7
Nara dapat menangkap sebuah senyum ditujukan untuknya dari seorang pria yang baru saja masuk ke dalam toko. Pandangannya lalu mengikuti langkah pria itu berjalan menuju pintu karyawan di bagian belakang toko. Melihat Pria itu menyapa Merlin-rekan satu shift-nya hari ini, membuatnya menebak kalau pria tadi juga rekannya di toko ini.
Toko tempat Nara baru pindah ini memang terbilang dekat dibandingkan dengan toko sebelumnya. Hanya dengan satu kali naik angkot dari depan komplek tempat tinggalnya, Nara sampai di toko ini.
"Hai, Nara. Perkenalkan saya Ajun." Laki-laki dengan seragam yang sama dengan yang dipakai Nara menyapanya dengan ramah sekaligus memperkenalkan diri. Laki-laki yang tadi juga tersenyum padanya.
"Nara," ucapnya seraya menyambut uluran tangan Ajun.
Pikiran Nara langsung saja tertuju aktor bernama mirip dengan pria di depannya ini-Ajun Perwira. Postur tubuh, bentuk wajah, gaya rambut memang hampir mirip. Tapi Ajun didepannya ini sedikit kurus. Tapi setelah diingat lagi, setahu Nara tidak ada nama Ajun di toko ini. Ia tahu karena melihat struktur organisasi di kantor. Lalu matanya melirik pada nametag yang tergantung di leher Ajun. Ali Junaedi, Kepala Toko.
Briefing pertama Nara menjadi personil di toko itu, ada Ali alias Ajun sebagai kepala toko, Merlin, Rizal, dan Dian sebagai staf. Semuanya sangat ramah dan menyambutnya dengan baik, kecuali Merlin. Sejak pagi ia bertugas bersama Merlin, Merlin selalu memasang wajah jutek dan seperti tidak suka padanya.
***
Sebuah cup berbahan styrofoam coffee shop ternama Danar letakkan diatas meja kerja Erza. "Ngopi dulu," ujarnya lalu menyeruput kopi miliknya sendiri.
Erza melirik kopi itu dengan tak minat lalu melanjutkan kesibukannya dengan tumpukan berkas di meja kerjanya. "Bukan sogokan, tenang," ucap Danar pada sahabatnya yang beberapa hari ini tidak menegur dirinya itu.
"Iya Za, maaf deh maaf," ucap Danar terpaksa.
"Kalau gak ikhlas gak usah minta maaf Nar!" sahut Erza tanpa menoleh pada Danar.
"Lo marah beneran, Za? Gitu doang. Urusan kerjaan juga."
"Menurut Lo? Nita marah sama gua gara-gara gua tinggal mendadak selama tujuh hari ke Kalimantan. Bukan masalah pekerjaannya tapi soal lo yang seenaknya kasih perintah! Seenggaknya lo bisa kasih tau gua jauh-jauh hari!" omel Erza.
"Kalau gua kasih tau Lo duluan. Lo pasti ceramahin gua ini-itu Za. Gua males," jawab Danar santai menanggapi luapan emosi Erza.
"Gua nggak akan ikut campur, Nar. Terserah. Lo udah cukup dewasa buat berpikir jernih membedakan mana yang baik dan buruk. Lo juga cukup pintar untuk gak mengambil langkah bodoh buat rumah tangga lo sendiri," jawab Erza.
"Ya gimana, gua punya cita-cita buat bangun rumah tangga sama Echa. Cuma dia satu-satunya wanita yang gua mau. Tapi gua juga punya satu lagi wanita yang berarti buat hidup gua. Gua harus bahagiakan keduanya."
"Terserah Nar. Gua gak ikut-ikutan soal rumah tangga Lo. Pergi sana, gua harus pulang lebih awal hari ini!" Mungkin hanya Erza yang mampu mengusir atasannya sendiri seperti itu.
"Bucin," Gumam Danar yang entah Erza dengar atau tidak seraya bangkit dari duduknya lalu menuju ke ruangannya sendiri.
***
Danar ingin segera tiba dirumah. Pekerjaannya hari ini tidak begitu banyak, hingga ia bisa meninggalkan kantor bahkan satu jam sebelum waktu pulang. Seperti biasa jika memiliki waktu luang seperti ini, Danar akan pulang cepat untuk menuntaskan rindunya pada sang kekasih yang terpisah benua dengannya itu, dengan melakukan panggilan video.
Sampai di rumah, sang istri menyambutnya dengan sukacita. Nara begitu manis dengan daster rumahan yang begitu pas di tubuh mungilnya. Dari Rambutnya yang terurai menguar aroma buah-buahan yang menyegarkan. Danar menyukainya. Hatinya menghangat mendapat sambutan seperti ini, ternyata begini rasanya memiliki seorang istri.
"Pulang cepat ya Mas?" Tanya Nara yang membuat Danar kembali ke dunia nyata. Maksudnya keluar dari ke-terpesonaan dirinya pada Nara. Danar menggeleng cepat, menghalau rasa aneh tadi untuk menempati hatinya. Tidak, hanya Echa yang ada di hatinya. Hatinya tidak untuk wanita lain, apalagi se-level Nara.
"I...iya," jawab Danar gugup. Sial, pikirnya. Hampir saja ia melupakan tujuannya pulang lebih awal. Dan sialnya lagi ia juga lupa kalau ia tidak sendiri lagi tinggal dirumah. Tidak mungkin ia menghubungi Echa sementara Nara juga ada didalam rumah. Bisa gagal rencananya. Rindu untuk Echa juga tak bisa lagi ia tahan. Padahal ia baru saja bertemu Echa tiga hari yang lalu.
Dan, sebuah ide cemerlang melintas begitu saja di otak Danar.
"Saya sedang ingin makan Sop Iga. Bisa tolong kamu belikan?" Danar mendekat pada Nara menghapus jarak diantara mereka, lalu mengendus rambut setengah basah Nara dengan lembut lalu turun ke leher Nara yang masih beraroma sabun mandi. Danar memang jago mengambil kesempatan.
"Bi...bisa Mas. Beli dimana Mas, biar Nara belikan." Jawab Nara terbata, tidak lupa rona merah pada kedua pipinya membuat Danar tersenyum geli didalam hati. Apa Nara selalu begini, setiap dicumbu kekasihnya? Menggemaskan sekali.
Setelah memberikan alamat sebuah rumah makan langganannya pada Nara Danar langsung menuju kamarnya. Mencoba menghubungi kekasihnya namun tidak kunjung mendapat jawaban. Perbedaan waktu hanya selisih empat jam, dan di waktu seperti ini Danar tahu Echa baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan biasanya akan istirahat di apartemennya.
Danar semakin gelisah karena kekasihnya tak kunjung menjawab panggilannya. Apa mungkin Echa masih marah atas keputusan yang ia ambil untuk menikahi Nara? Padahal keputusan Danar semata-mata untuk kebaikan Echa, juga ibunya.
"Mas kenapa? Nara perhatikan wajah Mas murung sejak sore tadi?" tanya Nara pada Danar.
"Echa. Dia marah." jawab Danar dalam hati. Karena hingga satu jam kemudian saat Nara pulang setelah membeli Sop Iga, Echa tak kunjung menjawab panggilannya. Bahkan hingga malam datang Echa tak kunjung mengiriminya pesan apapun.
"Pasti Mas capek ya? Sini Mas dekat Nara." Nara menepuk sisi kosong tempat tidur didekatnya. Danar menurut saja menggeser bokongnya pada sisi yang ditunjuk Nara. "Nara pijat ya, Mas."
Danar bagai kerbau di cucuk hidungnya. Ia tak bisa menolak sentuhan jemari Nara yang memijat lembut pundaknya. Gelisah yang dirasakannya karena memikirkan Echa lenyap begitu saja ketika berdekatan dengan Nara. Kalau begini terus, ia bisa-bisa jatuh cinta dengan Nara, pikir Danar begitu khawatir. Sebisa mungkin ia harus berada di jalurnya. Ia tidak boleh mengkhianati Echa.
***
"Kamu makan dulu Ray, biar saya gantikan kamu jaga kasir."
"Ray?" tanya Nara bingung pada Ajun.
"Iya, Ray. Naraya, saya mau panggil kamu Raya. Boleh, kan?"
"Oh, boleh kok Pak," jawab Nara dengan senyum manisnya. "Raya, bagus juga pak," ujarnya lagi seraya tertawa. "Ya sudah saya makan dulu ya Pak," pamit Nara lalu pergi ke dalam.
"Maunya sih panggil sayang, tapi nanti suami kamu marah Ray," sahut Ajun tepat saat Nara masuk ke dalam area belakang toko, yang tentu saja Nara tidak mungkin mendengarnya.
Waktu pergantian shift tiba, Nara menyelesaikan tugasnya menyetorkan uang hasil penjualannya hari ini pada Ajun. Seraya menunggu Ajun serah terima dengan Merlin, Nara bersiap untuk pulang.
Entah kenapa angkutan umum yang ditunggu Nara sejak belasan menit yang lalu tidak kunjung ada. Padahal hari terlihat mendung, dan Nara ingin cepat sampai di rumah sebelum hujan turun. "Ray? Masih disini?" tegur Ajun yang sudah menaiki motor besarnya.
"Iya Pak, angkotnya jarang. Sekalinya ada, penuh pak," jawab Nara.
"Kalau gitu bareng saya sja Ray," tawar Ajun.
"Tapi kan kita gak searah. Gak usah Pak, nanti merepotkan." Tolak Nara halus.
"Gak apa-apa Raya. Rumah kamu juga nggak begitu jauh, kan. Mendingan saya antar, sudah mau hujan tuh." Tunjuk Danar pada langit yang berwarna abu-abu.
Akhirnya Nara menyetujuinya, meraih uluran tangan Danar yang membantunya naik ke atas motor. "Terima kasih," Ucap Nara setelah mendaratkan bokongnya pada jok motor Ajun.
"Sama-sama, berangkat ya princess," ujar Ajun yang begitu jelas di telinga Nara. Wajahnya bersemu merah disebut seperti itu oleh Ajun. Sikap Ajun padanya memang agak aneh, tapi Nara tetap menanggapinya dengan positif, sewajarnya hubungan kerja kasir dengan kepala tokonya.
Tanpa Nara tahu, ada seseorang yang memperhatikan interaksi mereka berdua sejak tadi di dalam mobil. Rasa tidak suka begitu kentara dari rahangnya yang mengerat, juga pegangannya pada kemudi mobil hingga buku jarinya memutih. Ia memang tidak mencintai Nara, tapi melihat Nara seperti itu, harga diri Danar sebagai seorang laki-laki bagai diinjak-injak.
Nara sialan. Umpatnya pada sang istri yang sedang bersama seorang laki-laki di atas motor, bersisian dengan mobilnya yang menunggu lampu merah menjadi hijau. Danar mengikuti motor itu yang memang mengarah ke perumahan dimana tempat tinggalnya berada. Hujan turun begitu deras, namun hatinya begitu panas melihat dua sejoli itu begitu romantis hujan-hujanan diatas motor.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro