3. Ayana Tsana
Tok ... tok ....
Ilyas mengalihkan fokus dari laporan kegiatan pondok ke pintu masuk ruangannya. Dia mempersilakan orang yang berada di balik pintu untuk masuk.
Ilyas mengenali perempuan yang masuk itu. Sudah dua kali bertemu di lingkungan pesantren namun dirinya tidak tahu siapa nama dan sebagai apa perempuan tersebut di pesantren. Yang jelas dari cara berpakaiannya, wanita tersebut bukan santri.
Ilyas pun merasa ada magnet tersendiri yang membuatnya memerhatikan perempuan dengan style yang modis untuk di lingkungan pesantren. Tunik selutut yang berpadu dengan kulot yang senada.
"Assalamualaikum, Gus," salam Ayana saat dirinya dan Ilyas hanya dipisahkan oleh meja.
"Waalaikumsalam warahmah," jawab Ilyas sambil memperhatikan Ayana. Sedangkan yang diperhatikan tidak berani membalas pandang.
"Gus, saya hendak meminta tanda tangannya," kata Ayana yang sejak tadi mendekap map berkasnya.
"Siapa nama Anda dan sebagai apa di Pesantren al-Insan? Mohon maaf, saya belum mengenal satu-persatu orang di pondok ini," tanya Ilyas penuh kehati-hatian, takut menyinggung lawan bicaranya.
"Saya Ayana, Gus. Pengajar mata pelajaran tarekh* untuk kelas Tsanawiyah-Aliyah**," ucap Ayana masih belum berani melihat paras apalagi beradu pandang dengan putra Kyai Marwan.
"Silakan duduk dulu," ucap Ilyas sambil mengulurkan tangan untuk meminta berkas yang masih di dekapan Ayana.
Ketika sudah memegang dan membaca judul proposal, alis Ilyas berkerut.
"Proposal bisnis kreasi dari kain perca," Ilyas mengeja judul yang tertera di halaman sampul. "Ini untuk kegiatan apa, ya, Ustazah?" tanya Ilyas.
"Saya dan Fiza sedang pengajuan untuk ikut lomba perencanaan bisnis yang diadakan oleh Muslim Women Enterpreuners, Gus."
Tentu saja ini aktivitas asing yang pernah Ilyas dengar di pesantren al-Insan. Apa kegiatan ini sudah biasa diikuti namun abinya belum pernah cerita apa-apa?
"Maaf Ustazah Ayana, apakah al-Insan sudah sering ikut lomba-lomba semacam ini?"
"Belum pernah, Gus. Ini pertama kalinya program diajukan."
"Bisa jelasin secara singkat apa latar belakang mengikuti lomba ini, berapa potensi keberhasilannya, manfaat untuk pesantren apa dan apa dukungan yang bisa diberikan pesantren untuk mengikuti lomba ini?"
Ayana yang begitu antusias mempresentasikan perihal proposal rencana bisnis tanpa sadar dia mengangkat kepala dan matanya mengarah pada Ilyas. Hanya saja pandangan fokusnya seakan kabur. Ayana benar-benar hanyut dengan isi kepalanya yang dijabarkan melalui lisan.
Penjelasan Ayana begitu mengalir. Dari menjelaskan latar belakang bahwa dia ingin membantu perekonomian masyarakat sekitar pondok, ikut peduli dengan pengurangan limbah kain dan menghasilkan nilai, menambah income untuk keuangan pesantren.
Perhitungan pengalokasian sumber daya pun Ayana cukup detail. Baik itu yang menyangkut modal dan SDM yang dibutuhkan.
Ilyas dapat menangkap bahwa perempuan di hadapannya bersungguh-sungguh dalam menjalankan proyeknya. Hal tersebut terlihat dari bagaimana Ayana menjelaskan operasional pada fase produksi, promosi hingga barangnya sampai pada konsumen.
Perencanaan yang dibuat Ayana cukup mendalam. Ayana sudah menentukan target pembeli dan bagaimana menciptakan daya tawar untuk mendorong konsumen bersedia membeli.
Gus Muda itu sampai penasaran dengan latar belakang yang dimiliki Ayana. Apakah perempuan di depannya ini adalah seorang berdarah bisnis yang nyasar jadi pengajar sejarah atau bagaimana?
"Jika menang kompetisi, tentunya kita dapat hadiah modal usaha, pendampingan merintis bisnis serta Diklat singkat mengenai bagaimana membuat bisnis sustainable dan berkembang. Dan bila project ini berjalan, al-Insan tentunya akan punya sumber keuangan yang baru. Al-Insan akan mandiri secara finansial."
Sebagai seorang yang akan mengambil keputusan untuk proyek Ayana, Ilyas mengesampingkan atas ide original untuk membuat al-Insan lebih berkembang. Bagaimana pun dia harus menguji, melakukan brainstorming atas ide yang diajukan Ayana.
"Kamu tahu bahwa al-Insan itu lembaga pendidikan dan dakwah, bukan lembaga bisnis?"
"Iya, apa salahnya ketika kita mencoba ekstensifikasi?" sanggah Ayana mempertahankan argumentasinya.
"Apa ini tidak akan menjadikan Pesantren al-Insan mengalami pergeseran visi? Dari lembaga dakwah dan pendidikan menjadi lembaga bisnis?"
"Saya rasa tidak akan, Gus."
"Bagaimana kamu bisa seyakin itu? Bukankah uang bisa mengalihkan orientasi seseorang? Jika proyekmu berhasil mengembangkan bisnis dan fokus teralih ke sana, maka tidak mungkin tujuan pesantren untuk mendidik insan taqwa beralih ke orang oportunis, materialis yang serba uang sebagaimana mindset bisnis keuntungan dan uang?"
Ayana tertegun. Dia tidak pernah berpikir bahwa apa yang dilakukannya akan disorientasi atau dualisme dengan visi al-Insan. Ayana kali ini berani menatap dalam pada Ilyas untuk menemukan jawaban kenapa sang putra Kyai mempunyai pikiran demikian.
"Saya tidak sempat berpikir akan berseberangan tujuan dengan misi dakwah atau pendidikan. Justru, saya berpikir unit usaha kain perca ini akan bersinergi dengan visi al-Insan untuk semakin kuat dan mandiri secara dana. Dari dana tersebut akan digunakan untuk dakwah, pendidikan bahkan juga sosial," kata Ayana berhati-hati.
Sebuah topik yang bersinggungan dengan visi-misi sebuah instansi akan terasa sensitif bila dibicarakan dengan pihak internal. Ayana takut terjadi kesalahpahaman. Ayana pun tidak menyangka bahwa aksi kecil sebatas ikut lomba akan bersinggungan dengan nilai-nilai pesantren.
"Begini, Gus. Di zaman Rasulullah Saw., banyak peristiwa dakwah dihadapkan dengan kebutuhan yang memerlukan dana. Membebaskan budak, memenuhi kebutuhan sehari-hari, membeli sumur saat Perang Tabuk dan masih banyak lagi. Semua itu bisa terpenuhi karena ada sahabat yang berdagang. Seperti Usman bin Affan, Abdurahman bin Auf, Khadijah ..."
Bagaikan gerbong kereta yang memanjang, Ayana terus menjelaskan nilai bahwa adanya seseorang yang berbisnis dalam lingkungan dakwah tidak akan membelokkan idealisme dari dakwah. Meski orientasi bisnis adalah uang, standart keberhasilan diukur dengan seberapa besar uang yang dihasilkan namun muslim yang punya pemahaman bahwa dananya untuk dakwah tentu akan terjaga. Tidak akan mengalami pergeseran nilai, justru semakin menguatkan nilai Islam itu sendiri. Sebagaimana saudagar pada masa Rasulullah.
Tidak berhenti pada kisah muslim kaya di masa Rasullullah, Ayana begitu antusias memaparkan kisah pada zaman keemasan Abbasiyyah. Dimana Ilmuwan begitu sangat produktif, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah suntikan dana dari para pembisnis Islam. Jika umat muslim saling terorganisasi dan bersinergi antar elemen, yang dakwah menyerukan nilai tauhid, yang pendidikan mencetak tenaga ahli, yang bisnis menyiapkan dana maka hanya menunggu waktu masa keemasan Islam seperti masa Abbasiyyah itu akan terulang.
Ayana membawa realita bahwa muslim yang kuat iman namun keuangan tidak memandai akhirnya sulit untuk bangkit dan berkembang, bahkan kefakiran seseorang itu dekat dengan kekufuran dan kekafiran. Sehingga, Ayana teguh mengatakan bahwa ekstensifikasi ke bidang usaha ekonomi bukan untuk menggeser tujuan dan fungsi pesantren. Justru menguatkan, asumsinya jika pesantren tersebut mempunyai kapasitas sumber daya manusia yang siap. Dan Ayana dibantu Fiza menyatakan siap sebagai pelaksana merintisnya.
Ilyas bertopang dagu dengan ujung siku menumpu pada pinggiran kursinya. Ia begitu menyimak Ayana tanpa berniat menyela. Ilyas tidak buta informasi atau struktur berpikir seperti yang Ayana jelaskan. Dia mengerti tentang logika dan informasi yang Ayana paparkan dan Ilyas hanya menguji.
Landasan penjelasan Ayana yang mengacu pada sejarah Islam masa Nabi Saw., dan juga abad kejayaan Islam membuat Ilyas percaya bahwa Ayana memang seseorang yang menguasai sejarah dan layak menjadi pengajar di bidang tersebut.
Obrolan dengan Ayana kali ini membuat Ilyas sepakat tentang kata bijak, yang paham sejarah dia tidak akan mengulangi kegagalan tapi mengulang keberhasilan yang pernah tokoh sejarah torehkan.
"... jadi Gus, unit program di al-Insan nantinya akan bersinergi. Semuanya diniatkan karena Allah, kita akan mencetak muslim yang teguh iman, kuat ekonominya. Bukankah Allah suka muslim yang kaya agar bisa membantu sesama?" Akhir penjelasan panjang Ayana.
Ilyas menatap datar pada proposal yang diserahkan Ayana. Ia pun menghela napas.
"Ini Ning Zahira yang akan jadi pembina kalau programnya saya setujui?" tanya Ilyas ketika melihat tanda tangan Zahira dan beberapa para wakil-wakil pengurus pondok telah membubuhi tanda tangan. Hanya perlu tanda tangan Ilyas sebagai pengganti Kyai Marwan maka program yang diajukan Ayana bisa dijalankan.
Ayana pun mengangguk. "Saya sudah berbicara dengan Ning Zahira, dan beliau bersedia jika nantinya program ini berjalan. Beliau pun bersedia untuk menjadi pendamping lombanya juga."
Ilyas memutar bola mata seperti orang yang sedang berpikir dan menimbang keputusan. "Proposal ini bisa kamu tinggal dulu, besok kamu bisa ke sini untuk mengetahui keputusannya. Saya perlu berdiskusi dengan Abi."
Ayana sangat memahami jika Ilyas tidak bisa membuat keputusan di hari itu juga. Bagaimanapun program yang dia tawarkan ini adalah sesuatu yang baru untuk al-Insan. Ketika Ilyas mengatakan hendak berdiskusi terlebih dahulu dengan Kyai Marwan mampu memahami dasar berpikir tersebut
Hati Ayana menjadi was-was karena peluang untuk mendapat persetujuan atau tolak peluangnya lima puluh persen. Dalam hati Ayana berdoa semoga jalannya Allah permudah untuk proyeknya. Hal ini karena ia begitu optimis dan semangatnya menggebu untuk bisa meninggalkan program baik untuk al-Insan. Syukur-syukur, bisa jadi amal jariyah untuk Ayana.
Ayana mengangguk dan pamit untuk undur diri.
- - - - - - - - - - -
* Sejarah Islam
** Tingkat pendidikan setara SMP dan SMA
Senin, 18 Juli 2022
Terkadang aku posting yang berhubungan dengan Ilyas dan Ayana di IG atau Tiktok. Bisa di lihat juga yukk ..
Sudah ada 2 Video yang aku posting.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro