Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(12) Seven Back Off

(masih) FLASHBACK
10 tahun yang lalu.

💫💫💫

"Iya, aku lelah."

💫💫💫

Ara berjalan menuju pintu keluar toko roti tempatnya bekerja paruh waktu, lalu dia berhenti saat matanya menangkap Seno tengah duduk di salah satu bangku di toko roti itu.

Ara kembali berjalan dan mengabaikan Seno. Melewati begitu saja saat dirinya keluar dari toko roti. Namun, tangannya sudah dicekal dengan kuat hingga Ara berbalik dan menghadap Seno.

"Gak semudah itu kamu pergi, Baby," ucap Seno seraya menarik pergelangan tangan kanan Ara dengan kuat, menyeret Ara keluar.

"Lepas!" Ara memberontak dan mencoba menarik pergelangan tangannya, tapi justru menambah sakit akibat tarikannya.

Seno membuka pintu mobil untuk Ara dan dirinya masuk di pintu kemudi.

"Mau kemana?" tanya Ara keras saat mobil sudah dikemudikan.

Seno hanya diam.

Sekitar beberapa menit kemudian, Seno menghentikan mobilnya di depan rumah mewah.

"Ngapain kita di sini? Itu rumah siapa?" tanya Ara beruntut.

Seno diam dan menatap mobil Pajero Sport berwarna putih yang baru saja memasuki pintu gerbang rumah itu.

"Lihat!" titah Seno kepada Ara.

Ara menatap lelaki paruh baya yang-sepertinya-usianya di atas ayahnya. Lalu, tak lama seorang wanita juga turun dari mobilnya. Itu ....

"Ibumu," ujar Seno. "Bersama papaku."

Ara menengok kaget ke arah Seno.

"Ibumu selingkuhan papaku dan sekarang mereka selingkuh di rumah mamaku, di depan mamaku yang masih koma dan kakakku yang mengidap skizofrenia," jelas Seno.

Ara membesarkan kedua bola matanya tidak percaya.

"Sehina itu ibumu. Jadi ... kamu harus membayarnya." Seno ikut menatap manik Ara, memaku dengan tajam.

Ara menggeleng pelan. "Itu bukan salah gue," ucap Ara.

"Memang." Seno mengelus lembut pipi Ara yang segera Ara sentak tangan Seno dengan kasar. "Tapi kamu anaknya."

Ara menatap tajam mata Seno. "Minta bayaran sama dia, selingkuhan bokap lo!" ucap Ara seraya menunjuk arah dimana tadi ibunya berada.

Seno tersenyum miring dengan salah satu dahi terangkat. "Of course. And she paid me with you. Dia menjualmu kepadaku."

Ara kembali membolakan matanya. Kembali menggeleng pelan. "In your dream! Gue gak mau dan gak sudi!"

Ara membuka pintu mobil dan berlari. Namun, Seno mengejar dan berhasil menangkap pergelangan tangannya, mencengkram erat hingga Ara merasakan kuku Seno menusuk kulitnya.

Ara berusaha sekuat tenaga melepas genggaman Seno. Akan tetapi, nihil.

"Ikuti perintah gue dan jangan ngebantah!" titah Seno keras. "Atau lo bakal gue jual ke germo ibu lo!"

Akhirnya, Ara berhenti memberontak dan menatap Seno dengan tajam.

"Jadi pacar gue. Cuma itu yang gue mau sekarang."

Ara masih diam, diseret kembali menuju mobil Seno dengan tetap diam.

Hening selama perjalanan menuju rumah Ara. Tidak ada satupun pembicaraan. Seno juga tahu Ara akan mengikuti perintahnya meskipun Ara hanya diam. Diamnya Ara adalah tanda kalahnya.

Seno menatap tajam motor yang terparkir di halaman rumah Ara. Lalu, menatap Ara tajam.

"Motor siapa?"

Ara mengikuti arah pandang Seno. "Azka," gumamnya lirih.

"Hal pertama yang harus lo lakuin. Jangan sampai gue liat lo bareng orang itu."

💫💫💫

Sudah berlalu beberapa hari.

Azka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sejak hari dimana mereka baru saja berbaikan, hari dimana Azka tidak bisa mengekspresikan perasaannya.

Semua baru untuk Azka. Belajar di sekolah umum, siswa-siswi menjadi satu, dan yang paling membuatnya benar-benar shock culture adalah gadis bernama Ara.

"Nak Azka suka sama anak Om, tidak?"

Suara Imran-ayah Ara-menyentak lamunan Azka.

Di sinilah ia, di rumah sederhana milik keluarga Ara. Tepatnya, saat Azka tidak sengaja melewati jalan di depan gang rumah itu terletak. Azka berniat mampir untuk silaturahmi dengan ayah Ara.

Kembali ke pertanyaan tadi. Bingung, Azka menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal seraya meringis kecil.

"Haha. Gak perlu dijawab. Om juga pernah muda. Om inginnya Ara sama Nak Azka aja, kandidat menantu idaman Om," ujar Imran.

Azka semakin salah tingkah. Meringis, bingung hendak menjawab apa.

"Eung. Azka tidak pacaran, Om," ucap Azka tidak enak.

Imran mengangguk paham. "Saya percaya pada kamu, Nak Azka. Jujur saja, kekhawatiran terbesar saya adalah meninggalkan Ara sendiri di dunia ini, dan ketakutan terbesar saya, kalau Ara mengikuti jejak ibunya," ucap Imran dengan mata menerawang.

Azka ikut menerawang, dia tidak merasakan apa yang lelaki paruh baya di depannya rasakan. Dia juga tidak tahu bagaimana rasanya menjadi Ara. Namun, Azka percaya bahwa sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Ujian hidup ada karena manusia sanggup menghadapinya.

"Jika suatu hari nanti om sudah tidak ada di dunia ini ...," ucap Imran menjeda kalimatnya, "Om titip Ara kepada Nak Azka, ya."

Azka sedikit terkejut. Dia masih menatap manik ayah Ara yang juga tengah menatapnya dengan kesungguhan. Kalimat barusan, seperti sebuah titipan dan perintah yang Azka juga tidak tahu harus menanggapi bagaimana.

"Ba-bagaimana caranya, Om?" tanya Azka hati-hati.

Imran tersenyum lemah. "Cukup pastikan Ara tetap berada di jalan yang benar dan pastikan dia bahagia."

Imran kembali memaku pandangan dengan Azka. "Atau, kalau Nak Azka mencintai dia, Nak Azka bisa nikahi Ara suatu hari nanti."

Layaknya rollercoaster. Dimana saat Azka berbincang dengan ayah Ara, di situ adrenalinnya terpacu. Bukan karena tekanan gravitasi, tetapi akibat dirinya yang selalu dikejutkan akan kata demi kata dari lelaki paruh baya di depannya.

Di sudut hatinya, ada keinginan untuk melindungi dan membuat Ara bahagia. Namun, cara satu-satunya untuk mewujudkan itu, belum bisa dia lakukan. Usianya masih terlalu muda, begitu juga dengan Ara.

"Azka ... tidak bisa berjanji. Tapi ...."

Belum sempat Azka melanjutkan. Sebuah suara menginterupsi.

"Azka? Ngapain di sini?"

Gadis yang tengah berdiri tepat di pintu menatap Azka bingung. Azka menoleh sekilas sebelum akhirnya dia mengalihkan pandangan.

"Gak salam dulu?" tanya Imran menegur putrinya.

"Eh, iya. Assalamualaikum, Bapak. Kok ada Azka di sini?" Ara berjalan menuju ayahnya dan menyalim.

"Memangnya tidak boleh Nak Azka ke sini?" tanya Imran dengan nada jahil.

"Boleh, sih. Tapi, kan, seenggaknya ngabarin dulu gitu," ujar Ara mencibir.

"Nak Azka, kan, mau ketemu Bapak. Bukan kamu," tukas Imran menggoda Ara.

"Ish. Yang anaknya Bapak itu Ara apa Azka?" tanya Ara merajuk.

"Keduanya sudah Bapak anggap anak."

Ara mengerucutkan bibirnya seraya mendengkus lirih. Lalu, dia menengok ke arah dalam rumah.

"Bapak dari tadi sendiri? Pak Sapto pulang kapan?" tanya Ara saat mendapati rumahnya tampak sepi.

"Tadi pas Nak Azka datang. Kamu kemana saja? Kenapa baru pulang?" tanya Imran khawatir.

Hari libur di waktu senja, Ara baru saja pulang. Sedangkan, Azka tadi tiba di rumah Ara tepat setelah ashar.

"Eung. Tadi habis kerja ada teman Ara," ucap Ara yang memang benar adanya, tapi juga tidak terlalu detail apa yang baru saja dia lakukan.

Saat Ara tengah berbincang dengan Imran, Azka tidak sengaja melihat pergelangan tangan kanan Ara yang tampak memerah melingkar. Jelas, Ara menutupi pergelangan tangan itu dari pandangan ayahnya di balik tubuhnya.

"Azka, mending sebelum maghrib, baiknya kamu udah sampai rumah. Bener, gak?" tanya Ara mengusir secara halus setelah dia sadar Azka memandang pergelangan tangannya.

Azka menyipitkan mata, memandang sekilas gadis yang tak acuh menghiraukan dirinya.

"Azka pamit dulu ya, Om," ucap Azka akhirnya setelah menengok jam tangannya.

Imran dengan tidak rela mengangguk dan membiarkan Azka pulang.

"Antar Nak Azka ke depan, Ra," titah Imran setelah memberi salim untuk Azka.

Azka mengucapkan salam dan keluar rumah, diikuti Ara di belakangnya. Sampai di motornya yang terparkir, Azka berbalik ke arah Ara yang sudah berhenti beberapa jarak.

"Lihat tanganmu," ujar Azka lembut.

"Gak perlu," tolak Ara.

Azka menarik sesuatu dari saku celananya, menyodorkan sebuah plester pada Ara.

"Tadi ada yang berdarah. Obati dulu baru balut dengan plester," ucap Azka.

Ara menerima plester dari tangan Azka dengan ragu. "Te-terima kasih."

Azka mengangguk dan berbalik hendak menuju motornya.

"Azka ...."

Azka berhenti.

"Jangan ngadap sini!" titah Ara saat Azka hendak berbalik menghadapnya. "Lagian kamu juga gak liatin aku. Diam di situ sebentar."

Azka mengikuti, menunggu apa yang hendak Ara ucapkan. Namun, hening. Beberapa detik, bukan suara Ara yang terdengar, tapi isakan lirih dari belakangnya.

Ara tidak tahu apa yang saat ini dia lakukan, menangis di belakang lelaki yang baru saja dia kenal. Sekarang dirinya sedang dalam keadaan tertekan, akan hidup yang seolah-olah tidak pernah berpihak pada dirinya. Dia tidak bisa menahan sesak di dada.

"Kamu pernah tanya, apa tidak lelah berpura-pura. Jawabannya iya. Iya, aku lelah," ujar Ara lirih di tengah isaknya.

"Aku hanya butuh bertahan dan bersabar. Sebentar lagi semua pasti akan berakhir dan aku bisa menjadi diriku sendiri." Ara melanjutkan lagi.

"Jangan mengasihaniku! Aku tahu kamu tulus, tapi jangan lakukan itu lagi. Aku hiks ... aku tidak butuh kamu. Jadi kumohon, anggap kamu tidak mengenalku dan jangan peduliin aku lagi," maafkan aku, Azka. Batin Ara.

Ara segera berlari menuju ke dalam rumah seraya mengusap air matanya dan mencoba menenangkan diri agar tidak terisak. Terduduk di pintu kamar, menangis tanpa suara.

Meluapkan segalanya dengan tangisan, seperti yang biasa dilakukannya.

Azka menatap di mana Ara menghilang di balik pintu rumah. Dia bertanya-tanya, ada apa dengan gadis itu, apa yang baru saja terjadi padanya?

Sebersit kekhawatiran timbul di benaknya, tapi ia pun tidak tahu harus bagaimana.

💫To be Continued💫

Assalamualaikum, semua.

Azka dan Ara is coming.
Enjoy the story 💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro