BB - 1. Novel Itu
"Udah dong, Fa. Jangan bete gini."
Gadis berkacamata menghela napas, meminum habis es jeruk. Lalu ia menggeser kursi yang di dudukinya sedikit merapat ke meja, mencondongkan badannya ke depan, lalu berkata pelan setelah melirik keadaan sekitar.
"Si botak Jefri kan emang gitu. Umur masih kepala empat, tapi liat rambutnya udah menipis. Jadi gak heran, dia emang temperamennya tinggi."
Gadis bernama Ulfa, menegakkan tubuhnya. Melipat tangan di dada sambil memandang wajah menyedihkan sahabatnya. "Pfft... Ha ha ha... buang ekspresi itu, Fa. Kayak habis diputusin doi aja."
"Yang kualami lebih parah dari itu!"
Ifa tak menghiraukan kalimat itu. Ia terus menyuapkan nasi soto ke mulut. Kejadian siang tadi benar-benar membuat moodnya berantakan. Benar kata ayahnya, siapkan mental saat intership lakukan tanpa melibatkan hati. Bagi Ifa itu tak mungkin. Karena gadis ini paling tidak bisa dimarahi. Jika saja tadi Romy tak ada, mungkin dia sudah menangis karena terus-terusan dimaki dokter Jefri.
Ifa tahu ia salah, karena telat satu jam memeriksa pasien. Tapi, haruskah dibentak di depan anak Coas lainnya? Hari ini hanya Ifa dan Romy yang bertugas. Sedangkan si kembar Vano dan Vani tidak bisa masuk karena mereka sakit diare. Jadilah mereka yang bertanggung jawab mengontrol keadaan 40 pasien.
"Lo kayaknya butuh hiburan deh, Fa. Tapi, bingung juga sih. Sebenernya hiburan macam apa yang cocok buat lo? Secara lo itu gak suka ngegame, hang out gak suka, nonton film gak suka, ngelukis juga gak suka. Baca novel apa lagi."
Ifa tersenyum tipis. Meraih botol air mineral, lalu meminumnya. "Gue sukanya makan." Lalu gadis berambut lurus sepinggang itu kembali menikmati makannya.
"Iya, gue sampe iri sama, Lo. Kenapa lo gak gendut-gendut, sih?" Kalimat itu membuat Ifa terkekeh kecil.
Ulfa lega,setidaknya Ifa masih bisa tertawa dengan lelucon recehnya. "Heh, Ifa. Gue lagi seneng. Akhirnya gue udah namatin baca novel terlaris dan langka jaman Mama. Ceritanya bikin gue sampe nangis nyesek tau. Ceritanya itu...."
Ifa melirik sekilas ke Ulfa. Gadis itu sangat menghayati sesi mendongengnya. Sejak SMP. Ulfa itu maniak novel. Dia selalu saja menceritakan kisah fiksi itu pada Ifa setiap kali dia selesai membacanya sampai habis.
Dan, sedikitpun Ifa tak tertarik mendengarkan kisahnya. Kenapa? Itu cuma fiksi, bagi orang seperti Ifa membaca novel cuma membuang waktu sia-sia.
Ifa memandangi buku novel yang baru saja Ulfa keluarkan dari tasnya. Dengan ekspresi yang berubah-ubah, Ulfa terus menceritakan kisa itu pada Ifa. Ada hal yang janggal di beberapa kalimat Ulfa. Nama tokoh dan cover novel itu... sangat familiar bagi Ifa.
"Mereka menikah dan punya anak?" sela Ifa.
Dengan senyum lebar, Ulfa mengangguk. "Iya, keajaiban yang luar biasa banget gak sih? Denger-denger, novel ini dari kisah nyata. Dulu cerita ini sempet mau diangkat ke layar lebar, karena banyak pembaca yang gak kebagian novel ini. Stok terbatas cuma lima ratus copian.
Saat penulis menolak mencetak lebih banyak novelnya. Produser berlomba-lomba membuat film ini karena diperkirakan bakal laris di pasaran. Tapi, entah kenapa dibatalin. Yang pembaca tau, penulisnya menolak novel itu dijadikan film."
Ifa hanya terdiam. Ia mengalihkan pandangan pada Ulfa yang menggerutu setelah melirik jam ditangannya. "Ifa, gue cabut dulu ya. Udah waktunya gue tugas jaga."
"Ulfa, tunggu!"
Pemilik nama masih berdiri di dekat meja. Ifa mengunci pandangan, pada tangan kanan ulfa yang membawa sebuah novel.
"Gue pinjem novel itu, boleh kan?«
Mulut Ulfa tebuka lebar begitu juga matanya. Setelah sepuluh tahun lamanya ia mengajak ifa membaca novel, baru kali ini Ifa meminjam novelnya. Ah, sungguh luar biasa.
"Nih, Lo boleh baca itu sampe berulang kali. Sampe Lo bosen. Tapi, jangan di ilangin. Yaudah gue duluan. Selamat membaca cantik. Daa...."
Ifa memerhatikan Ulfa yang berlarian keluar dari area kantin. Rambut hitam yang dikuncir kuda itu bergerak bebas. "Sebenernya siapa penulis buku ini?" Lalu mata coklat madu miliknya meneliti setiap inci bagian buku l yang ada di atas meja itu.
•<>•<>•<>•
Bab 1. Terjawab sudah
Tangan ini bergetar, aku terpaku pada sederet kalimat bahwa aku positif tidak bisa mengandung. Mataku memanas, dengan derasnya air asin itu melewati pipiku dan berakhir di lantai. Kenapa ini terjadi padaku?
Kenyataan menamparku begitu kuat, tubuh bergetar ini luruh bersimpuh di lantai. Aku memeluk kedua kaki yang ku tekuk, sebelah tanganku masih terus berusaha meredam isak tangis. Sesaat aku melupakan semua orang yang menungguku di bawah, semua orang yang mungkin lebih terpukul dibandingkan aku.
Tanganku meraih selembar kertas yang tergeletak di lantai. Menaruhnya di meja rias. Aku berdiri, melihat betapa kacaunya aku. Kenapa aku begitu egois dengan merasa bahwa aku yang paling terpukul di sini? Tanpa sedikitpun memikirkan bagaimana perasaan suamiku?
Aku menunduk, meraih selembar tisu untuk mengeringkan wajah. Lalu menyapukan bedak tipis setelahnya. Aku harus kuat. Aku tidak boleh putus asa, bahkan aku belum berusaha sedikit pun. Ini hanyalah hasil pemeriksaan dokter.
"Kamu harus kuat, Ivy."
Aku menghela napas panjang. Sekali lagi berucap untuk menguatkan hatiku. Kemudian aku mengambil kertas itu dan berjalan keluar dari kamar.
Tangan kiriku meremas kuat gamis biru langitku. Aku memantapkan hati, menapaki setiap anak tangga. Meski dadaku berdebar karena ayah dan ibu juga yudha tentunya menaruh harapan padaku saat ini. Berharap menantunya memiliki peluang untuk bisa hamil. Tapi, apa yang selama ini ibu mertuaku pikirkan benar terjadi. Aku mandul.
Ruang tamu seketika hening saat ketiganya menyadari kedatanganku. Ibulah yang pertama kali bertanya.
"Kamu bisa hamilkan, Ivy?"
Kepalaku menunduk. Dadaku sesak, kenapa sulit sekali bibirku mengucapkan kalimat itu. Yang bisa ku lakukan hanya menggeleng lemah. Bibirku bergetar, lagi-lagi air mata ini tak bisa ku bendung.
Aku terus menunduk, tak sanggup melihat wajah kecewa mereka. Lalu menutup wajah dengan kedua tanganku, menumpahkan segala sesak di dada. Kertas itu, ku yakin sudah ada di tangan ibu.
Ku rasakan ada sebuah tangan yang menarikku dalam pelukan hangat tubuhnya. Wangi tubuhnya, kehangatan, dan kekuatan yang tersalur begitu familiar bagiku. Aku semakin terisak, tubuhku bergetar dalam dekapannya. Suamiku, maafkan aku yang tak bisa mewujudkan mimpimu menjadi seorang ayah.
"Yudha kamu lihat ini, wanita itu mandul. Tirta lihat lah, menantu pilihanmu itu. Mustahil dia bisa memberi kita seorang cucu. Sudah cukup aku menunggunya selama dua tahun. Kita semakin tua, dan putra kita tak lagi muda. Wanita ini tak berguna."
"Anne, hentikan!" Anne hanya melengos saat Tirta berusaha mencegahnya.
"Yudha, dengarkan mama. Kamu tak bisa mengharapkan apa pun dari wanita sepertinya. Menikahlah dengan wanita lain. Dan berikan mama cucu. Jika memang dia tak ingin diduakan, maka ceraikan dia."
Kalimat itu semakin membuatku terisak. Memang benar semua yang ibu katakan. Aku tak berguna. Aku tak bisa terus-terusan membuang waktu suamiku. Memberikan harapan palsu padanya dengan berharap suatu hari nanti Allah memberi kami seorang anak. Aku harus minta maaf pada ibu. Dan menyetujui keputusannya.
Aku menurunkan telapak tangan dari wajahku. Kudorong pinggang Yudha agar dia melepaskan pelukannya. Tapi, lelaki ini enggan melepaskan tubuhku. Di tengah keheningan ini, dia masih terus mendekapku. Tak menghiraukan bisikanku yang memintanya melepas pelukan.
"Ma, aku mencintai istriku. Aku akan berusaha, ada banyak cara untuk bisa memiliki anak. Aku tak akan meninggalkannya." Ucapan lembut itu kembali memancing air mataku. Tangannya mengelus lembut punggungku yang kembali bergetar.
"Dia tak pantas untukmu, Nak. Sejak awal ibu sudah tidak setuju dengan hubungan kalian. Ceraikan dia, Yu-"
"ANNE, HENTIKAN! KAU SUDAH KETERLALUAN."
Ya, Allah kenapa? Kenapa semuanya semakin memburuk? Karena aku, ibu bertengkar dengan ayah. Aku ingin mengehentikan semua ini, namun aku tak kuasa. Tubuh lemas ku tak mampu terlepas dari dekapan Mas Yudha.
Keheningan ini, membuat isakkanku terdengar jelas. Tangan Yudha terus mengelus punggungku. Dan berbisik kecil menenangkanku. Aku bisa merasakan hembusan napas berat sebelum ia angkat bicara.
"Ma, dengan segala hormat. Tolong hargai istriku, berhenti melempar kalimat menyakitkan padanya. Yudha mohon, Mama jangan lagi ikut campur di kehidupan rumah tangga kami. Yudha hanya minta doa dari mama. Selebihnya, biar aku dan Ivy yang akan berusaha mencari jalan keluar terbaik. Perceraian adalah hal terakhir yang akan Yudha lakukan."
"Begitu, ya. Dua lelaki yang kucintai, ternyata keduanya sama-sama tak mengerti diriku. Apa aku salah, hanya karena ingin melihat cucuku sebelum waktuku habis?
Aku hanya ingin melihat penerus keluarga ini. Ingin menggendong dan mengajaknya bermain. Tapi percuma saja aku jelaskan. Kalian tak akan mengerti." Aku mendengar suara ketukan high hills milik ibu, tak lama suara deru mobil meninggalkan pelataran rumah.
"Ivy maafkan ibumu, Nak. Dia hanya terkejut dengan kabar ini. Dia sungguh tak bermaksud menyakitimu. Ibumu itu hanya ingin sekali segera memiliki cucu. Tapi, tak apa kami akan selalu menunggu dan mendoakan kalian. Lakukan apa yang menurut kalian tepat. Semua keputusan ada di tangan kalian. Yudha, papa pinjam supirmu dulu, lihatlah mamamu merajuk dan meninggalkan papa."
"Tentu, Pa."
Suara ketukan pantofel dan deru mobil yang membawa ayah keluar dari rumah kami menyisakan keheningan. Yudha semakin mengeratkan pelukan dan terud mengusap punggungku tanpa henti. Entah mengapa air mata ini ingin terus keluar. Aku melingkarkan tangan pada pinggangnya.
"Ma... maaff. Maaffkan a... aku. Hiks... hiks...."
Dia hanya diam dan melepaskan pelukan lalu menuntunku duduk di sofa. Aku terus menunduk, saat dia memintaku untuk mengangkat kepala. Aku tak siap melihat wajah sedihmu, Yudha. Aku, belum siap menerima kekecewaan darimu. Sekali lagi aku minta maaf.
"Lihat, aku Ivy. Buka matamu. Kamu percaya padaku? Buka matamu jika, memang kamu percaya aku." Bisa kurasakan tangan hangatnya memegang penuh kedua pipiku. Air mataku tak bisa berhenti mengalir. Dengan gerakan perlahan aku menuruti perintahnya.
Dia tersenyum manis sambil menyeka pipiku. Kedua tangannya turun, beralih menggenggam erat kedua telapak tanganku. Genggaman tangan ini, selalu bisa membuat perasaanku membaik. Seolah-olah mengantarkan kekuatan dan energi positifnya padaku.
"Lihat. Tangan mungil ini merindukan belahan jiwanya. Tak heran jika sejak tadi dia bergetar."
Aku menunduk malu. Seulas senyum tak bisa lagi kutahan. Meski sudah berulang kali aku mendengar kalimat itu dari Yudha. Tapi, perasaan hangat yang menjalar di dadaku setiap kali Yudha mengatakannya tak pernah hilang.
"See, mentariku telah kembali. Kemarilah, aku ingin merasakan pelukan hangatnya." Senyum konyolnya saat merentangkan tangan membuatku terkekeh. Detik itu juga aku tenggelam dalam dekapannya.
Selama dua tahun pernikahan kami, semua berjalan seperti ini. Mengalir dengan canda tawa. Sesekali bertengkar, tapi aku menikmatinya. Bersamanya aku selalu bahagia, meski ada sedikit perasaan mengganjal dihatiku. Tapi, aku tak peduli. Aku nyaman dengan hubungan kami. Tak ada masalah yang serius dalam rumah tangga kami.
Namun, semua berbeda semenjak dua minggu lalu. Hari dimana ibu datang ke rumah memintaku dan Yudha untuk tes kesuburan. Dan kertas itu membawa kabar buruk untuk keluarga ini. Hasil itu yang membuatku sulit tidur selama dua pekan terakhir. Kertas itu juga...
"Hei, mentari kesayanganku. Kenapa melirik ke kertas itu terus? Suami tampanmu ini kenapa kamu anggurin? Oh... atau sejak tadi diam-diam kamu mengagumi model internasional dari Korea itu ya."
Dahiku mengerut mendengar celotehan pria di hadapanku ini. Kututup mulut dengan sebelah tangan, menahan tawa. Dengan wajah sok sebalnya itu, Yudha meraih satu majalah wanita dewasa yang memang sejak tadi tergeletak di meja ruang tamu.
"Sejak kapan istriku ini diam-diam menyukai Oh Se Hun, hmm?"
Yudha meletakkan kembali majalah di meja. Kini hanya cover belakang yang bisa dilihat. Wajah itu menatapku dengan penuh selidik. Aku tersenyum lebar, pria ini memang sangat mengerti cara menghiburku. Siapa juga yang mengagumi gambar cover majalah itu. Sejak dulu dia juga tau kalau aku tak pernah kenal yang nama Sehun, apalah itu.
"Aku gak kenal dia, beneran."
Tiba-tiba saja dia memelukku seraya bergumam kecil menyatakan cinta padaku. Aku tersenyum membalas pelukan eratnya. "Aku juga mencintaimu, priaku yang paling tampan."
Beberapa menit berlalu. Okey, aku mulai pegal dipeluknya. Karena bagaimanapun aku harus memiringkan tubuh ke samping dengan kaki yang menapak di lantai untuk memeluknya yang duduk bersila di atas sofa menghadap ke arahku. Aku melepaskan tangan, mendorong Yudha agar menjauh dariku.
"Jangan dilepas, sebentar lagi. Aku nyaman seperti ini."
"Aku pegal, Mas."
Dia tertawa singkat lalu melepaskan pelukannya. Tanpa berkata, apa pun. Dia langsung duduk di lantai tepat di depanku yang duduk di sofa.
"Seperti ini tak akan membuatmu pegal, kan?"
Aku bergumam mengiyakan. Telapakku menyapu rambut hitam yudha. Kepalanya yang berada di pangkuanku bergerak kecil mencari posisi senyaman mungkin. Tanganku lainnya digenggam erat oleh Yudha. Kebahagiaan ini yang selalu berjalan dalam keluarga kecilku. Tapi, jujur saja dalam hatiku kebahagiaan keluarga belum sempurna tanpa kehadiran bayi kecil.
"Sayang, berjanjilah untuk selalu berjuang bersamaku mencari jalan keluarnya."
Lagi-lagi aku hanya mampu bergumam. Seharusnya aku yang berkata begitu, bukan dia. Karena dia bisa saja berhenti berjuang dan pergi pada wanita lain. Dan jika itu terjadi, aku ikhlas melepaskannya. Untuk sekarang aku akan berusaha, semoga Allah memberiku kekuatan dan kesabaran yang besar.
Bersambung...
a/n:
Info Penting!
Readersku yang budiman.
Jangan bingung dengan ceritanya, ya.
Baby Breath ini alurnya berbingkai.
Yup, cerita dalam cerita.
Kaya modelnya novel '1001 malam'
🙄Eh bener gak sih judulnya? Yah pokoknya yang itulah.
Yang suka wedding story. Wajib stay di sini. Karena Baby Breath membawa kisah romansa rumah tangga kesukaan kamu.
☟ Di pojok kiri bawah, ada bintang ☆ tolong pencet ya, sampai berubah jadi gini★
Terima kasih 【ツ】
5 April 2020
Kota Santri
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro