Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8

Setelah berendam air hangat dengan  melanjutkan tangisnya, Nara dengan cepat memakai bajunya, tidak peduli dengan keberadaan Danar disana. Terasa pelukan erat pada pinggangnya, tak lupa hangat deru nafas di tengkuknya. Nara berusaha melepaskan diri namun Danar tak membiarkan. "Lepas Mas," ucap Nara yang tak henti memberontak dari pelukan Danar.

"Maaf Nara, maafkan saya. Saya khilaf Nara." Ucapan Danar terdengar tulus dan penuh penyesalan.

"Sebaiknya kita sudahi semua ini Mas. Nara tahu dari awal semua ini salah, Mas."

"Maksud kamu?"

"Lepaskan Nara Mas, ceraikan Nara."

"Nggak Nar. Nggak," pungkas Danar. "Maaf saya sempat berniat menyakiti kamu, tapi saya khilaf Nara. Tolong maafkan saya. Saya ... saya hanya cemburu Nara."

Cemburu? Pikir Nara tak mengerti.

"Kamu ... kamu pulang dengan laki-laki lain dengan arah yang berbeda dari toko tempat kamu bekerja. Hujan-hujanan berdua. Saya berpikir kalian ...."

Jadi, ini soal Ajun. Nara akhirnya mengerti mengapa Danar bertindak bagai iblis tadi. Tapi Nara tidak habis pikir kalau Danar harus memperlakukannya bagai binatang hanya karena rasa cemburu. Apalagi tidak pernah ada urusan hati diantara mereka. Mereka hanya terikat pernikahan, bukan perasaan.

Nara mengingat kejadian beberapa jam lalu saat dirinya begitu tak berdaya. Tubuhnya meringkuk seperti janin, tubuhnya bergetar hebat seiring rasa dingin yang menusuk tulang. Tubuhnya telanjang sempurna berkat tangan cekatan Danar yang melucuti pakaiannya yang basah akibat kehujanan bersama Ajun tadi. Danar hampir saja memperkosanya.

Saat tadi, baru sepersekian detik bibir Danar menyentuh bahunya, Danar seperti terpaku seolah merasakan dingin yang Nara rasakan. Seketika suaminya itu panik, ia menyambar selimut tebal yang terlipat rapi di atas ranjang. Membalut tubuh Nara dengan selimut itu lalu memeluknya dengan erat.

Tapi, tetap saja Nara sedih diperlakukan seperti itu.

"Apa kamu selalu begini saat sedang cemburu?" tanya Nara penasaran.

"Entah ... mungkin kita memang menikah tanpa dilandasi cinta, tapi tetap saja, kamu istri saya Nara. Saya tidak suka melihat kamu bersama laki-laki lain."

"Nara pindah toko sejak satu bulan yang lalu. Nara ingin cerita ke Mas Danar tapi saat itu Mas sedang marah sama Nara. Dan, Nara lupa memberitahu Mas sampai sekarang. Dan tadi, dia Ajun. Dia kepala toko di toko baru Nara. Kami tidak ada hubungan apapun."

"Maaf Nara. Saya minta maaf."

Permintaan maaf Danar hanya kembali membuat Nara menangis.

"Saya memang belum mencintai kamu. Tapi kamu harus percaya saya tidak main-main dengan pernikahan ini. Jadi tolong jangan berbicara tentang perpisahan. Bahkan saya ingin memiliki anak dengan kamu."

Permintaan maaf Danar diterima dengan mudah oleh Nara. Bahkan Nara yang polos itu memang terlalu mudah bagi Danar. Yang tak mudah justru bagi Danar untuk mengendalikan perasaannya. Sejak awal ia terkadang terlena saat bersentuhan dengan Nara meski sama sekali tidak mencintai wanita itu. Ia juga sudah biasa tidur dengan wanita lain selain kekasihnya. Namun, dengan Nara seperti ada magnet yang menariknya untuk jatuh lebih dalam pada Nara.

Danar bersumpah tidak akan lagi berbuat kasar pada Nara. Apapun itu alasannya. Cemburu? Danar tidak benar-benar cemburu. Danar hanya tidak rela Nara bersama laki-laki lain. Danar tidak ingin membuat Nara marah dan membencinya. Setidaknya hingga tujuannya tercapai.

***

Dua Minggu kemudian, Danar mengajak Nara ke sebuah rumah sakit. Menemui dokter spesialis kandungan kenalannya dari Erza.

"Mas, kenapa kita harus ikut program hamil segala. Kita juga baru satu bulan menikah. Wajar kalau Nara belum hamil."

"Nara sayang, kamu tahu sendiri ibu sudah tidak sabar ingin menggendong cucu, dan mas juga ingin segera mendengar suara tangisan bayi di rumah," jawab Danar manis.

Lagi-lagi hati Nara menghangat. Semua perkataan Danar sangat membuatnya terpukau. Ia merasa beruntung diperistri oleh seorang Danar Affandra Hirawan.

"Ya, tapi Nara pikir program hamil hanya untuk mereka yang sulit memiliki anak Mas."

Danar hanya menggeleng seraya tersenyum lembut menanggapi ucapan Nara.

Setelah menjalani diskusi dan berbagai jenis pemeriksaan medis, dokter menyatakan Danar maupun Nara dalam keadaan sehat dan siap memiliki anak. Selama konsultasi Danar aktif bertanya dan menyimaknya dengan baik. Segala gerak-gerik Danar tak luput dari perhatian Nara yang semakin menaruh hati padanya.

Sudah menjadi rutinitas Nara, mengucap kata cinta untuk Danar ketika mereka baru saja menuntaskan hasrat mereka. Matanya selalu menatap dalam pada mata Danar, mencoba menyampaikan kalau perasaan yang ia miliki benar adanya. Entah benar cinta atau bukan, yang jelas Nara menaruh harapan besar pada pria yang menjadi suaminya dalam dua bulan ini.

***

Nara merindukan ibunya. Tapi, kini sang Ibu sudah kembali ke kampung halamannya. Lagipula Nara juga masih bingung jika bertemu ibunya nanti. Sebagai gantinya Nara meminta Danar untuk berkunjung ke rumah Mama Sani saja.

Baru semalam mereka tiba di rumah ini, dan berencana untuk menginap selama dua hari kedepan. Nara juga sudah mengambil cuti demi berlibur dirumah mertuanya ini. Hari masih pagi, saat mereka bercengkrama di halaman belakang rumah masa kecil Danar itu.

"Nar!"

"Iya, Ma!"

"Iya, Ma!"

Mata mereka bertemu. Nara mengerjap pelan saat melihat bola mata Danar, lalu menunduk. Rona merah muda kini menghiasi pipinya. Selalu saja begitu setiap bersitatap dengan Danar. Danar sendiri menjadi kikuk, setelah mendapat senyuman menggoda dari sang Mama.

"Kompak sekali anak dan menantu Mama. Danar, Nara," ujar Sani dengan senyum lebar.

Danar hanya tersenyum. Satu bulan Nara menjadi istrinya, baru sekarang Danar menyadari ada kemiripan dengan nama mereka. Danar lalu tersenyum pahit melihat sang ibu merangkul Nara yang sedang malu-malu. Sandainya saja Echa dapat diterima dengan mudah seperti Nara. Tentu dia tidak perlu melibatkan Nara  dalam masalah peliknya.

"Semoga kalian cepat di karuniai anak ya. Mama selalu mendoakan di setiap sujud Mama." Begitu tanggapan Sani saat Nara menceritakan program hamil yang dirinya dan suaminya jalani dengan antusias.

"Nar, Mama pinjam Nara-mu sebentar ya. Mama mau pergi ke pasar dengan menantu Mama."

"Iya Ma," Jawab Danar singkat.

Setelah Sani dan Nara pamit, Danar tak mau membuang waktu. Ia sangat merindukan Echa. Ia lalu masuk ke dalam kamarnya, di lantai dua rumah. Danar mengambil posisi nyaman di atas tempat tidur lalu segera menghubungi kekasihnya itu. Senyumnya mengembang saat melihat wajah cantik Echa.

Obrolan ringan dan hangat membantu Danar melepas rindunya yang menggunung.  Seperti biasa, Echa selalu membuat dirinya senang. Namun, kesenangan itu memudar kala Echa mulai membahas pernikahannya dengan Nara.

"Kita sudah sepakati ini sejak lama Cha. Dan kamu setuju."

Terdengar isak tangis dari seberang sana.

"Dia gadis pilihan Mama, dia gadis baik-baik. Aku hanya ingin memberikan Mama cucu dari bukan sembarang perempuan. Kamu pun tidak ingin anak kita itu terlahir dari perempuan tidak baik bukan Cha?"

Layar ponsel Danar tidak lagi menampilkan wajah cantik Echa. Hanya gelap yang tersisa meski panggilan video mereka masih tersambung.

"Iya, aku mengerti. Maafkan aku Cha. Demi Tuhan aku mencintaimu kamu. Semua yang aku lakukan untuk kebaikan kita Cha."

Tangis wanita dari seberang sana berangsur mereda. Danar berhasil meredam amarah kekasih hatinya itu.

"Bagaimana bisa aku membuatnya hamil kalau aku tidak menyentuhnya Echa. Kamu ingin semua ini cepat selesai kan?" Danar kembali memberi pengertian.

"Iya Cha. Aku bahkan sudah mengajaknya ke dokter kandungan untuk mengikuti program. Kami sedang menjalaninya sekarang," jelas Danar lagi.

Nada manja kini terdengar jelas dari lawan bicara Danar itu.

"Jangan khawatir, aku tidak akan mungkin mencintai dia Cha. Dia bukan tipeku. Kamu tahu sebesar apa aku mencintai kamu, sampai aku melakukan semua ini."

"Mas Danar!"

Suara Nara yang tiba-tiba terdengar membuat Danar melesat bangkit dari posisinya. Ponselnya ia simpan di bawah bantal, dengan belum sempat mematikan sambungan. Sementara itu, Nara yang berada di ambang pintu kamar, menatapnya dengan datar.

TBC

Hai, terima kasih sudah kasih vote dan komentar untuk duo Nar. Jangan ragu untuk kasih kritik dan saran yaa 💕

----
Jadi, waktu beberapa bulan lalu aku bilang mau repost ya? Tapi macet. Hehe.

Di KaryaKarsa lancar kok, 😆
Langsung aja kesana ya kalau mau langsung baca sampai tamat 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro