Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BB - 12. Ulfa!

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Bab 13. Semakin Yakin

Hari ini aku pergi ke butik, membeli dress kesukaan Bita, lalu langsung menuju ke apartemen suaminya. Aku akan menghadiri pesta kecil sekaligus makan siang siang bersama Dion dan si cantik Dita, untuk merayakan ulang tahun sahabatku.

"Bu, dressnya jadi ambil yang hitam atau yang grey?"

Aku mengalihkan perhatian dari jejeran kain yang tadi sempat menarik perhatianku. Mengalihkan fokus mata pada dua dress serupa gamis berbahan satin berwarna hitam dan abu-abu. Kain dress menggantung dengan ikat pinggang yang serupa warnanya terlihat sangat sederhana dan indah dari depan. Sedangkan bagian belakang dress yang lebih panjang jatuh lembut meyentuh lantai. Keduanya begitu cocok untuk Bita.

"Dua-duanya, Mbak. Bisa tolong yang hitam dibungkus kado."

"Tentu bisa, Bu. Mohon tunggu sebentar."

Aku tersenyum membalas senyuman gadis muda yang bekerja di butik milik ibu. Selain ingin membeli baju, aku juga ingin sekali mengetahui keadaannya. Namun, ternyata ibu tidak ada di sini.

Aku kembali menyentuh kain lembut tadi. Tersenyum melihat benda ini. Jadi ingin sekali membelinya.

"Maaf Bu, apa ada yang ingin anda bungkus lagi?"

Aku mengangguk dan tersenyum. "Tolong ini, dibungkus kado juga Mbak."

❊❊❊

Aku tersenyum ke arah Bita yang nampaknya sangat antusian dengan hadiah kecil yang kubawa.

"Waah ... Ivy, kamu emang tau aja warna kesukaan aku. Modelnya juga bagus."

"Aku juga ada satu persis kaya punya kamu, warna abu-abu."

"Aaa ... Ivy makasih. Aku gak nyangka diultah yang ke-27 ini. Aku masih bisa ngerayain sama sahabat SMA aku."

Aku mengusap-usap punggungnya, semakin mengeratkan pelukan. Hingga tak terasa setetes air mata jatuh melewati pipi. Benar. Jika dingat-ingat, aku sudah banyak melewatkan waktu bersama ibu satu anak ini. Dan Bita adalah sosok yang Allah kirim untuk selalu ada di masa-masa pahitku.

Ketika pembullyan yang aku alami di masa SMA. Ketika pasca kecelakaan tiga tahun lalu. Dan kini, ketika keadaan pernikahanku diujung tanduk.

"Eh, Ivy kamu kok malah yang nangis sih ...."

Bita sudah melipat pakaian dan menaruhnya kembali ke kotak. "Tentu saja. Aku terharu, Bit."

Dia terdiam, menatapku dalam. Seakan menunggu penjelasan. Oke baiklah, aku akan mencoba mengenyahkan situasi ini.

"Bita maaf ya, aku telat dateng ke sini. Jadi melewatkan pestanya, deh. Sampe Dita ketiduran. Dion juga lagi tidur sama Dita?"

"Heeem .... ya, begitulah." Dia masih menatapku lurus. Tajam. "Kamu juga gak biasanya telat gini kalo kita janjian. Ada yang kamu sembunyiin."

Aku diam. Haruskah Bita tau? Batin dan pikiranku bergejolak, saling melempar pendapat. Menit berlalu sepertinya Bita mulai kehabisan kesabaran, lalu menghela napas. "Ada masalah apa Ivy? Kamu boleh membaginya denganku."

"Aku bertemu dengan Ila, calon istri kedua Yudha."

"What! Gak bisa dipercaya. Dia mau menikah lagi karena kamu gagal di program hamil kemarin?"

Manik bulatnya merebak berair. Ia menatap ke langit-langit, menahan cairan bening itu agar tak jatuh. Ia lalu memegang kedua bahuku, meremasnya pelan.

"Tinggalkan dia meski kamu sangat mencintainya. Dimadu bukanlah pengalaman yang menyenangkan, Ivy."

"Aku gak mau kamu terluka lebih dalam lagi setiap hari karena dia dan istri barunya. Sudah cukup kamu menangis selama ini."

Aku menggeleng pada Bita. Ah, keliatannya dia salah paham. Saat itu juga, aku mulai menjelaskan semua yang terjadi hari ini dan semua kemungkinan rencanaku di masa depan.

"Tadi pas aku mau keluar dari butik, o ke rumah kamu. Aku ketemu Ila. Dan dia mengajakku untuk mengobrol sebentar di kafe."

"Mba Ivy apa kabar?" Aku mengalihlan pandangan dari es coklat lemonku. "Aku baik Ila." Aku tersenyum padanya, "Dan aku rasa kamu juga begitu."

"Ila, kamu tau ibu ke mana?" Aku mencoba membuka pembicaraan. Sejak tadi Ila hanya diam. Sebenarnya apa yang ingin ia bicarakan.

"Tante Anne sedang mengatar makan siang untuk Mas Yudha."

Aku hanya mengangguk, menatap jauh ke arah jendela. Ibu kota begitu terik saat ini.

"Tapi, untuk kemarin. Aku yang mengantarkan makan siang untuk mas Yudha, karena Tante Anne ada urusan dengan klien."

"Aku tahu," batinku berbisik.

"Terima kasih telah membantuku Ila."

Tak ada yang bisa kuucapkan selain ini. Aku hanya ingin dia tidak merasa bahwa aku tidak senang mendengarnya. Walau seperti itu kebenarannya. Semua orang memang bertopeng bukan.

"Tidak begitu membantu. Karena Mas Yudha langsung pergi makan siang dengan klien."

Aku melebarkan mata dengan bibir yang sedikit terbuka. Ingin mengatakan sesuatu tapi aku ragu untuk itu. Ia berkedip lalu melihat ke arahku kembali setelah sibuk dengan minumannya.

"Sepertinya Mas Yudha menunggu Mbak Ivy saat itu. Ia nampak sangat senang, tersenyum lebar di depan laptopnya saat pintu terbuka. Namun ketika melihat kearahku. Garis lengkung bibirnya terganti dengan sebuah pertanyaan yang menanyakan keberadaan Mba.

Dan aku hanya bilang bahwa aku mengirimkan makanan buatan Tante Anne. Saat itulah dia bergegas keluar dari kantornya karena sudah berjanji akan makan siang dengan klien."

Aku tak menyangka akan seperti itu kejadiannya. Telapakku menggenggam tangannya yang bebas di atas meja, meremas pelan. Aku tersenyum menguatkan, lantas wajah dengan hijab pink itu pun menatap lurus padaku.

"Dia memang terlalu dingin dengan orang yang baru di kenalnya. Dulu kami juga begitu."

Kulepaskan genggaman untuk mengaduk chocolate lemon ice milikku yang mulai mengencer bersama es batu, meminumnya sedikit. Aku butuh mengulur waktu. Berpikir, menerka apakah Ila bisa menjawab dengan jujur jika aku melontarkan satu peryanyaan saat ini.

Baiklah aku akan memulai dengan hal kecil. Aku jelas tak bisa lansung bertanya ke arah sana. Aku harus bisa mendatangkan kesempatan itu.

"Ila, menurutmu Yudha pria yang seperti apa?"

"Jawab jujur," imbuhku ditutup seulas senyum.

"Mas Yudha, dia pria yang baik, berkarisma, tegas, sopan, sedikit bicara, sangat dewasa. Dan kurasa dia pria yang taat agama."

Ya, semuanya nemang benar. Dia sudah banyak berubah jika dibandingkan dengan saat diriku pertama kali bertemu dengannya 12 tahun lalu. Yudha tampak sempurna saat ini. Setidaknya begitu yang orang-orang pikirkan.

Aku tersenyum memasang ekspresi antusias. "Aku setuju. Ada tambahan dariku yang mungkin kamu malu-malu untukengatakannnya. Dia tampan, pekerja keras, workaholic, dan sudah cocok untuk menggendong anak."

Aku terkekeh kecil saat melihatnya mengangguk malu-malu. "Ila, apa kamu benat-benar menerima perjodohan itu?"

Ia sedikit menegang mendengar pertanyaanku. Hanya sebuah anggukan yang aku dapat. Aku menghembuskan napas pelan, lalu mengumpulkan segenap keberanian. Harus, aku harus tahu.

"Apa kamu mencintai Mas Yudha?"

Satu

Dua

Tiga

Tak ada tanda-tanda akan menjawab. Masih bungkam. "Ila, aku perlu tau siapa wanita akan menjadi istri Yudha. Apakah perempuan itu hanya terpaksa atau memang bersedia menikah karena mencintainya."

"Tak apa Ila, jujurlah padaku," desakku tak sabaran.

"Aku mencintai Mas Yudha Mbak." Matanya berkedip. "Sebenarnya sudah sejak empat tahun lalu aku jatuh cinta pada Mas Yudha."

"Bagaimana pendapat Yudha?" Bita bertanya setelah beebrapa saat keheningan menelan kami.

"Dia menolak perniakahan itu." Berhenti sejenak. "Tapi, aku akan berusaha meyakinkannya."

Bita menggelang berkedip menatapku. "Yang benar saja Ivy! Jangan bertindak konyol. Kamu masih cinta dia, aku tahu itu."

"Aku tau Bita."

"Beserta resiko rasa sakitnya? Kamu akan hancur oleh keputusanmu itu," sergah Bita dengan suara tinggi.

"Aku bahkan sudah hancur sejak membaca kertas hasil pemeriksaan dokter saat itu."

"Yudha masih bisa menunggu," imbuh Bita meyakinkanku.

"Tapi aku tidak. Aku tidak bisa hidup lebih lama diatas rasa bersalah, Bita. Aku lelah terus-terusan dipojokkan oleh ibu mertuaku.

Beliau sudah terlalu lama mengharapkan kehadiran seorang cucu. Yudha sudah berumur 30 tahun dan masih belum memiliki keturunan."

Perempuan yang sejak dulu selslu berambut sebahu itu melsak memelukku. "Kenapa kamu yang selalu mengalah Ivy."

"Karena di sini aku yang cacat Bit."

Bita terisak dalam pelukanku. Pun begitu manikku ikut menetaskan air mata. "Ivy, kapan pun kamu butuh tempat untuk cerita semua beban kamu. Aku selaku ada di samping kamu Ivy."

"Terima kasih," ucapku lirih.

Di Rumah Yudha...

Aku melihat lagi ke arah jam yang ada di dekat tv, pukul sepuluh kurang lima menit. Sudah malam namun aku masih di ruang keluarga, menunggu kepulangan suamiku.

Menghela napas pelan. Sudah sebulan sejak dari Amerika. Aku memikirkan semua rencana ini. Sekarang, sudah diputuskan dan tinggak melakukan semua strategi untuk mewujudkannya.

"Ya Rabb, bantulah hamba."

Menghela napas untuk yang kesekian kali. Aku jadi teringat dengan pesan Yudha, bahwa aku tidak perlu menunggunya pulang. Tepat pukul 22.00 aku putuskan untuk naik ke kamar. Namun, siluet familier di ruang tamu memutar balik tujuan awalku.

"Mas Yudha." Aku mendekat padanya yang sedang sibuk mengunci pintu utama.

Jas dan dasi sudah tanggal, aku mengambil alih keduanya sekaligus tas kerja Mas Yudha. Kemeja putihnya ternoda dengan tanah bercampur darah, kusut.

Dan Ya Tuhan, aku menyentuh perlahan pelipis kiri hingga turun ke pipi juga ujung bibirnya dengan dada pedih, sesak. Darah, memar, dan luka sobek. Tak ada kata yang bisa ku keluarkan, hanya air bening itu perlahan merebak ke ujung mata.

Aku melesak dalam pelukannya. Menangis di sana, aku sungguh merindukannya sosoknya selama ini. Aku rindu suaranya. Aku rindu pelukannya. Dia sekarang jauh, sangat jauh dan seakan aku tak bisa menjangkaunya lagi.

"Aku mencintaimu Mas."

"Sudah tak apa. Sekarang, ayo ke atas."

Aku menunduk melepas pelukan dan mengambil kembali barang milik Yudha yang tergeletak di lantai. Tadi itu, aku benar-benar tak sanggup lagi untuk menahannya. Sepanjang hari ini terlalu emosional, sisi lainku membutuhkan pelukan darinya seperti tadi. Rupanya aku masih bergantung pada Yudha.

"Setelah mandi, aku akan mengobati memar di wajahmu." Aku mengambik6 setelah tidur milik suamiku dan meletakkannya di kasur. Lalu berjalan kembali untuk menutup pintu lemari.

"Tidak perlu, kamu tidur saja. Jangan menunggu, ada berkas yang belum aku selesaikan dari kantor tadi. Dan besok harus sudah selesai." ucapnya sambil bersiap-siap pergi dari kamar.

Ia membenarkan letak handuk di bahu, mengambil setelan baju yang tadi dipilih, melangkah ke samping meja nakas. Dinyalakannya lampu tidur dan mematikan lampu kamar.
Dan setelahnya, Yudha keluar tanpa berkata apa-apa.

Suara getaran di ponselku sedikit mengalihkan perhatian. Aku meraihnya di meja nakas. Ternyata dua panggilan tak terjawab, juga satu sms dari Fandi yang dikirim sejak dua jam lalu.

From: Fandi

Ivy jangan kaget jika nanti Yudha pulang dengan wajah memar. Kami habis berkelahi. Dia memang sempat melihatmu di panti bersamaku. Dia sangat possesive dan pencemburu ya.

Kuharap kamu tak marah denganku. Karena kami berdua sama-sama memarnya. Whatsaapmu jarang online, makanya aku sms saja.

"Ternyata karena diriku," aku bermonolog melirik ke bantal Yudha dan ke langit-langit. Malam ini langitnya sepi tanpa ada bintang-bintang. Dan, aku perlahan terlelap dalam kesendirian

•<>•<>•<>•

Suara dering ponsel menghentikan aktivitas Ifa. Gadis itu membalik novel menjadi posisi cover di atas dengan halaman yang tetap terbuka. Bangkit dari tengkurap, berguling, lalu mengangkat panggilannya.

"Ulfa," gumammnya dalam hati.

"Fa, cepet buka pintunya gue udah du depan gerbang." Sembur Ulfa di sebrang telepon.

"Iya, Oke tunggu bentar."

Ifa langsung turun ke bawah. Sebenarnya ada apa dengan Ulfa. Tak biasanya dia seperti ini.

Bersambung....

a/n:
Part ini meleset dari jadwal publish.
Maaf banget teman-teman.
Semoga part ini menghibur.
Terima kasih sudah membaca dan setia mau menunggu ♡, jikalau berkenan bisa vote dan share ceritanya. Boleh kasih komen, silahkan bebas.
Tetep, aku gak maksa kamu kok.

Segitu aja dulu
Sampai jumpa

Selesai ditulis:
Kota Santri, 3 mei 2020
21.35 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro