelah mendengar bentakan darinya. Dia menggeram sambil mengacak rambut. Lalu melempar pandangan ke arahku. Irisku bertemu dengan iris coklatanya. Kemarahan. Hal itu yang sangat terpancar jelas dari sorot matanya.

"Sudahlah. Aku lelah bertengkar denganmu."

Dengan langkah lebar, Yudha keluar dari kamar. Menutup pintunya dengan sekuat tenaga membuatku terlonjak kaget. Ini pertama kali selama pernikahan dia bersikap begitu kasar.

Akupun terisak, meringkuk di pinggiran ranjang. Rasanya hatiku perih. Haruskan aku menceraikan suami yang aku cintai. Aku bingung, apa yang harus kulakuan.

ಬ಼ಬ಼ಬ಼

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Seperti pagi lainnya, aku sudah selesai memasak, cuci baju, dan bersih-bersih rumah. Namun, kali ini susana terasa berbeda. Sunyi. Hanya ada detak jam dinding yang menemaniku duduk di meja makan. Sejak jam enam pagi Yudha sudah keluar rumah, melakukan aktivitasnya seperti biasa. Pergi jogging.

Aku duduk gelisah, nafsu makanku mendadak hilang. Semua hidangan sarapan pagi di meja sudah mendingin, tapi sedikit pun belum tersentuh. Orang yang kutunggu kedatangannya sejak tadi tak kunjung hadir. Siapa lagi kalau bukan suamiku.

Aku jadi ingat pertengkaran semalam. Apa karena itu Yudha jadi gak pulang ke rumah. Apa dia masih marah. Dari malam hingga pagi aku maupun Yudha saling diam. Tidur pun dia lebih memilih di ruang kerja, dia hanya bangun untuk mengajakku sholat tahajud dan setelah itu dia keluar lagi dari kamar. Memang begitu jika kami sedang bertengkar.

Aku mengehela napas, kembali membuka Whatsaap. Tak ada balasan, masih centang satu. Sejak tadi kutelpon pun tak diangkat.

Sebenarnya dia ke mana. Ini hari selasa, udah jam setengah sembilan pula dan Yudha belum juga pulang. Biasanya dia hanya menghabiskan waktu setengah jam jogging, lalu kembali pulang untuk sarapan juga mandi. Jam tujuh tepat dia berangkat ke kantor.

Ponsel putih yang tergeletak di meja bergetar

Ivy : Mas, lagi di mana?
Ivy : Udah makan belum?
Ivy : Pulang jam berapa? Aku udah masakin kamu sayur bayam.
Ivy : Kamu gak berangkat kerja, Mas?

Mas Yud: Aku makan di luar. Hari ini aku libur kerja. Jangan menungguku pulang.

Aku kecewa. Sangat malahan. Hanya itu balasan darinya. Dia tak menjelaskan apa pun, padahal lebih dari sepuluh kali panggilan dariku tak diangkat. Lalu sekarang dia ada di mana. Itupun aku tak diijinkan mengetahui keberadaannya.

Aku terpejam, menghapus cepat cairan di ujung mata saat mendengar suara pintu gerbang dibuka. Siapa yang datang?

•<>•<>•<>•

‍‍‍"Fa, dicariin juga daritadi. Ternyata lo di sini."

Romy langsung duduk di hadapan Ifa yang sedang menikmati makan malamnya. Kantin karyawan rumah sakit saat ini cukup ramai, melihat sekarang masih pukul tujuh malam.

"Tadi pas gue ikut dokter Devi chek up keadaan Kina, anak itu udah baik-baik aja. Udah sadar juga dari pengaruh obat bius." Romy meminum air mineral milik Ifa yang masih utuh, dan meneguknya hingga tersisa setengah botol.

Ifa mendengus, mengambil alih botol airnya. "Beli sendiri sana, nebeng aja."

"Males, udah terlanjur duduk. Lagian gue kehausan salah lo juga, dicariin susah banget."

Lelaki itu tertawa melihat ekspresi tidak terima Ifa. Lalu bangkit dan berjalan menuju pintu sukis, mengambil dua botol teh lalu membayarnya. Setelah itu ia kembali duduk dan menyerahlan satu botol pada gadis di hadapannya.

"Tuh, teh favotit lo kan. Kurang baik apa coba gue?"

Ifa tersenyum lalu berterima kasih. Kemudian berkata, "Kina tadi ngerengek gak?"

"Enggak sama sekali, dia pinter. Nangis pun enggak." Romy kembali berkutat dengan ponselnya.

Kina adalah gadis enam tahun yang kemarin siang masuk ke ruang UGD, dengan keadaan kaki berlumuran darah. Menurut cerita yang Ifa dengar, Kina ditabrak mobil saat hendak mengejar kucing peliharaan kesayangannya yang lari ke jalan raya.

Kemarin, selama gadis kecil itu dirawat di ruangan. Ivylah yang melakukan chek up. Tak ada sedikit pun tangis yang keluar dari bibir kecil itu ketika dokter mengambil keputusan berat untuk mengamputasi setengah dari kaki kirinya. Tidak bisa di selamatkan, karena sebagian besar jutaan syaraf di kaki kiri gadis itu sudah tidak berfungsi akibat benturan keras dengan mobil.

Ifa menghela napas. Melalui gadi kecil itu, Ifa sadar. Banyak hal yang perlu ia syukuri. Dan gadis itu juga, mengajarkan Ifa bahwa apa pun keputusan Tuhan kita harus menerimanya dengan penuh lapang dada.

"Oi, Fa. Gue mau pulang nih. Yok, gue anterin sekalian." Ifa menggeleng, "Lo duluan aja, gue bawa motor sendiri."

"Beneran?" tanya Romy sekali lagi.
"Hu'um, udah sana."
"Yaudah deh, gue duluan. Cepet pulang, sekarang mendung soalnya, repot kalo lo pulang kehujanan, terus sakit. Bisa-bisa besok gue tugas sendirian."

Ifa terkekeh, "Dasar, yaudah pergi sana."

Romy menggerutu tak terima dengan usiran Ifa, meski begitu pria 22 tahun ini tetap berjalan meninggalkan kantin rumah sakit. Sepeninggalnya Romy, Ifa segera menghabiskan makanannya. Lalu melenggang dari sana, menuju parkiran dan pulang ke rumahnya. Malam minggu ini, ia ingin membaca novel itu lagi.

Bersambung...

Jika suka vote ya :D
Terima kasih, sampai nantiii...

Kota Santri, 6 April 2020
18.10 WIB
‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro