Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9

"Video call sama siapa sih Mas?" tanya Nara seraya berjalan mendekat. "Seru banget."

"Hm, itu ..."

"Tadi aku dengar seperti ada program-program gitu. Program apa Mas?"

"Tadi itu Erza," jawab Danar sebiasa mungkin.

"Bang Erza?"

"Iya, dia minta Mas untuk datang ke kantor hari ini untuk bahas program terbaru divisi pemasaran. Padahal Mas sudah bilang kalau Mas sedang dirumah Mama. Tapi Erza nggak percaya, jadi Mas video call deh buat buktikan sama dia."

Nara mengangguk mengerti. "Ya sudah Mas kita sarapan dulu yuk," ajaknya pada sang suami.

Danar langsung setuju, ia beranjak turun dari tempat tidur dan pergi dari sana. Ia bahkan tidak menyadari ponselnya yang tersambung panggilan dengan kekasihnya.

***

Cuaca dingin dataran tinggi di rumah orang tua Danar membuat Danar dan Nara saling mencari kehangatan. Sani, sudah tidur lebih dahulu. Sedangkan Danar dan Nara masih asik bergelung di bawah satu selimut di ruang keluarga. Saling merapat dan memeluk di atas sofa sambil menonton acara televisi dan mengobrol ringan.

Sudah lewat tengah malam kala Nara tertidur pulas diatas pangkuan Danar. Hembusan napas teratur Nara menjadi hiburan tersendiri untuk Danar. Nara begitu menarik perhatiannya, segala yang ada pada diri Nara menjadi candu untuknya. Namun, Danar terus saja berkilah. Nara bukan tipenya, tidak mungkin Danar menyukai Nara sementara ia memiliki Echa yang memilki kecantikan diatas rata-rata. Buktinya kekasihnya itu sedang merintis karirnya menjadi model di kancah internasional.

Danar tengah mencari remote televisi yang sepertinya tertindih olehnya saat acara berita dunia menayangkan berita tentang virus Corona yang kini tengah merebak. Danar urung mematikan televisi saat narasi berita mengatakan kalau virus itu sudah sampai ke negara dimana kekasihnya menetap. Bukan, bukan hanya negara, tapi di kota yang sama dengan tempat tinggal Echa.

Nara yang semula berada dalam pelukannya ia baringkan kembali di atas sofa. Danar memasang telinganya baik-baik mendengarkan informasi dari berita itu. Pikirannya langsung tertuju pada Echa. Rasa khawatir akan keselamatan Echa kini mendominasi dirinya.

***

Pagi-pagi sekali Danar sudah membuat repot Nara untuk segera bersiap-siap pulang. Sani yang meminta mereka untuk tidak pulang dulu tidak dihiraukan oleh Danar. Ia beralasan harus ke luar kota karena urusan pekerjaan yang mendadak. Jadi Danar akan mengantar Nara pulang ke rumah, lalu ia sendiri langsung berangkat ke luar kota.

Danar mengendarai mobil dengan tergesa-gesa. Hari masih gelap saat mereka meninggalkan rumah Sani. "Mas pelan-pelan. Nara takut. Jalanan licin, sebaiknya pelan saja Mas. Bahaya."

Danar menoleh, melihat wajah Nara yang ketakutan. Lalu menuruti Nara untuk mengurangi kecepatan mobilnya.

"Mas, ini kan masih hari Minggu. Nggak bisa besok aja berangkatnya? Ini bukan hari kerja kan, Mas."

"Kamu tahu apa Nara? Saya begini juga untuk urusan pekerjaan. Untuk menafkahi kamu," jawab Danar dingin.

"Iya Mas. Maaf," cicit Nara yang merasa bersalah.

Tidak terasa mobil Danar sudah berhenti di depan rumah mereka. Seperti rencana awalnya, dia hanya menurunkan Nara lalu segera pergi menuju Bandara.

"Mas, turun dulu yuk. Nara buatkan sarapan. Nara siapkan pakaian untuk Mas bawa juga," ajak Nara.

"Nara, saya buru-buru," sahut Danar. "Soal pakaian saya bisa beli disana. Tidak usah kamu buat ribet Nara. Cepat turun," usir Danar pada istrinya.

Nara mengalah, berpikir suaminya memang sekeras itu dalam urusan pekerjaan. "Mas hati-hati ya. Kalau sudah selesai segera pulang ya, Mas." Nara mencium tangan suaminya itu, lalu dibalas kecupan di pipi dan keningnya.

***

Seperti biasa, Danar selalu tidak bisa dihubungi jika pergi ke luar kota. Nara bahkan tidak sempat menanyakan ke kota mana tepatnya sang suami pergi. Sudah hari ketiga Danar belum juga pulang, ya Danar memang tidak memastikan pada Nara dia akan pergi berapa lama.

"Ayo, Ray!" Suara Ajun menghentikan lamunan Nara akan suaminya. Ia lalu melangkah mengikuti Ajun keluar dari toko. Menerima uluran tangan Ajun yang membantunya naik ke atas motor besar Ajun. Mereka sedang menuju sebuah restoran pizza. Toko mereka mencapai target penjualan bulan ini. Katanya sudah menjadi tradisi disana, jika tembus target, Ajun akan mentraktir mereka makan.

"Pak Ajun baik banget sih," puji Nara seraya menerima dua paket big box pizza dari Ajun.

"Biasa aja Ray," jawab Ajun tersenyum.

"Tapi beneran lho Pak, baik nggak pelit," ucap Nara lagi.

"Cocok ya untuk kriteria calon suami?" balas Ajun seraya terkekeh.

"Iya bener tuh pak, salah satu kriteria," jawab Nara.

Dari restoran pizza itu mereka menuju sebuah rumah makan seafood yang masih satu kawasan sentra kuliner itu. Membeli beberapa menu favorit pesanan Dian, Merlin maupun Rizal. Seraya menunggu pesanan mereka selesai, Ajun terus mengajaknya mengobrol. Selain memang karakternya yang humoris, Ajun memang seorang teman bicara yang baik. Sangat berlawanan dengan suami Nara yang terkesan irit bicara.

Tapi Nara tidak pernah melihat kekurangan Danar, bagi Nara Danar yang terbaik untuknya. Segala yang ada pada diri Danar, kurang lebihnya sudah menjadi tugas Nara untuk melengkapinya.

"Nara," sapa seorang wanita cantik dengan seorang lelaki yang menggamit lengannya.

"Mba Nita, Bang Erza!" balas Nara ramah. Kemudian Nara meminta pada Ajun untuk berjalan lebih dulu ke parkiran motor dan izin untuk mengobrol sebentar.

"Dari mana Nara?" tanya Nita ramah.

"Ini Mba, beli makanan untuk teman-teman di toko. Mba Nita mau kemana?"

"Ini si dedek pingin pizza katanya," jawab Nita mengusap perutnya yang mulai membuncit.

"Mba Nita lagi hamil?" tanya Nara kaget. Karena terakhir ia bertemu Nita saat ia menikah, Nara tidak begitu memperhatikan.

Nita menjawabnya dengan senyuman dan anggukan kepala. Nara lalu menghambur memeluk Nita mengucapkan selamat atas kehamilannya. "Semoga Nara cepet nyusul ya Mba, kasihan Mama dan Mas Danar sudah berharap sekali aku cepat hamil," ucap Nara penuh harap lalu mengusap perutnya sendiri.

Nita tersenyum manis, lalu mengaminkan harapan Nara barusan.

"Bang Erza, bukannya ke luar kota ya sama Mas Danar. Bang Erza sudah pulang duluan?" tanya Nara tiba-tiba mengganti topik, yang membuat Erza dan Nita saling berpandangan. Tepatnya Nita yang memandang suaminya bingung, dan Erza yang juga bingung harus menjawab apa pada istri atasannya itu.

"Mas Erza, nggak ..."

"Iya Nar, saya pulang duluan, baru kemarin sore," jawab Erza cepat menyela Nita.

"Oh gitu, kalau Mas Danar masih lama ya Bang?"

"Iya sepertinya begitu Nar."

"Memang rencananya berapa hari tugas disana Bang?"

"Saya juga kurang tau Nara. Tergantung Danar."

"Oh, begitu. Sibuk sekali ya Bang kalau sedang tugas di luar kota?"

"Iya Nar."

"Oh iya, memang ke kota mana sih Bang. Aku belum sempat tanya sama Mas Danar kemarin?" Nara rupanya belum puas bertanya.

"Hm, Semarang, iya Semarang."

Nara lalu mengangguk mengerti, "Ya udah deh Bang. Maaf ya Nara banyak tanya. Nara pamit duluan ya Mba Nita, Bang Erza."

Baru dua langkah Nara beranjak pergi, ia berhenti lalu kembali menghampiri Nita dan Erza. "Oh iya Bang Erza, jangan bilang Mas Danar ya kalau Bang Erza ketemu Nara sama laki-laki tadi. Kalau Mas Danar tahu, bisa-bisa dia cemburu dan marah sama Nara," ucap Nara meringis kecil.

Erza mengangguk. "Tenang saja, Nara."

Nita memandang punggung Nara yang sudah menjauh lalu memukul dada kiri suaminya, "Aku nggak suka ya Mas, kamu ikut-ikutan bohongi Nara. Jangan ikut-ikutan jadi brengsek seperti atasanmu itu Mas!"

"Maksud kamu apa si sayang, aku nggak paham." Erza berkilah.

"Si brengsek Danar juga lagi, sok-sok cemburu padahal dia sendiri yang berkhianat!" Nita bersungut kesal.

"Hun, ngomongnya dijaga sayang, inget perut," tunjuk Erza dimana calon anak mereka berada.

"Kamu itu bantu si Danar berbuat jahat. Pakai tutup-tutupi keberadaan Danar lagi! Keterlaluan kamu Mas! Dosa tau!"

Erza meringis, sungguh ia pun tidak mau seperti itu. Tapi bagaimana lagi, keadaan yang membuatnya begini. Sejak tahu Danar masih menjalin hubungan dengan kekasihnya padahal sudah menikahi Nara, Nita berubah menjadi pembenci nomor satu atasannya itu. Bagaimana jika Nita tahu niat jahat Danar yang sebenarnya, entah apa yang dilakukan Nita.

"Sumpah, aku nggak ikut-ikutan Danar. Aku nggak tau apa-apa." Erza mencoba menyelamatkan diri dari amukan sang istri.

"Kasihan Nara Mas, perempuan sebaik dan setulus itu terus-terusan dibohongi."

"Terus aku harus gimana, apa aku harus jujur ke Nara kalau suaminya lagi menyusul pacar gelapnya diluar negeri, karena khawatir pacarnya kena wabah Corona?"

TBC

Terima kasih untuk vote dan komentarnya  💕💕💕

Part ini ditulis pertama kali di Februari 2020. Waktu si Corona belum nyampe indo 😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro