「 Bab 2 : Namanya Natsuki 」
Suara sedotan yang mencoba menghabiskan tetesan akhir di kotak susu terdengar nyaring, beriringan dengan suara puas seseorang yang berhasil menyesap habis dari isi susu kotak tersebut. Mukanya yang berseri jelas menggambarkan betapa senangnya ia mendapatkan kotak terakhir itu. Sementara aku di sisi lain meneguk minuman soda dan menatap dirinya dari sudut mataku.
Jangan tanya kenapa kami berakhir duduk berdampingan di depan konbini dan meminum minuman yang dibeli oleh masing-masing. Tanyakan saja pada dia yang semula memaksa untuk membelikan susu stroberi dengan botol unik dan mengancam akan berteriak. Dibanding membuat masalah, aku mulai menyerah dengan syarat mengganti pilihannya dan berakhir membeli minuman soda dan, ya, duduk di depan konbini tanpa alasan.
Anak perempuan ini memang penyuka stroberi, ya?
"Susu stroberi memang yang terbaik. Tapi aku tidak terlalu suka rasa stroberi di makanan lain."
. . .
Ini bukan kali pertamanya, tapi aku masih terkejut. Lagi pula, aku menganggap kejadian seminggu yang lalu sebagai kejadian lewat saja, bahkan sempat terbesit jika itu hanyalah mimpi. Merasa tidak benar, aku sontak melemparkan pertanyaan untuk mendapatkan konfirmasi darinya.
"Memangnya aku mengatakan hal itu?"
"Tidak. Aku hanya berbicara sendiri."
"Kau terbiasa berbicara sendiri?"
"Iya."
Ia melempar kotak susu yang sudah kosong ke dalam tempat sampah. Netra mataku bergulir melihat apa yang dilakukannya dan dengan spontan memulai sebuah percakapan.
"Kau anak SMA?"
"Iya."
"SMA mu di sekitar sini?"
"Iya."
"Kau suka susu storberi?"
"Iya."
"Kau membaca pikiran orang lain, ya?"
"Tidak."
Cih, kupikir aku akan bisa menjebak perempuan aneh ini dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan berentet dan konyol seperti itu. Ternyata dia jauh lebih teliti dari yang kubayangkan.
"Aku tidak mudah dijebak. Lagi pula aku betulan tidak bisa membaca pikiran orang, kok."
"Ah!" Aku berseru keras hingga terlonjak dan berdiri, membuat perempuan itu ikut tersentak dari duduknya. "Kau membaca pikiranku!"
"Aku tidak!"
"Baru saja kau menjawab keluhanku di dalam hati."
"Itu hatimu yang berbicara, bukan pikiranmu!"
"Sama saja."
"Aku bukan cenayang."
"Kau penyihir."
"Huh?!" Ia mulai berkacak pinggang dan memajukan wajahnya seraya berujar penuh penekanan, "Memang kau kelas berapa masih percaya akan sihir?"
"A-"
Aku kembali duduk setelah cukup beradu argumen dengan perempuan ini. Sudah tidak ada yang perlu dilanjutkan dari argumen aneh itu. Dari awal memang aku yang merasa aneh, tapi perempuan ini jauh lebih aneh. Sudahlah, aku tidak ingin berargumen lagi. Memang perempuan adalah makhluk yang paling sulit untuk dilawan.
Perempuan itu mendengus puas dan merapihkan rok kotak-kotaknya sebelum kembali menjatuhkan bokongnya di bangku di sampingku. Ia menghela nafas lelah dan menyibak rambutnya, seraya mengipasi dirinya dengan tangan.
"Musim panas masih jauh tapi kenapa suhu sudah sepanas ini?"
Aku meliriknya dari sudut mataku dan bersandar pada bangku. Detik berikutnya kulepas gelang hitam yang tersampir di pergelangan tangan kananku dan kuberikan padanya.
"Rambut panjang akan membuatmu tambah kepanasan. Lebih baik diikat jika sudah musim begini."
"Mn? Ini gelang?"
"Ikat rambut."
"Hee? Laki-laki sepertimu membawa ikat rambut? Itu hal baru." Nadanya terdengar mengejek, tapi masih menerima ikat rambut yang kusodorkan. Tanpa berucap terima kasih, ia langsung mengikat rambutnya tinggi, membuatku lebih mudah melihat almamater kelabu itu bahkan logo yang tersampir.
Itu SMA putri yang terkenal.
"Aku memang bersekolah di SMA putri. Kau sendiri?"
". . . Kau bilang, kau tidak bisa membaca pikiran."
"Mn? Memang. Tapi wajahmu mudah dibaca."
"Wajahku?"
"Iya, seolah aku bisa melihat kata-kata dari wajahmu," jelasnya sembari memberikan postur menunjuk wajahku dengan telunjuknya.
Aku hanya memperhatikan jarinya yang mengarah tepat ke hidungku, membuatku tanpa sadar menjulingkan mataku. Merasa cukup terganggu, kupegang jarinya dan menurunkannya dari wajahku.
"Kau peramal?"
"Tidak adakah kata-kata yang lebih modern dan terdengar realistis? Ucapanmu malah terdengar seperti kau berada di cerita fantasi saja. Berharap bertemu dengan penyihir?"
"Mungkin."
"Hee~ laki-laki tertarik pada hal-hal seperti itu? Kupikir kalian hanya memikirkan hal romansa atau mungkin taruhan."
"Bagaimana caramu menarik kesimpulan seperti itu?"
"Entah, hanya tebakan saja. Biasanya banyak laki-laki seperti itu di drama dan novel."
"Memangnya kita di dunia novel ...."
"Bisa jadi? Ada yang bilang kalau kita tokoh utama di cerita kita sendiri, 'kan?"
Benar-benar anak perempuan yang aneh. Bagaimana bisa aku bertemu dengannya? Ah, lebih tepatnya, bagaimana bisa aku berakhir mengobrol dengannya? Lebih baik duduk di ruang tengah, menonton acara televisi sore, dan mendinginkan diri di depan kipas, 'kan?
"Ah, memang berdiam diri di rumah menyenangkan~"
. . .
Aku baru membuka mulutku sebelum netra brunette itu beralih menatapku dengan tajam. Kedua matanya seolah menyiratkan, 'Aku. Tidak. Membaca. Pikiranmu.' yang sontak membuatku mengangkat tangan menyerah. Apa ini? Kenapa aku yang bisa membaca wajahnya seperti itu? Apa itu juga yang ia lakukan padaku?
Aku masih diam menatap wajahnya yang kini lebih mudah kulihat—karena rambutnya yang terikat tinggi. Poni tipis yang menutupi dahi dan poni samping yang menghalangi telinganya, mata brunette nya yang bersinar cerah, dan—
"Hei, laki-laki hujan." Ia memberikan jeda satu tarikan nafas sebelum kembali berujar, "Kau mau kupanggil laki-laki hujan saja atau kau berikan namamu?"
". . . Huh?"
"Iya, namamu. Kita sudah mengobrol banyak dan belum bertukar nama sama sekali."
"Bukankah seharusnya kau yang memperkenalkan dirimu sendiri sebelum bertanya nama orang lain?"
"Memang ada aturan seperti itu?"
"Ada. Kau seharusn—"
"Hei-!"
Kami berdua sontak menoleh. Segerombolan anak perempuan—ah, lebih tepatnya hanya 4 perempuan—yang terlihat sebaya dengan kami melambai dan berseru dari sebrang jalan yang lain. Aku menyipitkan mataku guna melihat dengan jelas orang yang di ujung sana. Baru mencoba untuk memperhatikan lebih jelas, perempuan di sampingku langsung terlonjak dan melambai dengan semangat.
"Hey hey!"
"Maaf membuatmu menunggu. Ayo kita pergi ke ruang klub!"
"Wa? Aku segera datang. Tunggu, ya~!"
Kupikir, aku akan mendapatkan sebuah salam perpisahan. Tapi ternyata yang dilakukan perempuan ini justru mengambil tasnya dan berlari menyebrangi jalan tanpa melihat kanan kiri nya. Jika itu awalan novel fantasi isekai, mungkin ia sudah tertabrak dan pergi ke alam lain. Beruntung tidak ada alur seperti itu karena ia berhasil menyebrangi jalan yang tak terlalu besar dan mencapai teman-temannya.
Aku hanya menatapnya yang mengobrol riang dengan teman-teman yang sepertinya berasal dari sekolah yang sama. Terlihat jelas dari desain rok dan almamater mereka yang serupa. Mereka terlihat mengobrol riang dan berniat pergi. Baru melangkah beberapa langkah, perempuan itu berbalik dan melambaikan tangannya.
"Sampai jumpa nanti, Laki-laki Hujan! Namaku Natsuki!"
.
.
.
「Mata kono ato aou ne」
Bab 2 : Namanya Natsuki
by andin
.
.
.
"Aku pulang."
"Selamat datang kembali."
Jawaban dari dapur membuatku menyadari jika seseorang sudah berada di rumah. Aku melepas sepatu yang kupakai dan meletakkannya di rak sebelum melangkah masuk menuju dapur, dimana sosok wanita tengah memasak di sana. Aku hanya menyandarkan tangan di bingkai pintu hingga wanita itu menyadari keberadaanku dan menoleh.
"Tumben sekali tidak langsung pulang."
Aku hanya menampilkan cengiran kecil dan berujar, "Aku mampir ke suatu tempat."
"Ah, begitu. Cepat berganti baju dan bersiap makan malam. Sebentar lagi akan tersaji."
"Baiklah baiklah."
Aku bergegas melangkahkan kaki dengan gontai. Baru menaiki tangga pertama, suara panggilan dari Mama kembali menginterupsi dan membuatku menghentikan niatanku pergi ke lantai atas.
"Kau sudah membeli barang yang Mama minta?"
"Barang?"
"Mou ... aku sudah memberikan pesan padamu, 'kan?"
Aku terdiam sesaat. Ah, benar juga. Lonceng yang berbunyi keras menandakan waktu sudah menunjukkan jam pulang bertepatan dengan ponsel ku yang bergetar. Aku bergegas membuka ponselku sembari melangkah keluar kelas, sebelum anak-anak piket berteriak marah karena kami menghalangi mereka membersihkan kelas.
Sebuah notifikasi pesan tertampil, dari Mama. Hanya pesanan biasa yang bisa kubeli nanti di konbini saat mampir. Tapi setelahnya, kejadian itu terjadi begitu cepat hingga aku melupakan tujuan paling utama untukku pergi ke konbini.
Tepukan keras di keningku dan ekspresiku cukup menandakan jika aku melupakan pesanan yang diberikan oleh Mama. Mama hanya bisa menggelengkan kepalanya dan berkacak pinggang. Ia kembali ke dapur dan mengomel kecil.
"Sialan- karena perempuan aneh itu ...."
≪ °❈° ≫
Jeng jeng, terduga masi konsisten walaw sudah di detik-detik akhir. Ehehehe. Intinya tida bolong, ges.
Jadi, selamad menikmati~♡
Regards, ndin
1256 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro