Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(6) Two Back Off

FLASHBACK
10 tahun yang lalu.

💫💫💫

"Cacat moral jauh lebih buruk daripada cacat fisik."

💫💫💫

"Ara, dicari Seno di luar," ucap Fajar, ketua kelas 12 MIPA 1.

Ara memutar bola mata malas. Sudah berbagai cara dia lakukan agar terhindar dari seorang buaya darat bernama Seno.

"Ra, lo bisa kali ngasih ancaman apa gitu. Biar dia kagak ngejar lo terus," saran Karin.

"Nah betul. Biasanya otak lo itu sebelas dua belas kayak rubah betina," ujar Imelda.

"Lady fox," celetuk Irene.

"Kalian tuh muji apa ngehina?" seru Ara. Sudah menjadi kebiasaan, sahabat saling tukar hinaan.

"Dah sono, Lady Fox!" usir Karin.

Mau tak mau Ara pun menuju luar kelas, menemui Seno.

Seno langsung sumringah melihat kedatangan Ara. Sudah tiga puluh sembilan kali dirinya tercampakkan di depan kelas orang.

"Ngapain lo ke sini?" sinis Ara menantang dengan tangan dilipat di bawah dada.

"Ngapelin gebetan, lah," tukas Seno enteng.

"Gebetan dari Hongkong! Sono dah lo sama anak kelas sebelas yang pernah lo tidurin itu. Gue jijik tau gak, liat lo yang bangga sama diri sendiri. Padahal, kelakuan macan setan gitu," sambar Ara keras-keras hingga penghuni koridor depan kelasnya menatap mereka berdua.

"Lo cemburu?" goda Seno tanpa merasa tersinggung.

Ara memutar bola mata malas. Pikirannya melayang mencari cara licik yang tadi teman-temannya katakan. Baru saja kepalanya menengok ke arah kanan yang tampak seseorang yang menjadi buronan pergentayangannya.

"Kagak, lah. Buat apa gue cemburu. Orang gue udah punya pacar," cetus Ara dengan mata mengikuti setiap langkah pemuda tampan yang berjalan ke arahnya yang tepat berada di pintu kelas.

"Elah, Ra. Lo ngobrol di depan pintu, ngalangin jalan aja," tukas Gilang.

"Biarin!" ujar Ara sinis, lalu berganti menatap Azka yang berada di belakang Gilang seraya berkata, "Sayang, tadi di kantin beli apa?" Ucapan beda intonasi di awal dan akhir itu sontak menghebohkan siswa-siswi yang berada di koridor kelas dua belas.

Ditambah dengan Ara yang dengan seenaknya menggandeng tangan Azka yang terbalut sweater hitam.

Tentu saja hal tersebut membuat sang empunya lengan terkejut dan membuka mulut untuk menyanggah, tapi Andara sudah berkata dengan lantang sebelum Azka berbicara.

"Nih, pacar gue tercinta, namanya Azka. Jadi, lo, Seno! Si Buaya Darat! Gak usah ganggu gue lagi!" seru Ara, seraya membawa lengan digandengannya untuk masuk kelas dengan susah payah, pasalnya tenaga Ara tidak sebanding dengan Azka yang berotot itu.

Ara melotot ke arah Azka dengan memberi kode untuk mengikutinya. Azka sedikit melebarkan mata hendak menarik lengannya, tapi justru Ara menarik dengan lebih kuat. Dia menghela napas pasrah, mengikuti Ara yang menyeretnya masuk kelas.

"Gila! Makanya lo gak mau gue comblangin sama Ara karna emang udah taken, Bro?" tanya Gilang dengan suara keras yang semakin menghebohkan kelas.

Azka menghela napas, "nggak!" sanggahnya. Melepaskan gandengan tangan Ara di lengannya dengan sedikit keras.

"Ish. Biasa aja kali! Gue mau jatoh, nih!" ketus Ara yang kaget karena tangannya disentak.

Dengan masa bodoh, Azka melenggang ke bangkunya. Tidak mempedulikan Ara atau teman-teman lain yang menyoraki mereka.

"Sst. Tenang semua! Kalian gak usah cemburu, ye, si anak baru gue embat," seru Ara di depan kelas, menyolek rambut panjangnya dengan genit seraya berjalan ke bangkunya sendiri.

"Hai, Pacar!" panggilnya saat melewati Azka dengan mengirim air-kiss.

Azka memutar bola mata jengah. Dirinya menempelkan earphone ke telinga lalu meletakkan kepala di atas lipatan tangan di meja.

"Lady Fox beraksi emang bikin heboh dunia," celetuk Imelda.

Lalu, mereka bertiga tertawa berbarengan. Menertawakan teman absurd paling ajaib tingkahnya itu.

"Gak usah ngejek lo pada! Siapa yang nyuruh gue pake cara licik tadi?" tukas Ara tak terima.

"Iya, licik emang, sih. Cogan kelas digandeng-gandeng. Menang banyak lo, Arasso!" seru Irene.

"Licik sih licik. Tapi, ya gak gitu juga, Arasso! Nyebar rumor aje lo. Kesian doi kalo gak betah di sini, bagemana?" tanya Karin dengan geleng-geleng tak percaya.

"Bodo amat," ujar Ara tak peduli dengan mengangkat bahunya.

Lalu, guru Biologi—mata pelajaran favoritnya—datang ke kelas. Ara membalikkan badan ke depan. Saat tak sengaja menoleh ke arah kanan, kebetulan sekali Azka juga sedang menghadap ke arahnya sehabis mengambil buku di tas.

Dengan genit, Ara memberikan wink dan ciuman jauh dengan bibir yang dimonyongkan. Azka bergidik melihat tingkah gadis aneh itu. Ara malah terpingkal melihat raut geli Azka.

💫💫💫

Suasana mendung sore hari sepulang sekolah membuat Ara mengeluh.

"Kenapa harus mendung, sih.
Kalau hujan pas gue lagi di jalan gimana? Bisa bahaya, entar seragamnya basah. Mana angkot gak datang datang lagi," gerutunya.

Berdiri di trotoar depan sekolah sedari tadi menunggu angkot yang sesuai rute menuju rumahnya. Sudah hampir sepuluh menit dirinya menunggu. Akan tetapi, tidak juga datang.

"Ish. Ya Tuhan, Ara tuh sukanya habis hujan. Bukan sebelum, apalagi pas hujan. Sebelum hujan itu bikin was-was takut kehujanan. Kalau pas hujan ya kehujanan, 'kan jadi basah. Nah, kalau sehabis hujan 'kan enak. Hawanya sejuk, mana bau tanah lembab menenangkan jiwa dan raga," ocehnya berjalan kembali menuju pos satpam sekolah saat gerimis mulai turun rintik-rintik.

Biib ...!

"Astaghfirullah! Ayam terbang!" latahnya saat suara klakson motor yang sangat keras mengagetkan dirinya yang sedang berjalan pelan dengan menunduk.

Ara melihat motor besar berwarna hitam yang hampir menabraknya.

"Heh! Kalau nanti gue mati karna lo tabrak gimana?!" teriaknya dengan tangan di dada.

Kaca helm full-face itu dibuka si pengendara. Menampilkan mata kelam yang enak dipandang.

"Siapa yang jalan sembarangan?" tanya Azka datar.

"Huh! Pokoknya lo yang salah! Harus tanggung jawab!" seru Ara.

Azka diam sembari mengangkat satu alisnya.

Ara mengedikkan bahu. Tanpa merasa berdosa, dia berjalan ke arah boncengan motor besar Azka dan menaikinya.

"Pacar, anterin aku pulang dong. Mau hujan, nih," ucapnya dengan nada suara manja dibuat-buat.

"Turun!" tukas Azka tanpa mengubah posisi.

"Ish. Nih udah gerimis. Ayo cepet jalan, entar keburu gede!" teriak Ara keras-keras dengan memukul bahu Azka.

Helaan napas terdengar dari tempat Ara duduk.

"Jaga jarak duduk dan pegangan di motor atau tas punggungku," ucap Azka sedikit keras agar Ara mendengar.

"Siap, Pacar!" Ara terkikik geli dengan sikap pasrah Azka yang sekarang menjalankan motornya.

Ara sedikit terkejut. Ternyata Azka masih mengingat rumahnya. Bahkan, dia tahu jalan tembus supaya lebih cepat sampai ke rumah Ara.

Saat sudah di depan rumah. Hujan turun dengan deras. Ara segera turun dari motor.

"Ayo masuk dulu. Nanti kamu masuk angin kalo hujan-hujanan," seru Ara seraya menarik tangan Azka turun dari motornya.

Memang hujan semakin deras. Azka ingin menolak, tapi ia ingat jika membawa laptop dan tasnya bisa basah terkena hujan. Ia tak punya pilihan lain selain menerima tawaran Ara. Semoga ada orang tua Ara di dalam, batinnya.

Azka mengangguk. Lalu, memarkirkan motor di halaman rumah sederhana Ara dan berjalan menuju arah Ara yang sedang menunggunya di depan teras rumah.

Cklek.

Ara membuka pintu rumah. Disambut dengan ruang tamu kosong dan rumah yang tampak sepi. Sepertinya, ibunya belum pulang. Entah dia tidak tahu apa yang tengah dilakukan sang ibu, sudah biasa wanita itu tidak pulang selama beberapa hari.

"Duduk aja di situ. Bentar, ya," ujar Ara melenggang masuk.

Membuka pintu kamar sang Ayah untuk memberi tahu bahwa dirinya sudah pulang.

"Assalamu'alaikum, Bapak," ucapnya.

"Wa'alaikumussalam. Ara sudah pulang?" jawab sang ayah yang tengah memandang jendela di atas kursi rodanya.

"Sudah, Pak. Pak Sapto sudah pulang, ya? Kapan?" tanya Ara mengenai tetangga yang juga junior Imran sewaktu menjadi preman dulu, yang sekarang membantunya. Lalu, Ara menyalim sang ayah.

"Iya, sejak zuhur tadi. Kamu kehujanan?"

"Sedikit. Di depan ada teman Ara. Tadi Ara nebeng dia, Pak," lapor Ara.

"Tumben kamu bawa teman ke rumah. Dimana? Bapak mau liat," ujar Imran girang.

"Eh, gak usahlah, Pak," tolak Ara karena sudah dengan pasti temannya ini laki-laki bukan perempuan. Dirinya takut dikira ada apa-apa dengan Azka. Pasalnya, Ara belum pernah mengajak siapapun ke rumahnya.

"Oh, ya sudah," ucap bapaknya lesu.

Melihat raut sang ayahanda yang berubah sedih itu membuat Ara tidak enak hati.

"Eh, mau kemana?" tanya Imran saat sang anak mendorong kursi rodanya.

"Katanya mau liat teman Ara. Mau kenalan juga, gak?" tanya Ara riang.

"Emang gak apa-apa? Bapak takut kamu malu."

"Lah, malu kenapa?" tanya Ara bingung.

"Malu kamu punya bapak lumpuh seperti Bapak," ujar Imran sedih.

"Buat apa malu. Bapak ini suka berpikiran yang tidak-tidak. Ara mah bangga punya bapak seperti Bapak," daripada punya ibu seperti Ibu yang jual diri. Ucapnya dalam hati.

"Loh cowok toh ternyata," seru Imran saat melihat Azka di ruang tamu.

"I-iya, makanya Ara tadi nolak. Takutnya Bapak nanti ngira Ara ada macam-macam sama Azka," cicit Ara.

Azka menatap Ara dengan seorang lelaki paruh baya di kursi roda yang sedang Ara dorong. Lalu, dirinya tersenyum dan menyalim ramah tangan yang Azka kira adalah ayah Ara.

"Assalamu'alaikum, Om. Saya Azka, teman Ara," ucap Azka sopan setelah salim.

"Wa'alaikumussalam. Silahkan duduk, Nak Azka," ucap Imran ramah.

"Nak Azka ini teman sekelas Ara, ya?" tanya Imran ke Azka yang sudah duduk di bangku panjang ruang tamu.

"Iya, Om," jawab Azka dengan senyum.

Ck, sama Bapak aja dia bisa senyum. Kenapa sama gue mukanya datar mulu! Batin Ara.

"Pak, Ara bikin teh dulu ya. Sama mau ambilin handuk buat Azka," ujar Ara pamit. Dilihatnya tadi Azka sedikit kebasahan terkena air hujan.

Entah apa yang dibicarakan Azka dengan Bapaknya di sana. Sempat ragu meninggalkan dua lelaki beda usia di ruang tamu tanpa dirinya, tapi apa daya dia tidak bisa menyuruh orang lain untuk hal ini.

".... Ara jago biologi di kelas."

Saat dirinya kembali ke ruang tamu dengan nampan dan handuk di tangan. Dapat didengar sayup-sayup suara percakapan mereka. Dan ucapan terakhir Azka membuatnya tersenyum pongah. Ternyata Azka memperhatikan dirinya juga.

"Nih," ucap Ara seraya menyodorkan handuk dan setelah menaruh nampan di atas meja.

Saat dirinya duduk di salah satu bangku depan ayahnya. Ara menjadi obat nyamuk yang dikacangin dua lelaki berbeda generasi di depannya.

Ini yang anak Bapak, gue apa Azka dah? Batinnya.

💫To be Continued💫

Assalamualaikum

Maaf nih baru bisa update.
Semoga bermanfaat..

Jangan lupa vote dan komen, yaa..
Kalo ada typo atau kesalahan, komen ajaa

Lopyuu hehe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro