Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BB - 16. Pria Asing

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Ifa duduk di meja kantin karyawan. Dia sedang tidak makan ataupun minum. Gadis yang masih lengkap dengan snellinya itu sibuk membaca buku.

Saat lagi asik-asiknya menyelam dalam kata. Dari belakang, seseorang dengan sengaja menarik rambut kuncir kudanya. Ifa jelas langsung menoleh, mencari si empunya tangan jahil tersebut. Ternyata Romy, dia menyengir lebar sambil duduk tepat di hadapan Ifa.

Romy menelusuri meja, hanya ada dua kulit pisang dan sebotol air mineral. Aneh sekali, tidak biasanya begini. Dan lagi, alis tebal Romy semakin menyatu saat melihat sebuah novel di tangan Ifa. Ada apa dengan sahabat satu-satunya ini.

"Lo diet, Fa?" Yang ditanya menggeleng dengan mata yang setia menelusuri lembar demi lembar kertas berjilid itu.

"Mau gue traktir makan gak?"

Ifa menggeleng lagi. "Makasih, Rom."

"Lo kenapa baca novel?"

"Pengen aja."

"Masa, sih? Aneh lo, Fa."

Ifa menutup buku, menjadikan telapak kanannya sebagai pembatas sementara. Semua perhatian ia pusatkan pada Romy. "Bawel banget si jomlo."

"Heh, lo juga jomlo, ya," sahut Romy tak terima.

"Tapi gue kan gak ditolak siapa-siapa."

"Anjir ...."

Ifa tertawa puas. Meledek Romy bisa semenyenangkan ini. Iya, Romy mendapat penolakan hari itu. Malang sekali sahabatnya. Entah apa yang kurang. Cakep iya, mapan sejak bayi, calon dokter lagi. Ternyata cowo yang modelan begitu juga dapat penolakan dari perempuan.

"Udah ketawanya? Udah kenyang?"

Kalimat sarkatis Romy kali ini membuat Ifa terkikik kecil. "Gue lagi kesel ya, gara-gara nyariin lo muter-muter kagak nemu. Makin kesel saat gue tau, ternyata lo udah ngerem di sini. Lagian lo main ninggalain gue aja, biasanya juga bareng kalo ngantin."

Ifa menggaruk leher belakangnya, berulang kali mengucap maaf. Hari ini Ifa mendadak ingin sendiri saja, bersama novel milik Ulfa. Romy juga aneh, biasanya pria itu tak pernah mencari Ifa sampai segitunya.

"Sebenerya gue mau tanya nih ke lo. Lo udah punya gebetan, ya?"

Dahi Ifa berkerut. Kenapa Romy tiba-tiba bertanya begitu. "Apa maksudnya nanya gitu?"

Romy hanya membalas tatapan Ifa. Tanpa permisi, dia malah meneguk air mineral milik Ifa hingga tersisa 1/4 botol saja. "Ada cowo ganteng ples dewasa nyariin lo."

"Ha, siapa?"

Selama ini, tak satu pun pria sedang Ifa dekati. Dan lagi, Ifa merasa tidak ada yang mendekatinya untuk saat ini. Jadi, apakah Ifa ternyata punya seorang penggemar. Batinnya tertawa kencang.

"Gue nggak tau namanya, tapi dia itu kakaknya Kina."

Ah, jadi pria yang kemarin bersama Kina? batin Ifa.

"Tapi gue akuin dia cukup ganteng." Ifa kembali melihat ke arah Romy. "Gue merasa terasaingi dan gue yakin, lo pasti berpaling dari gue terus naksir dia."

"Lo mabok, Rom? Ngaco semua omongan lo!"

Jantung Ifa berdegup terlalu kencang saat ini. Jangan sampai Romy mengatakan hal-hal yang bisa membuat Ifa malu. Iya, malu pada Romy tentunya.

"Gue cowo. Gue tau ya, kalo ada cewe yang naksir gue." Ifa ternganga mendengar pengkuan dari Romy.

"Tapi ya, gue diem aja. Karena lo tau, gue sayang ke lo itu sayang persahabatan. Gak bisa lebih. Dan gue rasa kita emang cocoknya jadi sahabat aja."

Susah-susah Ifa menyembunyikan segalanya. Namun apa katanya tadi? Romy tau semuanya. Ya Tuhaaan.

"Jangan dipikirin, elah. Dah ya Fa, gue mau makan mie ayam depan RS." Pria berkemeja biru itu menepuk bahunya. "Gue cabut dulu, jangan ngelamun."

Ini sih, namanya sudah terlanjur malu. Mau mengelakpun terlambat. Sejak tadi Ifa hanya membisu, seolah membenarkan semuanya. Lupakan tentang Romy.

Jikalau orang asing itu memang ada kepentingan. Kenapa tidak mengatakannya ketika bertemu di parkiran. Kira-kira ada perlu apa pria asing itu. Perempuan dengan segala rasa penasaran dan ekspektasinya memang tidak pernah masuk akal. Ifa putuskan untuk kembali membaca novel bersampul hitam yang tergeletak di atas meja.

•<>•<>•<>•

Bab 17. Manis yang Terakhir

"Tuhan terlalu baik karena telah menjadikanku terlihat sempurna di mata manusia lainnya."

०•०

Tanganku berpegangan pada meja makan, lalu menarik kursi dan duduk di sana. Tiba-tiba saja kepala ini terasa sangat berat. Beruntung semua pekerjaan rumah sudah selesai. Aku jadi teringat akan satu hal. Sudah tiga jam sejak Yudha pergi jogging jam 6 pagi tadi, suamiku belum juga pulang.

Me
Mas, kenapa belum pulang?
09.08

Pesan langsung centang dua abu-abu. Terakhir dilihat pukul delapan pagi. Semua makanan yang aku siapkan, jelas sudah mendingin.

Prasangkaku berlarian kemana-mana. Apakah saat ini Yudha sedang bersama Ila seperti yang sebelum-sebelumnya. Kalaupun memang benar, seharusnya aku tak boleh merasa tidak suka seperti ini. Harusnya aku sudah bisa terbiasa berbagi waktu yang Yudha punya dengan wanita lain.

Ponselku bergetar, kuharap satu notifikasi itu bisa menjawab semua pertanyaan saat ini. Aku membuka aplikasi chatting ber-icon gagang telepon. Ternyata bukan pesan dari Yudha.

Fandi
Kamu gak pengen main ke panti, Vy?
09.19

Me
Aku lagi gak bisa keluar, Fan. Lagi agak sibuk di rumah.
09.20

Kuletakkan ponsel di meja. Menghiraukan pesan masuk dari Fandi. Saat ini, aku hanya ingin membaca pesan dari Yudha. Dan sedang malas membahas hal-hal lain dengan Fandi. Tak berselang lama, ponsel bergetar lagi. Pop-up di layar menunjukkan ada dua pesan dari Yudha.

Mas Yud
Aku lgi di rumah mama. Maaf, aku lupa gak kabarin kamu.
09.25

Mas Yud
Aku pulang sorean. Banyak yang harus diurus.
09.25

Tanpa membalas pesan dari Yudha, kuputuskan untuk pergi ke kamar dan mengistirahatkan diri. Berharap rasa sakitnya bisa segera hilang saat membuka mata siang nanti. Aku tak ingin sakit ini membuat Yudha khawatir.

‍‍‍‍‍❊❊❊

"Kamu butuh tambah dosis, Vy. Nyeri itu pertanda, kalau dosis obatnya udah gak berpengaruh lagi."

Menadang kosong kakiku yang tertutup selimut. Tepat setelah dzuhur, aku terbangun karena rasa sakit yang teramat sangat di perut. Sangat menyakitkan, sampai-sampai aku tidak kuat untuk bangkit dari pembaringan.

"Aku akan tambah dosisnya dan kemungkinan efek danazolnya akan sangat terlihat kontras di minggu-minggu pertama."

Manikku tertuju pada Banyu sepenuhnya. "Apa efeknya bakalan bertambah parah?"

Banyu mengangguk, "Akan timbul efek lain yang gak pernah kamu rasain sebelumnya. Aku gak bisa mastiin efek seperti apa, karena setiap pasien selalu mengalami efek berbeda-beda."

Seakan hendak menjawab semua kecemasan di raut wajahku, Banyu kembali berujar, "Istirahat yang cukup, makan makanan bergizi, dan jangan banyak pikiran. Itu aja udah bisa meringankan efek danazolnya."

Kelopak mataku memejam sekilas, lalu kembali pada pria berkacamata yang berdiri di samping kiriku. "Kalau sekarang jangan tambah dosis dulu .... Gapapa kan?"

"Enggak bisa," jawab Banyu lalu menggeleng. "Udah waktunya kamu tambah dosis."

Tepat setelah ucapan Banyu berakhir. Fandi masuk ke kamarku bersama nampan yang lengkap dengan satu mangkuk dan segelas air. "Aku gak tau kamu suka makanan yang mana, Vy. Tapi, cuma ada ini di meja makan."

Dia meletakan bawaan di nakas. Duduk pada pinggiran ranjang, lalu membawa wadah tersebut mendekat padaku. Mangkuk itu berisi sup tomat yang aku buatkan untuk Yudha pagi tadi.

"Ayo, mangap dulu, dong."

Tersenyum kecil, aku Menyambut suapan dari Fandi sambil membenarkan posisi bantal yang kugunakan untuk bersender di kepala ranjang. Fandi masih sama seperti dulu. Selalu tahu cara menghibur orang.

"Tadi udah aku angetin supnya di microwave, gak kepanasan kan?" Aku lagi-lagi hanya menggeleng sambil menerima suapannya.

"Resep obat yang baru udah aku taruh di atas situ." Banyu menunjuk meja rias, lalu pamit lebih dulu.

"Mau aku beliin obatnya?" tawar Fandi sepeninggalnya Banyu dari kamarku.

Aku menggeleng, "Enggak usah, aku minum obat yang di laci aja. Nanti aku tebus sendiri."

"Yudha kemana? Harusnya hari minggu dia di rumah kan?" Fandi menatapku dengan wajah menyelidik.

Aku diam, lebih memilih membuka laci nakas. Aku rasa tak perlu menjawab pertanyaannya. Dia yang melihatku, lantas ikut membantuku mencari obat itu. Selesai meminum obat, Fandi kembali mencecar dengan pertanyaan serupa.

Sedikit menghela napas, aku lantas menjawab, "Yudha lagi ke rumah ibu sama ayah, ada urusan penting."

Mata kelabunya terus memandangiku dalam diam. Berpaling ke arah lain, tanpa sengaja manikku melihat jam dinding. Ternyata sudah pukul setengah satu lebih lima menit.

Aku jadi teringat satu hal yang menganjal perasaanku. "Kenapa kamu bisa dateng barengan sama Banyu?"

"Ah, itu aku ...." Aliku tertekuk l sebelah melihat tingkah Fandi.

"Kebetulan, aku bersama dia tadi pas kamu menelpon."

Ekspresiku beruba disaat dia tiba-tiba berdiri untuk pamit pulang. "Jaga diri baik-baik dan istirahat yang cukup. Cepet pulih, ya."

Aku hanya mengedipkan mata yang mulai terasa berat sebagai reapon atas ucapan Fandi. Pungung lebar berkemeja kotak-kotak itu hilang di balik pintu. Semoga penyakitku tak menghambat persiapan apa pun. Semoga saja.

Entah sudah berapa lama aku tertidur. Namun rasanya seperti terbangun dari tidur yang lama juga begitu nyenyak. Bulu mataku perlahan membuka saat telapak seseorang membelai sekilas pipi lalu beralih mengelus kepalaku.

"Sayang ... bangun, yuk. Sayang ...."

Aku menoleh ke kanan. Tersenyum mendapati Yudha sudah merebahkan diri di sampingku lengkap dengan setelan joggingnya tadi pagi. Dalam hati berulang kali berucap syukur karena Allah telah mengangkat rasa sakit itu ketika aku terbangun.

"Kamu nyenyak banget tadi tidurnya dan sebenernya aku gak tega buat bangunin kamu."

Aku memiringkan badan, menghadapkan tubuh berbalut selimut ke arah Yudha sepenuhnya. "Gapapa, Mas."

"Kamu udah makan siang?" Aku bertanya seraya mengistirahatkan telapak kiriku di rahangnya.

Dia mengangguk, tangannya meraih bahuku. Begitu juga wajah dan tubuhnya merapat padaku. Sebuah ciuman mendarat, lumatan-lumatan kecil yang ia ciptakan membuat aku lemas. Dadaku berdegup kencang. Sudah sangat lama aku tidak merasakan keintiman ini. Tangannya juga mulai menjalar di sepanjang tenguk dan punggungku.

Tiba-tiba saja dia menyudahi ciuman kami, lalu beralih mengecup dahiku. "Aku mencintaimu, Ivy. Sangat cinta."

Aku tak menjawab, hanya mengeratkan pelukan. Berulang kali dalam hati aku berkata, bahwa aku juga sangat mencintai dia. Hanya sampai di hati, tak sanggup bibirku untuk mengatakan pada dia. Dan kurasa memang akan lebih baik jika aku menyimpannya sendiri saja.

"Sayang, kamu capek gak?" Aku menggeleng kecil.

Dia melepas pelukan, menjauh sedikit untuk bisa menatap mataku. "Malam ini, atas keinginannya Mama, aku akan foto prewedding. Sebenernya, dari hari selasa aku udah ngerencanain semuanya."

"Bukan maksud aku mau nyembunyiin ini dari kamu, cuma mau ngasih informasi pasti aja. Aku gak mau kamu sedih karena berlarut-larut memikirkannya."

Kami saling bungkam untuk beberapa saat. Jujur saja aku kaget mendengar hal ini. "Ya gapapa, Mas. Jam berapa kamu sama Ila mau ke studio foto?"

"Fotonya gak di studio dan kamu harus ikut aku malam ini."

Aku mengerutkan dahi, "Terus di mana? Cafe? Hotel?"

Yudha tersenyum sangat tulus. Seolah-olah moment malam ini akan sangat bahagia untuk kami. Entah apa yang sedang dia rencanakan.

"Nanti kamu juga tahu." Dia mengubah posisi menjadi duduk. "Di bawah, ada Ila lagi nunggu kita. Mending kamu mandi sekarang, ya. Aku mandi di kamar sebelah."

Aku langsung bangkit dari pembaringan. "Loh, Mas! Kok kamu gak bilang ke aku dari tadi, sih."

Bukannya menjawab pertanyaanku. Dia malah berjalan memutari ranjang, senyumnya tak sedikit pun memudar. "Coba nengok ke kiri."

Aku melakukan apa yang ia instruksikan. Manikku tak mendapati apa pun. "Apa?"

"Yang di atas meja nakas. Kamu pake, ya. Udah di-laundry."

Aku meraih paper bag hitam. Ternyata isinya setelan blus dan celana putih. Akan sespesial apa malam ini, sampai-sampai Yudha mengatur pakaian yang harus kukenakan.

Berdiri di depan meja rias sambil mengulum bibir sekali. Setelan putih yang kukenakan melekat sempurna. Cantik. Aku sangat suka.

Yudha pintar juga memilihkan pakaiannya. Menundukkan kepala, aku meraih tas tangan bewarna cappucino dari meja lalu menyimpan lip balm di sana.

"Kamu cantik, sayang."

Kontan saja aku mendongak ketika lengan Yudha melingkari perut dengan erat. Dagunya mendarat manja di pundak kiriku. Dia dengan kemeja hitam pendek dan celana coklat membuatnya terlihat lima tahun lebih muda. Tampan.

"Maaf, Vy. Seharusnya, kemarin-kemarin aku lebih berusaha keras menolak permintaan mama ini."

Menggeleng kecil, aku bersuara. "Udah jadi kewajiban seorang anak melakukan keinginan ibunya. Lagi pula gak ada yang salah dari permintaan Mama."

Tak ada hal lain yang bisa kuucapkan selain membenarkan semua yang Yudha lakukan. Hanya perlu memupuk keyakinan Yudha atas kepitisannya sampai hari akad nikah terlaksana. Dengan begitu keinginanku lepas dari masalah akan segera tercapai.

"Kamu gak sholat ashar dulu?" tanya dia seraya melerai pelukan.

Menggeleng kecil, aku berbalik badan setelah satu tanganku meraih tas tangan tadi. "Aku halangan, Mas. Yaudah yuk cepetan, keburu malem."

.

Nyala mesin mobil berhenti. Di sampingku Yudha sudah membuka seatbelt-nya. Lelaki itu menengok.

"Aku sholat maghrib di masjid dulu. Kamu langsung masuk terus pesen makanan, aku samain aja kaya kamu."

Tangannya membuka pintu dan bersiap keluar dari mobil. Begitu pun aku dan Ila menyusul keluar. Kami berdua langsung saja masuk ke restoran dan memilih tampat duduk. Duduk di pojok dekat jendela, posisi meja ini bagiku sangat nyaman. Tak ada orang yang berlalu lalang melewati kami. Sampai seorang pramusaji mencatat pesanan. Tak satu pun dariku atau Ila angkat bicara.

Kami terdiam. Tak tau harus membicarakan apa. Tak ada topik. Mungkinkah suasana ini terjdi karena perasaan yang sama-sama sedang tidak baik-baik saja.

Lelah. Perjalanan ke Bekasi sangat macet, hampir tiga jam aku duduk diam di mobil dengan perasaan cemas. Khawatir kalau tiba-tiba saja rasa sakitnya kambuh. Astagfirullah tidak! Semoga tak terjadi apa-apa. Acara malam ini tidak boleh batal hanya karena penyakitku.

"Mbak Ivy, aku minta maaf."

Tanpa ada kalimat pembuka, Ila berceletuk begitu saja. Maaf untuk apa, aku tak mengerti. Apa dia merasa tak enak dengan maalm ini.

"Gak perlu minta maaf, Ila."

Mengulas senyum kecil, aku lantas berujar, "Keputusan ini keputusan bersama. Bukan cuma kamu yang menginginkan pernikahan ini. Kita semua menginginkannya. Aku, mama, papa, dan yudha akan bisa menerimanya."

Sejak awal, pernikahan ini memang atas dasar simbiosis mutualisme. Ila mendapatkan Mas Yudha. Sedangkan kami berempat akan mendapatkan seorang bayi darinya. Impas bukan. Dan aku, akan segera lepas dari tekanan ibu mertua. Terdengar egois, ya. Namun, cuma ini cara tercepat agar aku bisa segera keluar dari masalahku.

"Vy."

Sebuah sentuhan di punggung tangan, menyadarkanku dari lamunan. Rupanya Yudha. Dia sudah duduk di sisi kiriku. Menundukkan pandangan, ternyata semua pesanan juga telah tersaji. Seberapa lama aku melamun tadi.

"Kenapa? Ada yang sakit?" Menoleh tajam, aku menggeleng kuat padanya.

"Terus kenapa?"

"Gapapa Mas, tadi cuma kepikiran pintu rumah udah aku kunci apa belum."

"Udah, Vy."

Aku tersenyum, lalu mengangkat sendok. Kemudian mulai mengunyah pelan hidangan makan malamku. Sebisa mungkin memasang raut wajah biasa.

Suami yang aku cinta, akan berfoto mesra dengan wanita lain malam ini. Sejak tadi, yang aku pikirkan adalah mencari alasan yang tepat agar aku bisa menunggu di ruangan lain saja ketika mereka mengambil sesi foto prewedding. Aku belum siap, rencana yang Yudha buat hari ini begitu mendadak. Aku takut ketahuan menangis di depan mereka.

"Sayang."

Aku membelalakkan mata. Baru saja Yudha memanggilku sayang di depan Ila. Melirik ke sebrang sana, gadis itu menunduk dengan raut lesu. Dia pasti merasa sesak saat ini.

"Mas."

Aku menggeleng kecil, melirik ke arah Ila sekilas. Memberi kode untuk menghentikan tingkahnya dan segera menurunkan sendok itu dari hadapanku. Ya, Yudha mencoba menyuapi aku.

"Ayo, ini coba dulu. Kamu diem aja sih, gak enak, ya?"

Yudha tetaplah Yudha yang keras kepala. Keliatannya, tak ada niatan sedikit pun dari Yudha untuk menurunkan sendok itu. Aku tersenyum kecil, membuka mulut menyambut suapan darinya.

"Gimana? Enakan punyaku? Mau tukeran piring?"

Tersenyum kecil di sela-sela kunyahan. Aku menggeleng samar. "Sama aja."

"Yaudah, lanjut makannya."

Yudha menyuapkan sendok ke mulutnya lagi, manik coklat itu tak sedikitpun terlepas dariku. Tak berubah, aku masih selalu suka sikap manisnya. Tapi tidak di saat ada Ila seperti ini.

Mungkin saja, saat di mobil tadi juga jadi waktu yang menyesakkan untuk dia. Sepanjang jalan, Yudha selalu mengobrol tanpa mengajak Ila yang duduk di belakang. Aku pun tak kuasa menarik gadis itu ke dalam percakapan. Yudha mengambil topik seputar rumah yang hanya bisa dimengerti oleh aku dan suamiku.

"Makan yang banyak, Vy. Nanti kita kayanya bakal pulang agak malem."

Mengangguk seraya tersenyum. Hanya itu yang bisa kulakukan. Lihatkan, lagi-lagi dia bertingkah begitu di depan Ila.

Sebenernya kamu kenapa mas.

‍‍‍‍‍❊❊❊

Bukan ke sebuah padang rumput, tempat prewedding yang dia bicarakan tadi. Sekarang ini, Yudha malah memberhentikan mobil di depan rumah berpagar tinggi. Meski sudah mendesaknya sejak memasuki area perumahan, pria itu tetap tak kunjung membuka mulut. Sebagai respon, kedua sudut bibirnya berulang kali terangkat membentuk senyum.

"Turun di sini. Bentar doang, kok. Cuma ganti baju aja. Yuk."

Sesuai dentan ucaannya. Kami bertiga melangkah mendekati pagar tinggi. Perlahan gerbang terbuka, seorang pria dengan hoodie putih menyambut kami.

"Woaah, Bro!"

Dia memeluk sekilas sambil menepuk punggung suamiku. Keduanya sangat akrab. Apa dia ini teman kuliah Yudha dulu. Entahlah, aku tak tahu siapa saja temannya semasa mengejar gelar S1 dulu.

"Astaga! Makin cantik aja istri lo, Yud. Terakhir kali gue liat dia dulu. Dari jauh sih, pas di pelaminan ama lo."

Aku membalas tersenyum pada lelaki itu. Kendati demikian, perasaan bersalah pada suamiku tiba-tiba saja melintas. Pria ini, salah satu saksi pernikahanku dengan Yudha. Dan kali ini, di depan temannya sendiri. Yudha membawa calon istri keduanya.

Tangan kiriku meremas kuat tali tas. Pasti berat bagi Yudha melakukan ini. Malu, sepertinya dia merasakan hal itu. Beristri dua memang bukan hal buruk, tetapi bukan juga hal yang patut dibanggakan. Begitu katanya kemarin.

"Kesetiaan cintaku dipertanyakan, Vy."

Sementara melangkah memasuki rumah. Di belakang Yudha, aku terus berusaha mengapus jejak air mata di sepanjang pipi. Rasanya memang perih, tapi aku harus terlihat bahagia. Kesedihanku bisa saja mengundang prasangka negatif orang terhadap Yudha.

Suara gemeriah sapaan menyambut sesaat setelah aku memijakkan kaki di ruang tamu rumah megah ini. Ada empat orang lain di sini. Ternyata ramai, tak seperti dugaanku.

"Yok duduk dulu tunggu istri gue bentar, ya. Lagi buatin minum." Seorang pria dengan bayi di gendongannya bersuara. Sepertinya dia tuan rumah ini.

"Gak usah kali, Lang. ngerepotin lo aja. Tadi baru selesai makan."

Masih sibuk mengayunkan badannya, dia lantas berkata, "Kagak. Malah gue yang mau minta maaf nih, ama lo."

Kalimatnya terjeda sejenak, dia sibuk membenarkan gendongan. Aku tak kuasa menahan senyum, membayangkan Yudha yang berada di posisi itu. Lagi-lagi, hanya sebatas khayalan saja.

"Gue gak bisa jadi fotografer lo malem ini. Baby Dira lagi gak enak badan, gak tega gue kalo Luna harus ke RS sendiri."

Yudha mengangguk, "Gak masalah, harusnya tadi gue langsung ke tempatnya aja. Jadi gak ngerepotin lo gini."

Heum, ya, ucapan Yudha benar.

Pria tersebut menggeleng. "Brian yang bakal bemenin lo nanti. Gue juga bawain lo fotografer terbaik gue. Irvan."

Seorang wanita berhijab dengan gamis kuning mendekat membawa nampan berisi cangkir dan setoples makanan ringan. Di saat yang bersamaan pria ber-hoodie putih datang berceletuk.

"Yud, lo gak mau ganti. Astri juga udah nunggu orang yang mau dia make up-in."

Sudah waktunya untuk Yudha dan Ila berganti pakaian. Prewedding. Baru itu saja, rasanya sudah begitu sesak.

"Yudha cowo setia."

Menggerakkan kepala mengikuti sumber suara, aku mendongak. Pria tadi sudah duduk di sofa tanpa bayi di gendongannya. Hanya tersisa aku, Galang, dan nyonya Galang. Ada maksud apa dia mengatakan itu tiba-tiba.

"Meski gue kenal Yudha gak selama lo kenal dia, tapi gue ada di masa di mana lo gak hadir di hidupnya. Dia bilang, dia lagi nunggu seseorang yang dia cinta."

Lelaki di hadapanku tergelak. "Dulu gue sempet berpikir Yudha tuh bucin banget. Udah ditinggalin, masih aja ditungguin."

Galang benar. Yudha melakukan banyak hal demi pernikahan kami. Dia bahkan rela bolak-balik Jakarta-Cambridge hanya demi bisa menemuiku. Dan pada akhirnya, kami malah dipertemukan di rumah sakit Jakarta.

"Yudha gak salah udah ngabisin hampir sepertiga hidupnya buat nunggu cewe sesempurna ini. Lo luar biasa, Vy."

Aku menunduk, tersenyum getir. Butuh kedekatan untuk bisa melihat semua kecacatan yang ada. Tuhan terlalu baik karena telah menjadikanku terlihat sempurna di mata manusia lainnya.

"Lo masih muda dan Yudha punya duit banyak untuk mengabulkan semua keinginan lo, sekalipun itu seorang anak." Galang menatapku lurus, bibirnya kembali terbuka.

"Kenapa lo gak coba metode surrogate mother?"

Aku tahu, Bita juga menyarankan padaku sewaktu dia mendengar kabar Yudha akan menikah lagi. Awalnya aku sangat tertarik. Namun, siapa yang mau meminjamkan rahimnya. Mencari wanita untuk mau melakukan itu pasti sangat sulit. Belum lagi Yudha, aku harus membicarakan padanya juga, kan.

Kupikir, metode itu terlalu ribet dan menghabiskan waktu yang lama. Membicarakan perjanjian, pernikahan, program bayi tabung, kehamilan, baru prsalinan. Pasti menghabiskan banyak biaya untuk itu. Pernikahan dengan Ila akan lebih cepat. Dibanding dengan surrogate mother.

"Gue kenal orang itu, tapi Yudha tetep harus nikahin cewenya. Tenang aja, mereka profesional. Yudha langsung bisa cerai setelah anaknya lahir."

Galang terdiam sejenak, menoleh pada istrinya lalu kembali menatapku. "Gue sama Luna juga pake metode itu buat dapetin Dira."

Benarkah itu.

Jalan Ganesha Boulevard di Deltamas tidak hanya senjanya saja yang indah. Suasana malam hari di sini malah jauh lebih indah. Lokasinya terbuka, gemeriah suara kendaraan bermacam jumlah roda berlalu lalang. Rerumputan lapang dengan jejeran pohon cemara di pinggirnya, menambah kesan alami tersendiri.

Tangan yang semula terlipat di dada kuangkat utnuk mengusap pipi yang tiba-tiba basah. Di bawah flower gate berhias lampu itu. Yudha berfoto di sana, merapatkan tubuh pada Ila. Mereka serasi. Nampak seperti dua manusia yang saling mencintai.

"Vy, posisi kamu bisa digantikan, kalau Yudha sampai menikah lagi."

Kelihatannya, hari ini jadi awal dari semua yang Bita katakan. Tampatku perlahan akan tergantikan oleh Ila. Mungkin begitu, karena bagaimanapun hanya Ila yang bisa memberikan keluarga Prayata seorang anak.

"Ivy!"

Yudha memanggil dengan agak teriak, berusaha menyaingi suara kendaraan yang dibawa angin. Tepat di hadapan, dia tersenyum kemudian menarikku untuk mengikuti langkahnya.

"Yan, bawain tas Ivy bentar, ya!"

Masih dengan melangkah, aku mengok pada Brian yang baru saja kami kewati. Ternyata, sejak tadi jemariku sudah tak menggenggam apa pun. Ah sudahlah itu tak penting.

Yang jadi pertanyaan, kenapa Yudha menggiringku mendekat pada flower gate tempatnya berfoto tadi.

"Ngapain ke sini?"

Lagi-lagi dia tersenyum seraya mengelus tangan kiriku yang masih berada digenggaman. "Kamu suka tempat ini gak?"

Aku nyaris saja menangis. Mengerti, sangat mengerti maksud Yudha. Hamparan bintang dan rumput yang luas pernah jadi satu dari sekian mimpiku untuk bisa mengabadikan foto bersamanya.

"Harusnya kepuncak ya, tapi jauh banget, sih. Bisanya cuma bawa ke sini."

Seulas senyum membingkai di wajahku. "Ini udah lebih dari cukup, Mas. Terima kasih."

"Yaudah kalo gitu foto dulu."

Dia menuntunku menuju ke tengah gapura berhias bunga dan lampu tersebut. Kedua tangan Yudha menggeser bahuku supaya menghadap penuh ke arahnya. Tiba-tiba saja, telapaknya mengangkup pipi lalu mencium bibirku tanpa aba-aba.

Astaga, di sini banyak orang. Yudha, sempat-sempatnya dia mengambil ciuman itu. Aku kontan menyingkirkan tangan tersebut dari wajahku lalu mundur menjauh.

"Malu Mas, banyak orang."

Kepalaku menengok sekitar. Hamdan, fotografer itu menurunkan kameranya. Brian dan yang lain, entahlah aku tak bisa memastika raut wajahnya. Hanya saja mereka ikut memantung sekarang.

"Aku mau foto sama kamu pake pose itu. Liat, tadi Hamdan udah siap buat jepret tuh."

Ah, ternyata.

"Sini." Agak malu-malu, aku mendekat saat dia menarik tanganku. Berdebar. Entah kenapa sensasinya masih begitu hebat bagi jantung ini.

"Tangan kiri meluk leher aku, tangan kanan kamu megang pundak aku, tapi agak ditekuk dikit sikutnya."

Melakukan semua yang diintruksikan. Aku mendongak, menatap dalam maniknya. Perlahan wajah Yudha mulai mendekat begitu juga telapaknya sudah melekat di rahangku.

Aroma mint milik Yudha menyapa lembut rongga hidung, detik itu juga bibir kami bertemu. Perlahan kelopak ini terpejam, meski tak ada lumatan. Aku ... aku sudah cukup menikmati moment intim ini.

"Satu. Dua. Tiga ...."

Di detik terakhir, ia menyecap lembut bibir bawahku. Ingin sekali aku membalasnya, tapi sayang, ciuman kami harus berakhir. Yudha memutus kontaknya lebih dulu. Bersamaan dengan itu, Brian membawa satu kursi.

"Yud, lo duduk di sini. Nanti Ivy meluk leher lo terus satu tangan lo melingkar di pinggangnya Ivy."

Aku mengangguk, mengiyakan ucapan Brian. Foto malam ini, aku anggap sebagai foto preweddingku dengan Yudha yang belum sempat terlaksana. Persis seperti suasana prewedding yang pernah aku idamkan dulu. Yudha sudah menepati satu janjinya.

-Pukul 23.38 WIB-

Merebahkan diri di atas tempat tidur, tanganku menarik selimut sampai ke leher. Lelah sekali rasanya. Pintu kamar terbuka, aku menghiraukan kedatangan Yudha. Memilih tetap memejamkan mata.

Derap lanhkah kian semakin jelas. Kasur bergerak kecil, sebuah tepukan mendarat di pipiku. "Vy, melek bentar aja. Aku mau kasih liat kamu sesuatu."

Aku bergumam malas, memiringkan badan memunggunginya. Kelopakku sudah sangat berat sekarang. Diajak berbincang pun tak akan nyambung, seluruh tubuhku meronta minta segera diistirahatkan.

"Sayang ayo, dong."

Aku berdecak, tapi tetap pada posisi berbaring memunggunginya. Sepenting apa sih, sesuatu itu. "Besok aja, Mas. Aku udah ngantuk banget."

"Bentar aja, kalo besok aku kan harus berangkat kerja lebih pagi."

"Aku capek, ngantuk, Mas!" bentakku tak sabaran.

Helaan napas panjang Yudha mengakhiri perbincangan. Kasur bergerak kecil, disusul lampu kamar yang berganti lampu tidur. Aku sadar, aku membentaknya tadi.

Tapi sudahlah, aku tak peduli.

Bersambung ....

Next Chapter »»
"Ivy ayo bangun, cepet!"

Aku bingung mau bilang apa (•ω•)

14 November 2020
18.34 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro