Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

「 Bab 5 : Jaraknya yang Terlalu Jauh 」

"Yakusoku, 'ka?"

Aku terdiam beberapa saat sebelum berkahir mengacak-acak rambutku yang memang sudah berantakan. Sedikit mengomeli diri sendiri hingga orang lain, dengan senang hati mengomeliku langsung. Ah, lebih tepatnya temanku sedikit mengomel karena melihat perubahan perasaanku seharian ini. Jangan salahkan aku, memang sewajarnya perempuan begitu, 'kan? Perasaannya tidak bisa ditebak.

"Ayolah, Nat-chan. Kau sudah mengacak-acak rambutmu empat kali hari ini."

Aku meletakkan daguku di meja dan meniup poniku dengan kuat, membuatnya sedikit melayang dan bergeser. Setidaknya aku bisa melihat temanku jika seperti ini. "Kamu tidak ada kegiatan lain? Kenapa juga kau menghitungnya ...."

"Entahlah." Ia meletakkan buku yang dibacanya sebelum melanjutkan, "Tidak ada yang bisa kulakukan selain membaca komik, menunggu yang lain, dan melihatmu yang frustasi di sini."

"Humph."

"Kau mulai lagi."

Aku mengabaikannya, beralih melihat sekitar. Ruangan ini sudah menjadi tempatku selama nyaris tiga tahun. Dengan luas yang tidak seberapa, beberapa rak yang berisi buku menambah kesan sempit di dalam ruangan ini. Ditambah dua meja panjang yang disatukan di tengah ruangan, menghabiskan sisa ruangan yang hanya berisi lingkup gerak kami saja.

Aku kembali menghela nafas dan menatap satu-satunya temanku yang sudah duduk juga di sisi lain meja. Ia sibuk membaca buku dan mencatat beberapa hal, mungkin mencari ide untuk novel barunya. Dan aku disini masih belum bisa menulis apapun dan lebih memilih mencoba kekuatan ajaib ku. Ya, walau tidak akan berguna jika di arahkan padanya.

Uh? Bagaimana menceritakannya, ya?

Kalian tahu sesuatu hal yang ajaib? Seperti menembus dinding, menjadi transparan, atau mungkin teleportasi? Ya, ya. Hal-hal keren yang mungkin sering dibuat teman klub ku dalam novel mereka atau dari manga-manga yang selalu kubaca. Kira-kira seperti itulah yang bisa kulakukan. Walau bukan hal-hal hebat seperti yang kukatakan tadi, sih.

Ah, lagi-lagi aku berbicara apa, ya?

Yah, intinya aku bisa mendengar isi kepala seseorang. Seperti yang Laki-laki Hujan itu katakan. Penyihir, cenayang, apalah itu. Padahal ada istilah lebih keren yang pasti dengan bangga akan aku akui.

Telepati.

Begitulah orang-orang sekarang menyebutnya. Terdengar lebih keren, 'kan? Tapi si Anak Hujan itu malah lebih suka menyebutku cenayang. Penyihir saja sudah cukup keren padahal. Kenapa juga pakai istilah cenayang.

Ukh, bagaimana menjelaskannya, ya. Aku tidak tahu kenapa aku bisa memilikinya. Aku bahkan baru tahu tentang istilah-istilah ini lima tahun yang lalu. Ya- sebelum hal itu terjadi.

Yang kutahu hanya satu hal pasti. Tidak semua bisa kudengar isi hatinya. Atau tidak semua orang isi kepalanya bisa masuk ke dalam pikiranku. Contohnya saja, temanku ini. Aku tidak bisa membaca isi kepalanya, apalagi mengintip ide yang tengah ia torehkan di novelnya. Aku hanya dapat mendengar orang-orang tertentu. Seperti, entahlah. Terikat takdir denganku?

Dan di hari hujan itu, di depan konbini. Aku yang baru membeli payung dan susu stroberi, melangkah keluar. Dan detik berikutnya, kepalaku dipenuhi suara-suara laki-laki yang terdengar asing. Mengeluhkan betapa sialnya ia yang tidak membawa payung bahkan tidak membawa selembar yen pun. Aku cukup tersentak beberapa saat—lebih tepatnya sedikit merasa pusing dan mencoba beradaptasi. Ini sudah lima tahun berlalu dan aku, tentu saja masih belum terbiasa kembali dengan hal seperti ini.

Sehingga yang kulakukan saat itu ialah memasukkan payung yang baru kubeli ke dalam tas, meminum susu stroberi, dan dengan santai membalas perkataan Laki-laki Hujan dalam pikirannya.

Ya, setidaknya itu bisa menarik perhatian laki-laki ini, 'kan?

Aku terus berceletuk ria, bahkan menerobos hujan tanpa memakai payung yang baru saja kubeli dan menyapa, mengatakan jika akan bertemu dengannya lagi. Entah apa yang kulakukan sampai ingin menarik perhatiannya, bahkan lebih dekat dengannya. Tapi begitulah kami berakhir selalu bertemu di konbini. Aku hanya bisa membaca pikirannya jika ia memang ada di dekatku, atau aku melihatnya. Jadi bertemu di konbini, kurasa memang sudah menjadi garis takdir untukku dan dirinya.

Seperti takdir yang ingin aku bisa membaca pikirannya.

Padahal aku membenci hal ini.

.

.

.

「Yakusoku, 'ka?」
Bab 5 : Jaraknya yang Terlalu Jauh
by andin

.

.

.

"Hei, Nat-chan. Laki-laki yang selalu kau temui di depan konbini itu, siapa namanya?"

"Hm?"

Aku baru saja menyelesaikan kegiatan klub ku yang seharusnya libur karena liburan musim panas. Tapi karena kami hanyalah klub biasa yang berguna untuk menghabiskan waktu luang dengan menulis banyak karya, jadi kami tetap melakukannya di liburan ini. Beberapa klub juga terlihat masih melakukan latihan rutinnya. Ya, biasanya mereka mempersiapkan diri untuk lomba di musim dingin nanti. Aku tetap pergi, karena lagi pula sebentar lagi aku akan lulus.

Kami tengah dalam perjalanan pulang. Teman-temanku yang lain sudah berbelok ke arah rumahnya masing-masing, menyisakan aku dan Yasuko di jalan panjang ini. Biasanya kami akan bertiga dengan Akina. Tapi anak itu ternyata terkena demam musim panas dan tidak bisa bangkit dari kasurnya. Yah, salahkan dirinya yang tidak menuruti perkataan Yasuko untuk memakai topi padahal wajahnya sudah memerah diterpa terik matahari.

"Yang selalu kau temui. Laki-laki dengan potongan rambut panjang dari SMA terkenal itu."

"Ah, dia? Namanya Yuichi. Etto, kalau tidak salah ... Yuichi Fujimaki? Aku lupa nama keluarganya."

"He ... kenapa kau selalu memanggilnya 'Laki-laki Hujan'? Kenapa tidak memanggil namanya? Aku sampai bosan jika bersamamu dan bertemu dengannya, kau pasti akan berseru seperti itu."

Karena dia belum memberitahukan namanya secara resmi dan aku hanya tahu dari isi pikirannya saja, ya, tidak mungkin kubilang seperti itu, 'kan? Bisa-bisa aku dianggap gila, atau mungkin malah dianggap betulan karena teman-temanku novelis gila?

"Hm, bagaimana, ya? Entahlah, dari awal aku sudah memanggilnya begitu dan rasanya lebih menyenangkan jika memanggilnya seperti itu."

"Haha, Nat-chan memang tetaplah Nat-chan. Selalu aneh dan tidak bisa ditebak."

"Kalau bisa ditebak, itu bukan Natsuki Hanamura namanya~" Aku membusungkan dada dan menepuknya perlahan, memberikan kesan bangga yang membuat temanku hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Ya, ya. Dasar narsis." Ia menjeda cukup lama sebelum kembali menatap jalanan di depannya.

Kami berjalan dari sekolah, menuju persimpangan, tempat dimana konbini itu berada. Mau bagaimana lagi? Rumahku pasti melewati jalanan ini, 'kok. Mungkin aku bisa lewat jalan lain, tapi Chichi menyuruhku melewati jalan besar saja. Jika lewat gang, kemungkinan aku bisa diculik.

Memang siapa juga yang bisa menculikku?

"Ah, Nat-chan. Bukankah itu Laki-laki Hujan-mu?"

"Hmn? Dimana?"

Aku mengedarkan pandangan, melihat arah yang ditunjuk oleh temanku. Seolah tahu kalau aku tidak dapat menemukan yang ia maksud, Yasuko menekankan lebih jelas dan mendorong tubuhku supaya dapat melihatnya dengan lebih jelas dan lebih baik.

"Yang mengenakan hoodie di sana. Dia, 'kan?" Terdengar nada Yasuko yang sudah geram.

Aku mencoba memicingkan mataku dan sosok yang kukenal perlahan terlihat jelas. Rambut coklat dengan potongan panjang, hoodie dengan warna gelap yang entah kenapa menjadi warna khasnya, dan jalannya yang terkesan tanpa arah dan tujuan. Ah, sayangnya jarak ini masih terlalu jauh untukku dapat membaca pikirannya.

Aku tersenyum cerah dan menyahuti temanku. Setidaknya aku perlu menghargai Yasuko yang mau susah payah memberitahuku. Seperti teman yang membantu temannya untuk memberitahukan keberadaan sang pujaan hati saja.

"Ah, itu benar-benar dia. Ya-cchi keren bisa melihatnya sejauh itu!"

"Ya itu karena mataku tidak serusak yang lain."

"Ya, ya. Kau banyak makan wortel." Aku melompat kecil dan memberikan pose lambaian. Dengan satu tarikan nafas, aku mulai berseru, "Hei-! Laki-laki hu-"

Aku mengurungkan niatku, ketika melihatnya menghampiri seseorang di depan konbini itu. Seorang anak perempuan yang sepertinya sebaya denganku, dengan potongan rambut pendek dan jepit rambut lucu di poninya. Ia terlihat memakai pakaian santai dan tersenyum senang melihat Yuichi yang menghampirinya.

Aku langsung menggigit bibir dan bersembunyi di balik Yasuko yang tinggi. Yasuko hanya menatapku penuh tanda tanya dan kubalas gelengan.

"Nyaris saja. Aku tidak mau mengganggunya jika sedang bertemu teman. Lebih baik kita pulang saja. Aku masih bisa menyapanya di esok hari jika bertemu." Begitulah yang kukatakan, membuatku dan Yasuko melanjutkan perjalanan pulang kami. Aku sesekali melirik ke belakang dan bertanya-tanya.

Ah, sayangnya jarak ini terlalu jauh untuk aku dapat membaca isi pikiran Yuichi.

≪ °❈° ≫

Regard, ndin
1113 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro