Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(4) One Back Off

FLASHBACK
10 tahun yang lalu.

💫💫💫

"Bohong itu dosa!"

💫💫💫

"Bang, nanti Azza nebeng, boleh?" tanya Azzahra yang biasa dipanggil Azza, adik Azka.

"Ayah saja yang anterin Abang sama Kakak," ujar sang Ayah dari arah kamar utama rumah lantai dua itu.

"Loh, Ayah gak kerja?" tanya Bunda.

"Kerja, Bun. Tapi, Ayah pengen ngantar anak-anak sekolah dulu," jawab Ayah dengan mencium kening bunda.

Kedua orang tuanya memang sangat mesra. Selalu memberikan kehangatan dan keharmonisan dalam keluarga.

Gus Laith, begitulah semua orang memanggil Ayah Azka, yang merupakan anak dari Kyai. Mbah Kakung-nya seorang kyai pemilik pondok pesantren Baitur Rahman. Lalu, nama panggilan bundanya adalah Humaira, seorang mualaf dari keluarga China.

"Abang, nanti Azza diantar ke ruang guru dulu, lalu dititipkan ke wali kelasnya," titah sang Ayah.

Azka mengangguk, "iya, Yah."

"Kakak bisa sendiri kok, Yah. Lagian, kan nanti pasti ke ruang gurunya bareng," tolak Azza.

Azka menyenggol lengan sang adik yang duduk di sebelahnya. Bermaksud menegur agar tidak membantah ucapan Ayah. Terlalu banyak mengobrol di atas meja makan juga tidak baik.

"Iya, Bang. Azza bakal ngikut Abang nanti, Yah," cicit Azza.

Dirinya memang segan dengan sang kakak yang jarang berbicara, atau hanya berbicara seperlunya.

Azka menengok Ayahnya yang terkekeh pelan, begitu juga Bunda yang tersenyum penuh arti. Saat itu pula, dia tahu apa yang baru saja dia lakukan ketika menengok sang adik yang wajahnya tertekuk masam. Azka menghela napas.

"Ya sudah, ayo sarapan. Nanti Bunda juga mau nelpon adek sebelum jam tujuh. Sudah kangen," ucap sang bunda.

"Bunda mah setiap hari kangen adek mulu. Kasihan adek bolak-balik ke ruang pengurus buat telponan sama Bunda," celetuk Azza.

Bunda terkekeh pelan. "Adek justru senang Bunda telpon."

Adiknya, Azriel, sedang menuntut ilmu di pondok pesantren di daerah Jawa Timur. Dia masih duduk di bangku kelas lima Madrasah Ibtidaiyah.

Seusai sarapan, Laith, Azka, dan Azza berangkat dengan mobil sang ayah yang mengantar mereka. Saat pindah ke Indonesia beberapa minggu lalu, Azka memilih untuk sekolah di SMA swasta. Sedangkan, Azza hanya mengikuti sang abang.

Mereka lahir dan tumbuh di daerah pegunungan Jawa, tempat Mbah Kakung dan Mbak Putri berada. Lalu, saat Azka lulus pondok dan madrasah, mereka pindah ke Kairo, Mesir. Alasannya, untuk mengurus perpindahan perusahaan pusat milik sang Ayah, El-lectro Inc, ke Jakarta.

"Nanti kalau sudah pulang hubungi Ayah, ya, Bang. Adeknya dijaga," titah sang Ayah.

Azka mengangguk. "Iya, Yah."

Dia mengambil tangan sang Ayah untuk disalim, lalu mengucap salam. Tidak heran, sikap putra sulungnya memang tidak banyak bicara, berbeda saat masih kecil dulu.

"Azza pamit, Yah. Assalamu'alaikum," pamit Azza setelah menyalim sang ayah.

Mereka berjalan mencari ruang guru. Tentu saja, sorot mata para siswa mengarah pada dua kakak adik dengan wajah rupawan yang tampak asing itu.

Bisa dikatakan, suasana sekolah semakin ramai ketika Azka dan Azza memasuki kawasan sekolah. Kabar keduanya yang menjadi siswa baru pun segera menyebar dengan foto tampak candid Azka dan Azza.

Sebagian dari mereka menatap kagum paras yang cantik dan tampan. Beberapa juga menatap iri. Banyak bisik-bisik yang berisi pujian, kekaguman, bahkan harapan menjadi pendamping, atau istilahnya pacar, kedua kakak adik itu. Ada juga yang berasumsi bahwa Azka dan Azza sepasang kekasih.

Azka hanya diam memperhatikan setiap ruang yang dia lalui. Sedangkan, Azza menunduk, karena banyaknya mata lawan jenis yang menatapnya. Padahal, ia sudah berkerudung dan tertutup. Memang begitulah resiko belajar di sekolah umum. Keduanya tidak menghiraukan keributan dan bisikan yang terdengar tumpang tindih.

Tiba di ruang guru, Azka menengok ke sang adik yang menunduk.

"Ada apa?" tanya Azka. Sebersit perasaan khawatir muncul melihat adiknya seperti merasa tidak nyaman.

"Hah? Nggak, Bang. Yuk, masuk," jawab Azza. Melenggang dulu memasuki pintu.

Kalau Azka tahu, bisa berbahaya. Siswa-siswa itu bisa saja diajak duel karate oleh Azka. Bagi Azka, keselamatan dan martabat keluarganya adalah hal kedua yang akan ia jaga setelah iman dan takwanya kepada Sang Pencipta.

Oleh karena itu, Azza memilih tidak mempermasalahkan hal yang sebenarnya salah. Dia tidak ingin mencari masalah di hari pertama sekolah.

Sesudah Azka menitipkan Azza ke wali kelasnya. Dirinya saat ini berjalan bersama wali kelas XII MIPA 1, kelasnya.

💫💫💫

"Saya Muhammad Azka Arrayan. Biasa dipanggil Azka."

Deg!

Cowok ganteng dan kaya raya itu. Satu sekolah dengannya? Bukan. Satu kelas malah. Mimpi apa dia semalam? Batin Ara.

"Silahkan duduk di bangku sebelah Gilang," ucapan Bu Sus, wali kelasnya, menghenyakkan lamunan Ara.

Gawat! Lelaki itu duduk di sebelahnya. Batinnya lagi.

Dengan berbagai cara, Ara menutupi dirinya.

"Cogan, Ra! Harus nih gue dapetin dia. Gilang kalah dah sama tampang blasteran kek gini," celetuk Karin, teman sebangkunya.

"Blasteran dari Hongkong. Itu sipit gitu pasti sama kek Jose," sewot Ara menyebut nama teman sekelas mereka. Wajahnya semakin dekat dengan Karin dan tangan menutup sisi wajah kanan, tempat dimana Azka duduk di seberangnya.

"Ish. Lo napa kayak mau nyosor gue gitu, dah. Mundur sono!" seru Karin tidak santai dengan tangan mendorong jidat Ara keras.

Dubrak.

"Estella Andara! Sedang apa kamu?!" teriak Bu Sus, melihat tingkah anak didiknya yang kelewat aktif itu.

Malu!

Ara mengelus bokongnya, tak berani menatap ke samping kanan, tempat Azka duduk. Dia tidak ingin ketahuan oleh Azka bahwa dirinya adalah gadis yang berjudi malam itu.

"Ada kecoa, Bu!" ujarnya spontan.

"Aa ...!"

Seketika kelas heboh dengan para siswi yang berloncatan ke bangku masing-masing. Takut dengan kecoa.

"Tolong usir itu kecoanya! Kalau bisa sekalian kelasnya dibersihin biar tidak ada serangga," seru Bu Sus yang tengah duduk dengan kedua kaki yang juga berada di bangkunya. Untung beliau memakai celana.

Alhasil, dua jam kelas Bu Sus kosong dan diganti dengan membersihkan kelas. Sebersih-bersihnya. Begitulah titah Bu Sus.

"Gila! Pinter banget, sih, Anak Bagong. Ngelesnya bisaan, ye, sampe kita jamkos gini," seru Karin riang.

"Jamkos sih jamkos. Tapi, malah capek ini," ujar Heri, salah satu siswa di kelas mereka.

"Elah, udah bersihin aja gausah banyak cincang," seru Ara dengan sapu di tangan. Sekuat tenaga mengabaikan cowok di belakangnya. Tentu saja, Azka.

"Gila-gila. Lihat tuh anak baru, ototnya," seru Irene, yang duduk di belakang bangku Ara dan Karin.

"Kya! Dedek juga mau diangkat dong."

"Tangannya aja berotot, pasti perutnya juga tuh."

"Si Gilang mah lewat ini."

Seru beberapa siswi di kelas, yang senang bergosip, melihat anak baru yang sedang mengangkat bangku.

"Ra, lo kenapa sih dari tadi? Ngehadap sini terus," tanya Karin mulai curiga dengan tingkah Ara.

"Gak pa-pa. Ini kan lagi nyapu, nih," ujar Ara memberi alasan.

"Lagian tadi lo juga bohong. Mana ada kecoa," seru Karin gemas.

Grep. Brak!

Ara tersentak kaget ketika suara bangku dan meja beradu di sebelahnya.

"Bohong itu dosa!" ujar seseorang tak jauh di sebelah Ara dengan penekanan di setiap katanya. Itu Azka yang baru saja menaikkan bangku ke meja. Suaranya pelan tapi tajam.

Dengan dramatis, Ara menengok ke samping kanan, dimana Azka tadi berada, melihat punggung kokoh itu menjauh mengangkat bangku-bangku di bagian depan. Bibir Ara sedikit terbuka, memegang jantung pelan. Sungguh berdebar, antara kesal dan terpesona.

"Woy, Ra! Gue tahu, dia ganteng. Tapi, gak usah segitunya juga!" seru Imelda, teman sebangku Irene, terkekeh menatap tampang terpesona Ara.

"Apaan, dah. Itu tadi gue kaget dia nyeletuk," elak Ara.

"Gue kagak denger, tuh," kata Karin. Suara Azka memang tidak terlalu keras tadi, namun berat dan penuh tekanan.

"Tau, ah," kesal Ara.

Dengan langkah gontai meninggalkan kawan-kawannya.

"Mau ngantin, sapa ikut?" teriak Ara keras.

Sontak banyak yang keluar menuju kantin. Tak heran, dirinya memang suka bersikap seenaknya sendiri. Namun, gadis itu tidak merasa bersalah. Toh, dia sudah kerja dan Bu Sus bilang setelah kelas bersih, mereka boleh ke kantin. Istirahat sebentar.

💫💫💫

"Nih!"

Ara menatap kesal lelaki di depannya. Sudah beberapa kali, lelaki itu selalu mengusik ketenangannya.

"Gak mau! Minggir!" tolaknya.

"Kenapa sih, Ra? Tinggal terima aja, lagian ini masih kesegel tutupnya. Aman," paksa Seno, mantan gebetannya, yang menyodorkan botol minuman.

"Gue bilang gak mau, ya, gak mau! Kenapa maksa?!" tanya balik Ara dengan sinis.

"Sorry, Bro. Ara kita udah sold out. Mending lo cari mangsa yang lain." Karin merangkul Ara dan berjalan ke bangku kantin. Meninggalkan Seno, buaya di SMA Cahaya Bangsa.

"Masih aja ntu anak ngejar Ara. Dah ditolak beberapa kali, juga," celetuk Irene.

"Kalo gak ada rumor pernah gituan, sih, Ara pasti mau. Ye, gak?" tanya Imelda seraya terkekeh.

"Kagak! Untung dulu gue belum masuk perangkapnya," curhat Ara.

Bukannya prihatin, sahabat-sahabatnya itu malah tertawa keras.

"Bukannya dia yang masuk perangkap lo? Mana ada gebetan pas diajak jalan malah disuruh jemput nenek-nenek," ujar Karin.

Ara ikut tertawa dengan tingkahnya dulu. "Ya, 'kan, kasian udah nenek-nenek, masa jalan kaki sepuluh kilo mau ke tempat cucunya. Mending gue ngeiyain Si Buaya Darat waktu itu, 'kan. Katanya minta jalan-jalan. Ya, udah, sekalian dapet pahala nganterin nenek itu."

Mereka tertawa yang dapat didengar seluruh penjuru kantin. Cerita itu pernah menjadi trending topic di sekolah dengan tagline #KetikaBuayaDikadalin. Ara memang terkenal dengan wajah menawan dan tingkahnya yang absurd juga tidak masuk akal.

"Ka, lo mau pesen apa? Biar gue aja yang pesen."

Suara Gilang di sebelah meja mereka menginterupsi perbincangan geng cewek terheboh satu sekolah.

"Es teh aja. Thanks," jawab Azka singkat, padat, dan jelas.

Segera, Karin memerintah kawannya mendekatkan wajah masing-masing. Ara hanya memutar bola mata malas, pasti bergosip tentang orang di sebelah yang sekarang sedang memasang earphone.

"Gue tadi denger dari Sarah, katanya si Azka udah punya pacar. Anak baru juga di sini," gosip Karin.

"Sumpah? Gak heran, sih, ganteng gitu," kata Imelda.

"Tapi ...," gantung Karin.

"Apaan? Cepetan, deh, gak usah gantung-gantung gitu!" seru Irene gemas.

"Ceweknya kerudungan. Gak kalah cakep. Anak kelas sepuluh," kompor Karin.

"Masih kecil juga. Bisa, tuh, ditikung," celetuk Imelda.

"Yeu, emang mau doi sama ngana?!" seru Ara keras menyindir.

"Gak perlu nge-gas juga kali, Arasso!" seru Imelda.

Tiba-tiba, Karin menghadap Ara curiga. Matanya menyipit seolah sedang membaca pikiran Ara.

"Apa?" tanya Ara bingung.

"Bilang gak? Ada hubungan apa lo sama anak baru itu?" tanya Karin tepat sasaran.

Ara salah tingkah dibuatnya. Menggaruk tengkuk dan mencari alasan.

"Ah, kita belum pesan apa-apa, 'kan. Gue pesanin. Ayo cepat, kalian pesan apa?" tanya Ara mengalihkan perhatian.

Mau tak mau mereka menyebut satu-persatu pesanan. Menunggu sampai Ara kembali. Lalu, interogasi yang sebenarnya akan dimulai.

"Nah, udah, makan-makan!Mangga," ujar Ara seusai pesanan sudah siap di hadapan mereka.

"Jawab dulu!" desak mereka bertiga kompak.

Menghela napas pasrah. Ara pun wajib dan harus menjawab karena dia tahu, mereka akan terus meneror Ara dengan pertanyaan yang sama.

"Gue pernah ketemu dia. Lebih tepatnya ditolong dia."

Meluncurlah segala cerita Ara. Kecuali, cerita judi dan bagian keluarganya. Ara memang tertutup mengenai masalah pribadinya. Bahkan, para sahabatnya itu tidak tahu rumahnya. Tidak pernah berkunjung ke rumah Ara selama dua tahun mereka bersahabat.

💫To be Continued💫

Update tengah malam 😁

Jadi, cerita di bagian flashback dan masa depan seorang Estella Andara akan benar-benar berbeda tingkah lakunya. Disebut sebagai character development atau perkembangan karakter tokoh.

Semoga kalian suka pembawaan cerita ini, apalagi di masa SMA yang sedikit kasar akibat pergaulan. Nantikan saja perkembangan apa yang akan terjadi selanjutnya.

*Noted : flashback tidak ditulis miring, kalau ada chapter yang diatasnya sudah ada kata flashback berarti satu chapter itu isinya flashback semua, yaitu masa SMA Azka dan Ara.

Love you semua!!!
Jangan lupa vote dan comment yaa. Hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro