(1) One
"Sebab mencintai bukan perkara obsesi, tapi keihklasan diri. Ikhlas memiliki, begitu juga ikhlas melepas pergi."
💫💫💫
Suara langkah kakinya tersamarkan oleh keramaian di tempat yang sering dijuluki sebagai kota romantis di dunia, Paris, Prancis. Tepat dirinya berada di Menara Eiffel, di malam salju pertama turun.
Estella Andara, wanita anggun berhijab yang sekarang sudah menginjak usia 28 tahun. Bisa dikatakan, kehidupannya sekarang adalah yang dia impikan semasa kecilnya. Akan tetapi, hidup selalu tidak sederhana baginya. Hatinya masih terjebak masa lalu, masa di mana dia harus memikul pilu.
"Sudah sekian lama ... dan aku masih menyimpan rasa," lirihnya seraya menengadahkan tangan, menampung butiran salju yang turun.
Sepasang tangan mungil menggenggam tangannya yang lain, melingkupi dengan hangat. "Mommy, it's first snow!" Anak lelaki itu berujar riang seraya menggoyangkan tangan Andara.
Andara mengangguk dengan senyum lebar, menghilangkan raut kesedihan yang sebelumnya terpatri. "Yes, Son. Kamu suka?"
Lalu, dia menggendong bocah berusia sembilan tahun yang menengadahkan tangan meminta digendong.
Anak digendongannya itu mengangguk dengan semangat, menjawab pertanyaan Andara seraya menengadahkan telapak tangan, menangkap butiran salju.
Tak lama, perempuan paruh baya datang menghampiri keduanya. "Rayan mau digendong Oma? Mommy, kan, baru pulang bekerja."
Bocah kecil yang dipanggil Rayan itu menggeleng. Dia sudah lelah bermain carousel dan jalan-jalan, saat seperti inilah dia bisa bermanja dengan mommy-nya.
"Tidak apa, Umi." Dengan senyum, Andara lanjut bertanya, "apa Umi kedinginan?"
"Tidak. Justru tangan kamu yang dingin," ujar wanita paruh baya itu dengan senyum keibuannya seusai menyentuh punggung tangan putri satu-satunya. "Ada apa? Bisa cerita ke Umi."
Pandangan mata Andara berubah, binarnya meredup. Namun, di bibirnya tetap terpatri senyum lebar. Dia menggeleng.
"Mommy, are you okay?" Rayan menyentuh pipi Andara dan mengelus pelan. "Nanti kalau Rayan udah besar, Rayan yang akan jaga Mommy."
Hatinya terenyuh, dia mengangguk dengan mata berkaca.
"Umi juga akan selalu mendengar ceritamu, Andara. Kita di sini untukmu," ucap perempuan paruh baya itu.
Andara tidak bisa lagi menahan air mata. Dengan sigap, Rayan memeluk leher ibundanya, begitu pula Oma-nya ikut memeluk mereka. Kini, ketiganya saling memberi kekuatan dan kehangatan di tengah salju yang turun. Tidak mempedulikan tatapan lalu-lalang orang di sekitar.
"Kalian kedinginan sampai berpelukan begitu?"
Mereka serempak menengok ke asal suara.
"Hey, my Lovely Daughter. Why are you crying?" tanya lelaki paruh baya yang melihat putri tunggal-nya menangis.
"Kelilipan salju," gurau wanita paruh baya, istrinya, setelah melepas pelukan.
Lelaki paruh baya itu tampak sangsi dan menatap penuh selidik kedua perempuan beda generasi itu.
"Rayan, Mommy kamu kenapa?" tanyanya khawatir kepada sang cucu.
"Mommy lagi sedih," ucap Rayan seraya menatap sedih wanita yang tengah menggendongnya.
Andara terkekeh pelan seraya mengusap pipinya. "Nothing, Bi. Cuma lagi moodswing aja."
"Abi jarang lihat kamu nangis. Biasanya berisik dan ceria, sekarang di Eiffel tower malah nangis," ujarnya.
"Gak kok, Opa. Mommy suka nangis kalo habis sholat," ucap Rayan dengan polos. "Terus, Rayan datang ke Mommy buat nenangin Mommy."
Ayah dan ibu Andara serempak menatap putri tunggal mereka, dengan tatapan khawatir dan bertanya.
"Nanti Ara akan cerita, kalau sudah siap," ujar Andara kepada kedua orang tuanya.
"Ya, sudah. Yuk, masuk mobil, udah mulai dingin."
Mereka berjalan menuju mobil terparkir dengan Rayan masih digendongan Andara. Kembali ke rumah jabatan yang mana menjadi tempat tinggal mereka di Paris. Suharyo Abdullah Bachir, ayah Andara, bekerja di kantor kedutaan besar Indonesia di Prancis.
Di bangku belakang kemudi bersama Rayan dan ibunya, Aminah Bachir, sedangkan sang ayah di depan sebelah supir. Andara menatap jendela di sebelahnya, terbayang pertemuannya dengan sosok lelaki yang selalu dia sebut di dalam doa.
💫💫💫
Gadis muda berjalan dengan siulan yang menggema lagu yang sedang naik daun. Malam baru saja datang, di jalan sempit yang sepi bukanlah hal yang menakutkan buatnya. Justru dia tampak berjalan santai seraya bersiul riang.
Tiba-tiba, setetes air mengenai wajahnya. Dia hanya mengabaikan sembari mengusap air di dahinya. Gerimis tidak membuatnya terusik. Namun, saat rintik itu kian deras, barulah dia berlari menuju tempat berteduh.
"Woy, Bang!" ujarnya membuat kaget beberapa lelaki paruh baya di pos ronda.
"Lah, anaknya Imran. Ngapain kemari, Neng?" tanya salah satu dari mereka.
"Bang Juki, ikut main dong, Bang. Sambil nunggu hujan reda, nih," ujarnya.
"Halah, anak cewek mana bisa judi. Entar kalah nangis," ejek lelaki yang berbadan kurus.
Gadis muda itu memutar bola mata seraya berdecih. "Preman tapi takut sama anak cewek," ejeknya balik.
"Siapa yang takut?! Oke, gue jabanin. Ayo, main!"
Mereka main kartu dengan taruhan uang. Berjudi dengan kartu sudah biasa di daerah perkampungan pinggir ibu kota. Apalagi saat malam dan jalan setapak yang sepi karena masuk ke dalam gang.
"Menang!" seru gadis muda melempar kartu terakhirnya.
"Gadis licik! Main sekali doang, pasti lo cuma hoki!" ucap salah satu preman.
"Mending lo pulang deh, Neng. Entar lo dicariin Imran," ujar preman yang biasa disapa Bang Juki.
Gadis itu menatap langit yang masih menurunkan rintik air. "Ogah! Ini masih ujan. Lagian gue gak terima dikatain sama Si Cungkring itu. Ayo main lagi, kalo gue menang, kalian kasih double. Gocab, gimana? Berani, gak?" tantangnya.
Akhirnya mereka bermain kartu untuk putaran kedua. Lagi-lagi, gadis muda itu memenangkan permainan.
"Ck. Jurus hoki gue mujarab ya, Bang. Mana sini duit gue," ujarnya seraya menyodorkan tangan.
"Heh bocah! Jangan sembarangan sama kita, ye!" ujar salah satu dari mereka.
"Udah siniin duitnya. Preman harus punya martabat," ujar gadis itu seraya terkikik pelan.
Dia menengok langit yang sudah tidak lagi hujan. Turun dari pos ronda dan menghirup udara segar sehabis hujan. Angin mengibarkan surai hitam panjang miliknya.
"Woy, Bang! Mana duit gue. Mau pulang nih, ditunggu bokap," ujarnya lagi seraya menodongkan tangan.
"Udah kasih aja," ucap Bang Juki.
Mereka ikut keluar dari pos ronda, salah satunya berniat memberi sedikit pelajaran sebelum gadis itu mengambil uang mereka.
"Dasar gadis biadab!"
Gadis muda itu hanya tersenyum miring seraya menyodorkan tangan.
"Ck. Lain kali ke sini lagi lu. Bakal gue sikat!"
Belum sempat seorang dari mereka melakukan niatnya untuk berperilaku buruk terhadap gadis itu, seseorang datang menginterupsi kegiatan mereka.
"Ehm. Permisi, Bang. Perempuan ini bareng saya,"
Saat itulah gadis itu menengok ke asal suara. Lelaki muda sebaya dengannya tampak mengenakan hoodie putih. Dari samping, wajah pemuda itu seperti berseri akibat lampu jalan. Saat itu dirinya tidak tahu, bahwa pertemuan pertama akan menjadi rasa yang bertahan lama.
"Andara, sudah sampai," ucap lembut Umi-nya. "Kamu melamun?"
Andara tersenyum seraya menggeleng. "Loh, Rayan tidur," ucapnya pelan saat menengok Rayan di antara dirinya dan sang umi.
Andara hendak menggendong Rayan untuk turun dari mobil. Namun, Aminah menahan tangannya.
"Selama ini kamu selalu menyimpan semuanya sendiri. Umi dan Abi ingin sekali kamu membagi beban itu dengan kami, bercerita, curhat, saling memberi nasehat," ucap sang ibu seraya mengelus lengan Andara.
Andara tersenyum tulus. "Ara ... bingung, harus bercerita dari mana."
"Ceritakan dari awal, tidak masalah. Kami siap mendengar kisahmu. Dari dulu, Umi ingin sekali bertanya, menghabiskan waktu bersama untuk bercerita. Tapi, Umi juga paham sebagian waktumu untuk masa depan dan Rayan."
Ara menyentuh punggung tangan ibundanya, melewati tubuh Rayan. Dia menggeleng. "Sebenarnya, selama ini Ara hanya menghindar. Ara senang dekat dengan Umi, diajarkan agama lebih dalam sama Umi. Tapi, Ara masih belum bisa menerima kenyataan bahwa ...." Andara tidak sanggup meneruskan, dirinya mengalihkan pandangan ke arah kaca mobil.
"Umi paham," ucap Aminah berganti menggenggam tangan Andara. "Jangan terlalu menekan diri sendiri. Ingat, bahwasanya Allah tidak memberikan ujian melebihi kemampuan hamba-Nya. Kamu diuji demikian itu karena kamu sanggup. Namun, adakalanya kamu boleh bercerita, membagi beban, agar kamu tetap di jalan yang benar."
Andara mengangguk. "Kata-kata Umi memang terbaik. Akan selalu kuingat."
"Ayo. Pasti Abi sudah menunggu di dalam."
"Loh, iya. Tumben Abi turun dulu," ujar Andara lebih seperti gumaman.
"Iya, tadi ada telepon dari kantor pusat. Ayo, turun."
Mereka turun dari mobil dan berjalan menuju rumah dengan Rayan digendongan Andara. Entah mengapa malam ini, Andara merasa dirinya sangat sentimental. Padahal, niatnya mengajak Rayan dan Umi jalan-jalan ke Eiffel tower untuk menghibur diri dan menghabiskan waktu dengan keluarga.
Mungkin dirinya terlalu lelah, bekerja tanpa henti di rumah sakit yang ada di kota Paris, menjadi seorang dokter dengan jam kerja tinggi, untuk melupakan permasalahan hatinya. Alasannya menjadi seorang dokter juga dikarenakan dia, lelaki yang membuatnya menjadi perempuan yang tangguh dan lebih mengerti agama.
Dia, alasan Andara masih hidup di dunia dengan iman dan cinta yang tumbuh beriringan.
💫💫💫
Di malam yang sama, di waktu sepertiga malam di mana biasanya dia sholat tahajud sendiri di kamarnya. Kali ini berbeda, Andara turun ke lantai bawah dan menuju ruang musholla rumahnya.
Humaira mendapati Aminah hendak memakai mukena. Menangkap kehadiran Andara yang sudah lengkap dengan mukena, Aminah melambaikan tangan menyuruh Andara mendekat.
"Abi di mana, Mi?" tanya Andara.
"Sedang wudhu."
"Sehabis ini, Umi mau dengerin Ara bercerita? Tapi tidak sama Abi, hanya Umi," pinta Ara.
Aminah tersenyum seraya mengangguk. Tak lama, Suharyo datang dan mereka sholat tahajud berjamaah.
Seusai sholat, di kamar Andara, Andara memulai cerita dengan sebuah pertanyaan.
"Umi, salahkah aku merindukan seseorang yang bukan mahramku?" tanyanya. "Ini ... seperti kisah Fatimah Az-Zahra radhiallahu 'anha yang mencintai Ali bin Abi Thalib dalam diam. Namun bedanya, aku bukan Fatimah putri nabi dan aku menyimpan rasa pada lelaki yang mempunyai akhlak seperti Ali bin Abi Thalib."
Andara menatap kosong, dirinya menarik napas sebelum melanjutkan. "Aku bahkan tidak tahu dimana dia berada. Sudah sepuluh tahun berlalu, tapi aku masih saja menyimpan namanya di hatiku," ucapnya dan setetes air mata turun dari mata jernihnya.
Wanita yang ia sebut Umi memeluknya, mengelus kepala yang tertutup hijab seraya berkata, "kamu tidak bisa mencintai lelaki yang bukan mahram-mu melebihi cintamu kepada Allah. Cintai Sang Pencipta dengan ikhlas dan tanpa pamrih sebelum kamu mencintai ciptaan-Nya. Sebab mencintai bukan perkara obsesi, tapi keihklasan diri. Ikhlas memiliki, begitu juga ikhlas melepas pergi."
Andara menatap mata Aminah. "Yang mengenalkanku agama adalah dia, yang mengajariku mencintai Allah juga dia. Selama ini aku berusaha melupakannya, tapi tidak bisa. Aku sedang belajar mencintai Allah dengan ikhlas juga belajar melepaskannya dengan ikhlas."
"Jodoh itu sudah ditetapkan oleh Allah, bahkan sebelum kamu lahir. Allah Maha Berkehendak, jika memang Allah menghendaki kalian berjodoh, jarak beribu kilometer atau terpisah selama berpuluh tahun pun akan dipertemukan. Jika tidak, maka akan ada lelaki lain yang bisa membuatmu melupakannya. Berdoa meminta yang terbaik kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Andara dengan mata berkaca, memeluk ibunya dengan erat. "Terima kasih sudah menyayangiku selayaknya anak kandungmu, Umi."
"Sst. Kamu anak Umi dan selamanya akan tetap menjadi anak Umi," ujarnya dengan senyum tulus dan masih tetap mengelus punggung putrinya.
💫To be Continued💫
Assalamualaikum.
Finally, bisa upload chapter pertama.
Jangan lupa tinggalkan jejak. Kalau ada typo atau sesuatu yang salah komen, yaa 🤗💕
With love,
Moon Prytn.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro