Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BB - 13. Nyaris!

‍‍‍‍‍"Keegoisan pada akhirnya tidak akan menghasilkan kebaikan apa pun."
-OL-

•••

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍"Ada apaan sih, Ul?"‍ Ifa bertanya seraya membuka gerbang.

Ulfa langsung masuk begitu saja, melewati sang tuan rumah. Berjalan tergesa sampai ke depan pintu rumah. Hei, ada apa dengan Ulfa?

Dari kejauhan. Sambil berjalan Ifa berteriak, "Motornya gak dimasukin?" Sahabatnya itu hanya menggeleng.

Seaampainya di teras rumah. "Ada apa, sih?" sembur Ifa penasaran.

"Sori ya, Fa. gue main nyelonong aja. Abis panas banget." Melihat sang empunya rumah membisu, Ulfa kembali angkat bicara. "Jadi gini, laporan gue selama setengah tahun ini ilang semua."

"Loh, kok bisa?"

Ulfa diam sejenak, tangannya mengusap pipi yang tiba-tiba basah. "Laptop gue, hiks. Rusak. Dan gue gak punya salinannya di flash disk. Gue ke sini mau minta salinan laporan punya lo. Boleh kan?"

Ifa membuang napas pelan. "Iya, mana sini flash disk lo?"

Ulfa berteriak histeris. "Lo baik banget deh, Fa."

"Iya-iya. Udah ayo masuk, duduk dulu. Jangan nangis lagi." Ifa menarik tangan Ulfa masuk ke ruang tamu. Sambil tersenyum mengejek, Ifa menerima Flash disk milik Ulfa lalu bergegas melangkah menaiki anak tangga.

Sebenarnya laporan ini sangat tidak boleh dicopy, alias tak boleh sama dengan mahasiswa lainnya. Beresiko, bisa gawat kalau nanti dosennya tau. Namun di sisi lain, Ifa juga tidak tega jika tidak memberikannya pada Ulfa. Bagaimanapun Ulfa adalah sahabatnya.

Ah, sudahlah. Ifa bisa memberitahu Ulfa untuk mengganti beberapa data agar tidak sama persis. Lima menit berlalu, Ifa turun ke bawah untuk memberikan salinannya.

Ketika sampai di anak tangga terbawah, samar-samar Ifa bisa mendengar kalimat adiknya. "Novel Kak Ulfa yang sampulnya hitam. Aku lihat kemarin malem ada di kamar Kak Ifa, loh."

"Iya, pas itu emang novelnya-"

"Nih, flash disk lo!"

Sahutan nyaring Ifa membuat kedua orang di ruang tamu langsung menoleh. Menaruh benda kecil itu di meja. Ifa langsung duduk di sofa. "Udah bocil pergi sana. Jangan nguping!"

Fatir mencebik kesal, tapi tetap menyingkir dari sana. Saat sudah tak ada siapa-siapa. Ifa lantas berbisik, "Jangan kasih tau siapa-siapa kalo gue baca novel. Oke? Ini rahasia."

"Aaa ... gitu." Ulfa manggut-manggut. Sedetik kemudian, tangannya langsung menyaut benda kecil di meja dan memasukkannya ke dalam saku jaket.

"Makasih bangeeet, Fa." Dengan haru, Ulfa memeluk erat sahabatnya. "Gue gak tau lagi mesti gimana kalo gak ada lo."

"Hmm iya santai dong. Yang penting lo harus ubah tuh datanya, jangan disamain persis."

Ulfa mengiyakan. Setelah mengantongi apa yang dibutuhkan, si gadis maniak novel itu pamit pergi. Ifa menghela napas kasar. Itu tadi hampir saja ia ketahuan.

•<>•<>•<>•

Bab 14. Bukan Inginku

Aku keluar ruangan Banyu, sedikit terkejut melihat keberadaan Fandi di kursi tunggu. Mata kami sempat bertemu pandang. Hanya sebentar, karena aku memutuskan untuk bertanya padanya.

"Mau bertemu Banyu?"

Dia menggeleng. "Aku ingat kalau hari ini jadwal kamu check up." Aku diam saja, bingung mau merespon bagaimana.

Fandi bergumam lalu bertanya, "Sendiri aja, ya." Aku respon dengan anggukan kecil.

"Sebenarnya Yudha ke mana, Vy? Udah hampir dua bulan kamu berobat, tapi sekali aja aku gak pernah liat dia nganterin kamu." Aku menunduk, kembali menutup bibir rapat-rapat. Berpikir ulang jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan seperti ini.

Harus ya, Fandi muncul disaat seperti ini. Sebenarnya saat ini aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapa pun. Tak ada kemajuan apa pun dari hasil minum obatku selama ini.

Menatap tepat pada maniknya, lalu berujar, "Aku yang menolak Mas Yudha untuk mengantarku berobat. Karena suatu sebab, tapi maaf aku gak bisa cerita ke kamu."

"Ayo, aku antarkan pulang."

"Tidak perlu, Fan. Aku bisa pulang naik grab." Aku jelas menolak. Terakhir kali Yudha bertemu Fandi, semuanya hanya berujung menjadi perkelahian. Aku tak ingin Yudha salah paham jika dia tahu Fandi mengantarku pulang.

Ia menggeleng. "Sudah ayo, aku juga sekalian pulang."

"Tapi, Fan!" Aku menarik tangan kiriku dari gengamannya. "Yudha nanti mikir yang enggak-enggak. Lagian aku gak mau ada pertengkaran lain lagi antara kamu sama suami aku."

Matanya memejam, napas kasar terang-terangan Fandi embuskan. "Aku yang akan jelasin ke suami kamu."

"Enggak bisa, maaf." Aku yang berjalan cepat meninggalkan Fandi.

"Tunggu Ivy!" Aku memilih tak peduli dan terus melangkah. Detik itu juga,
Tap Tap Tap. Suara pantofel miliknya bergema. Fandi mengejarku.

"Aku akan tetap mengantar kamu." Aku bergeming.

"Ivy!" serunya lagi. Suaranya begitu nyaring menarik perhatian orang-orang yang lewat.

"Apa salahnya jika aku mengantarmu pulang?" Fandi menarik tanganku. "Kita sahabatkan?"

Suaranya itu, semua orang di sini bisa mendengar. Aku segera mengangguk, mengiyakan. Dia tak pernah sekeras kepala ini. Apa Fandi tidak malu dilihat oleh perawat atau bahkan keluarga para pasiennya yang kini berlalu-lalang.

Tak ada yang memulai pembicaraan selama di mobil. Hanya harum lavender dan instrumen piano mendominasi suasana. Kami pernah dekat, namun Fandi yang sekarang terasa asing bagiku. Dia banyak berubah.

"Terima Kasih," ucapku sesampainya di depan gerbang rumah. "Mau mampir minum teh sebentar?" Tak ada maksud lain, aku menawarinya sebagi seorang tuan rumah. Tidak lebih.

"Boleh," angguknya seraya membuka pintu mobil.

Aku berjalan lebih dulu melewati gerbang. Ada mobil sedan hitam milik ibu. Kenapa beliau tidak mengabari dulu. Aku sedikit was-was. Apa yang akan dipikirkan ibu jika bertemu Fandi di saat seperti ini.

"Assalamualaikum, Ma." Ibu mertua menengok, memasang wajah heran melihat seorang pria asing di belakangku. "Ini Fandi, Ma. Sahabat Ivy. Dia ini juga temen dari dokternya Ivy."

Fandi sedikit membungkuk, berniat menyapa. "Fandi, tante."

Ucapan Fandi hanya dibalas seulas senyum kecil oleh Anne. Beliau kembali menatap ke arahku. "Kamu lagi sakit?"

"Iya Ma. Nanti Ivy ceritain." Aku menyilahkan keduanya duduk. "Sebentar, aku buatin minum dulu."

"Lain kali aja yah, Vy. Aku harus pulang sekarang." Fandi tersenyum kecil pada Ivy, lalu mengalihkan pandangan pada Anne.
"Saya permisi Tante." Fandi berlalu dari sana setelah mengucap salam.

"Sepertinya dia pria yang baik," celetuk Ibu lalu mengulas senyum yang seolah memiliki maksud lain. Tatapan penuh selidiknya, bukanlah sinyal baik. Mungkin, akan lebih baik jika aku diam saja.

"Yah, saya ke sini mau memberi tahumu." Wajahku tertunduk, sepertinya akan ada kabar butuk lagi. "Tadi pagi, Yudha belum memutuskan apa pun. Saya harap besok saat makan malam di rumah Saya. Yudha sudah bersedia menikah dengan Ila." Ibu mertua menatapku sekilas, berdiri, lalu beranjak dari sana.

Besok? Aku tak pernah tahu akan secepat ini.

Aku menghela napas. Ibu benar, aku tak bisa lagi menunda perbincangan dengan Yudha. Bagaimana pun caraku meyakinkannya. Besok malam, Yudha sudah harus setuju dengan perjodohan itu.

Drrt ... Drrt ... Drrt ...

Aku merogoh isi tas, menarik keluar ponsel putih dari sana. Paggilan masuk dari Yudha. Crpat-cepat kuusap ikon hijau ke atas.

"Gimana Chek Up nya?"

"Begitulah Mas, aku masih tetep minum obat yang kaya resep bulan lalu. Belum ada kemajuan."

Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Suara hembusan napas tertahan miliknya masih bisa kudengar. "Sudah pulang?"

"Hu um, udah di rumah." Aku berdiri, memutuskan untuk ke kamar. "Pulang naik apa?"

Meletakkan tas di meja rias. Alisku tertekuk sedikit, tidak biasanya Yudha bertanya sedetail ini. Harus kujawab bagaimana?

"Aku pulang bareng temen. Mas mau makan malem pake apa? Mau aku masakin sekarang."

"Gausah masak banyak-banyak. Bikinin telur dadar aja." Aku mengiyakan, dan dia mengakiri sambungan. Malam ini adalah kesempatan terakhirku untuk membujuknya.

❊❊❊

"Mas, tadi sore Mama ke sini, ngundang kita makan malem ke rumah." Aku bermaksud untuk memulai perbincangan. Sejak pulang kerja tadi hingga selesai makan, dia tidak banyak bicara padaku.

"Mama juga ngundang Ila," imbuhku. Namun Yudha masih tetap diam sambil mengunyah pelan buah apel yang sudah ku kupas kulitnya. Meja makan tidak pernah sehening ini.

"Mas maukan menikah dengan Ila?"

Ia melempar tatapan tajam. "Buat apa aku nikah lagi? Aku masih punya kamu. Aku cinta kamu, Ivy. Tolong pahami itu."

Aku sempat terdiam. Semua usahaku untuk membujuknya selalu gagal. Hanya karena aku ingat, kalau aku juga sangat mencintai dia.

Manusia memang begitu egois. Dan keegoisanku tidak akan menghasilkan apa pun. Aku hanya akan mengacaukan kesempatan yang Yudha punya untuk bisa hidup bahagia.

"Kamu harus bisa punya anak, Mas. Aku bukan wanita yang bisa ngasih kamu keturunan. Aku ini wanita penyakitan."

Yudha mendongakkan wajah, memutus kontak mata kami. Lalu meraih dan menggenggam tanganku di atas meja. "Kita berdua akan berjuang untuk kesembuhanmu."

Aku menggeleng. "Enggak, Mas. Kamu nggak boleh nunggu aku lagi. Percuma, semuanya cuma akan membuang waktu sia-sia." Yudha terdiam, ia tersenyum kecut dan memandang Ivy dengan tatapan tak kecewa.

"Kenapa? Kamu masih gak percaya sama aku? Kamu lebih percaya dokter itu daripada aku?" Mendengarnya, aku jadi mulai ragu dengan diriku sendiri.

"Selama ini, kamu selalu pergi berobat dengan sahabatmu itu 'kan? Selama itu juga, aku selalu menunggumu cerita tentang hal itu. Namun kurasa, kamu tidak berniat untuk melakukannya."

Diam sejenak, ia menjeda mengambil napas dalam. "Kupikir, kita saling mempercayai."

Dadaku sesak. Apakah aku pernah mempercayainya? Kenapa semua yang dikatakan suamiku terasa benar.

"Apa kamu udah gak percaya, kalau aku bisa menyelesaikan masalah kita? Apa karena Mama kamu jadi begini?" Dia terus saja memberiku pertanyaan yang semakin menyadarkanku bahwa semua masalah berawal dari diriku. Aku menggeleng kuat.

"Enggak mas! Mama gak salah!"

Yudha melepaskan genggamannya setelah mendengar seruanku. "Aku cuma gak mau kamu menanggung kesedihan yang aku rasakan. Kesedihan tidak bisa menjadi orang tua."

" .... "

"Jadi, kamu harus menikah dengan Ila." Napasku terengah. "Benar memang, seharusnya kita gak pernah bersama Mas."

Iris miliknya melebar, menatapku tak percaya."HAH! persetan dengan masa lalu. Kamu akan tetap menjadi istri satu-satunya yang aku cintai."

"Tunggu Mas!" Aku mencekal tangan suamiku. Membatalkan niatnya yang semula ingin beranjak dari meja makan. Percakapan ini belum selesai. Dan aku tak akan berhenti sampai dia setuju untuk menikah lagi.

"Kamu liat 'kan. Kita gak bisa bahagia dengan keadaan ini."

Yudha melepaskan tanganku, berjalan memutari meja. Memegang kedua bahuku. Lantas berujar, "Kalau begitu mudah saja. Kita akan tinggal di Amerika. Atau kemana pun yang bisa menjauhkan kamu dari Mama. Tidak perlu ada pernikahan apa pun."

"Bukan itu, Mas! Bukan karena Mama."

Dia berteriak frustasi. Mengacak rambutnya, meninju udara, dan kembali mencengkram bahuku dengan jari-jarinya. Kuat sekali.

"Jadi Apa maumu Ivy? Kamu mau aku menikahi wanita lain? Kamu mau aku menusuk hatimu dengan belati secara perlahan? Bukan cuma kamu yang akan sakit, tapi aku pun akan sakit Ivy."

Aku mematung. Tak pernah dia berteriak sekeras itu sebelumnya. Tiba-tiba dia menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Setetes air dari ujung mata lolos melewati pipi. Aku sangat rindu pelukan ini.

"Percayalah denganku, kita akan bahagia kalau kamu mau berjuang bersama melawan sakit itu. Tanpa ada pernikahan apa pun. Semuanya akan baik-baik saja."

Bermenit-menit berlalu, aku masih menikmati pelukan ini. Sempat terlintas untuk menyudahi perdebatan panjng kami. Tapi, aku tak boleh menyerah. Aku harus menyelesaikan semuanya.

"Menurutmu begitu, Mas?" Melepas pelukan. Kali ini aku menatap Yudha. Lelaki itu mengernyitkan dahi tak mengerti.

"Tak pernahkah, kamu memikirkan bagaimana kebahagiaan yang aku inginkan?" Aku menggoyangkan kedua bahunya berharap dia mengerti kali ini.

"Kamu mau, aku menikah sesuai dengan keinginan Mama?"Aku mengangguk. "Dan memiliki seorang keturunan yang mirip denganmu."

Bersambung...

A/n:

Gak ada kata lain yang bisa aku ucapkan selain Alhamdulillah! karena bisa menyelesaikan part ini setelah sekian lama aku diemin gitu aja ini cerita T.T

Terima Kasih! Sudah membaca. Votelah hanya karena kamu suka ceritanya.

Kota Santri, 6 Agustus 2020
15.10 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro