Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3

"Tidak ada bukti yang menyatakan gosip tentang Nara itu benar, Pak. Apalagi hanya foto Nara di kelab bersama seorang pria. Yang saya ketahui Nara datang ke sana bersama tiga pegawai lain di toko ini. Jelas sekali tujuan Nara kesana hanya untuk merayakan tahun baru. Bukan untuk menjual diri seperti berita yang beredar."

"Saya mengerti. Tapi berita itu membuat saya merasa tak nyaman. Saya jadi pusat perhatian bukan karena prestasi, tapi karena gosip tak jelas bawahan saya sendiri."

Nara merapatkan telinganya pada dinding. Ia tidak bermaksud menguping, justru ia baru saja tiba untuk memulai shift-nya siang ini. Namun saat akan bersiap di belakang, sayup-sayup percakapan kepala toko dan koordinator area-nya itu menarik perhatiannya.

"Pak tidak ada hubungannya gosip yang beredar itu dengan kinerja Nara. Dia tetap pegawai saya yang baik dan disiplin. Tolong, Pak." Suara Bu Dewi terdengar seperti memohon.

"Maaf Dewi. Keputusan saya sudah bulat, lagipula sebelumnya sudah saya bicarakan juga dengan area manajer. Sebaiknya Naraya tetap dimutasi."

"Tapi Pak, Nara tidak bisa dimutasi, ia sedang dalam proses promosi kenaikan levelnya menjadi asisten kepala toko. Mutasi jelas akan menghambat langkah Nara, Pak."

"Itu sudah menjadi resikonya."

Seketika kedua kaki Nara terasa seperti jelly. Kalau ia tidak berpegangan pada tumpukan kontainer di samping kantor minimarketnya itu mungkin dia sudah jatuh sejak tadi. Mutasi? Itu artinya semua tahap tes yang telah ia jalani, dan training-nya untuk menjadi Asisten kepala toko menjadi sia-sia.

Walau sebenarnya Nara yakin mungkin menjadi Asisten kepala toko-AKT belum menjadi rezekinya. Mutasi? Kemana? Semoga tidak jauh, batin Nara berharap. Pada dasarnya Nara adalah seorang anak perempuan tunggal yang tak pernah hidup jauh dari orang tuanya. Nara tidak merasa sanggup hidup jauh dari orang yang ia kenal. Beruntung ia memiliki Bu Dewi yang bersikap bagai kakak untuknya dan mau menampungnya untuk saat ini.

***

Nara melalui shift siangnya dengan setengah nyawa. Gurauan Egi yang kini juga sedang satu shift dengannya itu biasanya sering membuat ia tertawa, bahkan hingga terpingkal-pingkal kini tak memberi efek sama sekali baginya. Nara hilang arah. Ia hilang tujuan untuk melanjutkan hidup. Masa depan tak punya, orang tua mengusirnya, orang-orang disekitarnya kini memandangnya sebelah mata.

Kata Reta, malam itu Nara menghilang sendiri. Reta dan Kaesi mencoba mencari dirinya namun tidak ketemu. Apalagi suasana kelab malam yang semakin ramai saja. Akhirnya mereka pulang dan meninggalkan Nara yang bernasib malang.

Nara semakin frustasi kala ia masih tak mampu mengingat hal selanjutnya. Atau sugesti Nara saja yang menolak untuk mengingat karena tak bisa menerima kenyataan. Entah, Nara tak mengerti.

Nara menoleh ke arah rak dimana racun serangga berada. Pada shelving paling bawah Nara memperhatikan satu persatu merek racun serangga cair itu. Nara berpikir, bagaimana rasanya cairan ini saat melewati tenggorokannya nanti.

Sepahit apa? Lalu butuh waktu berapa lama sampai ia tak bernafas lagi? Kalau bisa membunuh nyamuk dalam waktu satu detik, untuk manusia butuh waktu berapa detik?

Nara memang tak berniat hidup dengan keadaan seperti ini. Sepertinya mati akan lebih baik baginya.

"Nara, ayo!" Ajak Egi yang sudah siap di atas motornya. Shift siang telah berakhir. Kini mereka tengah bersiap untuk pulang.

"Duluan Gi. Aku mau beli makan dulu di depan sana," tolak Nara halus.

"Yah, yaudah deh. Padahal Bu Dewi tadi titipin kamu sama aku. Katanya aku suruh antar kamu pulang kerumahnya malam ini," jelas Egi.

"Gak apa-apa, aku sendiri aja," jawab Nara seraya menarik rolling door minimarket tempatnya  bekerja itu lalu menguncinya.

Nara melirik pada plastik putih dengan logo keranjang belanja itu, sekali lagi. Didalamnya terdapat racun serangga cair kemasan isi ulang dengan ukuran 200 ml. Nara yakin ukuran 200 ml itu cukup banyak untuk ditenggak sekaligus.

Nara berjalan melawan arah dari rumah Bu Dewi. Tidak, ia tidak akan kembali ke rumah Bu Dewi lagi. Ia tidak akan melancarkan aksinya disana dan membuat rumah Bu Dewi menjadi ramai karena ulahnya. Minimarket tempatnya bekerja berada di bagian tengah dari deretan ruko yang berjumlah sepuluh ruko itu. Dan, Nara sudah tiba di depan ruko paling ujung yang memang kosong sejak dua bulan yang lalu. Masih pukul sebelas malam tapi suasana cukup sepi. 

Sepertinya disini tempat yang bagus, pikir Nara.

Nara mengambil posisi duduk di teras ruko kosong itu. lalu mengambil racun serangga di dalam plastik putih di tangannya. Tidak ada lagi keraguan dalam hatinya. Ini keputusan terbaik dalam dua puluh satu tahun hidupnya di dunia ini. Nara pikir mati akan mengangkat sesak yang membuat ia kesulitan bernafas selama dua minggu ini sejak kejadian malam itu.

Tanpa ia sadari air matanya menetes. Kilasan kisah pahit itu berputar dalam pikirannya. Meski begitu, tangannya tidak tinggal diam. Kemasan plastik racun serangga itu begitu mudah Nara sobek dengan kukunya.

"Sebentar lagi, sebentar lagi dan semuanya akan terasa mudah Nara," batinnya menghibur.

Nara siap menenggak, namun teriakan dari arah samping ia duduk menghentikannya. "Berhenti!"

Nara tak menghiraukannya, tetap melanjutkan niatnya untuk meminum racun itu. Namun saat tetesan racun itu hampir saja masuk ke dalam mulutnya seseorang menepisnya hingga bungkusan itu jatuh dan menumpahkan sedikit isinya. "Saya bilang berhenti! Bodoh!" ucapnya lagi disertai umpatan kasar. Terdengar jelas nafasnya yang memburu.

Nara mendongak, dengan mata memerah dan wajah basah karena air mata. "Kamu?" Nara yakin tak salah lihat pria didepannya ini, Danar.

"Buat apa bunuh diri bodoh! Tolol! Sebanyak apapun tabungan pahalamu, bunuh diri tetap akan membawamu ke neraka!"

"Saya tau," jawab Nara datar.

"Lalu? Lalu kenapa kamu melakukan hal bodoh ini?" tanya Pria itu lagi, emosi.

"Bukan urusanmu!" sahut Nara lalu mengambil bungkusan racun serangga yang sebagian isinya sudah tumpah ke aspal itu. Nara lalu mencoba untuk kedua kalinya.

"Bodoh! Kamu mau bunuh diri di depan saya!" Bentak Danar lagi. "Lalu kamu mati dan saya dikira membunuh kamu? Kamu gila, ha?"

"Kalau begitu, silahkan pergi!" Aneh sekali manusia didepannya ini pikir Nara. "Cepat pergi, karena aku pun  ingin cepat-cepat pergi."

"Kamu mau tetap bunuh diri? Kenapa? Masalah apa yang sampai membuat kamu nekat mau bunuh diri? tanya Danar.

Kenapa? Cih. Masih saja tanya kenapa. Masalah apa? Justru anda adalah pembuat masalah.

"Terserah kalau bunuh diri memang menjadi pilihan kamu. Ini." Danar menyerahkan sebuah tas kecil pada Nara. "Ini uang yang kamu kembalikan pada saya waktu itu. Sudah saya tambahkan dengan nominal yang pantas untuk kamu."

Hati Nara kembali teriris. Tidak tersirat sedikitpun di mata Danar perasaan bersalah. Nara benar-benar seorang pelacur di matanya. "Taruh saja, disitu," jawab Nara menekan rasa sakit di hatinya.

"Tolong, jangan bunuh diri," pesan Danar sekali lagi. "Saya pergi."

Nara menyunggingkan senyum sinis mendengar pesan Danar. Menghitung detik demi detik seiring punggung Danar yang mulai menjauh. Nara menatap ke atas langit, disusul dengan tangannya yang masih memegang cairan racun serangga itu. Bersiap meminumnya.

Selamat tinggal.
Selamat tinggal ibu.
Maaf, maafkan Nara Bu.

Lalu Nara benar-benar meminumnya.

"Bodoh!" teriak Danar yang sudah berbalik arah, berlari ke arah Nara dan menubruknya begitu saja bermaksud menghentikan perbuatan Nara. Plastik berisi cairan racun serangga itu memang terpental jauh, tetapi sudah terlambat karena isi dari plastik itu sudah terlanjur masuk ke mulut Nara.

"Naraya! Hei!" Nama gadis di pelukannya ini teringat begitu saja setelah melihat matanya yang masih terbuka dengan tatapan yang kosong. Danar sadar, Nara sudah menelan racun serangga itu terlihat dari sekitar mulutnya ada bekas cairan racun itu.

Tak berpikir lama Danar menekan rahang bawah Nara dengan tangannya, membuka mulut Nara dan menghisapnya. Berharap racun itu belum melewati tenggorokan Nara. Danar terus menghisapnya mencoba memindahkan racun di mulut Nara itu ke mulutnya lalu meludahkannya ke tanah. Berkali-kali Danar terus menghisap mulut Nara tak peduli rasa pahit dirasakan indera pengecapnya.

Danar mengguncang tubuh Nara, berharap gadis ini bangun. "Naraya! Bangun sialan! Kamu bikin repot saya!"

Danar menyadari tubuh Nara memberat di pelukannya, mata Nara kini terpejam. Gadis itu tak sadarkan diri.

TBC

Terima kasih untuk vote dan komentarnya 💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro