BB - 2. Siapa 'My Love'
"Ifa, lo kemarin beneran ga papakan? Katanya Ulfa lo bete gitu."
Ifa menoleh ke samping. Melihat Romy yang masih sibuk menggulung spageti pada garpu, lalu melahapnya dalam sekali suap. Pipi lelaki itu seketika membulat, ingin tertawa tapi Ifa tak mau Romy tau kalau dia telah mencuri pandang pada pemuda itu.
"Aku, ga papa."
Ia menyedot jus alpukat lalu kembali mengaduknya dengan sedotan. Haruskah topik ini diperbincangkan lagi? Jujur saja, dirinya bisa semakin muak setiap melihat wajah dokter senior itu, jika teman-temannya terus saja membahas hal memalukan ini.
"Maaf ya, Fa. Gue telat bantuin lo kemarin. Coba aja gue dateng lebih cepet, seenggaknya lo ga bakal sampe di bentak di depan temen lain."
"Eh, itu bukan salah lo kok."
Ifa kembali menyuapkan sesendok terakhir nasi goreng sea food dengan malas. Jujur saja, saat ini perutnya terasa ingin meledak. Sejak lima suapanan pertama, dia sudah merasa kenyang. Ingin sekali tak menghabiskannya, tapi ia tak enak pada Romy.
Sore ini, pemuda itu mengajak Ifa makan. Katanya sih, sebagai permintaan maaf. Dan disinilah mereka, di restauran ramai pengunjung tepat di sebrang rumah sakit. Mereka tidak berdua, ada Ulfa juga yang sejak tadi setia mendengarkan obrolan.
Romy menyeruput habis ice latte miliknya, spageti di piring juga sudah habis. Lelaki itu, bagaimana caranya bisa memiliki tubuh atletis sedangkan dia memakan apa pun yang menurutnya enak. Tidak seperti dirinya yang mati-matian menahan keinginan demi tubuh ideal. Ifa cepat-cepat menunduk saat Romy melempar pandang ke arahnya. Haiss... hampir saja gadis itu ketahuan.
"Ifa, kamu masih ingat gadis kecil yang kehilangan sebelah kakinya. Kemarin dia pulang. Kamu dicariin dia, Fa. Tapi, sayang kamu udah pulang kemarin."
"Ah beneran?"
Romy menatap Ifa dan tersenyum. "Jangan sedih. Nih, ada surat dari Kina."
Ifa menerima surat itu. Lipatan kertas bergaris warna pink, dengan tulisan tangan yang jauh dari kata rapih. Tapi tak apa, Ifa bisa membacanya. Kina adalah gadis kecil berumur enam tahun yang sebulan lalu berlumuran darah di ruang UGD. Yang Ifa tahu, gadis itu tertabrak mobil saat mengejar kucing putih kesayangannya.
Ifa menghapus setitik air yang membasahi pipi. Ah, kenapa ia harus menangis seperti ini. Seharusnya dia bahagia karena kawan kecilnya sudah sembuh. Tapi, sungguh. Lewat gadis kecil itu, Ifa menyadari bahwa hidup memang harus penuh perjuangan.
"Eh, gue cabut duluan ya. Nyokap ngomel ini, minta dianterin ke rumah sepupu. Nanti kalian langsung pulang aja, udah gue bayar tagihannya," ucap Romy pada kedua temannya. Lelaki ini berdiri, menepuk pundak kanan Ifa lalu melempar senyum padanya dan Ulfa sebelum beranjak pergi.
"Gila! Gue jadi nyamuk di tengah acara makannya prince charming. Kapok gue iku. Pantes tadi feeling gue kagak enak."
Sejenak, raut wajah dan dengusan kesal Ulfa membuat Ifa terkekeh kecil. Ulfa memang tau cara mengembalikan mood baik seseorang. Ulfa ini memang begitu. Dia jarang berinteraksi dengan anak laki-laki. Katanya sih, gak ada topik yang bisa dibicarain, dia ngomong kalo ada perlunya doang.
Ulfa dan Ifa mereka itu sama-sama gak punya pengalaman pacaran. Kedua gadis yang sibuk dengan dunianya sendiri. Tipe cewek yang sudah bahagia dengan temannya masing-masing. Tapi, jika ditanya tentang cinta. Ulfa yang paling nyaut, mungkin dampak dari novel romansa favoritnya.
Sekedar info saja, dua sahabat ini sama-sama seorang secret admirer. Bedanya, Ifa baru sadar kalau dia suka sama Romy setelah sepuluh tahun berteman baik. Sedang sahabatnya Ulfa, sudah menyembunyikan rasa sukanya sejak kelas enam SD. Dan yang membuat Ifa kagum adalah, cinta monyet itu masih ada di hati sahabatnya hingga kini. Ha ha ha... apa diantara kalian ada yang seperti Ulfa? Bagaimana rasanya?
"BTW, Fa sorry ya gue baru baca chat Lo. Baru nyambung ke wifi, nih. Nasib, nyokap gue berhenti masang wifi gara-gara si Al sukanya ngegame terus sampe lupa belajar. Di password pun percuma. Entah berapa kali nyokap ganti password, gara-gara adek gue bobol terus."
Ifa cuma diam mendengarkan. Dia melihat Ulfa yang sibuk dengan ponselnya, tak lama gadis berkacamata itu menepuk dahi pelan.
"Mck, gue malah curhat. Jadi gini, dari dulu pembaca gak pernah tau nama asli si penulis. Cuma nama penanya doang 'My Love'. So sweet ya."
"Begitu."
Ulfa mengangguk sambil meminum sisa coklat panasnya yang sudah mendingin sampai tandas. Jika ulfa perhatikan, hari ini Ifa lebih emosional dibanding biasanya.
•<>•<>•<>•
Bab 2. Undangan
"Oke Ivy. Kakak tunggu kamu besok malam. Jangan sampe gak dateng ya. Assalamualaikum."
Aku tersenyum sebelum menjawab salam pria berkemeja soft pink yang sekarang sudah meninggalkan rumah Yudha dengan mobil hitamnya. Aku berbalik menutup pintu lalu berjalan mendekat pada sofa coklat lalu duduk di sana.
Pria tadi adalah Kak Farel. Orang yang dua tahun lalu datang kesini bersama Dimas, menyampaikan sebuah pengakuan yang membuatku kembali mengingat kejadian pahit itu.
"Selamat ya pengantin baru. Oh iya, di mana Yudha?"
"Dia sedang mandi."
Aku menundukkan wajah setelah menjawab pertanyaan seorang pria berjaket levis hitam. Karena entah kenapa aku malu mendengar kekehan kecilnya. Dia adalah teman Yudha. Kemarin malam pria ini juga datang di resepsi pernikahanku. Tapi, aku yakin pernah bertemu orang ini sebelumnya. Tapi di mana?
"Ini, undangan pernikahanku." Kuterima kertas bewarna pink. Membacanya sekilas, Farel dan Ilmi.
"Datang ya, Vy!"
Aku mengangguk masih meneliti undangan yang ada di tangan. "Insyaallah kami berdua datang, Kak Farel." Kurasa aku memang harus memanggil seperti itu, dia lebih tua dari aku juga Yudha. Toh, pria itu tidak protes.
Ku letakkan undangan tadi di Meja. Melihat sekilas pada dua orang di hadapanku. Pria berhodie putih di samping Kak Farel sejak tadi hanya diam. Matanya memerhatikan beberapa lukisan yang tergantung di dinding, sesekali membenarkan letak masker hitamnya. Sedangkan kak Farel, jika ku perhatikan. Sejak tadi dia terus minum air putih tanpa menyentuh cemilan yang kusediakan. Suasana hening untuk beberapa menit. Aku menghela napas.
Kenapa Yudha mandinya lama sekali?
"Mau kubuatkan minuman yang segar? Sepertinya Kak Farel haus, ya?" Dia menggeleng sambil meneguk air terakhir di mulutnya dan meletakkan kembali botol air mineral yang sudah kosong.
"Gak usah vy, tadikan aku hanya minta air putih. Lagi pula itu sudah cukup."
Aku terkekeh kecil, melihat Kak Farel meraih botol lain dan meneguk air hingga separuh. Meletakkannya kembali, lalu tersenyum lebar pada pria bermasker itu. Sepertinya otang itu tidak banyak bicara, buktinya dia lagi-lagi hanya diam saja.
Deheman Kak Farel membuatku berhenti tertawa dan langsung melihat kearahnya. "Jadi gini, sebenarnya ada hal lain yang ingin kami katakan. Sebelumnya apa kamu pernah melihatku?"
Aku mengangguk, "Iya."
"Kamu masih ingat orang yang mengantar Yudha sampai ke kamarnya saat dia mabuk malam itu? Orangnya adalah aku. Jadi tidak anehkan kenapa aku tau persis letak kamar Yudha."
Dia berhenti, membuang napas berat seperti menahan beban yang begitu besar. Aku diam dan langsung menunduk lagi saat manik Kak Farel tertuju padaku sambil kembali bercerita.
"Aku ini sebenarnya bukan teman Yudha. Aku dulu adalah calon tunangan Tika, kakaknya Yudha. Itu sebelum takdir membawanya pergi dariku. Tapi, karena aku dan Yudha sangat akrab. Jadilan kita berteman."
"Ah, aku baru tahu kalau Yudha punya seorang kakak. Ternyata masih ada banyak hal yang belum ku ketahui tentang suamiku," batinku.
"Vy, kamu pernah liat pria ini?"
Pertanyaan itu sontak membuatku menatap orang yang ada di samping Kak Farel. Manik hitamku terpaku pada wajah itu. Rambut, mata, dan semuanya. Sangat persis dengan pemuda yang menyusup ke kamar hotel malam itu. Ternyata Dimas, kakak Beni selama ini menyamar mengubah penampilannya. Dia benar-benar berbeda. Dia... mengingatkanku pada malam yang sangat menakutkan.
"Aku mohon tetap di sini. Aku dan Dimas hanya ingin mengakui ini semua dan meminta maaf padamu," tukas Kak Farel cepat, saat melihatku yang berdiri, bersiap pergi dari sana.
Tapi, kedatangan Yudha yang tiba-tiba membuatku panik. Kejadianini begitu cepat. Dengan beringasnya Yudha memukul wajah dan perutnya hingga darah di mulut Dimas menetes menodai hoodie putihnya.
"Lo, beraninya ke sini. SIALAN LO! ini untuk ketakutan yang Ivy alami. Ini untuk traumanya. Ini untuk kemarahan gue. Dan terakhir...."
Percayalah teriakanku sama sekali tak di dengar Yudha. Aku menggigit bibir melihat itu semua. Aku harus apa untuk menghentikan amukan Yudha? Hanya ada satu cara yang terlintas. Dengan segala keberanian, aku berlari menghempaskan tubuh ke arah Yudha lalu memeluknya erat-erat. Menyandarkan kepalaku di punggungnya.
"Hentikan Mas, kamu bisa membunuhnya. Aku ingin kamu pegang tangan aku."
Aku merasa pergerakan beringasnya melambat dan perlahan berhenti. Tangan Yudha mengusap lembut tanganku yang melingkari perutnya. Detik kedua, dia berbalik menyambut pelukanku. Napasnya yang memburu menguarkan aroma mint yang begitu kuat. Wangi tubuh pria itu membuatku betah dipeluknya. Namun, aku terpaksa mengakhiri pelukan ini. Karena luka Dimas harus segera dibersihkan.
"Sebentar, aku ambilkan kotak obat dulu."
Sepuluh menit berlalu. Masih hening tak ada yang berbicara. Tepat setelah Dimas selesai melekatkan plester, Yudhalah yang pertama kali bicara. Meski wajahnya menunduk menatap lantai, aku bisa tau dia sangat menyesal saat ini.
Tapi, menyesal untuk apa?
"Ivy maafkan aku. Sejak sebulan lalu aku sudah tau, jika orang ini adalah pelakunya sedangkan Tian adalah dalangnya. Tapi, aku tak mau kamu kembali terbayang peristiwa mengerikan itu, jika aku menceritakannya padamu."
Aku memaksa untuk tersenyum pada Yudha. Tangan kananku yang bebas mengelus punggung tangannya yang menautkan jari-jari tangan kiriku.
"Aku kesini hanya ingin meminta maaf padamu, Ivy. Aku tak bisa tenang, aku sangat terbebani setelah kejadian itu."
Kali ini Dimas yang bicara. Suasana hening mencekik lagi. Dan di menit berikutnya Kak Farel angkat bicara. Pengakuan yang dilontarkan pria berkemeja itu sukses menyulut emosi suamiku.
"BANGS*T! LO SAMA BRENGSEKNYA, BANG!"
Aku pun sangat terkejut begitu kak farel mengatakannya. Dari penjelasan pria itu aku mengerti, kenapa Pak Tian begitu baik padaku. Ternyata dia ingin mencelakaiku lewat Kak Farel, suruhannya. Tapi, saat tau korbannya adalah bocah lima belas tahun. Kak Farel langsung menyuruh Dimas yang saat itu memang sangat butuh uang.
Semenjak melihat Yudha yang menggendongku keluar dari bangunan kosong dengan wajah penuh amarah dan kekhawatiran. Kak Farel mengaku tak sanggup menyelesaikan tugas itu. Dia mulai mengerti betapa berharganya diriku bagi pemuda yang sudah dianggapnya sebagai adik. Hari itu, Dimas juga mengatakan alasan pria itu menyuruh orang lain untuk menyelesainkan tugasnya.
"Wajahmu mengingatkanku pada seorang yang dulu pernah menyelamatkan adikku. Seseorang yang aku cintai."
Hanya itu yang bisa ku dengar dari Dimas sebelum Yudha menarik paksa diriku untuk ikut bersamanya ke kamar. Perihal undangan itu, aku harus membujuknya seharian agar dia bersedia menghadiri resepsi pernikahan Kak Farel. Aku juga berusaha keras meyakinkan Yudha bahwa aku tak apa jika bertemu mereka.
Aku sudah memaafkan pelakunya jauh sebelum kedatangan Farel bersama Dimas hari itu. Karena aku hanya ingin berdamai dengan kejadian pahit dulu. Toh, lagi pula traumaku sudah lama pergi. Aku merasa kami berdua perlu datang. Bagaimanapun pria itu sudah bersedia hadir di acara pernikahanku. Jadi tidak enak kalau saat pernikahannya aku dan Yudha tidak datang.
Untuk acara Kak Farel kali ini, Yudha pasti akan datang tanpa perlu membujuknya. Aku menghembuskan napas panjang. Meraih undangan biru muda di pangkuanku, beranjak dari ruang tamu untuk melaksanakan sholat ashar. Lalu memasak untuk makan malam.
Pukul 20.15 WIB
Aku mengelus rambut hitam suamiku yang sedang berbaring di sofa terfokus pada tv. Kepalanya yang kupangku, membuat wajah dengan garis tegas ini terlihat begitu jelas.
Yudha Hilmy Prayata, dia sosok pria yang sempurna menurut banyak wanita di luar sana. Kini dia bukan hanya seorang lelaki yang tampan dan mapan. Bagiku dia sempurna, karena usahanya memperbaiki diri telah terlaksana.
Selama tinggal bersamanya, satu kali pun ia tak pernah absen sholat malam dan dhuha sebelum dia berangkat kerja. Aku selalu jadi makmumnya saat sholat lima waktu. Suamiku bukanlah sosok pecandu minuman lagi. Dia juga sudah tahu bagaimana cara memeperlakukan orang lain dengan baik dan bagaimana cara meredam amarahnya.
Sempurna bukan?
Tampan, kaya, taat agama, dan tau bagaimana menghormati juga memperlakukan seorang wanita. Dia sudah sangat siap untuk menjadi seorang ayah. Tapi, aku tak bisa mewujudkannya. Aku, merasa semakin tak pantas untuk Yudha. Dia berhak mendapat wanita lain yang bisa memberinya seorang anak.
"Aku tahu wajahku ini tampan. Tapi, tolong jangan menatapku terus. Aku jadi gak konsen nonton tv. Hentikan itu atau... aku cium, nih."
Aku memalingkan wajah ke samping, sekilas kulihat bibirnya menyeringai tipis. Ah, malu rasanya kepergok seperti ini. Dia berulang kali menoel daguku dan menggunakan sebelah tangannya agar aku kembali menatap ke arahnya. Sedikit pun, aku tak bisa menahan senyuman di bibir.
"Hentikan, Mas." Aku menghempaskan tangannya. Dia masih senyum-senyum tak jelas. Ah... aku malu. Aku malu saat ini.
"Ah iya, aku lupa memberi tahumu. Kak Farel tadi sore ke sini, memberikan undangan untuk merayakan kelahiran anak kembarnya. Acaranya besok malam, loh."
Dia bergumam dan entah sejak kapan tangannya memainkan ujung kerudung yang kugunakan. "Ya, kita datang lah."
"Mas, apa gak sebaiknya kamu nikah lagi seperti yang ibu bilang."
Dia melempar tatapan heran, kening berkerut dan wajah yang seketika berubah. Yudha marah. Tapi pembicaraan ini tak bisa lagi ditunda.
Wajah Yudha kembali menghadap ke arah tv, kedua tangannya kini terlipat. Aku tau suamiku itu enggan membicarakan hal ini.
"Aku beneran ga papa, kok. Aku pengen kamu cepet jadi ayah. Gak usah ngabisin waktu nunggu aku yang gak pasti."
Sungguh, aku tak menyangka kalimat yang ku ucapkan berarti banyak bagi Yudha. Dia langsung mematikan televisi dan mengambil posisi duduk bersila di atas sofa tepat di sampingku. Helaan napasnya begitu panjang. Dua detik selanjutnya, ia meraih kedua bahuku agar kami saling berhadapan.
"Dengar Ivy, hari itu kita sudah bahas ini. Tapi, oke ini yang terakhir. Kita berdua akan berusaha. Program hamil, bahkan belum kita lakukan. Tapi, kamu sudah putus asa. Inget ya, menikah lagi adalah hal pertama yang tak ingin ku wujudkan. Aku mencintaimu. Percaya padaku, aku tak akan pernah menyesal menunggu hari bahagia itu datang. Aku akan bersabar untuk itu."
Tak ada keraguan di matanya. Suamiku benar-benar serius saat ini. Aku menurunkan pandangan, ini saatnya.
"Bagaimana kalau kita berusaha secara normal, seperti pasangan suami istri pada umumnya. Malam ini aku siap."
Dia tersentak, tangannya perlahan turun dari pundakku. Sekarang keadaan begitu hening. Sejak dua bulan setelah menikah, aku selalu siap untuk hamil. Tapi, sikapnya selama ini menimbulkan pertanyaan yang sampai kini belum ku dapatkan jawabannya.
"Kenapa Mas? Cerita ke aku, kenapa kamu gak mau melakukannya? Terkadang aku berpikir apa kamu sakit? Apa memang kamu enggan melakukannya karena cintamu cuma bohong saja. Aku lelah mas, selama dua tahun ini aku khawatir dan bingung atas pertanyaan-pertanyaan ini. Terkadang aku juga berpikir, mungkin aku tidaklah menarik di matamu."
Aku menghapus air di sudut mata. Dia tak akan melihatnya, karena sejak aku bicara dia duduk menghadap tv. Wajah suamiku menunduk, mungkin memandang kakinya yang menapak di lantai.
"Ivy, aku sangat sehat. Kamu menarik di mataku, bahkan sejak dulu. Sampai saat ini cintaku tak pernah berubah, hatiku cuma bisa menyayangimu. Bagiku, pernikahan tak harus melakukan hubungan suami istri. Selalu berada di sampingmu, bagiku sudah cukup. Aku belum siap melakukannya. Aku takut kamu membenciku. Maafkan aku belum bisa menafkahi batinmu."
Aku menangis dalam diam. Sebenarnya ada apa? Aku kira selama ini kita berdua bahagia. Tak ada kenyataan yang menyakitkan sehingga suamiku harus menyimpannya sendiri.
Dia berdiri, lalu berjongkok di hadapanku. Kedua ibu jarinya menghapus air yang mengalir deras di pipiku. "Tidurlah, Ivy. Nanti aku menyusul, ada beberapa pekerjaan yang belum ku selesaikan."
Yudha beranjak dariku, melangkah menapaki anak tangga dan masuk ke ruangan yang berada di samping kamar tidur kami. Dia selalu melakukan ini, jika dia sedang kecewa ataupun marah padaku. Suamiku itu akan tidur di kamar setelah aku terlelap lebih dulu. Aku tak tau apakah dia marah atau kecewa. Yang aku tau hanya dada ini begitu sesak.
Bersambung...
a/n:
Jangan timpuk author karena pada kenyataannya Yudha-Ivy emang belum pernah bersentuhan.
Hehe, jelas lah ya kenapa Ivy belum punya anak setelah dua tahun menikah.
Okeeh jangan hujat (Jujur aku sendiri malu)
Aku tau terdengar mustahil orang yang udah nikah dan saling mencintai tapi gak melakukan yang semestinya dilakukan pengantin baru. Tapiii.... Ada maksudnya loh.
Semua terjadi karena. Ada rasa yang lebih besar yang Yudha rasain selain kebutuhan biologisnya. Hayooo apa?
Kalo menurut aku di sini ya, Yudha tuh bener-bener udah jadi suami idaman kan yah. Tulus tuh dia cinta sama Ivy.
Hehe okeeeh sekian
Pencet bintang ya, kalau kamu suka ceritanya ≧ω≦
Direvisi pada 5 April 2020
11.55 WIB
Kota Santri
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro