Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1

Dingin.

Itu yang Nara rasakan saat ini. Padahal seingatnya kamarnya cenderung panas, sehingga ia selalu merasa gerah meski kipas angin sudah menyala. Nara malas sekali untuk membuka matanya meski ia merasakan sinar matahari menyeruak masuk melalui jendela. Gaya gravitasi kasur yang ia tiduri saat ini sangatlah kuat, sehingga bergelung di balik selimut adalah pilihan terbaiknya untuk saat ini.

Lagipula tubuhnya terasa lelah sekali, tulang-tulangnya terasa remuk redam. Mungkin efek lembur semalam, pikirnya. Seharusnya minimarket tempatnya bekerja tutup jam sepuluh malam. Namun, semalam ia dan teman-teman satu shift-nya terpaksa mengikuti peraturan perusahaan untuk menutup toko tepat saat bunyi kembang api dan terompet bersahutan tanda tahun berganti.

Saat dingin terasa semakin menusuk tulangnya, Nara berpikir ada yang salah pada dirinya. Ia seperti tidak berpakaian. Membuka matanya, lalu meraba tubuhnya sendiri, benar saja hanya selimut tebal yang menutupi tubuh polosnya. Dan selimut ini? Selimut ini bukan miliknya. Melihat ke sekeliling Nara baru sadar kalau ia tidur bukan di kamarnya.

Hotel?

Tubuh Nara bergetar seketika, saat menyadari apa yang terjadi padanya. Tidur dengan tubuh telanjang di sebuah hotel? Nara juga baru menyadari ada yang tidak biasa pada inti tubuhnya, terasa agak perih dan seperti ada sesuatu yang sudah mengering. Kembali memeriksa keadaan tubuhnya, Nara mendapati banyak kissmark menghiasi tubuhnya, juga bercak darah pada miliknya dan sprei yang ia tiduri.

Tubuh Nara bergetar bersamaan dengan napasnya yang memburu. Nara menangis. Merapatkan kembali selimutnya, ia masih tak paham mengapa ia bisa ada di tempat ini. Dan, semalam ia tidur dengan siapa? Nara benar-benar tidak mengerti apa yang telah terjadi.

Lembaran uang nominal seratus ribuan tergeletak di atas nakas di sisi lampu tidur serta sebuah kartu nama. Nara menangis semakin keras. Ia tidak tahu menyerahkan tubuhnya pada siapa, lalu ia malah dikira perempuan bayaran. Nara menangis tersedu memikirkan nasibnya, kurang dari satu Minggu lagi pernikahannya akan dilangsungkan. Tapi apa yang akan ia berikan untuk suaminya nanti sudah di ambil oleh orang yang hanya meninggalkan kartu namanya saja.

Brakkkkk

Nara tersentak saat pintu kamar hotel itu dibuka secara kasar. "Radi!" pekik Nara melihat calon suaminya datang.

Namun, ekspresi Radi begitu seram. Kilatan amarah begitu jelas terpancar dari matanya. Rahangnya mengeras melihat penampilan calon istrinya di kamar hotel itu. Berjalan cepat Radi menghampiri Nara yang wajahnya pucat melihat kedatangan Radi.

Plakkkk

"Pelacur!" umpat Radi di depan wajah Nara, tepat setelah satu tamparan darinya mendarat di pipi kiri Nara.

Nara menggeleng, wajahnya yang basah karena air mata tidak menyurutkan emosi yang menguasai Radi.

"Kamu keterlaluan Nara!" Napas Radi semakin memburu melihat beberapa kiss mark menghiasi pundak mulus wanita yang menjadi kekasihnya selama dua tahun terkahir itu. Melirik ke arah nakas, emosi Radi semakin menjadi. Uang yang ada disana menjadi bukti baginya bahwa wanita yang ia puja-puja ini nyatanya hanyalah seorang pelacur.

"Jalang! Sialan! Pelacur!" Radi terus mengumpati Nara yang tengah menangis itu.

"Aku ... aku bisa jelaskan Radi. Ini nggak seperti yang kamu lihat. Aku pun nggak tau kenapa bisa berada disini." Nara menjelaskan.

"Akting kamu selama ini jago sekali Nara. Kamu seperti kucing rumahan yang lemah lembut di hadapanku, tapi nyatanya kamu hanyalah kucing liar yang menjajakan diri kamu! Brengsek! Bisa-bisanya aku tertipu jalang seperti kamu!"

Radi menendang lampu tidur di atas nakas, hingga terpental dan hampir mengenai kepala Nara.

"Radi, ampun! Biarkan aku menjelaskan dulu. Aku nggak seperti apa yang kamu pikirkan."

"Menjelaskan? Menjelaskan apa lagi? Semua sudah jelas!" jawab Radi lantang. "Untung saja kita belum menikah. Kalau tidak aku bisa-bisa terkena penyakit karena kelaminmu yang sudah banyak dimasuki itu!" tunjuk Radi ke arah Nara.

Hati Nara sudah hancur sejak tadi. Kata demi kata yang Radi ucapkan benar-benar menginjak-injak harga dirinya. Jangankan mendengar penjelasan darinya, Radi malah tega menamparnya hingga meninggalkan memar di pipi kirinya itu.

"Nggak akan ada pernikahan di antara kita Nara! Najis sekali jika harus menikahi wanita bayaran seperti kamu!" 

"Radi! Tunggu! Kamu salah paham!" Nara berusaha turun dari tempat tidurnya meski kerepotan karena harus menutup tubuh telanjangnya dengan selimut.

Namun, Radi tetap berjalan meninggalkannya. Nara berusaha mengejar sampai ia terjatuh tepat di kaki Radi. Dipeluknya kaki Radi, ia kembali memohon pada Radi untuk mendengarkan penjelasannya dulu.

Radi melepaskan kakinya dengan kasar, "jangan sentuh aku dengan tubuh kotormu itu Nara! Aku akan datang ke rumah orang tuamu untuk membatalkan rencana pernikahan kita. Aku tidak sudi menikah dengan wanita seperti kamu!"

Radi lalu kembali melangkah keluar meninggalkan Nara yang menangis di atas dinginnya lantai.

***

Suasana rumah yang kacau menyambut kedatangan Nara. Para pekerja yang tengah memasang tenda untuk acara resepsi pernikahannya nanti dihentikan paksa oleh sang Ayah.

"Bapak ... ."

Para pekerja yang masih berada disana memekik kerasa melihat Gandhi-Ayah Nara-memukul putrinya itu. Tepat di halaman rumah sederhana mereka. Tamparan sang Ayah begitu keras hingga Nara tersungkur ke tanah. Para pekerja yang berniat menolong justru di usir secara kasar.

Irma-Ibu Nara tergopoh-gopoh berlari keluar rumah menolong putrinya yang sudah jadi tontonan para tetangga itu. Sebenarnya sejak tadi rumahnya sudah ramai setelah calon besannya membuat kekacauan, membatalkan pernikahan dengan cara tak pantas. Berteriak-teriak di depan rumah memaki ia dan suaminya atas kesalahan yang putri mereka perbuat.

"Cukup Pak, malu Pak!" ujar Irma pada suaminya itu.

"Malu? Malu kamu bilang? Kita memang sudah terlanjur malu! Dia yang membuat malu kita! Dia yang bikin malu keluarga! Keterlaluan kamu Nara!" Gandhi melempar apapun yang ada di dekatnya ke arah Nara yang masih terduduk di atas tanah itu. Sang Ibu dan sanak saudara yang sudah datang dari kampung sibuk melindungi Nara dari benda-benda yang dilemparkan Gandhi.

"Dosa apa ibu dan bapakmu ini sampai kamu tega membalas kami dengan seperti ini?"

"Kalau memang kami salah mendidik kamu, salah mengajar kamu, katakan di bagian mananya kesalahan kami! Katakan apa yang membuat kamu melakukan perbuatan kotor seperti itu Nara!"

Nara nyaris tertimpa tangga besi milik pekerja yang memasang tenda. Gandhi benar-benar di luar kendali. Para tetangga laki-laki langsung saja berusaha menenangkan Gandhi.

"Bapak benar-benar tidak menyangka Nara. Dosa apa bapakmu ini Nara!" Gandhi menangis lalu tidak sadarkan diri.

***

Rombongan yang mengantarkan jenazah sang Ayah masih duduk-duduk di teras rumahnya. Tenda yang seharusnya di pasang untuk pesta pernikahannya nanti serta bangku-bangku yang sudah disewa, kini berfungsi untuk pelayat yang datang.

Wajah lebam Nara dihiasi air mata sejak sang Ayah dinyatakan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit akibat penyakit darah tingginya yang kambuh. Ia tak menyangka akan mengawali tahun ini dengan kejadian naas seperti ini.

Nara memasuki kamar menghampiri sang Ibu yang masih menangis tersedu karena ditinggal suaminya untuk selama-lamanya. "Bu," panggil Nara.

"Kenapa Nara? Kenapa kamu tega melakukan ini pada Bapak dan Ibu? Apa salah kami, Nak?" sahut sang Ibu seraya terus menangis.

"Maaf Bu, tapi Ibu harus percaya kalau Nara gak seperti apa yang dibilang Radi. Nara bisa jelaskan Bu," ucap Nara memohon pada Ibunya.

"Foto yang dibawa Radi sudah cukup jelas Nara. Kamu mabuk di sebuah klub malam, lalu ke hotel dengan keadaan seperti itu. Sejak kapan, Nak? Sejak kapan kamu menjual diri begitu?"

"Ibu, aku mohon Bu. Percaya sama aku Bu."

"Sudah, Nara. Kamu sudah puas membuat keluarga kita hancur seperti ini? Kamu putri kami satu-satunya, harapan kami satu-satunya tapi kamu malah membuat bapakmu meninggal karena ulahmu ini!"

"Ibu ..."

"Cukup Nara. Untuk sementara waktu biarkan ibu sendiri. Bawa semua pakaian dan barang-barang kamu. Jangan tampakkan wajah kamu di depan Ibu lagi."

TBC

Hai, hello ...

Apa kabar temen-temen? Terima kasih karena masih menyimpan cerita ini di library. Edisi kangen Danar-Nara, jadi cerita ini aku repost, ya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro