Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BB - 5. Bertepuk Sebelah Tangan

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Ifa memandang bunga yang tumbuh di sepanjang pinggir jalan. Meski panas matahari menyengat kulit, sungguh matanya terasa segar melihat warna-warni bunga itu. Seperti oasis di tengah padang pasir.

Ifa akan ke rumah Ulfa, menjemput gadis itu karena motor milik sahabatnya masuk bengkel. Jam satu siang, masih ada banyak waktu sebelum ia bertugas di RS jam tiga sore. Akan ada banyak gal yang ingin ia ceritakan pada gadis berparas manis itu.

Sesampainya di rumah Ulfa. Ifa langsung berlari ke lantai dua menuju kamar sahabatnya. Ia merebahkan diri di kasur ungu, membuat sang empunya kamar yang sedang berkutat dengan laptop tersentak kaget.

Ulfa hanya diam, dia sudah biasa dengan kedatangan Ifa yang tiba-tiba. Rumah ini memang sepi, karena Sang ayah dan kakak laki-lakinya sibuk mengurus perusahaan sesangkan ibunya sedang keluar bersama temannya jika jam segini.

"Ul, udah bikin laporan?" tanya Ifa sambil berkutat dengan ponselnya.

"Ini baru aja selesai. Eh, BTW gimana dinner semalem?" Ifa melihat sahabatnya sedang sibuk membereskan meja belajar. Tak lama setelahnya, si pemilik kamar ikut berbaring menatap langit-langit kamar.

"Biasa aja."

"Ah, beneran? Terus, dia ngasih apa ke lo?"

Ifa melempar pelan ponselnya ke samping. Mendengus sebal lalu menjawab, "Ga ngasih apa-apa. Dia beli barang buat cewek yang dia taksir."

Jawaban dari sahabatnya, membuat Ulfa melongo. Kasihan sekali Ifa. "Yang sabar ya. Tapi, beneran si Romy gak nawarin lo sesuatu gitu pas beli barangnya?"

"Dia nawarin gue baju, sih. Tapi, gue nolak. Bukan itu yang gue arepin. Gue tuh pengennya dia yang ngasih surprise ke gue."

Kesedihan Ifa, membuat Ulfa sedikit tak enak hati pada sahabatnya. Jika saja ia tahu akan seperti ini akhirnya, Ulfa tak akan membatalkan janjinya pada Romy dan Ifa semalam. Ia juga tak perlu mengarang menghadiri acara tasyakuran keluarga. Rencana Ulfa untuk membuat Romy peka dengan perasaan Ifa gagal total. Yang ada sahabatnya malah mendapat kenyataan
pahit.

"Fa, gue minta maaf ya ga bisa nemenin lo semalem. Gue nyesel."

"Iya gapapa, Ul. Mungkin, gue disuruh Tuhan buat menjaga persahabatan gue sama Romy."

Ulfa tersenyum membalas senyuman Ifa. Memerhatikan gadis bermata coklat muda yang sedang merogoh ranselnya. Mengeluarkan sesuatu yang membuat Ulfa terkesan.

"Novelnya bagus, ya?"

Ifa mengangguk menjawab pertanyaan Ulfa. Sejujurnya Ifa tak tahu novel ini bagus atau tidak, tak penting bagi Ifa tentunya. Gadis itu hanya penasaran akan sesuatu dari novel ini.

•<>•<>•<>•

Bab 5. Reuni

"Assalamualaikum."

Aku menjawab salam. Lalu mengambil jas dari tangan Yudha, sesaat setelah dia memeluk dan mencium keningku. Seperti biasa, aku akan mengantar Yudha ke kamar. Menunggunya mandi dan berganti baju. Barulah kami akan makan malam bersama.

"Sayang, tadi aku papasan sama mobil Mama. Apa mama ke sini?"

Suara berat Yudha memutus lamunanku. Ia mengusap bibir dengan tisu, lalu meraih gelas. Meminum isinya hingga tersisa setengah. Mata coklatnya menatapku seperti sedang menanti jawaban. Aku hanya mengangguk. Ku putuskan segera pergi dari meja makan, membawa semua piring kotor untuk ku cuci.

"Mama ngomong apa aja?"

"Gak ngomong apa-apa. Mama cuma pengen ke sini aja, sekalian mampir habis dari rumah temen."

Tak ada respon apapun darinya. Aku menoleh kebelakang ternayata pria itu sudah tidak di meja. Aku sungguh terkejut saat ternyata Yudha mengikutiku hingga ke dapur. Tanganku kembali mengusap spon pada piring. Semoga saja suamiku tak lagi membahas hal ini.

Pukul 19.09 WIB
Sesaat setelah aku mencium punggung tangan imam sholat isyaku. Yudha menarikku dalam dekapannya. Mengusap punggung dan mencium puncak kepalaku yang masih berbalut mukena.

Sebenarnya ada apa ini? Tidak biasanya Yudha seperti ini.

"Ada yang mau kamu ceritain ke aku? Bener, kamu gak bohong sama aku? Kamu masih gak percaya ya sama aku."

Aku melepas pelukan. Menelisik ke dalam iris coklat yang terlihat begitu kecewa. Aku bohong lagi pada suamiku. Dan, lagi-lagi aku membuatnya kecewa.

"Maaf, Mas."

"Kamu harus cerita ke aku, kalau kamu percaya sama aku."

Aku membuang tatapan ke arah lain. Menghembuskan napas lelah. Menceritakan kejadian sore tadi sama saja membuat dadaku sesak untuk yang kesekian kali.

"Ibu, membahas tentang hasil yang kemarin. Hanya i-"

"Kalau tentang itu, pokoknya apa pun yang ibu ucapkan jangan kamu pikirkan."

Suasana kamar hening. Aku sangat bersyukur karena Yudha mengerti perasaanku. Mungkin dia sudah menebak apa yang dikatakan ibu setiap membahas hal itu. Ya, sore tadi ibu bertanya tentang hasil program bayi tabung yang kali ini kulakukan di RS Malaysia. RS yang kudengar penyelenggara program bayi tabungnya terbaik di Asia. Tapi, hasilnya masih sama. Aku gagal untuk yang kedua kalinya.

"Ivy, besok malam ada acara reunian SMA seangkatanku. Kamu harus ikut," jeda Yudha sebentar. "Masalah baju nanti aku yang siapin. Besok aku bakal pulang sore. Ya, udah gih kamu istirahat. Aku mau nyelesein kerjaan dulu."

Yudha tersenyum ke arahku. Lalu beranjak dari kamar. Aku memijat dahi yang terasa pusing. Mungkin benar, aku butuh istirahat.

ಬ಼ಬ಼ಬ಼

Aku menyapu pandangan ke seluruh penjuru aula bernuansa white-gold ini, mencari sosok pria berkemeja biru senada dengan warna gamis yang ku kenakan. Sangat sulit mencarinya di antara ratusan orang di aula. Kenapa dia meninggalkanku sendiri. Ini acara reunian angkatannya. Sepanjang mata memandang, tak ada orang yang ku kenal.

Sementara seorang wanita berbalut dress pink yang melekat sempurna di tubuhnya berjalan ke meja tempat ku duduk dengan membawa sebotol air mineral. Ia mengambil posisi di samping ku, tersenyum lalu menyerahkan botol tadi padaku.

"Renata, maaf aku merepotkan. Terima kasih untuk airnya."

Renata menggeleng tak setuju. "Seharusnya aku yang minta maaf karena terlalu lama meninggalkanmu. Tadi ada sedikit masalah, Wildan agak rewel bersama ayahnya."

Aku menutup kembali botol setelah meminum isinya beberapa teguk. "Putramu?"

Renata mengangguk, dengan senyum bahagia ia menyerahkan ponsel padaku. Di layar kotak itu terlihat Renata menggendong seorang anak laki-laki, di sampingnya ada seorang pria yang kurasa adalah suami Renata.

"Umurnya dua tahun," celetuk Renata.

"Wildan lucu dan sangat tampan." Aku mengulas senyum sambil memberikan ponsel pada pemiliknya, sedangkan renata hanya terkekeh kecil membalasnya.

"Sepertinya kamu mencari Yudha, ya?"

Aku lagi-lagi mengangguk menjawab pertanyaan pemilik acara. Reunian angkatan Yudha, di selenggarakan di salah satu hotel bintang lima Jakarta. Dan semua ini yang menyiapkan adalah dari Renata sendiri.

"Tadi, dia ku lihat berjalan ke arah balkon bersama temannya. Mungkin dia tak nyaman dengan kehadiranku. Wanita yang dulu pernah mencelakai gadis yang dia cintai."

Raut wajah Renata berubah muram. Aku menggeleng, seharusnya Renata tak perlu membahas masalalu di saat yang membahagiakan ini.

"Gak ada hubungannya sama itu, Ren. Lagian semua udah berlau, aku udah maafin kamu jauh sebelum hari ini. Begitu juga Yudha."

"Bahkan sebelum aku minta maaf? Aku sungguh menyesal telah melakukan semua itu padamu Ivy. Maaf telah menjadikanmu pelampiasan karena rasa obsesiku tak terpenuhi."

"Tak, apa Renata. Dulu kita belum cukup dewasa untuk berpikir seperti itu."

Aku tersenyum begitu juga dia. Matanya yang berkaca-kaca menatapku beralih menunduk. Renata yang ada di hadapanku saat ini, begitu berbeda dengan renata yang ku kenal sebelas tahun lau. Mungkin, umurlah yang membuat wanita ini berperilaku tidak baik semasa SMA.

Kulihat Renata mengusap ujung matanya lalu berkata, "Kamu memang pantas di cintai banyak laki-laki, Vy."

Lima belas menit berlalu tanpa Yudha di dekatku. Tak apa, Renata membuatku merasa tak sendiri. Ada banyak hal yang kami bahas. Bahkan aku sempat bertukar nomor telepon dengan Renata. Mungkin, mulai saat ini kami akan sering bertemu dan mulai berteman. Sebab, ternyata pemilik salah satu rumah sosial yang sering ku kunjungi itu adalah miliknya.

"Hai, Ivy!"

Sebuah suara membuat obrolan kami terputus. Manik hitamku beredar ke seluruh penjuru, sepuluh meter dari tempatku seorang wanita berjalan sambil melambai padaku. Beriringan dengan seorang pria yang wajahnya sangat ku kenal. Dia Agian dan Fiona.

"Aku merindukanmu, Ivy. Lama tidak bertemu." Aku berdiri menyambut pelukan hangatnya. Samar-samar aku mendengar seorang pria menggerutu mengingatkan istrinya agar tidak berlari.

"Fiona inget, ada nyawa di perutmu. Jangan lari-larian begitu."

Aku melepas pelukan, ikut terkekeh melihat tingakah Fiona yang begitu ke kanakan. Bukannya meminta maaf pada Agian, wanita itu malah menggerutu berkata bahwa suaminya tidak mengerti perasaannya.

"Iya-iya aku minta maaf deh. Aku kan cuma gak mau kamu dan bayi kita terluka. Hanya itu."

Sementara Agian masih membujuk Fiona. Aku memerhatikan mereka berdua. Ya, wanita yang berdiri di sampingku memang sedang hamil tua. Mungkin sembilan bulan, perutnya terlihat begitu besar dibalik dress panjang juga longgar bewarna tosca.

Fiona, semoga kamu dan bayimu diberi kesehatan ya.

"Ah, sudahlah. Lebih baik kamu pergi dari sini. Aku mau ngobrol banyak sama Ivy. Jangan mengganggu kami."

Aku tersenyum pada Agian. Lelaki itu menjauh dari meja kami dengan wajahnya terlihat begitu lesu. Mungkin dia sangat lelah mengahdapi hormon wanita hamil yang begitu meledak-ledak.

"Sudahlah lupakan pria tadi. Hai, aku Fiona kamu Renata, kan? Maaf ya sempat mengabaikanmu tadi."

Renata menyambut uluran tangan Fiona dan tersenyum. "Tak apa."

"Seleramu boleh juga. Dekorasi ruangannya sangat elegan, tapi tak membuang kesan sederhanya. Aku suka," komen Fiona sambil melihat ke seluruh sisi ruangan. Ya, aku spendapat dengannya.

"Terima kasih. Kebetulan suamiku yang menata semua konsepnya."

‍‍‍Aku dan Fiona mengangguk paham. Sekedar informasi saja. Yang kutahu suami Renata dulu adalah arsitek terkenal di Jakarta. Jasanya juga sering dipakai untuk mendekor acara pernikahan atau tasyakuran. Namanya dikenal banyak orang karena sangat memuaskan para clientnya

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Tapi, sayang saat kariernya berada di puncak. Ia terpaksa berhenti melanjutkn cita-cita karena harus meneruskan perusahaan milik keluarganya. Dan tak lama sekitar dua atau tiga bulan kemudian beredar kabar kalau mereka berdua menikah.

Tak banyak yang kami perbincangkan. Karena tak lama setelah Fiona bergabung, Renata terpaksa beranjak karena dia harus menyambut kedatangan rombongan guru yang ia undang ke sini. Hanya tersisa aku dan Fiona.

"Kamu kapan nyusul, Vy?" tanya Fiona. Tangannya meraih sebuah cup cake, melahap cerinya terlebih dulu.

"Segera. Kalau Allah sudah mengizinkan, doakan saja ya."
Aku menatap Fiona lamat-lamat sedang memakan kudapan manis itu dengan begitu lahapnya. Aku ngin sekali bisa merasakan nikmatnya jadi ibu hamil.

"Kamu tau Fiona. Kata orang dulu, kalau si calon bayinya itu perempuan dan ibunya sensi banget sama ayah si bayi. Itu tandanya bayi kamu nanti manja banget sama ayahnya."

Fiona merengut lau menjawab acuh. "Biarlah, aku malas membiacarakan orang itu." "

Aku lagi-lagi hanya tertawa kecil mendengarnya. Nafsu makan ibu hamil begitu besar ternyata. Satu cup cake dan sepotong dark brownies sudah masuk ke perutnya dalam waktu lima menit.

"Terus si dede bayi mau dinamain apa?"

"Aku gak tau. Terserah bapaknya aja." Fiona merogoh tas lalu mengambil ponselnya. "Yuk, selfie dulu. Aku mau upload di Ig, nih."

Aku menurut ikut tersenyum saat layar ponselnya menampakkan wajah kami. "Aku udah tag kamu. Jangan lupa di like ya."

"Vy, rumah kamu di mana. Aku pengen banget besok atau lusa main ke rumah kamu. Nanti tolong kirimin alamat kamu ya." Fiona masih menatap layar ponselnya.

"Eh, emang kamu kapan mau balik ke Australia?" Aku sedikit terkejut mendengar kalimatnya.
Wanita hamil itu menurunkan ponsel ke pangkuan lalu melempar senyum lebar ke arahku.

"Aku bakal tinggal di Indo selamanya. Aku gak mau tinggal di luar negeri lagi." Dia bersorak senang, aku pun ikut bersorak kecil.

Tiab-tiba. "Wah, enak banget. Aku jadi pengen. Ivy liat nih, waffle bluberry sama jus alpukat. Enakkan?"

Aku tersentak dari pikiran panjangku. Memusatkan sepenuhnya perhatian pada Fiona, ku raih benda persegi putih yang Fiona sodorkan. Melihat lamat-lamat objek yang ditampilkan di layar.

Hm, apa Fiona lagi ngidam? Belum kenyang ya makan dua cake tadi?

"Kamu mau?"„Ku sodorkan kembali ponsel putih pada pemiliknya.

"Pengen banget. Ayo, anterin aku ke Agian. Aku mau dia cariin makanan itu buat aku."

Eh, bukannya dia lagi marah sama Agian. Kok... ahahaha...

Akhirnya aku hanya bisa mengangguk, menahan tawa sepanjang mengantarkan Fiona ke sudut ruangan di mana Agian berkumpul bersama teman-temannya.

"Ada apa? Dia gak marah lagi sama aku, Vy?" Agian dengan wajah herannya menatap bergantian padaku lalu ke Fiona.

"Fiona pe-" ucapanku terputus.

"Aku mau pulang sekarang."

"Loh, kok gitu? Mulai aja belum acaranya. Bentar lagi ya, sejam aja."

Wajah Fiona menekuk. "Aku pengen waffle blueberry sekarang. Sama jus alpukat juga."

Kulihat Agian mengusap wajah kasar. Menampakkan raut wajah menyesal pada kedua temannya. Lalu ia berdiri mendekat pada Fiona. Melihat ke arahku sekilas sambil berkata, "Makasih udah jagain Fiona. Sebenernya mau ketemu sama Yudha. Tapi, kapan-kapan ajalah. Titip salam ke dia ya."

"Iya, gapapa. Kalo gitu, aku permisi duluan ya."

Kulangkahkan kaki menjauh dari meja itu. Berjalan pasti ke arah pintu coklat berdaun dua yang terbuka sebelah. Benar memang kata Renata, di sana ada Yudha dan seorang pria. Dari suaranya aku kenal, sangat kenal.

Kak Dana?

Yah, gak salah lagi. Dugaanku terbukti benar, setelah mendengar suamiku menyebutnya Dana. Tadinya aku hendak mendekati dua orang itu, tapi yang kulakukan hanya berdiri diam di belakang mereka yang duduk menghadap pemandangan malam ibu kota. Mendengarkan semua percakapan yang tak pernah kusangka akan memberi petunjuk atas pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab oleh suamiku sendiri.

"Ya, wajar ajalah kalo dia gak hamil. Lo aja gak mau usaha. Dikasus ini bukan dia yang mandul. Tapi, Lo yang bego."

Napas kasar Dana hembuskan, menjeda sejenak kalimatnya yang terdengar sangat menggebu. Lalu kembali berkata, "Sebenernya apa alasan lo gak mau nyentuh Ivy?"

Napasku tertahan sejenak, menguatkan perasaan yang berdebar menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir Yudha.

"Bukan gue gak mau nyentuh istri gue. Tapi, gue rasa gak adil rasanya kalo gue nyentuh dia sementara kejadian itu, Ivy sama sekali gak tau. Gue gak mau ambil resiko kehilangan dia. Suatu saat nanti dia pasti bakal tau kejadian itu."

Sepanjang kesunyian yang terjadi di sini, otakku mempertanyakan hal sama yang jawabannya sudah pasti tak akan ku dapatkan.

Kejadian apa yang gak aku tau?

"Saran gue. Lo harus cepet ceritain kejadian itu ke dia, biar lo bisa cepet punya anak. Atau, kalo emang lo gak mau ambil resiko. Lakuin segera apa yang seharusnya lo lakuin di malam pertama pernikahan lo sama Ivy, tanpa menyinggung kejadian itu."

Kalimat Dana lagi-lagi mendapat penolakan dari Yudha. "Gue gak bisa curangin Ivy. Gu-"

"Baru nyadar? Kemana aja lo saat ngelamar Ivy jadi istri lo. Pernikahan lo diawali dengan sebuah kebohongan. Lo curang!" Kalimat bernada tinggi yang diucapkan Dana membuat ku terlonjak kaget.

"Gue cinta sama Ivy. Gue cuma mau dia ada di samping gue selamanya. Cuma itu. Tanpa ada anak pun itu gak masalah."

Suasana kembali lengang. Entah darimana datangnya air mata ini. Aku segera beranjak perlahan, tak ingin isak tangisku yang mungkin keluar tiba-tiba membuat dua pria tadi tau kalau aku sedang menguping.

Kenyataan yang baru saja ku dengar begitu membuatku kecewa. Pernikahan yang selama ini ku bina bersama Yudha dibangun dengan sebuah kedustaan? Pantaslah jika perjalanan rumah tangga kami begitu sulit. Aku hanya berharap semoga pernikahan ini akan tetap bertahan sampai umurku habis.

Bersambung...

a/n:

Si kembar anaknya Farel. Si Wildan anaknya Renata. Fiona yang lagi hamil tua.

Menurut kamu, gimana perasaan Ivy saat itu?

Dikeadaan yang seperti itu. Dia harus bertemu wanita yang udah jadi ibu. Apalagi ketemu Fiona yang lagi hamil.

Rasanya kaya semesta tuh mojokin dia. Terus-terusan ngasih tau kekurangannya.

Hiks okee... Stop.
Di dunia ini gak ada yang perfect ya.

Sekian dari aku.
Jangan lupa untuk vote cerita ini jika kamu menyukainya ≥3≤

Sampai nanti 👋

Kota Santri, 5 April 2020
14.51 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro