BB - 10. Marathon
"Karena menyelesaikan satu masalah dengan dua pemikiran yang berbeda memerlukan waktu yang cukup panjang."
-Baby Breath-
Be Alert!
Part ini lumayan panjang
Lebih baik berhenti kalau jenuh
Happy Reading, gaeees!
०•०
Bab 10. Perkenalan
Malam itu beberapa hari setelah insiden kecil di rumah mertuaku. Ketika aku dan Mas Yudha sudah duduk manis untuk menyantap makan malam, tiba-tiba suara bel pintu berbunyi. Kami berdua serempak menatap ke arah ruang tamu. Karena jarak dapur dari pintu depan begitu jauh. Kami nyaris tidak mendengar suara kendaraan apa pun berhenti di depan sana.
Dan lagi, kira-kira siapa tamu yang dengan mudah bisa mengakses pintu utama malam-malam begini. Yudha sejak dulu berpesan pada pak satpam di depan. Jika ada orang asing yang bertamu. Maka tamu itu hanya boleh masuk melewati gerbang dengan persetujuanku ataupun Yudha.
"Mas, aku buka pintu dulu ya."
Yudha mengangguk lalu sibuk menyuapkan sendok pertamanya ke mulut. Aku tersenyum kecil. Tadi saat baru pulang dari penerbangan Medan-Jakarta katanya dia lelah sekali dan belum sempat makan malam. Akhirnya beginilah. Jika tidak ingin maag nya kambuh. Tidak peduli ada tamu penting atau tidak, yang utama ia harus tetap makan.
Katanya, "Kalau maag ku kambuh. Bisa 2-3 hari aku menelantarkan pekerjaan."
Yaaah... Begitulah. Kerja dan kerja. Entah apa yang terjadi dengannya selama aku tinggal di Amerika. Yang jelas setelah aku kembali ke indonesia. Dia benar-benar menjadi pria dewasa yang agak workaholic. Yup, bisa dibilang sedikit gila kerja.
Saat tanganku bergerak membuka pintu utama. Ibu dengan wajah tanpa senyum langsung berjalan masuk menanyakan keberadaan putranya.
"Yudha sedang makan malam. Ibu tunggu sebentar, biar aku-" Belum sempat aku melanjutkan ucapan. Ibu sudah pergi lebih dulu ke ruang makan.
"Tumben Mama ke sini malam-malam," celetuk Yudha.
Aku duduk di samping ibu mertuaku yang duduk tepat di hadapan Yudha. Saat melirik jam dinding, benar saja. Sekarang sudah pukul 8.10 malam.
"Hanya ingin melihat keadaan anak Mama saja." Yudha masih sibuk dengan makanan di piringnya.
"Ibu, mau Ivy ambilkan makan?"
"Tidak usah." Aku kembali melipat tangan yang hendak mengambilkan piring untuk ibu.
"Kerjaan kamu gimana? lancar?"
"Alhamdulillah lancar, Ma."
"Gimana Yudha, keputusan kamu buat nikah lagi?"
"Uhuk... uhuk!" Yudha menutup mulut dengan tangan kanannya. Cepat-cepat aku menyodorkan segelas air putih yang lantas diminumnya hingga tandas.
Hening sesaat.
Suara hembusan napas berat terdengar begitu jelas sebelum akhirnya suamiku menjawb, "Maaf Ma, Yudha sibuk. Belum sempat memikirkan ulang hal itu."
"Kami berdua belum memutuskan apa pun," imbuhnya sambil melirik ke arahku.
Aku hanya bisa menunduk saat ibu tiba-tiba saja menoleh ke arahku dan menghela napas kasar bersamaan dengan itu. Masih dengan tatapan yang sama, tatapan tidak sukanya.
"Yasudah, sembari menunggu keputusan. Besok kalian berdua harus datang ke restoran favorit mama untuk makan malam bersama Ila."
Mendengar perkataan ibundanya, suamiku jelas tidak mau. Dia menolak terang-terangan. Katanya untuk apa dinner itu dilaksanakan?
"Kamu ketemu aja dulu sama Ila, siapa tahu kamu berubah pikiran dan mau menikah dengan gadis pilihan Mama."
Yudha mendengus kecil. "Mengertilah dengan keadaan Yudha, Ma. Aku sangatlah mencintai istriku. Yudha gak bisa memadu Ivy."
"Kamu harus nikah lagi, demi keturunan Yudha."
Dan lagi, suamiku itu tetap menolak menikah dengan wanita lain, apa pun keadaan istrinya. Keadaan diriku.
Mendengar ucapannya, kali ini air mata sulit sekali dibendung. Yudha, dia membuatku semakin sulit untuk merelakannya. Siapa pun juga akan menolak untuk berpisah dengan orang yang bisa mencintai dirimu dengan begitu besarnya. Aku sangat mencintai dia dan diperjuangkan olehnya membuat keteguhanku untuk berpisah dengannya goyah.
Ya Allah bolehkah aku egois sekali saja. Bolehkah aku mempertahankannya untuk diriku sendiri?
"Ya terus kamu mau gak punya keturunan, hanya karena cinta bodohmu itu. Pernikahan juga butuh keturunan Yudha!"
"Yudha dan Ivy tengah berusaha, Ma. Kami akan mencari jalan keluar yang lain." Kali ini Yudha menunduk memijit pangkal hidungnya untuk yang kesekian kali.
"Sampai kapan? Sampai kamu tua dan mama tiada?"
"Maaa...."
Rasanya seperti ada sesuatu yang membuat sesak juga sakit di dada ini. Kalimat ibu barusan, begitu tajam ketika sampai di telingaku. Dan cukup membuat sadar bahwa keinginanku tetap mempertahankan Yudha tadi sangatlah egois.
"Kenapa? Kamu mau bela dia lagi? Demi perempuan mandul ini-"
Yudha mendongak lantas melihat ke arah ibu mertuaku. "Ma, tolong jangan kasar begitu."
"Mama kasar? Ya Tuhan... Yudha! Karena dia, Mama gak bisa punya cucu. Karena dia juga kamu membangkang Yudha. Dan karena dia-"
"UDAH MA! UDAH!"
Hening
Aku berusaha mati-matian menahan isak tangis yang ingin sekali pecah. Aku juga sakit karena ucapan ibu mertuaku. Namun, mungkin saja ia juga tengah menahan perih karena anaknya terlalu membela menantunya. Mungkin luka hati seorang ibu lebih dalam jika dibandingkan denganku.
"Kamu membentak Mama, Yudha?"
Yudha menghela napas. "Mama udah kerterlaluan banget sama istri aku."
"Sudahlah Ma. Besok malam, jangan menunggu Yudha. Karena Yudha tidak akan datang ke acara dinner itu."
Dan kini, aku benar-benar bersalah pada ibu. Saat beliau memutuskan untuk pamit pulang. Aku meraih tangan kiri ibu untuk menahan kepergiannya.
"Ibu, maafkan Ivy dan Mas Yudha. Kami berdua akan datang besok malam."
lbu menghempaskan tanganku lalu berkata, "Ibu tunggu kedatangan kalian." Lalu beliau pergi meninggalkan kami berdua dalam keheningan.
"Kenapa melakukannya? Makan malam itu tak ada gunanya," celetuk Yudha mengakhiri kebungkaman.
"Ibu hanya ingin membantu kita, Mas."
"Ini pernikahan kita, ibu gak bisa ikut campur gitu aja Ivy,"
"Sebelum ada masalah ini, ibu tidak pernah ikut campur. Mengertilah Mas, ibu hanya ingin membantu kita."
"Dan kamu anggap itu bisa menyelesaikan permasalahan? Yang ada hanya akan menghancurkan rumah tangga kita Ivy," sergah Yudha tajam.
"Untuk kasus seperti kita. Aku rasa hanya itu satu-satunya jalan keluar. Kita akhiri saja semuanya dan kamu menikah lagi."
"Kamu ini ngomong apa sih, Ivy! Di saat aku sedang berjuang mempertahankan pernikahan kita, kenapa kamu malah terlihat seperti ingin mengakhiri saja?"
Aku menghela napas berat. Mendadak, rasanya susah sekali mendiskusikan masalah ini dengan Mas Yudha. Entah kenapa, kami berdua selalu berada pada kutub yang berbeda. Dan pembicaraan seperti ini sering kali memunculkan perdebatan panjang di antara kami.
"Hanya itu solusinya, Mas. Demi kebahagiaan ibu, demi penerus keluarga Prayata, dan demi kebahagiaanmu menjadi seorang ayah."
"Ivy dengar. Untuk saat ini, tak ada yang perlu pergi, tak ada yang akan terluka." Yudha selalu berkata begitu.
Dia dengan segala egonya percaya, bahwa pernikahan kami akan baik-baik saja. Meski realitanya banyak sekali badai masalah yang seakan hendak menghancurkan rumah tangga kami.
"Tanpa adanya seorang anak, pernikahan tidak akan lengkap," tuturku lirih.
Yudha membuang pandangan ke arah lain, menghembuskan napas kasar dan langsung beranjak dari duduknya tanpa mengatakan apapun. Sebelum dia benar-benar pergi, aku lantas memanggil namanya.
"Besok, Mas Yudha akan datang ke acara dinner itu kan?" Aku mendekat memegang lengannya.
"Terserah kamu saja. Ada dokumen yang harus aku selesaikan malam ini juga. Jangan menungguku, kamu langsung tidur saja." Dengan perlahan ia menarik tangannya untuk terlepas dari peganganku.
"Ingin kubuatkan sesuatu?"
"Tidak perlu, kamu istirahatlah."
Dia langsung melangkah begitu saja meninggalkanku tanpa menoleh sedikit pun. Aku kembali duduk di kursi meja makan. Menangis tersedu di sana.
Aku sangat merindukan masa dulu. Dimana hanya ada tawa kebahagiaan. Rumah yang begitu hangat, dengan sikap hangatnya.
Yudha tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dia selalu meluangkan waktu untukku. Sekedar untuk duduk bersama sambil menonton tv. Dia tidak pernah membawa pulang pekerjaannya dan tidak pernah melewatkan waktu berdua.
Aku tahu saat ini suamiku sedang kecewa. Dia kesal dengan semua keputusanku. Aku sadar dengan apa yang sedang aku perjuangkan. Aku tahu betul bahwa aku menggadaikan kebahagian kami, demi kebahagiaan ibu.
Namun bersikap egois pun tetap akan menyakitkan. Yudha tidak akan pernah punya keturunan dariku. Dan ibu, akan selalu mengecamku. Apapun jalan yang aku ambil, kurasa akan sama saja. Sama-sama menyakitkan. Tak ada jalan mundur ataupun maju yang bisa ku ambil.
Ya, aku terjebak!
Ya Allah, aku lelah dengan semua ini. Aku lelah menghadapi ujian darimu. Kenapa Engkau memberiku takdir yang selalu pahit. Sampai rasanya sulit sekali membedakan mana yang pahit dan mana yang manis.
❊❊❊
Di acara makan malam, kedua orang tua yudha sudah lebih dulu sampai di restoran. Ibu menyambut suamiku dengan pelukan. Disusul aku mencium tangan kedua mertuaku.
Ibu terus berbicara banyak hal, mengekspresikan kebahagiaannya atas kedatangan putranya malam ini. Aku baru menyadari betapa pentingnya acara malam ini bagi ibu.
Sejak tadi, aku hanya diam saja. Sesekali tersenyum menyimak perbincangan keluarga suamiku. Entah kenapa pikiranku jadi sedikit tidak fokus karena rasa pusing ini kian menjalar kemana-mana.
"Ivy kamu mau pesan apa?" tanya Yudha ketika seorang pramusaji memberikan daftar menu.
"Terserah kamu saja mas, tapi tolong pesankan aku air hangat ya."
"Ivy kamu gapapa? Suara kamu..."
"Gapapa Mas, cuma kecapekan aja."
"Kerja apa kamu sampe kecapekan gitu?" sela ibu tiba-tiva
Pertanyaan sarkastik dari beliau sedikit banyak membuat suasana meja menjadi canggung. Kami semua terdiam, hanya alunan instrumen biola dan piano yang terdengar. Aku tak tahan lagi.
"Maaf, Ivy permisi ke belakang dulu."
Yudha memegang bahu kananku seraya mengusapnya lembut, lalu berkata, "Bilang padaku jika ada apa-apa."
Aku mengangguk dan melangkah terburu-buru menuju kanar mandi. Merangsek masuk ke bilik toilet. Duduk diatas kloset lalu menyenderkan kepala ke dinding sebelah kanan.
Ya Allah, rasanya pusing sekali, batinku ssmbil menutup mata.
Semua yang kulihat terasa begitu berputar, memburam, dan tak ada objek yang bisa kufokuskan. Semuanya kabur. Aku tak menyangka efek obat terapinya akan seperti ini. Yang kutahu dan yang dokter katakan saat itu efeknya hanya akan pusing, kelelahan, dan suara bisa saja berubah seperti orang sakit flu.
Entah berapa lama aku sudah memejamkan mata. Perlahan mata ini kubuka. Alhandulillah, sudah lebih baik dari sebelumnya. Semua objek bisa terlihat jelas.
Aku keluar dari bilik. Mematut wajah dengan balutan hijab navy yang terlihat sedikit kuyu. Lalu muka dengan sedikit air, lalu mengeringkannya dengan tisu.
Tak ada polesan apa pun diwajahku. Iya, Yudha bilang dia senang dengan wajah polosku. Jadi, aku tak pernah sekalipun menyentuh make up selama 3 tahun pernikahan kami. Hanya pelembab wajah dan liptin saja.
"Aku suka melihat rona wajahmu. Iyaa, tidak ada pipi kemerahan. Hanya saja, wajahmu memiliki rona spesial rersendiri buatku. Jadi, jangan pakai apapun yang bisa menutupinya."
Tanpa sadar, seulas senyum tercipta. Momen itu terjadi saat pagi pertama kami sebagai pasangan. Semua waktu yang terlewati saat itu, masih terasa begitu manis meski hanya kenangan saja.
Tidak ada yang abadi, aku menyadarinya. Dan mungkin saja waktuku bersama suami yang aku cinta akan segera berakhir. Perasaan tidak nyaman ini, berakhir dengan air mata yang terus mengalir tanpa bisa kubendung lagi.
Saat tiba-tiba saja pintu kamar amndi terbuka, aku reflek mengusap air mata. Ternyata ibu menyusulku ke sini. Apa sebegitu lamanyakah aku di kamar mandi?
"Ha, bagus sekali," celetuk ibu dengan tangan yang terus mengaduk-aduk isi tasnya. "Jangan pernah menunjukkan air matamu di depan Yudha. Jangan buat putraku merasa berat untuk menikah lagi."
Aku menunduk menatap kosong pada bak wastafel. Apa ini, rasanya masih sakit setiap mendengar frasa "Yudha menikah lagi". Aku benar-benar belum rela untuk melepaskan sosoknya.
"Pakai itu, agar sedihmu bisa tersamarkan."
Aku menatap bergatian pada ibu dan bedak yang baru disodorkannya. Lalu memakai benda itu. Yerlihat segar dan tidak semenyedihkan tadi.
"Tanggungjawab seorang menantu dan seorang istri adalah memberi suami dan keluarganya keturunan. Kamu tidak bisa memenuhi itu." Aku memejamkan mata, sangat paham ke mana arah perbincangan ini berujung.
"Jadi biarkan orang lain yang memenuhi tanggungjawabmu."
Lagi hanya kebungkaman yang ada. Aku menutup cermin bedak. Dan mengembalikannya pada ibu seraya mengucapkan terima kasih.
"Gadis yang akan duduk makan malam nanti, adalah calon istri Yudha. Setuju atau tidak Yudha, yang jelas saya ingin Yudha menikah dengan gadis itu. Dan kamu, tidak boleh menunjukkan raut wajah keberatan sama sekali atas apa yang saya ucapkan. Kamu harus bisa, membuat gadis itu yakin, bahwa kamu menerimanya sebagai istri kedua yudha. Dan tugasmu yang paling penting adalah, membuat yudha setuju dengan keputusan menikah dengan gadis itu."
Ibu banyak bercerita tentang calon menantu keduanya. Dan aku hanya biss berdiri mematung. Seharusnya aku sudah siap dengan ini. Karena memang tujuanku kemari adalah agar Yudha bisa mengenal calon istri pilihan ibunya. Dan agar Yudha setuju untuk menikah lagi.
"Besiaplah dan pasang wajah bahagia."
"Ya Allah, kuatkanlah hamda dan berilah kerelaan atas semuanya." Doaku dalam hati sambil berjalan mengikuti langkah ibu.
Sampai di meja, aku tersenyum pada Mas Yudha saat dia bertanya apakah aku baik-baik saja. Di hadapanku sudah ada gadis berhijab kuning. Gadis yang tempo lalu ada di kantor Yudha. Wajahnya terlihat jelita berkali-kali lipat jika dilihat dari dekat.
"Ila, Mba."
Aku tersenyum, lalu menjabat tangannya dan berkata, "Ivy."
Hanya itu yang sanggup keluar dari bibirku di tengah kemelut hati yang berantakan. Ya Allah, jujur aku iri pada gadis muda ini. Dia nampaknya terlihat sempurna untuk bersanding dengan Yudha.
Bab 11. Bertentangan
"Dan tugasmu yang paling penting adalah, membuat Yudha setuju dengan keputusan menikah dengan gadis itu."
Kalimat itu terus saja membayangiku. Meremukkan satu-persatu mimpi akan pernikahan yang bahagia. Membuat semua harapanku-mendengar suata tangis bayi di kamar ini-terasa mustahil. Dan sepertinya Tuhan pun enggan memberikan keajaiba-Nya padaku.
"Sedang memikirkan apa?"
Yudha berjalan dari arah kamar mandi sambil menggosokkan rambut basahnya dengan handuk kecil, lalu duduk di pinggiran ranjang. Dia sudah harum, tapi aku masih bmemakai gamis navy, duduk di sini bergelut dengan pikiran.
"Tidak ada Mas, hanya...." Manik coklat madunya menatap lekat diriku dari pantulan meja rias.
Kemudian aku kembali menyisir rambut dan berkata, "Aku rasa Ila cocok denganmu. Dia gadis yang baik. Daripada mencari-cari lagi, lebih baik kamu meni-"
"Tidak, tidak akan ada yang menikah lagi," selanya tajam.
"Tolonglah, berhenti berbohong Ivy. Kenapa kamu mesti menuruti Ibu? Aku tahu semua, ibu pasti yang memaksamu untuk menyetujui rencana perjodohannya kan?"
Aku hanya terdiam. Sejujurnya diriku sendiri tak tahu harus bagaimana. Aku tak bisa berbohong bahwa hati ini masih mencintai Yudha, sangat.
"Kamu tau Ivy, aku sekarang sedang berjuang mempertahankan pernikahan kita, kebahagiaan, dan cinta kita tiga tahun belakangan ini. Setidaknya bantulah dengan tidak menyuruhku menikah lagi."
Kali ini kalimatnya mulai menggoyahkan keputusanku. Dengan ragu, penuh rasa terpaksa. Sebuah kalimat meluncur begitu saja dari bibirku.
"Mas, pernikahan kita dimulai dari kebohongan. Sepanjang tiga tahun ini, hanya ada kebohonga." Aku tahu untaian kata itu begitu menyakitkan ketika diutarakan. Maafkan aku Mas.
"Ya, kebohongan. Namun, aku percaya bahwa pernikahan kita bukanlah kesalahan yang harus segera dikhiri." Ia berhenti berucap sejenak lalu kembali melanjuykan, "Kamu tau karena apa? Karena cinta kita tidak pernah berdusta Ivy, cinta kita benar adanya."
"Cinta kita?" tiruku dalam hari.
Aku menunduk. Menghapus setitik air mata yang keluar dari ujung mata. Tak menyangka jika aku sendiri yang sangat menginginkan pernikahan ini berakhir.
"Tapi, aku cacat. Aku gak bisa ngasih kamu anak, Mas. Aku cuma jadi beban. Aku nggak pantas buat kamu."
Yudha mendekat memegang kedua bahuku, "Lagi-lagi hanya karena ini? Kamu gak percaya kalau aku akan selalu bersedia di samping kamu apa pun keadaannya."
Aku percaya Mas.
"Denger ini Ivy, mulai sekarang. Lupakan masalah anak. Kita akan fokus untuk pengobatan kamu. Aku bakal nemenin kamu berobat, sampai kamu sembuh."
"Enggak mas, lebih baik kita bercerai saja!" teriakku meradang dengan mata yang memandangnya lewat cermin.
Manik itu membesar, dia terkejut akan kalimatku. Ada semburat luka yang bisa kulihat dari ekspresinya. Dan kekesalan yang kian menumpuk di benaknya. Mungkin begitu yang Yudha rasakan.
"Ah sudahlah, ada berkas yang harus kuselesaikan malam ini juga. Tidurlah. Jangan menungguku."
Tepat setelah pintu tertutup. Aku berlari ke kamar mandi. Meraung sekuat tenaga dengan handuk yang sengaja membekap wajahku. Menangis sepuasnya tanpa perlu Yudha mendengarnya.
Ya Allah, tidakkah dia mengerti. Bahwa aku pun lelah begini. Aku ingin semua ini cepat berakhir. Setiap kali meminta cerai, sama saja seperti menghantam kuat dada ini dengan pukulan. Sesak. Dan nyeri.
Beberapa hari berlalu. Sejak malam itu, aku tak pernah menyambut suamiku pulang kerja. Dia tidak pernah pulang tepat waktu. Tak ada makan malam bersama lagi. Suamiku itu hanya mengirim pesan yang sama selepas maghrib.
Mas Yudha : Di kantor sedang banyak pekerjaan yang tak bisa ditunda. Makanlah lalu tidur. Jangan menunggu kepulanganku.
Semalam pun begitu. Dan pagi ini aku ingin memastikan apa dia akan pulang larut lagi. Jika memang begitu, aku akan berhenti memasak banyak hidangan. Mubazir jika aku masak terlalu banyak dan tidak ada yang memakannya.
"Mas, nanti malam kamu masih lembur?"
"Iya."
Aku melihat ke arah jam, 06.55. Lima menit lagi suamiku akan berangkat. Aku yang hendak melangkah menuju dapur sempat terhenti karena kalinatnya.
"Aku berangkat dulu. Tidak usah bawa bekal. Nanti siang, aku ada lunch bareng klien."
Aku berbalik. Menatap punggungnya yang kian menjauh. "Padahal baru saja ingin kuambilkan totebag bekalnya," batinku sambil kembali duduk di kursi meja makan.
Manikku tertuju pada piring kosong dan gelas berisi air putih milik suamiku tadi. Dia hanya memakan roti selai buatannya sendiri. Mengabaikan makanan kesukaannya yang tadi kumasak spesial untuk dia. Dan juga, lemon tea yang biasanya kubuatkan untuknya setiap pagi. Berakhir mendingin begitu saja tanpa disentuh oleh Yudha.
Aku memejamkan mata. Menahan tangisn yang lagi-lagi memaksa keluar. Tidak, masih pagi. Aku tidak ingin menangis lebih banyak lagi. Bukankah keadaan ini sempurna, semakin berjarak hubunganku dengan Yudha. Akan semakin mudah kami berpisah.
"Sejujurnya aku tidak tahan dengan sikap kecewa Yudha. Setiap jarak yang dia ambil, sama seperti mata tombak yang kian dalam menghunus dada ini," lirihku dalam hati.
❊❊❊
"Dosisnya masih sama dengan resep yang sama juga." Pria bersnelli putih di hadapanku tersenyum setelah menyerahkan selembar kertas padaku.
Mengambil dan menyimpan kertas itu dalam tas. Aku lantas mengeluh, "Efek samping yang saya rasakan, kenapa lebih parah dari dugaan dokter sebelumnya."
"Ah iya, saya lupa berpesan hari itu."
"....."
"Jadi begini, efek samping yang diarasakan setiap pasien akan berbeda. Tergantung stadium penyakitnya, ketahanan tubuh, dan kondisi psikis si pasien. Efek samping yang saya sebutkan tempo hari. Itu keluhan umum yang sering dirasakan pasien setelah meminum obatnya."
Aku terdiam, berdecak dalam hati, baru tahu kalau stress juga bisa memengaruhi efek samping obatnya. Menjadi sarjana dokter umum lulusan Amerika yang sudah lama vakum, tak menjamin diriku mengerti semuanya. Penyakit dalam, aku tidak begitu memelajarinya secara mendetail selama dibangku kuliah.
Tiba-tiba saja...
"Banyu, jadi lunch...."
Aku menoleh ke arah pintu. Seorang dokter berkemeja abu dengan snelli putih di pundaknya perlahan mengundurkan diri sambil berucap maaf. Aku mengulum senyum melihatnya.
"Nyonya Prayata, maafkan rekan saya yang sedikit mengganggu itu."
Aku menoleh ke arah sumber suara, tersenyum, dan melirik jam tangan di lengan kiriku. "Sepertinya saya yang terlalu lama di sini, Dok."
Pria di hadapanku tertawa renyah, "Sudah kewajiban saya mendengarkan semua keluhan seorang pasien."
"Oke karena jam kerja saya habis. Kali ini aku menasihatimu sebagai teman. Jangan kebanyakan stress Ivy. Biar efek Danazol dama GnRH nya gak terlalu berat buat kamu."
Lagi, aku hanya bisa tersenyum pada Banyu. Dia dulu adalah rekan kerjaku di RS. Dan lagi, semenjak setahun lalu didiagnosis mengidap endometriosis. Banyu jadi dokter yang menanganiku. Makanya dulu, dengan mudahnya Banyu mengabulkan permintaanku untuk tidak menuliskan penyakit yang kualami di surat hasil lab setahun lalu.
"Terima Kasih, Banyu. Keliatannya rekan kerja kamu udah nunggu di depan. Kalo gitu aku pergi duli ya."
Belum sempat aku berbalik. Banyu menahanku dengan suaranya, "Tunggu dulu! Keliatannya aku akan lunch sendiri kali ini. Dia menunggumu di depan."
Aku menatap bergantian pada Banyu dan ponselnya yang di sodorkan padaku. Tersenyum kecil dan mengangguk lalu melangkah keluar.
Tepat di depan ruangan tempat aku keluar. Fandi, pria berkemeja abu-abu itu duduk di sana, melempar senyum. Lalu berjalan menghampiriku.
"Ternyata kamu masih kerja di sini."
Fandi hanya tersenyum mendengar pernyataanku. "Kamu mau pulang, Vy?"
Anggukan dariku sedikit membuat wajahnya muram. Ia lantas mengucapkan sesuatu yang sedikit menyentil sudut hatiku. "Aku mau minta maaf atas kejadian di RS Cambridge waktu itu. Aku juga terkejut bisa bertemu kamu di sana. Maaf membuatmu merasakan sakit kerena dipaksa mengingat semuanya."
Aku refleks menunduk, menghindari mata kelabunya. Menatap petak lantai koridor rumah sakit jadi lebih baik saat ini. Rasa bersalah diam-diam mulai meranyapi setiap ruang di hatiku. Sedikit menyalahkan takdir, kenapa bisa begitu berbalik arah dengan tajamnya. Meninggalkan calon suami dan menikah dengan pria lain, bukanlah sebuah kesalahan yang mudah untuk dimaafkan.
"Fan, aku tahu pasti sulit. Tapi, aku mohon. Maafkan aku atas kejadian 3 tahun yang la-"
Dia menggeleng meletakkan satu jadi telunjuk di bibir. Menyuruhku untuk diam. "Semuanya sudah takdir, Ivy. Bukan salahmu. Dan aku tidak mengapa."
"Takdir? Rasanya takdir terlalu jahat kepada kita," rutukku dalam hati
"Tadi kamu mau pulang kan?"
"Iya, tapi aku harus menebus resep obat dulu."
"Mau kuantarkan?" tawarnya.
Aku menggeleng. Menolak diantar. "Lebih baik Pak Dokter makan siang sekarang."
Tawanya menggema, menarik perhatian beberapa orang dan perawat yang berlalu lalang di koridor. Aku cuma bisa tersenyum kecil melihatnya. Sejak dulu Fandi sama saja begitu, suka tertawa kencang tanpa peduli keadaan sekitar. Hari itu, kami berpisah sementara, mengurus kepentingan masing-masing.
Bersambung...
a/n:
3400 kata.
Vote kalau suka 💖
Dan share cerita ini ya...
Marhaban Ya Ramadhan.
Selamat menunaikan ibadah puasa untuk umat islam yang sedang menunaikannya.
Pesanku cuma satu : pergunakan waktumu sebaik-baiknya ♡
Terima kasih dan
Sampai jumpa
Selesai ditulis :
Kota Santri, 23 April 2020
19.50 WIB
Dipublikasikan :
Jumat, 24 April 2020
0
4.20 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro