4.
"Udah gua bilang, dia bukan cewek yang biasanya seperti yang lo maksud. Dia beda, Nar," ucap Erza-sahabat -Danar sebelum ia mengepulkan asap rokok yang ia hisap, kuat-kuat ke udara.
Danar kembali mengingat pada malam tahun baru itu. Pada gerakan sensual Nara saat ia melepas cardigannya dan hanya meninggalkan tank top dengan tali hanya sebesar spaghetti melekat di tubuhnya. Nara terlihat begitu menakjubkan kala ia menggoyangkan kepala dan bagian atas badannya mengikuti irama musik kelab yang menghentak, seraya duduk di balik meja Bar. Membuat Danar tak bisa menahan diri untuk tidak menghampiri Nara.
Danar mengambil kursi kosong di samping Nara, lalu duduk. Menyingkirkan gelas kecil berisi minuman di depan Nara, ia membawa tubuhnya menjadi lebih dekat pada Nara. Aroma keringat dan parfum Nara yang berpadu membuat Danar semakin nafsu dan menyambar bibir ranum milik Nara. Nara membalasnya, ciuman panas pun tak terhindarkan di meja Bar.
Danar tak mau membuat Bartender di depannya iri melihat aktivitas mereka. Danar menuntun Nara berjalan keluar dari tempat itu, dan sang gadis hanya menggelayut manja dalam pelukannya. Tidak sulit membawa Nara hingga ke kamar hotel tempat biasa ia membawa perempuan berjenis sama dengan Nara.
Dar memulainya dengan membuka celana panjang berbahan jeans yang Nara gunakan. Danar terus melanjutkan aksinya walau merasa sedikit aneh dengan perempuan yang ia bawa kali itu. Nara tidak seperti kebanyakan perempuan bayaran yang bertingkah sok sexy, menatapnya dengan binal dan nakal demi menarik perhatian Danar ataupun membangkitkan gairahnya. Gadis ini tampak lain. Ia terkesan pasrah walau sesekali ia membalas apa yang di perbuat Danar. Danar akui, Danar menyukai gaya bercinta Nara.
Hingga pada inti permainannya, Danar harus mengakui gadis yang sudah pasrah di bawahnya itu jelas berbeda. Danar begitu sulit memasukinya, wajah kesakitan Nara malah membuatnya semakin bernafsu. Setetes air mata lolos dari kedua ujung mata Nara kala Danar berhasil memasuki milik Nara, dan dari situ ia tahu kalau ia menjadi yang pertama bagi Nara.
"Ya udah, jadi mau gimana?" Tendangan Erza pada tulang kering Danar, membuat Danar menghentikan lamunannya dan kembali pada masa sekarang.
Mereka sedang berada di taman belakang rumah sakit. Sejak semalam Danar meminta Erza menemaninya menunggui Nara.
"Gak tahu," jawab Danar frustasi.
"Sayangnya gue udah punya Nita. Kalau belum, gue mau sama si ... siapa namanya?" tanya Erza. "Apa salahnya sih menikah sama dia. Dia muda dan cantik. Apalagi lo ngerasain perawannya kan?"
Danar hanya melengos, tak menjawab Erza. Mengalihkan perhatiannya pada layar ponsel di tangannya, puluhan missed call dari kedua wanita yang ia sayangi itu ia acuhkan. Jujur saja, hatinya masih tidak tenang. Apalagi Nara masih belum juga siuman meski sudah melewati masa kritisnya. Setidaknya, ia harus menyelesaikan masalah ini dulu.
***
Sudah dua jam sejak ia membuka mata. Tapi tidak ada satu orang pun yang masuk ke kamar tempat ia dirawat ini. Ia merasa baru saja menghabiskan tidur dalam waktu yang panjang. Tenggorokannya terasa begitu kering, sayangnya tidak ada siapapun yang bisa membantunya untuk minum.
"Naraya?"
"I ... iya?" jawab Nara sedikit kaget saat ada kepala menyembul di balik pintu kamar rawatnya.
"Mau minum, Nak?" tanya wanita paruh baya itu begitu peka.
Nara mengangguk lalu menerima segelas air minum yang di ambil wanita itu dari atas nakas.
"Bagaimana keadaan kamu sayang?" tanya wanita paruh baya itu. Usapan lembut di kepala Nara membuat Nara mengingat ibunya. Pasti ibunya akan semakin kecewa melihat dirinya seperti ini-melakukan percobaan bunuh diri.
"Ba ... baik Bu," jawab Nara masih tak mengerti siapa wanita di depannya ini.
"Jangan panggil Ibu, panggilnya Mama ya seperti Danar. Nama Mama, Sani."
Danar. Ya, kemana pria itu. Nara baru ingat wajah Danar lah yang terakhir kali ia lihat sebelum tidak sadarkan diri. Jadi Danar yang menolongnya?
"Lain kali kalau makan hati-hati ya sayang, apalagi makanan di pinggir jalan. Kita harus pintar memilih. Mana yang terjaga kebersihannya mana yang tidak. Jangan sampai kamu keracunan makanan lagi," ucap Sani.
Nara pun mengerti. Danar membohongi ibunya, bagus juga jadi Nara tidak harus menelan malu akibat perbuatan percobaan bunuh diri namun gagal ini. Eh, tapi kenapa Ibu Danar bisa ada disini? Pikir Nara bingung.
"Usia kamu berapa, Nak?" tanya Sani.
"22 Ma," jawab Nara.
"Wah kalau begitu sama. Mama dan Almarhum Papa Danar juga terpaut usia 5 tahun. Dan Mama juga menikah di usia 22 tahun." Sani bercerita dengan wajah bahagia. Nara hanya bisa turut tersenyum meski bingung menyelimutinya. Sama? Maksudnya.
"Mama senang sekali akhirnya Danar memutuskan untuk menikah, maaf ya sayang. Bukannya Mama tidak mau ikut melamar ke rumah ibu kamu, tapi kesehatan Mama sedang menurun sayang."
"Ma ...."
"Mama juga mengerti kalau kamu tidak mau pesta yang meriah untuk pernikahan kalian. Karena ibu kamu yang sedang sakit."
"Sakit?"
"Mama hanya bisa berharap agar Ibumu maupun Mama senantiasa diberi kesehatan dan umur yang panjang. Setidaknya Mama ingin merasakan bermain dengan cucu Mama nanti. Tolong jangan menunda ya sayang, anak itu rejeki. Menurut Mama menunda bukan tindakan yang baik."
"Tapi, Ma ...."
"Mama!"
Bersamaan dengan Nara yang ingin meminta kejelasan pada Sani tentang apa yang dibicarakannya. Danar muncul, dan menyela kalimatnya. Danar mengenakan kemeja panjang yang sudah ia gulung sampai ke siku, sepertinya ia baru saja pulang kerja. Karena penampilannya sama seperti saat Nara memintanya bertemu sore itu. Danar menghampiri Mamanya lalu mencium tangannya.
"Pulang yuk Ma, istirahat. Danar antar," ajak Danar pada Sani.
"Mama ada supir kok. Kamu biar disini saja jaga calon menantu Mama," tolak Sani.
"Ya sudah, mari Danar antar ke bawah ya Ma, sampai parkiran," ucap Danar yang lalu menuntun sang Mama. Melihat Nara kembali ingin membuka suara Danar mencoba menghentikannya dengan kedipan mata pada Nara.
***
"Kata Dokter besok pagi kamu bisa pulang," ucap Danar saat memasuki kamar rawat Nara.
Nara hanya memandangnya datar. Menanti penjelasan tentang apa yang terjadi, khususnya semua apa yang dikatakan Mama dari pria itu. Tapi Danar seperti orang tak berdosa ia malah mengambil nampan berisi makan sore untuknya.
"Apa gak ada yang mau kamu jelaskan sama aku?" tanya Nara yang sudah tak sabar.
"Soal?"
"Ya soal Ibu kamu tadi. Soal semua yang ibu kamu katakan."
"Silahkan tanyakan bagian mana yang kamu tidak mengerti, saya akan jawab."
"Semuanya, tolong jelaskan semuanya."
"Saya sudah melamar kamu ke ibu kamu kemarin. Dan Ibumu menerima lamaran saya. Dan kita akan menikah," jelas Danar.
"Soal tidak adanya pesta pernikahan itu memang keinginan saya. Tapi ibumu memang benar sakit, saya juga tidak memberi tahu tentang percobaan bunuh diri kamu padanya. Kita menikah di KUA, lusa. Jelas?"
"Menikah?" tanya Nara tak percaya, keningnya berlipat tiga dan mengerut saking tak habis pikirnya dengan apa yang diucapkan Danar. "Kamu yakin?"
"Iya, saya ... saya merasa bertanggung jawab atas semua apa yang saya lakukan terhadap kamu, " jawab Danar. "Saya akan menikahi kamu."
"Tapi kenapa kamu berubah pikiran secepat ini?"
"Saya tidak ingin ada percobaan bunuh diri untuk kedua kalinya. Intinya saya hanya ingin bertanggungjawab."
"Tapi aku nggak jadi meminta pertanggungjawaban. Lagipula aku nggak hamil, nggak ada yang perlu dipertanggungjawabkan," jawab Nara.
Danar terdiam, menatap Nara yang membuang wajahnya dan kini menatap pada layar televisi yang sejak tadi menyala.
"Jangan menikahi aku hanya karena rasa bersalah," ucap Nara lagi.
"Lalu dengan alasan apa?" tanya Danar.
"Aku nggak mau menjalani pernikahan tanpa cinta. Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup," jawab Nara.
"Apa kamu pikir kelak kita akan bercerai? Percayalah cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Saya akan belajar mencintai kamu, dan saya yakin tidak akan sulit bagi kamu untuk jatuh cinta pada saya."
Mulut Nara menganga mendengar kalimat terakhir dari Danar. Astaga percaya diri sekali pria tampan didepannya ini.
"Tapi ...."
"Apa begitu sulit bagi kamu untuk menerima niat baik saya, dan berpikir positif saja?" tanya Danar saat Nara akan kembali berbicara. Ia lantas berjalan mendekat ke arah Nara menekan tombol otomatis pada brankar, yang membuat brankar akan terangkat otomatis.
"Akan aku pikirkan dulu soal tawaran pernikahan itu," ucap Nara kala Danar membantunya menyesuaikan tubuhnya, sedangkan sebelah tangannya masih menekan tombol mengatur posisi brankar.
"Itu bukan tawaran Naraya. Saya akan tetap menikahi kamu apapun yang terjadi," jawab Danar penuh penekanan. Mengambil nampan berisi makan sore Nara yang tadi ia letakkan kembali di atas nakas, Danar siap menyuapi Nara. "Ayo makan, kamu harus cepat pulih. Saya tidak mau calon ibu dari anak-anak saya kelak terlalu lama sakit."
TBC
Terima kasih untuk vote dan komentarnya yaa... 💕💕💕
Ngomong-ngomong Danar baik yaa 😍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro