(15) Nine Back Off
FLASHBACK
10 tahun yang lalu.
💫💫💫
Pelajaran fisika menjadi jam terberat bagi sebagian besar murid IPA karena susah dan gurunya menyeramkan. Tetapi, berbeda dengan Azka, mata pelajaran favoritnya adalah fisika dan matematika.
"Azka, ayo dicoba. Di Mesir dulu sama tidak materinya?" tanya Pak Herlambang, guru fisika.
"Sebagian besar sama, Pak. Fisika dasar," jawab Azka.
Lalu, dia bangkit ke depan dan mengerjakan soal Induksi Elektromagnetik di papan tulis dengan lancar. Tanpa melihat rumus ataupun kalkulator.
"Besar arus induksinya adalah empat kali sepuluh pangkat min lima A dengan arah, searah jarum jam," jawab Azka.
"Hebat. Padahal, soal ini salah satu soal HOTS di UTBK tahun lalu. Kalian bisa belajar dengan Azka, ya," ujar Pak Herlambang bangga seraya menepuk pundak Azka.
Azka kembali ke bangkunya. Dengan mata hanya memandang ke depan, dirinya dapat menangkap wajah cengo yang duduk di seberangnya. Ara.
"Gila, Bro. Gimana bisa lo ngitung itu. Gue aja mumet. Mending main basket seharian dah daripada ngitung hal gak jelas gini," keluh Gilang yang mantan kapten basket.
Azka hanya mengangkat bahu, "bisa tuh sparing," ajaknya.
"Bisa basket juga lo?" Tanya Gilang antusias.
"Lumayan. Dulu pernah ikut club," jawab Azka.
Bel istirahat menginterupsi percakapan mereka. Dzuhur sebentar lagi tiba. Azka menengok jam di tangannya.
"Duluan, ya," pamit Azka.
"Kemana?" Tanya Gilang.
"Masjid. Ikut?" Tanya Azka.
Gilang meringis dan menggeleng, "entar nyusul."
Sampai di masjid, dirinya bertemu sang adik, Azza.
"Abang, tadi bunda bawain bekal. Punya Abang di Azza," lapornya.
"Iya, nanti Abang ke kelas kamu," jawab Azka.
Mereka berpisah untuk ambil wudhu di sisi yang berbeda.
Usai berwudhu, Azka berjalan hendak memasuki pintu masjid, saat itulah netranya menangkap sosok Ara yang tengah melepas sepatu di halaman masjid bagian perempuan. Azka tersenyum melihat perubahan Ara yang semakin rajin beribadah.
Seusai Sholat Dzuhur berjamaah, Azka berjalan beriringan menuju kelas Azza untuk mengambil bekal. Bundanya memang selalu memastikan mereka membawa bekal, meskipun terkadang Azka bisa makan lagi di kantin.
"Nih, Bang," ujar Azza seraya menyodorkan tube makanan berwarna biru muda.
"Makasih, dek," ujar Azka.
"Oh ya, Bang. Teman-teman Abang kok pada ngira Azza pacar Abang," ujar Azza mengerucutkan bibir.
Azka mengangkat sebelah alis. Tidak tahu menahu mengenai perkara itu.
"Tadi ada yang bilang ke Azza, nyuruh Azza jangan dekat-dekat Abang. Eh orang itu nyolot waktu Azza jawab kalau Azza adik Abang," lapor Azza.
"Kamu gak diapa-apin, kan? Siapa orangnya?" tanya Azka tajam. Tentu dirinya khawatir.
"Azza gak tahu siapa, Bang. Tapi, Azza baik-baik aja kok. Dia cuma ngomong sedikit keras," ceritanya lagi.
Azka menghela napas. Tidak bisa dipungkiri hal seperti ini akan terjadi. Meskipun kakak beradik, wajah mereka memiliki beberapa perbedaan karena wajah Azka cenderung perpaduan antara ayah dan bunda mereka, sedang Azza lebih mirip sang ayah, dan terakhir Azriel lebih mirip sang bunda. Sama-sama rupawan, tetapi berbeda rupa.
"Ya sudah. Kalau mereka ngelakuin kekerasan ke kamu, bilang sama Abang, ya," ucap lembut Azka seraya mengelus kepala sang adik yang tertutup hijab.
Azka pamit dengan mengucap salam lalu kembali berjalan ke kelasnya melewati koridor kelas 12 yang tidak terlalu ramai karena jam istirahat pasti kebanyakan siswa ke kantin.
💫💫💫
Beberapa hari berlalu dengan cepat bagi Ara. Minggu depan ujian tengah semester dimulai. Di samping dirinya harus belajar mati-matian, dia juga harus berperang batin setiap kali memenuhi permintaan Seno, seperti pergi kencan, makan bersama, bahkan menghabiskan waktu bersama untuk hal yang menurut Ara sia-sia.
"Ra, lo sama Seno lagi?" tanya Karin sesaat menunggu bel pulang berbunyi dan guru hanya memberi catatan di papan tulis.
Ara mengangguk dengan tangan masih menulis di buku catatannya.
"Lo serius, ya, sama Seno?" tanya Karin lagi.
Ara sejenak menghentikan gerakan tangannya, namun kemudian kembali menulis sembari mengangkat bahu.
"Jadi, lo, beneran gak ada apa-apa sama Azka?" tanya Karin antusias.
Saat ini, Ara benar-benar menghentikan aktivitasnya, menoleh ke arah Karin. "I've told you before. Why?" tanya Ara berusaha menjawab dengan datar, namun suaranya justru terdengar tajam.
"Ya, kalo kalian gak ada hubungan apa-apa, berarti gue bisa deketin Azka. Lo tau, gue udah suka sama dia sejak pertama dia masuk. Imelda sama Irene juga gitu," jawab Karin tanpa menyadari intonasi pertanyaan Ara sebelumnya.
"Terus kenapa kalian kayak jadi mak comblangin gue sama Azka?" tanya Ara dengan nada semakin tajam.
"Ya, lo yang udah ketemu Azka duluan. Jadi, buat mastiin dia gak ada cewek. Lagian, lo juga menang banyak, kan, jadi bisa makin deket sama Azka," ucap Karin dengan lugas tanpa tersendat.
Ara menatap Karin tidak percaya. Jadi, selama ini dia hanya dijadikan alat pendeteksi Azka punya pacar atau tidak?
"Eh ternyata yang anak kelas sepuluh itu adiknya Azka, padahal gue, Imelda, sama Irene udah gertak itu bocah, lo sih gak ikut karna keasikan sama Seno mulu. Terus sekarang malah makin banyak yang deketin Azka. Ngeselin banget."
Ara melebarkan mata semakin tidak percaya. Karin, Imelda, dan Irene menggertak adik Azka? Mereka sampai segitunya buat mencari tahu status Azka. Ara benar-benar tidak habis pikir.
"Lo sama yang lain gertak adik Azka?" tanya Ara.
"Heum. Gak heran, sih, itu bocah cantik banget. Eh, ternyata adiknya Azka. Untung, deh."
"Dan lo gak merasa bersalah?" tanya Ara tidak percaya.
"Buat apa juga. Udah bel, nih, gue sama yang lain pulang dulu, ya. Selamat berpacaran sama Seno."
Ara sedikit kesal dengan tindakan masa bodoh Karin barusan. Sedangkan, Karin justru tidak menyadari perubahan sikap Ara.
"Duluan, Ra. Enjoy pacarannya. Paling bentar lagi Seno dateng," ujar Imelda yang lalu ditanggapi Irene.
Ara hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Kini, kelas hanya berisi beberapa murid. Pikiran Ara masih terbang ke pembicaraannya dengan Karin.
"Jangan melamun."
Ara tersentak dan menatap ke arah samping kanan. Di sana Azka juga tengah mencatat tulisan di papan tulis ke bukunya.
"Hm," jawab Ara dengan senyum dan melanjutkan kegiatan menulisnya.
"Glad to see you hear my words." Azka berucap lirih hingga hanya mereka berdua yang mendengar. Sedangkan, keduanya masih sama-sama menulis, tidak menampakkan diri tengah saling bertukar obrolan.
"I always keep your words as another form of caring. Kalo lelah, beribadah, curhat sama Allah; kenali agamamu dulu sebelum mengenal diri sendiri; jangan berharap selain pada Allah; jangan takut selain takut akan azab dari Allah; masalah itu ujian dari Allah jadi kalau ingin menghadapinya pinta bantuan dari Allah. Your words are miracle. Thank you, i really mean it." Ara berucap dengan suara liri namun intonasi riang.
Itu semua yang Azka katakan setiap ada kesempatan di radius dekat dengan Ara tanpa ada orang lain yang menyadari.
"Don't thank me. Kamu ingat semua kalimatku, itu lebih dari cukup. Mengingatkan dalam hal kebenaran dan kesabaran, bagiku itu kewajiban, sudah dijelaskan juga dalam Surat Al-Ashr," ucap Azka lalu melanjutkan seusai selesai menulis catatan, "dan bagaimana pun keadaanmu, jangan pernah berpaling meminta kekuatan Allah. Aku tahu batas kesabaranmu lebih dari yang kamu kira."
Ara menatap Azka yang tengah sibuk membereskan peralatan tulisnya.
"Jangan menatapku seperti itu, nanti terpesona."
Ara mendengkus kasar, padahal sedari tadi Azka sama sekali tidak memerhatikannya.
"Don't be too confident! Bisa saja rasa percaya diri dan banyak berpikirmu itu membuat kamu kehilangan sesuatu yang berharga," ucap Ara seraya terkekeh, karena nyatanya dia sudah terpesona dengan Azka.
"Jangan sampai sikap pura-puramu itu mendatangkan teman palsu. Bukannya lebih enak jadi diri sendiri walaupun punya sedikit teman daripada berpura-pura tapi justru mereka juga fake friends?" tanya Azka sedikit melirik ke arah Ara.
Ara sedikit tersentak, dia seperti diberi sinyal namun hatinya menyangkal.
"Lupakan. Jangan terlalu banyak berpikir, nanti cepat tua," ucap Azka usil.
"Kamu, tuh, yang banyak berpikir!" ujar Ara tidak terima.
Azka terkekeh pelan. Saat itulah Seno muncul di depan pintu. Azka sudah menggendong tas punggungnya dan berjalan ke luar kelas, menuju pintu di mana Seno berada. Keduanya saling menatap tajam saat berpapasan.
💫💫💫
"Gue bilang, jangan deket-deket Azka!" Seno menyentak tangan Ara yang sedari tadi digenggam dengan sangat kencang.
"Gue udah gak deket sama Azka lagi," jawab Ara datar seraya mengelus pergelangan tangan kirinya.
"Gue tahu, kalian masih saling ngobrol! Lo gak usah mengelak!" ujar Seno keras.
"Gue sama dia ngobrol cuma kalo ada keperluan kelas atau pelajaran. Kami sekelas, gak mungkin kalo gak saling komunikasi," ucap Ara mencoba bersabar.
Dia masih menunjukkan ekspresi datar, mencoba bersikap biasa saja karena dia tahu Seno tidak melihat dirinya dan Azka tadi saling berbincang.
"Tadi itu apa?!"
"Lo liat, kan. Tadi masih ada beberapa murid lagi nyalin tulisan di papan tulis. Gue sama Azka juga gitu," ucap Ara.
"Kalian pasti sengaja biar ada waktu berduaan!" ucap Seno keras.
"Dia tadi dari ruang guru, jadi nulisnya telat. Nah, gue emang kalo nulis lama karena sekalian lettering," ucap Ara memberi alasan yang memang benar mengenai Azka, tapi tidak sepenuhnya benar karena dia sebenarnya memang menunggu waktu seperti tadi.
"Lo gak usah kecentilan sama cowok lain sedangkan lo punya gue! Jangan jadi kayak ibu lo yang pelacur, cukup bilang saja gue bisa kirim lo ke germo rumah bordil!" ancam Seno.
"Lo gak usah ngancem gue karena hal yang gak gue lakuin! Gue gak pernah centil sama Azka atau cowok lain!" ucap Ara tajam merasa disalahkan atas sesuatu yang tidak dia lakukan.
"Gue tau banyak cowok yang suka lo!" sentak Seno tajam.
"Lo juga termasuk. Gue gak bisa larang cowok suka gue, gue tahu gue cantik," ucap Ara seraya menaikkan alis, menantang.
Seno menggeram emosi. Perdebatan seperti ini sudah biasa terjadi dan Ara selalu bisa menangkis semua dengan lugas.
"Sekarang kita jalan!" ucap Seno seraya menarik pergelangan tangan Ara kembali.
"Gue gak bisa lama-lama. Kasian Bapak di rumah sendirian." Ucapan Ara hanya dianggap angin lalu.
Namun, dengan taktiknya Ara juga pasti akan berhasil membuat dirinya tidak terjebak lebih lama dengan Seno. Dia akan selalu memprioritaskan ayahnya dalam keadaan apapun. Tidak peduli jika ibunya sudah tidak lagi pulang ke rumah sejak beberapa bulan lalu. Yang terpenting, sekolahnya sudah dibayar dan bapaknya baik-baik saja.
💫To be Continued💫
Assalamualaikum, semua
Semoga masih ada yang baca yaa
Maaf banget baru bisa buka Wattpad, hectic banget di real life sama laptopku rusak :(
Aku gak bisa janji buat rutin update soalnya belum kutulis sampai ending jadi takut ada plot hole, tapi masih aku kebut nulis Azka-Ara biar cepet tamat abis itu aku publish semua.
Minta doanya ya biar semua urusanku lancar, semoga urusan kalian semua juga dilancarkan. Aamiin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro