⸙ it's six
Iwaizumi Hajime galak, nyeremin, jago berantem. Tapi payah dalam satu hal ...
.
.
.
you pov;
Aku turun dari mobil pick up yang disediakan oleh pasar ini untuk keadaan darurat para pedagang. Berterimakasih dulu pada seseorang yang sudah menyupiriku untuk melakukan urusan di pusat kota. Lalu berjalan ke arah toko pak Sagawa di dalam sana.
Hari ini aku sudah menjadi perwakilan untuk membantu kenaikan usaha pak Sagawa di pusat kota. Karena dari waktu lalu, usahanya memang sedang tak bagus di daerah sini. Kebetulan karena aku punya kenalan yang bisa membantu di pusat kota, jadi aku yang menemuinya.
Setelah selesai membicarakan hal tersebut dengan pak Sagawa, aku berencana mau ke toko bunga Kak Serinuma. Entah kenapa rasanya seperti segar apabila masuk ke toko tersebut. Semerbak harum bunga yang bermacam-macam bagai menambah warna untuk hari ini.
"Nona."
Aku menoleh, mendapati adanya dua orang laki-laki asing di belakangku.
"Lagi mau ke mana, nih?" Tanya salah satu di antara mereka yang mengenakan hoodie.
"Ah, aku mau ke toko bunga," Jawabku dengan agak bingung. Kulihat mereka kini saling melemparkan senyum.
"Membeli bunga untuk kekasihmu?" Tanya pria satunya lagi yang mengenakan kaos hijau.
"B-bukan, kok. Hanya mau mampir," Sungguh. Aku tidak tau apa tujuan dan niat mereka saat ini.
"Kalau begitu apa kau punya pacar?"
"Um ..."
"Kalau engga boleh kami minta nomormu? Kau tampaknya sering berada di pasar ini."
Ah, pusing. Rasanya makin tak nyaman dengan alur pembicaraan ini.
Akhirnya karena itu, aku berusaha memilih untuk mengabaikannya saja. Padahal tadinya kupikir kedua orang ini sedang membutuhkan bantuanku atau ingin bertanya sesuatu yang penting.
"Ah, hei Nona! Tunggu, jangan pergi dulu, dong."
"Mau ke toko bunga, kan? Bareng saja, biar kami yang belikan bunganya nanti, hehe."
Ah, memang aku yang bodoh. Kalau sudah diladeni seperti ini, kan mereka jadi keterusan.
Duh, bagaimana dong—
"Nona, bagaimana kalo—"
Aku langsung menepis tangan yang mencengkram lenganku tadi. Ternyata pelakunya adalah pria berhoodie. Aku mencoba menatap laki-laki itu dengan berani.
Tapi dia lagi-lagi menyentuhku.
"Itu ke kedai itu dulu yuk, untuk makan," Katanya.
Dan tentu saja aku menjauh dari rangkulannya, "Gak bisa. Aku ada urusan."
"Nanti kita akan ke toko bunga juga, kok," Ini ujar pria berbaju hijau. Ikut memegang tanganku dan memaksa.
"J-jangan pegang ..."
Ah ... Gimana caranya aku keluar dari situasi ini ...
"A-aku ada urusan, j-jangan—"
Buuukk!
Aku langsung melebarkan mata setelah dalam sekejap, laki-laki berhoodie yang merangkul dan memaksaku itu tiba-tiba terpental dan jatuh ke tanah.
"Aduh, bolot ya, kalian."
Menolehkan kepala, lagi-lagi aku terkaget dengan kondisi ini.
"Dia itu orang sibuk, gak suka dipegang-pegang."
Iwaizumi Hajime ...
Kenapa dia ada di sini?
"K-kau ..."
Dia melirikku sejenak, kemudian berjalan untuk lebih mendekat. Dia kini ada di depanku dan menghadapi pria berbaju hijau yang tampak ikut terkaget.
"B-berani-beraninya kau—"
Aku menutup mata saat kulihat pria berbaju hijau itu melayangkan kepalannya ke arah Iwaizumi. Kemudian suara gedebuk kembali terdengar. Berikut juga suaranya.
"Kau yang berani-beraninya," Ucap suara itu, Iwaizumi Hajime. Aku lantas membuka mata. Ternyata malah mendapati pria berbaju hijau yang sudah ikut tersungkur ke tanah, "Berani-beraninya sama cewek bertampang bodoh dan lemah."
Aku sontak menatapnya.
B-bodoh?
"Kalau buat kesenangan, carinya cewek yang jalang juga dong," Ucapnya, sangat frontal. Padahal kita sedang dilihati banyak orang juga.
"Kalau cewek macam dia mah, gak asik," Lanjutnya.
K-kenapa dia malah mengataiku?!
"Diam kau, tidak usah ikut campur!"
Aku memekik kaget saat laki-laki berhoodie bangkit dan melayangkan pukulan. Meskipun Iwaizumi itu bisa menangkisnya, tetap saja aku takut dan tidak suka dengan perkelahian ini. Apalagi Iwaizumi menghadapi dua orang. Massa yang sedang menonton pun tak ada yang ikut membantu.
"H-hentikan," Aku mencoba berbicara. Tapi memang pengecut, suara yang keluar saja kecil. Bagaimana mereka bisa mendengarnya?
Buakk!
Aku memekik takut. Iwaizumi Hajime terkena pukulan itu. Kini dua orang tersebut sedang menyerangnya!
Ayolah tolong, siapapun. Bantu. Atau telepon polisi, security pasar. Apapun itu, hentikan mereka. Mereka akan menghabisi Iwaizumi Hajime, atau Iwaizumi Hajime akan menghabisi mereka, yang manapun, itu tidak baik.
"H-henti ... Hentikaaaan!!!"
Aku menarik baju belakang Iwaizumi yang sedang terus memukuli salah satu dari kedua pria tersebut. Dengan tangan dan kaki gemetar, Iwaizumi Hajime pun akhirnya menoleh dan menatapku.
"S-sudah! K-kau keterlaluan. Mau sampai membunuh mereka, hah?!" Aku memarahinya.
Padahal keadaan seperti ini bisa diselesaikan baik-baik. Kenapa sih pria itu terus mengutamakan kekuatannya?
"Loh, kenapa kau marahnya padaku?"
"Y-ya, kau yang seperti orang gila!" Jawabku. Dia terlihat mulai mengerutkan dahinya, "dia sudah b-berdarah-darah dan kau terus memukulinya?"
Dia tak menjawab apapun, tapi lengannya melepaskan cengkramannya pada kerah sang korban.
"K-kau sendiri tadi bilang, tapi berani-beraninya sama yang sudah tidak b-berdaya juga?"
Dia jadi menatapku sangat tajam. Dan jujur saja dikeadaan seperti ini, di saat ia hampir membuat dua orang sekarat, tentu saja aku merasa takut. Sangat takut.
"Kau yang seperti orang gila," Ucapnya sambil menunjuk tajam padaku. Suara yang keluar sangat menekan.
Dia lalu kembali mencengkram kerah laki-laki yang sedang menyeka darah dari hidungnya, "Kalau begitu kau layani dua orang ini."
Kemudian dia mendorong laki-laki itu sampai menubruk ke arahku, "Ternyata kalian sejajar. Sama-sama gila. Cocok."
Dengan kalimat itu, Iwaizumi Hajime langsung melangkah pergi. Dengan apa yang dilakukannya, dia bisa dengan mudah membuka jalan di tengah kerumunan. Meninggalkan aku yang masih ditatapi oleh banyak pasang mata.
***
Piipp. Cklek.
Pandangan kami langsung bertemu begitu dirinya memasuki ruang tengah.
Ternyata Iwaizumi Hajime sepertinya masih mempunyai urusan setelah melakukan keributan di pasar tadi, sehingga baru jam 8 malam dia datang.
Tak ada percakapan apapun di antara kami. Aku melanjutkan makan malam yang kumasak sendiri. Dan dia langsung melemparkan dirinya ke sofa.
Tapi aku langsung menoleh begitu mendengar ringisan kecil darinya. Dia kulihat langsung memegang perut bagian kiri, sambil dengan cuek mengambil remot dan menyalakan televisi.
Sepertinya ia terluka dibagian situ. Wajahnya pun setelah kulihat mulai tercetak beberapa gurat perubahan warna menjadi biru. Tentu saja, dia melawan dua orang sekaligus.
Tapi ... Meskipun begitu ... Dia masih bisa selamat dan nampak baik-baik saja walau cedera, ya ...
Padahal dia sudah menolongku. Melawan dua orang sendirian, dan kini terluka juga. Tapi tadi aku malah memarahinya.
Ah, dasar ...
Aku lantas bangkit sambil membawa bekas makanku ke wastafel. Setelah itu menyiapkan sesuatu.
"Apa?"
Dia menatapku dengan sinis begitu aku tiba-tiba sudah ada di samping sofanya. Membawa nampan yang berisi makanan, nasi, serta minum.
"Kau belum makan, kan?" Tanyaku, tapi tak berniat juga dapat jawaban darinya. Makanya aku langsung melanjutkan, "aku baru memasaknya tadi, dan makanan ini lebih enak saat masih terasa hangat."
Dia masih menatapiku. Lalu langsung saja aku taruh nampan itu di atas meja. Kemudian kembali ke dapur untuk menyiapkan kompres air hangat. Dari sini aku meliriknya sedikit, dia sepertinya mulai menyantap makananku.
Syukurlah.
"U-uhuk!"
Aku menoleh lagi.
"Ah! Kenapa pedas?!"
Huh?
Dia mengibaskan tangannya ke wajah sambil berlari ke arah dapur dan mengambil air dengan terburu-buru. Meneguknya hingga beberapakali, sampai yang tersisa hanyalah wajah kemerahan dan desisannya.
"Kau memang gila, ya?! Mau membalas dendam padaku, hah?"
"Huh, A-aku tidak ..."
"Aku rasa aku sudah pernah memberitahumu hal ini, tapi tampaknya telingamu sudah tua, ya?"
Teko yang mendidih lagi-lagi berdenging dalam kondisi ini. Tapi tampaknya yang berbeda dari waktu itu adalah bahwa sekarang Iwaizumi Hajime yang seperti sudah ada dipuncak kemarahan karena wajahnya yang memerah kepedasan itu.
Bahkan dia sampai mencengkram kedua bahuku dengan tangannya dan menatapku galak, "Biar sekali lagi aku bilang. Kau pasang telinga baik-baik," salah satu tangannya kemudian meraih daguku, lalu menariknya dan memiringkan kepalaku.
Iwaizumi Hajime mendekat ke telingaku dan membisikan sesuatu dengan tajam, "Aku tidak suka pedas. Dengar itu baik-baik, Nona yang Merasa Paling Benar."
.
.
.
continue.
update sekarang khusus untuk syukuran iwaizumi (27) atlethic trainer nation yang dapet official art baru malam ini ...
here's the late meal for tonight.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro