Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

「 Bab 16 : Penyihir Baik Hati yang Manis 」

."Bagaimana dengan tugas rencana masa depanmu? Sudah kau isi?"

Itu adalah topik pembuka disaat aku baru menyuapkan nasi ke dalam mulutku. Sudah sekitar tiga malam tidak ada yang menyinggung topik tersebut, mengingat topik terpanas di saat makan malam adalah soal Natsuki yang dibangga-banggakan oleh Mama.

"Kii-chan kasihan sekali, ibunya sudah tidak ada. Tapi aku yakin, ibunya pasti orang yang sangat baik dan ramah. Karena Kii-chan menjadi anak yang ceria dan bersemangat. Rasanya ingin ku adopsi saja jadi putriku."

"Lalu aku tidak dianggap?" Aku melontarkan sarkas sebagai bentuk candaan sembari mengambil daging ayam.

"Hm ... benar juga. Yuichi, menikah saja dengan Kii-chan nanti, ya. Biar Kii-chan bisa jadi anakku tanpa perlu kuajukan surat pada ayahnya."

Aku tersedak nasi ketika mendengar ucapan spontan dari Mama. Bisa-bisanya dia menyuruhku melakukan hal itu dengan nada santai. Hei, menikah bukan hal yang biasa. Dan lagi aku bahkan belum lulus SMA!

"Ajukan saja surat. Lebih cepat, 'kan?"

"Iya. Tapi tidak mungkin aku menjadikan pacar anakku sebagai anak angkatku, 'kan? Nanti kalian melakuukan hubungan terlarang antar saudara."

"Kami tidak sedarah. Hubungan kami tidak akan terlarang."

"Tapi kan ...."

"Sudahi obrolan soal perempuan yang bahkan tidak aku ketahui wujudnya itu. " Papa memotong obrolan antara ibu dan anak ini. Ia mengambil sedikit sayuran dan kembali menyuarakan, "Yuichi fokus saja dengan sekolahmu. Urusan seperti itu jangan diambil pusing. Jangan terlalu terjebak dalam lingkaran hubungan seperti itu."

"Hee .... biarlah anak kita merasakan masa mudanya dulu." Mama mulai memprotes dan mengomentari perkataan Papa. "Dia bahkan tidak pernah bermain atau mengajak temannya ke rumah."

"Biarkan saja. Fokus sekarang bisa berdampak baik untuk masa depannya yang cerah."

"Membosankan jika terus begitu. Biarkan dia sekali-kali seperti itu. Ini saat-saat terakhirnya sebelum lulus SMA."

"Justru ia harus benar-benar fokus sebelum lulus SMA."

"Aku SMP saja sudah berpacaran."

"Itu kau."

Aku hanya memakan makan malamku dengan tenang. Tak berminat menengahi, apalagi ikut campur dalam obrolan mereka. Padahal subjek yang mereka bicarakan adalah diriku sendiri. Tidak bisakah mereka membicarakannya nanti? Kenapa juga harus tepat di depanku membicarakan soal itu.

Aku meletakkan mangkuk nasi yang kosong, menyusunnya dan menangkupkan tangan. Mama masih sibuk berdebat, mempertahankan argumennya, dan Papa dengan santai membalas setiap perkataan Mama dan memakan nasinya.

Aku membawa alat makan milikku dan mencucinya di wastafel. Bergegas setelahnya keluar dari ruangan itu, pergi ke kamarku sendiri. Dan hal seperti itu tidak terjadi hanya satu kali setelah Natsuki mampir dan memperkenalkan diri sebagai pacarku. Hal ini terjadi hingga beberapa hari ke depan.

Dan sekarang, tanpa ancang-ancang, Papa membuka topik baru dan yang pasti, topik yang paling tidak kusukai ada di atas meja makan ini. Aku menurunkan mangkuk milikku, kehilangan nafsu makan. Tapi aku harus bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Karena itu aku menyuap paksa nasi ke dalam mulutku dan mengunyahnya perlahan sebelum menelannya.

"Belum. Aku masih menyusun kalimat." Aku memberikan balasan seadanya. Tidak mungkin kuberitahu alasan sebenarnya bahwa aku masih tidak yakin dengan pekerjaan pegawai kantoran.

"Menyusun kalimat apa? Kau hanya mengisi data, bukannya membuat karangan."

"Ada kolom harapan, aku harus menulis paragraf panjang."

"Merepotkan sekali pengisian datanya. Dulu tidak seperti itu."

Aku tidak berkomentar lagi dan hanya diam memakan makananku. Detik jam dari ruang keluarga entah kenapa bisa terdengar sampai sini. Padahal suara dari denting sumpit yang tak sengaja menyentuh mangkuk sudah cukup untuk menjadi pengisi suara kegiatan makan malam keluarga kecil ini.

Papa tidak melempar kembali pertanyaan tentang topik sebelumnya.Mama bahkan tak berminat untuk membuka topik soal Natsuki. Ia sadar jika situasinya tidak baik-baik saja.

Aku hanya menghela nafas dalam hati dan menghabiskan setengah dari nasi yang ada di mangkuk milikku. Nafsu makanku benar-benar hilang. Jika memaksa, aku mungkin bisa mengeluarkan isi perutku sekarang.

Andai Papa tidak pernah membuka pertanyaan seperti itu.

.

.

.

「Himitsu?」
Bab 16 : Penyihir Baik Hati yang Manis
by andin


.

.

.

Aku memasukkan tangan ke dalam saku hoodie yang kupakai. Merupakan sebuah kesalahan bagi seseorang untuk mengenakan hoodie di musim panas. Belum lagi jika warnanya segelap milikku. Yang ada aku hanya bunuh diri dengan menyerap semua panas yang ada.

Karena hal itu, aku langsung menuju sudut konbini ketika sampai di sana. Mencari lemari pendingin dan membuka satu di antaranya. Anggaplah aku sedang mencoba menetralisir hawa panas yang kubawa.

Jangan tanya kenapa aku tiba-tiba ke konbini di siang bolong begini. Dibanding aku di ruang keluarga bersama seseorang yang sibuk membaca korannya dari pagi. Aku lebih baik ke sini, tidak ingin dilempari pertanyaan-pertanyaan soal apapun untuk formulir masa depan itu. Aku bahkan sudah tidak peduli dengan masa depan.

Aku membayar susu stroberi di kasir dan bergegas keluar dari konbini. Seperti biasa dan menjadi kebiasaan, aku duduk di bangku dan meminum susu stroberi yang sudah kubeli. Kendaraan terlihat hilir-mudik, jauh lebih banyak dibanding hari-hari lain. Aku hanya menghitung berapa banyak roda yang sudah melewati jalan di depanku ini. Tidak ada kegiatan lain, aku tidak berminat melakukan apapun lagi.

Ah, bahkan aku melupakan ponselku.

"Laki-laki Hujan!"

Aku menoleh. Tidak asing lagi dengan panggilan seperti itu. Apalagi dengan nada ceria dan penuh semangat serta binar matanya yang tak pernah meredup. Aku sudah hafal dengan segala hal tentang dirinya dari luar. Memang selain Natsuki, siapa lagi yang selalu kuperhatikan selalu?

"Kenapa kau ke konbini?" Natsuki melontarkan pertanyaan yang kurang masuk akal. Aku mengangkat kotak susu yang tinggal setengah sebagai jawaban dari pertanyaannya itu.

"Hee ... pacar macam apa yang membeli susu stroberi tidak memberitahu pasangannya? Aku juga mau!"

Perempuan itu mulai merengek dan membawa gelar kami sekarang, walau itu hanya untuk berpura-pura.

"Aku lupa mengabari. Ponselku tertinggal di rumah."

"Hump, kejam. Kali ini kumaafkan. Aku juga mau beli dulu. Mau cemilan lain?"

"Tidak perlu."

"Oke, biskuit!"

"..."

Natsuki tidak mempedulikan reaksi yang tertampil di wajahku dan memilih langsung masuk ke dalam konbini. Tidak ada yang pernah mengetahui jalan pikir perempuan itu. Kadang ia bisa menjadi sangat ceria, sangat bersemangat, sangat putus asa, bahkan lebih sering terlihat seperti penyihir.

Orang mana yang menjawab pertanyaan yang tidak ditanyakan di lisanmu tapi di kepalamu?

Jadi jangan salahkan aku yang selalu memanggilnya demikian, karena memang begitulah faktanya.

Aku hanya bersandar di bangku, menunggu Natsuki keluar dari konbini. Sekali-kali kulakukan hal yang sebelumnya kulakukan, menghitungi kendaraan yang berlalu lalang. Selang beberapa saat, pintu konbini terbuka, menampilkan Natsuki yang meminum susu stroberinya dengan riang. Tangannya yang lain menenteng kantong plastik berukuran sedang dan terlihat penuh.

Astaga, apa saja yang ia beli?

Natsuki menghampiriku dan dengan santainya menyodorkan kantong plastik itu padaku. Aku hanya menatapnya kebingungan dan menerimanya. Plastik itu penuh dengan biskuit, coklat, hingga permen-permen kecil. Makanan manis.

Aku kembai kebingungan melihat isinya. Apa yang harus kulakukan?

"Katanya, makanan manis bisa membuat orang merasa lebih baik."

Aku mengerjap. Sudah kubilang, Natsuki itu penyihir. Penyihir baik hati yang manis.

≪ °❈° ≫

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro