「Bab 4 : Janji? 」
Aku menghela nafas.
Ini hari pertama liburan musim panas dan ini juga merupakan liburan panjangku untuk persiapan masuk ke universitas lagi. Guru menagihku soal kertas masa depan seminggu yang lalu, tapi kuberikan jawaban jujur bahwa aku masih belum menentukannya. Lagi-lagi aku disarankan untuk berbicara dengan orang tuaku—yang aslinya sudah kulakukan—dan diberikan waktu selama musim panas ini untuk menentukan.
Sejujurnya aku bingung pada diriku sendiri. Aku tidak memiliki bakat dan minat apapun, untuk apa aku ragu akan pilihan kedua orang tuaku? Toh, mereka memilihnya 'kan demi masa depanku. Papa sudah bekerja sebagai pegawai kantor dan mampu menghidupi aku dan Mama. Itu bukti kalau pekerjaan yang mereka katakan memiliki hasil yang sesuai, 'kan?
Tapi entah kenapa hatiku merasa tidak sejalan dengan pikiranku. Ada hal lain yang mengganjal yang sejujurnya aku sendiri bahkan tidak tahu, tentang apa itu.
Atas dasar ketidaktahuanku, aku justru berakhir di depan konbini dekat persimpangan. Konbini yang sama dengan yang selalu kukunjungi guna ... yah, bertemu lagi dengan Natsuki. Entah apa yang membuatku terlihat tertarik dengannya. Bukan dalam hal romansa, hanya rasa penasaranku pada keberadaan perempuan aneh ini.
Aku menghela nafas dan memasuki konbini. Setidaknya pendingin ruangan di dalam dapat menenangkanku dari suhu panas di luar sini. Musim panas memang selalu seperti itu. Bersantai dan menonton televisi di depan kipas angin itu jauh lebih baik. Bahkan ditemani jeruk saja sudah cukup mengenyangkan. Yah, aku tetap butuh makan siang dan makan malam, sih.
Suara penjaga kasir yang mengucap 'selamat datang' terdengar ketika aku melangkah masuk. Kutelusuri beberapa rak cemilan, guna mencari sesuatu yang setidaknya menarik perhatianku. Nyatanya tidak ada satupun bungkus-bungkus kripik itu yang menarik, membuatku terus melangkah dan tanpa sadar sampai di ujung toko, tempat para lemari pendingin berjajar dengan pintu kaca yang menampilkan minuman-minuman di dalamnya.
Aku menatap setiap minuman yang ada. Botol plastik, kotak kertas, botol kaca, kaleng. Ah, saat seperti ini mungkin lebih baik meminum jus. Aku melangkah terus dan mencari dengan teliti. Ah, ada disana. Deretan jus ada di atas deretan susu kotak. Aku mengulurkan tangan, berniat membuka pintu lemari pendingin itu sebelum seseorang membukanya lebih dulu. Lebih parahnya lagi, pintunya nyaris mengenai wajahku. Beruntung aku langsung cekatan mundur, menghindari tubrukan yang mungkin akan membuat hidungku terasa nyeri.
Aku berniat melihat sosok yang melakukannya. Tidak, bukan untuk memarahinya. Hanya sekedar memberikan tatapan kesal dan menganggapnya angin lalu. Aku malas mencari masalah di waktu senggangku sendiri.
Sosok itu berambut panjang yang diikat tinggi dan digelung dengan karet rambut hitam. Poni depannya terlihat acak-acakan dan dibiarkan seperti itu. Kemeja lengan pendek yang terlihat kusut, seolah ia baru saja berlari membuatku tersadar jika ia terburu-buru ke sini. Tapi satu hal yang kusadari membuatku sontak berujar pelan.
Almamater kelabu yang diikatkan di pinggang.
"Natsuki?"
Perempuan itu menoleh. Netra brunette nya sontak terlihat cerah ketika menatapku. Ia tak bisa menahan senyumannya dan langsung memekik kegirangan.
"Ah! Laki-laki Hujan!"
"Tidak bisakah kau berhenti memanggilku seperti itu?"
"Kau sedang apa? Ingin membeli susu? Kali ini susu stroberinya masih banyak. Kau harus mencobanya-!"
"Sudah kubilang, aku tidak suka rasa stroberi."
"Tunggu, ya."
"O-oi!"
Ah? Rasanya deja vu.
.
.
.
「Mata kono ato aou ne」
Bab 4 : Janji?
by andin
.
.
.
"Jadi apa yang kau lakukan di liburan musim panas ini?"
"Hanya mengerjakan beberapa lembar tugas dan menonton."
"Hehh ... membosankan. Apa kau tidak mengikuti klub atau ekstrakulikuler?"
"Aku tidak tertarik."
"Kenapa? Bukannya SMA mu terkenal dengan klub-klub dan ekstrakulikuler yang menarik? Aku bahkan ingin masuk ke sana."
"Lalu kenapa kau tidak masuk kesana?"
"Entah."
Aku hanya menatapnya dan menyesap susu stroberi dari kotaknya dengan sedotan. Rasa asam menjadi pembuka yang indra perasaku rasakan. Tapi entah kenapa rasa manis setelahnya terkesan enak dan ... hei, aku menyukainya. Ini tidak semanis susu coklat yang selalu Mama siapkan saat tahu aku tidak terlalu suka susu vanilla.
"Lihat? Susu stroberi memang enak, 'kan? Tidak terlalu manis dan terasa pas. Aku heran kenapa anak laki-laki tidak mau menerimanya. Apa karena kotaknya yang berwarna merah muda?"
"Mungkin." Aku hanya menjawab seadanya, karena mulutku masih sibuk menikmati susu stroberi yang ada di tanganku.
"Benar juga, ya. Padahal stroberi berwarna merah, kenapa dipakai warna merah muda? Kalau warna merah, pasti laki-laki menyukainya. Apalagi merah 'kan warna pemimpin!"
"Huh? Teori dari mana itu?"
"Loh? Kau tidak menonton Super Sentai? Mereka semua dipimpin oleh warna merah, 'kan?"
" . . . Aku baru tahu jika seorang anak perempuan bisa menonton hal itu."
"Hee, memangnya kenapa? Menonton Super Sentai itu menyenangkan, tahu! Mereka semua tampan-tampan dan keren!"
"Oh, aku jadi tahu alasanmu menonton mereka."
Natsuki hanya terkekeh kecil dan menghabiskan susu stroberinya dengan cepat. Seolah menjadi kebiasaan, ia meremas kecil kotak susu itu dan berjalan sejauh lima langkah untuk membuangnya ke tempat sampah. Dan seolah menjadi kebiasaan juga, aku memperhatikan apapun yang perempuan itu lakukan.
Helaan nafas ringan terdengar saat Natsuki meletakkan bokongnya kembali di kursi. Ia mengayunkan kakinya dan menunduk, menatap sneaker putih yang terayun pelan. Aku mengikuti arah tatapannya, hingga suara darinya menginterupsi.
"Hei, kau sedang ada masalah, ya?"
Aku meletakkan susu kotakku dan memberikan tatapan bingung pada Natsuki. Perempuan itu malah sibuk menunduk dan masih mengayunkan kakinya.
"Masalah seperti apa?"
"Entah, hanya terlihat memiliki masalah."
"Kupikir semua orang memang memiliki masalah. Kau juga termasuk, 'kan?"
"Ada benarnya."
Kekehan kecil kembali terdengar darinya. Aku mulai bersandar pada kursi dan melihat jalanan yang sekali-kali dilalui oleh beberapa kendaraan. Pejalan kaki terlihat lebih mendominasi walau mereka tau udara hari ini cukup panas untuk berjalan kaki di bawah terik matahari.
"Katanya kau bisa membaca raut wajahku." Aku memulai pembicaraan, menatap perempuan itu hingga netra brunette miliknya menatapku balik. "Coba katakan apa yang kau lihat dari wajahku. Siapa tau kau memiliki tebakan soal masalahku."
"He ... itu terdengar seperti aku seorang cenayang."
"Memang benar, 'kan."
Ia mengembungkan pipinya dan detik berikutnya menatap wajahku dengan serius. Aku terkejut melihat netra brunette nya yang kini menelisik wajahku dengan aura yang begitu fokus. Bahkan aku bisa melihat kerutan di kening Natsuki, menunjukkan jika ia berusaha semaksimal mungkin.
"Mungkin masalah sekolah atau mungkin sebuah pilihan."
Jackpot.
Aku hanya mengedikkan bahu mencoba tidak memberikan respon apapun. Aku kembali menghabiskan susu kotak milikku dan melakukan apa yang Natsuki lakukan sebelum perempuan itu membuangnya ke tempat sampah.
Aku baru ingin mendudukkan bokongku ke bangku kembali sebelum suara darinya menginterupsi.
"Ya, apapun itu, aku akan mendengarkannya. Walau—bagaimanapun—kita baru saja bertemu, mungkin kau tidak akan mempercayaiku." Natsuki terlihat kembali mengayunkan kakinya sebelum wajahnya kembali berseri cerah. "Ah, benar juga. Bagaimana dengan bertukar rahasia? Aku akan menceritakan masalahku dan kau bisa menceritakan masalahmu jika kau mau. Tidak perlu memaksakan dirimu dan aku juga akan melakukannya jika aku sudah siap.
Itu terdengar lebih baik, 'kan? Membiarkan waktu saja yang melakukannya. Setidaknya kau tidak akan merasa risih karena aku memaksamu— AAAA? Apa yang kukatakan, ya? Ukh ...."
Ia terlihat frustasi dan mengacak-acak rambutnya yang memang sudah terlihat setengah acak-acakan. Aku hanya memperhatikan gelagatnya, mencoba mencerna apa yang Natsuki katakan.
"Ukh- intinya semangat dengan masalahmu. Kau bisa meminta bantuanku jika memang perlu. Ya, itu lebih baik. Aku- aku pergi dulu, ya!"
Sedetik kemudian, ia sudah berlari menyebrangi jalan dan membawa tasnya. Aku tidak perlu bertanya kenapa anak itu membawa tas sekolah. Mungkin kegiatan klub membuatnya tidak bisa libur.
"Natsuki!"
Natsuki yang baru selesai menyebrang, berbalik badan. Wajahnya terlihat terkejut dan penasaran, menunggu apapun yang kukatakan. Satu kata dariku membuat senyuman darinya merekah, mendapat anggukan riang darinya dan lagi-lagi aku berdiam diri, menatap punggungnya hingga menghilang di persimpangan jalan.
"Yakusoku, 'ka?¹"
≪ °❈° ≫
¹ : Janji?
Regards, ndin
1229 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro