「 Bab 10 : Sisi Lain Takdir 」
Aku melihat pantulan diri di kamera ponsel dan merapihkan poni yang semula berantakan. Kupastikan lagi tidak ada yang salah dengan poni, mata, bibir, gigi, apapun yang ada di wajahku. Setidaknya aku memperhatikan penampilan diri supaya terlihat baik saat bertemu dengannya, 'kan? Walau aku tidak tahu, kenapa aku harus memperhatikan penampilanku sendiri, sih.
"Ukh ... aku tidak masalah 'kan memakai pakaian seperti ini?"
Aku bertanya pada diriku sendiri, ketika menyadari setelan kemeja dan rok selutut yang terlihat terlalu berlebihan hanya untuk jalan-jalan di sekitar pusat perbelanjaan. Bahkan dengan kepangan rambut yang biasanya tidak kulakukan, meskipun itu menjadi acara jalan-jalan bersama teman. Entah seberapa usahaku yang kulakukan pada setelan hari ini. Entahlah, mungkin karena Yuichi yang mengajak, jadi aku melakukan ini.
Ah, jangan tanya kenapa aku mau melakukannya.
Aku melihat sekitar dan beralih menatap jam yang terpampang di layar kunci ponsel. Masih ada beberapa menit sebelum waktu janji dan aku sudah menunggu di sini cukup lama. Entah karena aku yang terlalu bersemangat, atau karena aku yang tidak ingin membuat Yuichi menunggu. Yang pasti, aku datang terlalu awal dari waktu yang dijanjikan.
Dan naas nya, ini tempat yang cukup ramai, membuatku tidak tahu harus menunggu di mana selain di pintu masuk pusat perbelanjaan. Sayangnya di luar sini juga cukup ramai. Ya, memang tidak ada yang salah. Ini libur musim panas. Tentu mereka ingin menghabiskan waktu liburan mereka dengan berjalan-jalan. Atau mungkin sekedar masuk ke pusat perbelanjaan dan menyejukkan diri dari terik mentari di luar.
Aku kembali membuka ponsel dan menggulir menu, mencari icon pesan dan membuka pesan dengan nama kontak 'Yuichi-kun' di paling atas. Sebuah pesan terlampir, membuatku tersenyum kecil.
'Kau dimana? Maaf, di sini sangat ramai. Aku kesulitan untuk berjalan ke pusat perbelanjaan.'
Aku tertawa kecil sebelum membalas. Ah, aku bisa memiliki nomor anak itu karena kami baru bertukar kontak kemarin. Hanya orang bodoh yang tidak bertukar kontak padahal membuat janji untuk bertemu hari ini.
'Aku di depan pusat perbelanjaan persis. Tidak masalah, aku akan menunggu. Disini memang sangat ramai. Hati-hati ponselmu hilang.'
Aku menekan tombol kirim. Detik berikutnya, aku merasa sakit kepala yang kuat menjalar. Rasanya seperti kepalaku dihantam sesuatu dengan keras. Suasana di sekitar terasa berbeda, bahkan pendengaranku mulai menangkap suara aneh dan berdengung. Rasanya pandanganku mulai memburam.
Apa aku akan pingsan?
Sekelebat bayangan mulai menghampiri isi kepalaku. Bayang-bayang keramaian di pinggir jalan, depan toko-toko yang berjajar. Bahkan keramaian itu sampai di persimpangan jalan, tepat di tempat penyebrangan jalan dengan rambu lalu lintas. Orang-orang begitu padat, berbanding dengan jalanan yang sepi.
Aku menggelengkan kepala dengan kuat, mencoba mencari pegangan di sekitar. Sekelebat bayangan lagi-lagi muncul. Itu Yuichi, dengan ponsel di tangannya, ia tengah mengetik sebuah pesan, persis di tepi jalan seolah siap menyebrang.
"Nak? Kau tidak apa-apa?"
Aku memegang tangan seorang wanita yang tiba-tiba datang menghampiri. Kugelengkan kepalaku perlahan, membuat wanita itu terus memandangiku dengan raut wajah khawatir. Mungkin ia sudah melihat peluh keringat yang terus mengalir di keningku.
Bayang-bayang di kepalaku terus berlanjut. Rambu menunjukkan lampu merah untuk kendaraan dan hijau untuk pejalan kaki. Yuichi mendongak dan menyebrangi penyebrangan dan di detik itu juga, sebuah mobil besar dengan kuat melaju dan kehilangan rem nya. Bunyi klakson yang nyaring seolah berdengung di telingaku dan—
"Hah?!" Aku tersentak kecil, melihat sekeliling dengan linglung seolah orang yang baru terbangun dari mimpinya. Kuatur nafas yang mengebu dan netraku bergulir ke samping, menampilkan seorang wanita yang masih memegangi tanganku.
"Nak?"
"Ah, m-maaf, Bibi. Aku baik-baik saja. Hanya ... sedikit pusing."
Wanita itu membantuku berjalan dan membawaku duduk di bangku yang tersedia di pinggir dekat pintu masuk. "Kau terlalu lama berdiri di luar sepertinya. Tenangkan diri dulu, ya, di sini. Cuaca sedang di puncaknya. Jangan sampai kau terlalu lama terpapar sinar matahari."
"Anu, terima kasih atas bantuannya, Bi. Saya ... saya sudah ditunggu teman, nanti kami akan beristirahat."
"Ah, saya antar saja, ya?"
Aku menggeleng kuat dan menunduk kecil, menolak tawaran dari wanita itu. "Tidak perlu, Bi. Saya sudah baik-baik saja. Saya ... saya pergi dulu. Terima kasih banyak."
Aku tidak mendengar kata-kata wanita itu setelahnya, karena yang kulakukan adalah langsung berjalan dengan cepat setelah membungkuk dalam sebagai ucapan terima kasih pada si wanita. Prioritas utamaku adalah menemukan Yuichi, dimanapun dia berada. Karena apapun yang kulihat tadi, bukanlah hal yang bagus. Aku benar-benar membenci ini, tapi inilah kenyataan dari hal yang kalian sebut sebagai telepati. Inilah sisi lain dari tali takdir yang mengikatku.
'Kau dimana?'
.
.
.
「Yakusoku, 'ka?」
Bab 10 : Sisi Lain Takdir
by andin
.
.
.
Suara kepala Mama entah kenapa dapat kudengar. Suara lembut yang penuh dengan kekecewaan yang mendalam saat berdebat dengan Papa. Padahal Mama mengatakan sesuatu. Tapi suara yang tiba-tiba masuk ke dalam kepalaku sangat berbeda dari apa yang diucapkan Mama. Jangan tanya aku kenapa aku bisa membaca isi pikiran atau hati Mama.
Ini sudah terjadi sejak bulan lalu. Aku baru saja pulang dari sekolah dan membuka rumah. Ketika Mama menyapa dari dapur dan aku pergi ke arahnya, tiba-tiba kepalaku terasa sangat sakit. Rasanya seperti kepalaku dihantam sesuatu. Detik berikutnya, sebuah suara wanita yang tak asing memenuhi isi kepalaku. Dan saat Mama menghampiriku dan mengecek keadaanku, disitulah aku tahu jika suara yang berdengung di kepalaku adalah suara milik Mama.
Aku ... aku bisa membaca pikiran Mama.
Kupikir ini akan bagus. Aku bisa mengetahui perasaan Mama yang jujur tentangku. Aku semakin sering memamerkan nilai yang bagus pada Mama. Reaksinya di mulut dan reaksi di isi kepalanya benar-benar membuatku senang. Mama memujiku dengan baik di mulutnya dan terus membangga-banggakan diriku di dalam pikirannya. Aku semakin menyukai kemampuan aneh yang tiba-tiba muncul ini.
Begitu hingga hari ini. Bahkan aku mulai terbiasa dengan membaca pikiran Mama, membuatku tahu apa yang harus kulakukan ketika Mama sedih, senang, bahkan takut. Aku juga mulai mempelajari kemampuan ini. Soal aku yang harus melihat Mama, jarak, dan lainnya. Tapi seminggu terakhir, sesuatu yang berhasil kudapatkan dari membaca pikiran Mama membuatku membenci seorang pria yang selalu kupanggil papa itu.
Mama menemukan fakta mengejutkan yang aku tidak tahu istilahnya. Aku masih kecil, tentu aku tidak paham soal istilah itu. Tapi dari yang dapat kubaca dari pikirannya, Mama membenci Papa yang pergi dengan wanita lain. Aku juga benci Papa karena membuat Mama menangis setiap malam.
Dan bahkan, aku benci Papa hari ini karena membuat Mama mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan isi kepalanya. Mama terlihat tersenyum saja dan mengatakan hal baik pada Papa. Padahal kepalanya sangat ribut dan seolah bisa menangis kapanpun. Laki-laki mana yang membuat perempuan yang mereka cintai tidak mengatakan hal yang sesuai begitu?
Papa sudah tidak menyayangi Mama lagi ya? Jadi memilih untuk mencari orang lain?
Aku baru ingin membuka mulut, menegur Papa di depan makan malam yang baru saja tersaji, sebelum kepalaku terasa sakit. Aku meringis, bahkan berteriak kecil, mengundang kekhawatiran dari kedua orang tuaku. Mereka langsung mendekati bangkuku dan memegangiku.
Aku mengabaikan mereka dan lebih fokus pada rasa sakit di kepalaku. Sekelebat bayangan mulai bermunculan di kepalaku, memutar sebuah adegan seolah itu adalah teater. Suara Mama berdengung, entah di telingaku bahkan di kepalaku. Dan dari kilasan bayangan itu, aku dapat melihatnya.
Aku dapat melihat kematian Mama.
≪ °❈° ≫
Regards, ndin
1175 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro