Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BB - 3. Kenapa?

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍"Hayoo... Lo lagi ngapain, Kak?"

Suara setengah berat milik seseorang membuat Ifa reflek membalikkan kursi putarnya. Gadis itu mendecak sebal, ia sangat terganggu dengan tabiat buruk adiknya ini. Tiba-tiba muncul dan mengagetkan orang.

"Heh! Ada pintu, kenapa gak diketuk dulu? Permisi kek."

Yang ditegur nyengir lebar, lalu menghempaskan tubuh di kasur putih sang Kakak. Meski ia benci warna putih. Tapi, anehnya setiap berada di kamar kakaknya ini-yang di dominasi warna putih-ia merasa nyaman. Apalagi ketika berbaring seperti sekarang.

"Adek gue yang gantengnya sedunia. Kalo mau tidur jangan di sini. Kamar gue bukan tempat pengungsian, pergi sono. Ganggu aja deh."

Pemuda delapan belas tahun itu melirik ke arah saudarinya yang bersungut-sungut. Wajah oval kakaknya itu mudah sekali memerah kalau sedang marah. Ia terpingkal-pingkal, senang rasanya bisa mengusili kakaknya.

"Sensitif amat sih, Mbaknya. Adek ke sini kan cuma mau ngecek mbaknya kenapa? Lagi apa?"

"Lo kenapa sih, Dek? Gue lagi baca buku, gue baik-baik aja. Udah sekarang keluar!"

Lelaki berkaos merah itu memiringkan badan ke arah sang kakak yang bersedekap dan memasang wajah kesal. Tangan kanannya ia gunakan untuk menyangga kepala yang diangkat. Memerhatikan kakaknya lebih detail, sebelum berceletuk.

"Gak usah ngusir kali. Gue ke sini disuruh ayah. Suruh cari tau lo lagi apa? Kenapa kok dua hari ini kagak kayak biasanya? Ngerem bae di kamar. Tapi, karena kakakku yang cantik ini ga kenapa-napa, yaudah."

Secepat kilat, adik laki-lakinya itu langsung ke luar kamar. Bagus. Si pengganggu itu sudah keluar, Ia bisa melanjutkan kegiatan membaca novelnya. Ifa sudah memutar kursi menghadap ke meja. Membalik halaman untuk membaca bab selanjutnya. Satu, dua kalimat dicernanya. Ketika sampai di penghujung paragraf pertama, orang tadi kembali merusak kedamaian Ifa dengan sikap keponya itu.

"Baca novel ya, Kak?"

Ifa yang memang sudah tahu akan kedatangan seseorang, karena pintu kamarnya dibuka. Buru-buru menyimpan novel di laci meja. Tapi, sepertinya manik hitam adiknya sangat jeli.

"Bukan novel. Dasar jomlo ngenes, ganggu malam damainya orang aja." Ifa berjalan melewati adiknya yang duduk di karpet berbulu halus sambil bersandar di pinggiran ranjang, lalu membaringkan tubuh di kasur.

"Yee... lo juga jomlo, Kak. Ah, udahlah itu gak penting."

Pemuda tadi lantas berbaring di karpet berbulu halus bewarna krem. Kedua tangan ia gunakan sebagai bantal. Matanya memandang langit-langit kamar.

"Kak, ada waktu gak? Gue mau ngobrol, nih."

"Ngomong aja."

Ifa meraih satu boneka teddy bear berwarna coklat lalu berguling mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap. Tubuhnya melintang di tengah kasur, ia melongok ke bawah mendapati wajah gelisah adiknya. Ada sesuatu yang sudah berhasil mengganti langit cerah adiknya menjadi mendung. Hanya Lego yang bisa membuatnya seperti ini. Tapi, ayah sudah membelikan lego terbaru buat dia minggu lalu.

"Kak, ada cewek yang ngasih surat cinta ke gue. Gue harus gimana, Kak?"

Mata bulat Ifa semakin lebar mendengar itu. Heh, ternyata kutu kupret ini ada yang naksir. Dan apa ini? Pengakuan cinta? Ifa tertawa kencang.

"Aduh... kalo cerita lo itu emang bener. Apa yang lo rasain ke dia? Emang gimana isinya?" Kali ini pemuda itu menatap penuh pada wajah Ifa.

"Isinya gini. Fatir, aku suka sama kamu. Kalau kamu suka aku juga. Kita bisa pacaran.

Gue suka sama dia, dari dulu malah. Dan gak nyangka ternyata dia juga suka gue. Tapi, Kak. Gue rada gak yakin dia ngajak pacaran. Lagi pula gue juga gak mau pacaran sekarang."

Ifa menempatkan dagu pada kepala boneka yang ia peluk erat. "Bilang aja ke dia kalo lo juga suka sama dia. Tapi, lo gak mau pacaran dulu."

"Tapi-"

"Oh... gue ngerti. Adek gue yang polos. Gue tanya, lo tau siapa yang nulis surat itu?"

Fatir menggangguk takzim. Dia sangat yakin Zahralah penulisnya. Ia masih ingat dengan jelas saat gadis itu memeberinya sebuah amplop pink.

"Fatir ini ada surat dari-"

"Woi fatir, lo dipanggil Pak Jo. Cepetan ke ruang guru!"

Meski teman-temannya memotong kalimat Zahra. Samar ia bisa mendengar kata 'ku' di akhir kalimat gadis itu.

"Ya, udah. Lo tinggal bilang ke dia. Selesaikan."

Tidak. Bagi Fatir masalah ini tidaklah sesederhana yang kakaknya pikirkan. Masalahnya gadis ini adalah Zahra. Dia berbeda. Dan pengakuan itu terasa mustahil baginya.

"Kak, menurut lo... cewek pendiem, jaga jarak sama cowok, santun, lemah lembut, pakaiannya tertutup. Apa mungkin dia nyatain cinta?"

Ifa duduk bersila, masih memeluk boneka beruangnya. Fatir adiknya ini kenapa begitu payah dalam hal ini. "Gak ada yang gak mungkin Fatir. Kalo lo yakin dia pengirimnya. Selesai masalah."

Fatir menghembuskan napas panjang. Ia bangkit dan naik ke kasur Ifa. Berbaring di sana sambil memejamkan mata. Pemuda itu tak peduli dengan kemarahan Kakaknya.

"Kak, aku mau tidur di sini ya. Kak Ifa tidur di bawah. Selamat malam."

"Heh! Fatir. Keluar gak. Jangan ganggu gue, atau gue teriak nih ke ayah. Biar lo dimarahin."

Ifa sebal. Dengan santainya Fatir membuka sebelah mata, melirik dengan gaya songong khas adiknya. Apa yang dilihat gadis SMA itu pada kutu kupret ini. Tak lama Fatir beranjak dari kasur.

"Panteslah Kakakku masih jomlo. Galak banget, sih. Mana ada yang berani deketin."

Terkutuklah suara tawa itu. Meski pintu sudah tertutup rapat, tapi Ifa masih mendengar dengan jelas bagaimana Fatir mengejek dirinya lewat gelak tawa itu. Baiklah, satu sama. Adiknya balas dendam, Fatir tak terima Ifa menertawakannya tadi.

•<>•<>•<>•

Bab 3. Menghindar

Aku sudah selesai menyisir rambut. Ku lirik jam putih yang tergantung di dinding samping meja rias. Jam sepuluh. Acara perayaan Kak Farel baru selesai satu jam yang lalu, butuh waktu empat puluh lima menit untuk sampai di rumah. Dan di sinilah aku, di kamar bersama Yudha yang menyenderkan punggung di kepala ranjang. Sibuk dengan ponsel dan membiarkan tv menonton dirinya.

Pembicaraan kemarin belum selesai. Aku harus mencari tau sesuatu, sebenarnya apa yang suamiku rahasiakan? Kulangkahkan kaki menuju ranjang di sampingnya dan ikut duduk bersandar. Pura-pura fokus pada tv.

"Mas, si kembar Rere dan Roni lucu ya. Rasanya aku belum puas menggendong mereka tadi."

"Hm... mereka lucu. Tapi, sayang aku gak berani gendongnya."Aku melirik ke samping. Yudha masih mengetuk layar kotak itu. Dan apa tadi? nadanya terdengar datar saja saat menjawab pertanyaanku.

"Mereka terlihat bahagia dengan si kembar dan si sulung Gean. Benar-benar keluarga yang bahagia."

Aku menoleh ke samping kiri. Dia juga menatapku sekilas, lalu sibuk mengetikkan sesuatu lagi. "Hmm... aku juga bahagia melihat Kak Farel bahagia."

Kamar sunyi lagi. Aku tak mau memulai pembicaraan, jika dia masih sibuk dengan benda pengirim pesan itu. Dan dua puluh menit berlalu. Yudha meletakkan ponsel dan langsung mematikan tv.

"Sayang ayo tidur. Udah jam setengah sebelas tuh," ucapnya sambil memegang bahu kiriku. Ia tersenyum manis sebelum beranjak untuk memencet saklar di dekat pintu, agar lampu kamar mati lalu menyalakan lampu tidur.

Aku sudah berbaring sambil menikmati hamparan langit malam yang bertabur bintang. Kamar kami, memang dibuat spesial. Atas permintaanku. Yudha memasang kaca ukuran 3 x 3 meter di langit-langit kamar. Setiap malam aku bisa melihat bintang, tentu di saat cuaca cerah.

Kasur terasa bergerak saat Yudha naik ke atasnya. Pria itu menyangga kepala dengan sebelah tangan. Kami saling memandang, lampu temaram ini tak mengurangi ketampanannya sedikit pun. Ku pejamkan mata ketika bibir itu mengecup lama dahiku. Satu, dua, tiga entahlah cukup lama dia mengecupku.

"Sekarang kita tidur."

Senyum itu, aku tak membalasnya. Dia berbaring sempurna di sampingku, menaikkan selimut hingga ke perutnya. Yudha belum memejamkan mata hanya menatap bintang, sama sepertiku.

"Apa kita bisa memiliki bayi, satu saja seperti milik Kak Farel dan Mbak Ilmi?"

"Tentu sayang. Kita berdua akan memilikinya setelah kamu melakukan program hamil."

"Itu lama sekali bukan? Dan pastinya menghabiskan banyak uang."

Aku menengok ke arah suamiku sekilas lalu memandang kembali ribuan lampu yang kelap-kelip di atas sana. Selimut bergerak, tak lama tangan Yudha memeluk perutku dan mendekatkan tubuh kami. Aku bisa merasakan napas hangatnya yang memburu, karena wajah rupawan itu baru saja mencium pipiku. Ia meletakkan kepala pada bantal yang sama, persis di sebelah kiriku.

"Aku akan bersabar. Masalah uang jangan khawatir, uang itu tak lebih berarti dari calon anak kita. Kertas itu bisa ku cari lagi. Suamimu inikan pekerja keras."

Aku tersenyum. Namun, dengan ringannya suamiku tertawa. Apa masalah ini tidak mengganggu pikirannya? Apa dia tak sedih, karena tak kunjung memiliki malaikat kecil seperti temannya yang lain?

"Bukan hanya kita yang mengharapkan bayi itu, ibu juga ingin segera memiliki cucu. Kamu tak bisa membiarkan ibu menunggu dan aku tak bisa membiarkan ibu terus bersedih."

Aku hendak melanjutkan kalimat, tapi suamiku lebih dulu angkat bicara. "Lalu apa? Kamu akan mengorbankan kebahagiaan kita demi ibu? Kamu akan menyakiti hatimu sekaligus hatiku demi hati ibu? Seperti- Ah, lupakan saja."

"Tidak akan ada yang terluka, Mas. Ibu bahagia memiliki cucu. Kamu dan aku juga bahagia memiliki anak, meski bukan aku yang mengandung. Aku dan istri keduamu akan merawat anak itu. Tiga atau empat, aku akan mengurusnya."

Tangan Yudha tak lagi memelukku, tubuh maskulin itu juga sudah bergeser menjauh. Tawa sumbangnya mendominasi langit kamar. Suaranya berubah, begitu rendah dan berat. Aku rasa dia sedang menahan marah.

"Bicaramu mulai melantur kemana-mana. Jangan berkata seolah kamu tak memiliki rahim. Selagi benda itu masih ada dan berfungsi dengan baik, kamu masih bisa punya anak. Ah, dokter sepertimu pasti lebih tau hal itu daripada aku."

Hening, lama sekali. Aku merasa bersalah padanya. Dia tak tahu kenyataan ini. Dan aku tak akan pernah memberitahunya.

‍‍‍‍‍‍‍"Jika Ibu masih mendesak, tak sabar menunggu kita. Biarkan saja dia memilih cucunya sendiri di panti asuhan. Kita bukanlah satu-satunya pasangan suami-istri yang sulit memiliki keturunan. Di luar sana ratusan bahkan ribuan pasangan sudah berusaha belasan tahun, namun belum juga dikaruniai bayi. Usia pernikahan kita masih dua tahun. Bahkan kita belum berusaha dan kamu sudah putus asa."

"Program kehamilan itu akan lebih baik dilakukan setelah... hmm... itu. Ah ya, setelah pasangan berusaha berdua terlebih dulu. Tidak ada yang salah jika ki-"

Manikku melebar. Tiba-tiba saja Yudha berguling, tengkurap di atas tubuhku dan memotong kalimat dengan mencium bibirku. Aku diam, lebih tepatnya panik. Tapi, tak berusaha menghentikan kegiatan Yudha. Yang bisa ku lakukan hanya menatap wajahnya.

Mata itu terpejam, tangan kirinya yang tertekuk digunakan bertumpu sambil memegang pipiku. Sedang tangan kanannya sejak tadi tak berhenti menekan leherku ke arah wajahnya. Sesekali dia menjeda saat dirasa aku mulai kehabisan napas.

Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan. Selama dua tahun, sekalipun Yudha tak pernah melakukan ciuman seperti ini. Ciuman ini... pernah dia lakukan dulu sekali, saat subuh di kamarku. Ah, aku... aku mengerti sekarang.

Kugerakkan kedua tanganku yang sejak tadi diam. Tangan kiriku mengusap pipinya yang di tumbuhi rambut halus, tangan lainnya meraih jemari Yudha yang ada di pipiku. Dia menyambut tanganku dengan menggenggamnya.

Di detik kedua setelah dia menggenggam erat tanganku. Bibirnya hanya menempel di bibirku, ciuman yang biasa kita lakukan. Matanya pun perlahan terbuka, semakin lebar, dan seolah tersadar akan suatu hal.

Yudha buru-buru merangkak menjauh dariku, dia duduk dengan kaki yang menapak di lantai. Kepalanya menunduk, tangannya berulang kali mengacak rambutnya kasar. Apa suamiku menyesal telah melakukannya?

Aku ingin tahu, sebenarnya dia kenapa. Aku bangun, mendekati Yudha, menyentuh bahunya dengan tangan kanan. Suamiku berdiri, memutar badan dan membungkuk sedikit untuk bisa menangkup pipi istrinya. Manik coklat Yudha memerhatikan bibirku, mengusap benda kenyal yang agak basah itu dengan kedua ibu jarinya. Lalu menatapku kembali dengan penuh kesedihan.

"Maaf, aku minta maaf. Maaf karena tak bisa berusaha berdua bersamamu untuk memiliki bayi." Ia mengecup keningku sekilas lalu berbalik. Kusahut tangannya untuk mencegah Yudha beranjak.

"Tapi kenapa? Apa kamu gak mau berbagi cerita denganku?"

Dia berbalik lagi, tangan lainnya mengusap tanganku lalu melepaskannya. "Sudah jangan banyak tanya. Cepat tidur. Atau... kamu mau aku peluk dan aku cium sampai pagi agar kamu tak bisa tidur?"

Dia terkekeh kecil sambil melangkah. Dan berhenti sejenak di depan pintu kamar mandi.

"Kamu tidur duluan, ya. Jangan menungguku, aku akan sholat witir dan langsung tidur. Percakapan ini benar-benar membuatku lelah."

Sorot lampu kamar mandi menghilang bersama pintu yang ditutup. Aku berbaring menatap langit malam. Kali ini lagi-lagi gagal mendorong Yudha bercerita padaku.

Aku sungguh tak bisa terlelap. Setengah jam berlalu, aku masih belum bisa tidur. Yudha juga tak kunjung keluar dari sana. Haruskah dia melakukan ritual mandi seabadnya di tengah malam seperti ini?

Benar saja tak lama setelah aku membatin, Yudha keluar dengan wangi yang sangat kuat. Aku memejamkan mata pura-pura tidur. Terakhir yang ku dengar adalah suara takbir Yudha ketika sholat. Mataku yang begitu berat memaksa untuk diistirahatkan.

Pukul 06.37 WIB
"Sayang, kamu masak apa?"

Yudha turun dari lantai dua membawa jas kantor di lengan kiri, tangan kanannya membenarkan dasi. Aku tersenyum menyambutnya seraya membawa teko berisi susu kedelai ke meja makan. Priaku selalu seperti ini, menyapa di pagi hari dengan berteriak. Membuat rumah yang sepi terasa lebih hidup.

"Ada nasi goreng. Sup jagung kesukaan kamu. Roti isi. Kamu mau makan yang mana?" jelasku sambil menuangkan segelas susu dan mengulurkannya pada Yudha.

Dia meminum susu itu sampai tandas. Lalu menunjuk roti isi. Dengan telaten aku membuatkan untuknya. Setelah itu kami makan dalam keheningan.

"Ivy, besok aku libur kerja. Kita berdua akan ke rumah sakit, memulai program hamil. Jadi, tolong jangan melakukan apapun yang membuatmu lelah. Dan yang paling penting, jangan memikirkan sesuatu yang bisa membuatmu stress. Ceritakan semua hal yang mengganggu pikiranmu padaku."

Aku mengangguk tersenyum dan kembali menyendok nasi ke dalam mulutku. Dia menungguku menghabiskan makananku.

"Sayang, aku berangkat kerja dulu. Oh, nanti siang aku mau sup jagung yang tadi kamu buat. Inget pesan ku tadi, ya."

Ia mengecup dahi ku sekilas, lalu aku mencium tangannya. Rutinitas yang sering kami lakukan setiap Yudha hendak berangkat ke kantor.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Ya, Allah semoga program hamilku berhasil. Hamba mohon, karuniakanlah keluarga kecil hamba seorang bayi.

Bersambung...

5 April 2020
13.27 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro