Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

「 Bab 3 : Makan Malam dan Masa Depan 」

Sudah seminggu setelah itu dan liburan musim panas sudah di depan mata. Tapi yang kudapatkan dalam seminggu ini hanyalah hal-hal tidak penting, bahkan bertemu dengan perempuan susu stroberi yang mengenalkan diri sebagai Natsuki itu hanya sebentar. Yah walau bertemu setiap hari, yang kulakukan dengannya hanya sebatas berpapasan dengan panggilan darinya yang tak kunjung berganti.

Bayangkan saja di suhu yang memang panas dan dengan kantung belanja pesanan Mama, aku melangkah keluar dari konbini. Dari ratusan orang dan penghuni di kota ini, sosok Natsukilah yang kutemui tepat di depan konbini. Dia dengan kotak susu stroberi dan rambut yang diikat tinggi menyapa dengan seruan khas yang riang.

"Halo lagi, Laki-laki Hujan!"

"Sudah kubilang jangan memanggilku begitu."

"Tapi kau belum mengatakan namamu."

"Namaku-"

"Ah, tunggu."

Ia mengangkat tangannya, menahanku untuk berbicara. Tangannya yang lain merogoh saku di roknya dan mengeluarkan ponsel dengan warna merah muda yang khas. Ponsel itu terdengar mengeluarkan suara lagu, seperti nada dering. Detik berikutnya, ia menekan tombol yang ada dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya. Seseorang pasti menelponnya, karena ia mulai berbicara pada siapapun di ujung sana.

Aku hanya diam, menunggu Natsuki menyelesaikan urusannya. Sesekali kulirik pakaian yang dipakai olehnya. Kemeja dengan lengan pendek dan satu kancing yang terbuka. Dasinya terlihat tidak beraturan. Almamater yang waktu itu masih terpakai, kini terikat di pinggangnya, menandakan jika hari ini memang cukup panas. Kadang aku berpikir, kenapa SMA nya masih mengenakan almamater di minggu-minggu mendekati musim panas?

"Oke~ aku akan segera kesana."

Aku hanya memperhatikan perempuan dengan netra brunette itu meletakkan kembali ponsel di sakunya. Aku menatapnya, bertanya-tanya siapa yang menelpon Natsuki. Apa itu teman sekelasnya? Orang tuanya?

"Itu teman klub ku."

"Kau yakin kalau kau bukan cenayang?"

"Tidak, aku seorang penyihir."

"Memang penyihir masih ada di zaman seperti ini?"

"Dan memangnya cenayang ada di masa ini?"

"Ada."

Perempuan itu terlihat berkacak pinggang dan memasang wajah kesal. Sedetik kemudian ia kembali memasang wajah cerahnya dan berseru, "Aku ada kumpul klub. Sampai jumpa nanti, ya, Laki-laki Hujan~!"

"O-oi, namaku bukan Laki-laki Hujan."

"Ya, ya. Beritahu namamu nanti lagi saja, ya!"

Aku baru berniat menghentikannya. Tapi entah memiliki kekuatan apa, perempuan itu langsung berlari dengan cepat dan menyebrangi jalan begitu saja. Aku bisa saja meneriaki namaku, sama seperti yang ia lakukan waktu itu. Tapi suaraku tidak berhasil keluar dan berakhir lagi-lagi aku hanya menatap punggung Natsuki hingga menghilang di persimpangan jalan.

Kupikir aku akan bertemu dengannya lagi dan memiliki waktu yang banyak, setidaknya untuk sekedar aku menyebutkan namaku. Tapi hari-hari setelahnya hanya angin lalu dimana ia hanya sekedar menyapa dan berlari ke persimpangan jalan, atau ia yang menyapa dan kembali sibuk dengan teman-temannya. Tentang kami yang sempat mengobrol—sedikit—banyak waktu itu, rasanya tidak dapat diulang kembali.

"Ah, Laki-laki Hujan-!"

"Halo, Laki-laki Hujan~!"

"Sampai jumpa nanti, Laki-laki Hujan!"

"Laki-laki Hujan! Hei~!"

"Laki-laki Hujan-!"

Dan masih banyak Laki-laki Hujan lainnya. Aku memang sedikit terbiasa dengan panggilan itu. Tapi di sisi lain, aku mulai merasa panggilan itu cukup menyebalkan. Entah kenapa kata-kata Laki-laki Hujan ini sudah memenuhi kepalaku, mengingat ia terus menyapaku begitu. Kadang panggilan ini terngiang-ngiang, membuatku benar-benar muak. Ayolah, namaku Yuichi, bagaimana bisa aku sulit mengucapkan kata itu setiap ia menyapa.

"Yuichi, Guru memanggilmu."

Aku berbalik dan menoleh. Teman laki-laki sekelasku terlihat mendekat dan memanggil namaku dengan benar. Pandanganku langsung memburam, kelihatannya mataku berkaca-kaca. Bagaimana tidak? Akhirnya seseorang memanggil namaku dengan benar dan bukan Laki-laki Hujan.

"Huwaaa-! Reiji, terima kasih telah mengingat namaku!"

Reiji—teman sekelasku itu—mungkin menganggapku gila karena tiba-tiba merengek dan memeluknya dengan erat. Siapa juga yang tidak akan kaget melihatku yang begitu, padahal tidak ada angin dan tidak ada hujan.

"O-oi?! Kenapa pula kau ini? Lepaskan."

"Huwaaa, aku terharu. Panggil namaku sekali lagi."

"H-hei?!"

.

.

.

「Mata kono ato aou ne」
Bab 3 : Makan Malam dan Masa Depan
by andin

.

.

.

Aku menatap selembar kertas yang Guru berikan dan melangkah keluar gedung sekolah. Kertas itu berisikan data diri yang kosong yang harus kuisi. Selain itu ada kolom tentang harapan untukku ke depannya dan hal yang cukup berat. Pekerjaan dan universitas yang kuinginkan.

Aku menghela nafas dengan berat. Sudah kelas 3, tentu saja aku harus menghadapi kenyataan seperti ini. Tapi tidak menutup kemungkinan bagiku dan bagi sebagian besar siswa kelas 3 lainnya merasa belum memikirkan apapun untuk masa depan mereka. Bahkan soal harapan, apa yang harus kutulis?

Berharap agar lulus dengan baik dan menghasilkan banyak uang?

... Jika memang bisa menuliskan hal itu, mungkin akan kutulis.

Yah, mungkin kata Wali Kelas memang benar. Aku seharusnya membicarakan ini dengan orang tuaku. Waktu makan malam cukup pas, dengan nuansa santai dan aku bisa berpikir jernih.

"Pegawai kantor saja. Pekerjaan itu sudah pasti."

Setidaknya itu yang kupikirkan.

Aku menyuapi mulutku dengan daging dari sup dan melirik kertas masa depan yang berada tepat di samping kanan mangkuk nasiku. Netraku kini bergulir, menatap Papa dan Mama bergantian. Papa terlihat santai, tidak berkespresi apapun dan memakan makanannya dengan tenang, seolah ia tidak menyebutkan apapun tadi.

Mama terlihat bangkit dari tempat duduk dan kembali dengan membawa teman makan malam lainnya. "Ya, papamu ada benarnya. Mama tidak memaksamu untuk melakukan apapun. Tapi pekerjaan seperti pegawai kantoran itu gajinya sudah pasti dan kau akan memiliki tunjangan hidupmu ke depannya, Yuichi.

Lihat saja anak Bu Fujiyama. Anaknya bekerja entah jadi apa. Setiap hari hanya bermain game dan berteriak-teriak saja. Tapi tidak ada jaminan soal keuangan untuk menghidupi dirinya sehari-hari. Ia saja masih bergantung pada ayahnya yang sudah tua."

"Seperti kata mamamu. Aku sudah tua dan mungkin tidak akan bisa membiayai mu lagi ke depannya.  Kau harus berpikir rasional dan memilih jalan yang tepat dan pasti. Demi kebaikanmu juga."

"Demi kebaikanmu."

Aku menelan daging dan kuah sup dengan paksaan. Rasanya Mama memasaknya dengan tidak benar, karena aku kesulitan memakannya. Ah- sepertinya bukan karena masakan Mama yang tidak enak. Hanya saja aku salah meramal waktu. Makanan yang seharusnya bisa kunikmati  dan obrolan makan malam hangat yang kubayangkan sembari membahas masa depanku secara dua arah, kini hancur.

Aku meminum air dan menangkupkan tanganku. Makananku sudah habis, walau kutau betapa sulitnya aku menelan semuanya. Kuucapkan 'terima kasih atas makananannya' dan bangkit dari kursi dengan berat hati. Tak lupa kubawa juga kertas masa depan yang menjadi topik pahit malam ini.

"Yuichi, kau ingat perkataanku?"

Aku menoleh saat Papa memanggilku. Ia bahkan tidak menoleh pada putranya sendiri dan sibuk menghabiskan makanannya. Aku benar-benar tidak menyukai topik apapun soal masa depan.

"Ya."

≪ °❈° ≫

Regards, ndin
1068 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro