Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3: Siasat

"Nggak bisa gitu dong, Pa!"

Tanpa sadar, Za menghantamkan kepalan tangannya yang masih memegang sendok ke permukaan meja. Sebenarnya dia tidak bermaksud bersikap tidak sopan, tetapi mendengar vonis tambahan yang dijatuhkan orangtuanya, seketika emosi Za langsung tersulut.

Tidak boleh keluar rumah sampai berangkat ke Tahfiz Camp!? Yang benar saja! Za masih memiliki jadwal tampil satu kali lagi di penutupan Class Meeting. Jika dia tidak masuk ke sekolah, lantas siapa yang akan mengisi suara penyanyi Serendipity?

"Papa dan Mama kan udah nyuruh Za buat ikut Tahfiz Camp, masa masih ditambah lagi hukumannya? Nggak adil, dong!" protes Za dengan bibir mengerucut.

"Jangan dianggap Tahfiz Camp itu hukuman. Kegiatan itu, kan, buat kebaikan kamu sendiri," ujar Papa tanpa menghiraukan keberatannya. Tentu saja jawaban itu tidak membuat Za puas. Remaja 17 tahun itu justru memutar bola mata sebal.

Bagaimana bisa disebut demi kebaikannya, kalau Za sendiri sama sekali tidak berminat mengikuti Tahfiz Camp? Kecuali jika Papa dan Mama mengirimnya pergi ke karantina untuk menjadi penyanyi atau Idol terkenal, baru deh, itu sesuai dengan passion dan mimpi Za!

"Papa lebay, deh! Masa sampai sekolah aja juga nggak boleh?" gerutu Za sambil memutar-mutar sarapan mi yang masih tersisa separuh di piring dengan garpu, tanpa berniat memakannya.

"Masih ada 4 hari lagi sebelum libur semester, Pa. Papa nyuruh Za bolos?" Za masih belum menyerah membujuk papanya. Siapa tahu dengan mengungkit soal kedisiplinan sekolah, Papa mau mengubah keputusannya.

Namun, jawaban santai Papa justru membuat Za semakin mendelik. "Ya nggak apa-apa. Papa juga udah telepon Wali Kelasmu pagi-pagi tadi. Katanya, rekap presensi murid udah dimasukin ke rapor, tuh."

"Di sekolah juga udah nggak ada pelajaran atau ujian, kan? Cuma Class Meeting aja?" Mama yang sudah rapi dengan gamis dan kerudungnya karena akan pergi ke rumah sakit ikut menimpali.

Cuma Class Meeting, kata Mama!? Padahal di penutupan nanti, dia dan rekan band-nya akan naik panggung untuk performance dan menerima trofi penghargaan. Ya, Serendipity berhasil keluar sebagai juara utama di Festival Band kemarin.

"Tapi, Ma–"

"Zainab." Papa memotong dengan suara tegas. Beliau juga meletakkan sendoknya sehingga menimbulkan denting keras saat beradu dengan permukaan meja.

Seketika Zainab mengatupkan rahang. Apalagi ketika matanya beradu dengan sorot tajam Papa.

"Kalau kamu protes terus, mending semester depan Papa pindahin ke pesantren sekalian!"

Za tentu langsung membelalak, sampai-sampai bola matanya nyaris keluar. Bukan hanya dia yang terkejut, bahkan mamanya pun tampak tak kalah kagetnya.

"Tapi Za kan udah kelas XII, Pa!"

"Papa nggak peduli! Selama kamu nggak menunjukkan iktikad baik untuk berubah, Papa nggak punya pilihan selain memaksa. Mau bagaimanapun, kamu ini anak Papa, Za. Kewajiban Papa buat mengarahkan kalau kamu salah jalan. Nantinya di akhirat, Papa juga yang bakal dimintain pertanggungjawaban sama Allah."

Bukannya tersentuh, wajah Za makin memberengut mendengar penuturan Papa. Dia malah ikut-ikutan meletakkan garpunya dengan keras.

"Serah Papa, deh!" tukasnya sambil bergegas bangkit dari kursi, lalu pergi ke kamarnya di lantai 2 tanpa menoleh ke meja makan lagi. Dia kesal bukan main dengan keputusan Papa yang dianggapnya tidak demokratis.

Begitu sampai di kamar, Za langsung membanting pintu dan tidak lupa menguncinya. Dia melemparkan tubuh ke kasur yang seolah memeluknya. Ditimpakannya lengan kanan ke atas kelopak mata yang terpejam.

Nice! Sekarang aku benar-benar bakal jadi pajangan rumah selama seminggu ke depan, keluh Za dalam hati. Kalau dibiarkan, Serendipity akan terancam naik panggung tanpa vokalis utamanya. Namun, dalam kondisi seperti ini, Za bisa apa?

Merasa otaknya sudah buntu, Za akhirnya meraih ponsel yang digeletakkannya di atas nakas. Dia segera membuka obrolan grup Serendipity di aplikasi Line.

[Guys, sorry. Kayaknya waktu penutupan Class Meeting fix aku nggak bisa ikut, deh]

[Aku dihukum Papa nggak boleh keluar rumah]

Tidak lupa Za memberikan emoji menangis berderet usai mengirimkan kedua pesan itu. Tidak berselang lama, balasan dari rekan satu band-nya pun berdatangan.

Rico: [Waduh! Kenapa, Za? Kamu bikin salah apa sampai papa kamu marah segitunya?]

Andri: [Apa perlu aku yang jemput ke sana buat ngomong ke Papa Mertua?]

Rico: [Hilih! Dasar Don Juan, temen sendiri juga mau diembat! -_- ]

Za tertawa kecil membaca chat itu. Lumayan, sedikit hiburan di kala hatinya sedang gelisah, gundah, merana. Dia memang tidak berniat menceritakan masalah yang jadi penyebab kedua orangtuanya marah. Jika bercerita, sama saja dia membongkar sendiri rahasia kalau selama ini harusnya berjilbab saat sekolah. Belum tentu juga para cowok itu akan mengerti alasan kenapa Za tidak mau melakukannya.

Nggak, belum saatnya. Aku bakal pikirin cara lain supaya bisa tetap pakai seragam pendek di sekolah, batin Za bertekad.

Getar singkat pada ponselnya menarik perhatian Za kembali ke layar. Kali ini ada pesan masuk baru lagi di grup. Dari Jeremy.

Jeremy: [Semoga cepat selesai, ya, masalahnya sama Papa kamu. Tapi rencana kita liburan nanti tetep jalan, kan?]

Za langsung menepuk jidat. Astaga! Gara-gara sibuk meratapi hukuman, dia hampir saja lupa kalau ada janji mau menonton bareng konser Serenade—band luar negeri favorit mereka—di JIE (Jatim International Expo) saat libur semester pekan depan. Dengan hukuman yang dijatuhkan orangtuanya, mustahil dia bisa pergi ke sana. Namun, bukan Za namanya jika langsung menyerah begitu saja. War buat dapatin tiketnya saja sudah ngalah-ngalahin antrean ambil sembako. Sebab, baru kali ini Serenade mengadakan konser di Surabaya. Tidak mungkin kan, dia melewatkan kesempatan yang belum tentu datang dua kali dalam hidup?

Sebuah ide melintas di kepala Za, seperti berkas cahaya bintang jatuh yang tiba-tiba muncul di kegelapan malam. Cewek itu segera bangkit dari tempat tidur, meninggalkan ponsel yang masih ramai dengan obrolan para cowok dan beralih menyalakan laptop di meja belajar. Dengan gesit jemarinya langsung berselancar di situs pencarian. Tidak butuh waktu lama sampai peramban laptopnya menampilkan banyak situs berisi informasi yang dia butuhkan.

Senyum di bibir Za terkembang. Jika para pemain bola saja perlu menyusun taktik agar bisa menguasai permainan di lapangan selama 90 menit waktu pertandingan, apalagi dirinya yang diasingkan ke tempat antah-berantah selama 2 pekan. Tentunya dia perlu strategi dan amunisi khusus agar tidak menjadi pecundang di medan perang.

Tidak, minat Za ikut Tahfiz Camp masih sama nol persen dan sayangnya, keputusan Papa dan Mama juga sama bulatnya. Za sadar tidak punya pilihan, tetapi dia masih memiliki akal untuk mencari jalan keluar. Dan dengan gengsinya yang setinggi harapan orangtua kepada anak, Za tentu tidak akan membiarkan keikutsertaannya di acara itu cuma untuk menjadi bahan ejekan. ()

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro