BAB 5 : Serangan Tiba-tiba
“Zen, lo ngerti sama materi yang ini enggak?” bisik Kriya ke arah kanannya.
Netra dengan iris berwarna hitam itu sekilas menatap ke arah depan, di mana seorang dosen laki-laki sedang menerangkan sebuah materi di mata kuliah metodologi penelitian II pada semester V ini.
Zenry yang terduduk tenang di kursinya, memperhatikan dosen di depan kelas dengan serius, ia sama sekali tak menyadari bahwa Kriya sedang berbisik ke arahnya.
Padahal, suasana di kelas saat ini terbilang sepi, dan suara Kriya seharusnya terdengar masuk dalam indra pendengarannya. Tetapi, berbeda dengan Zenry, ia merupakan orang yang tak mudah hilang pada fokusnya.
Sedangkan di sekitarnya? Meskipun di kelas sama sekali tak ada suara lain, terkecuali suara bariton sang dosen.
Itu, bukan berarti suasana hening dapat menjadi patokan, bahwa semua mahasiswa yang ada di kelas sedang memperhatikan apa yang disampaikan oleh dosennya dengan serius.
Seperti halnya saat ini, keheningan yang tercipta sangatlah menipu, mereka semua terlihat begitu lesu, dan menatap bosan materi yang tertulis di papan tulis berukuran besar di depan kelas.
Oh ayolah, siapa pula yang tidak akan bosan jika materi kali ini terbilang sulit. Di karena terdapat rumus tertentu yang harus digunakan sebagai salah satu tata cara mereka melakukan riset untuk sebuah proposal penelitian nantinya.
Kriya yang berada di sebelahnya pun juga seperti itu, ia sama sekali tak paham dengan apa yang disampaikan oleh dosennya di depan sana.
Sehingga, ia lebih memilih untuk bertanya saja pada Zenry. Namun, apa yang di dapatnya saat ini malah membuatnya menjadi kesal.
“Heh, Zenry.” Dengan sebal, Kriya menyikut perut Zenry pelan, “Lo ngerti materi ini enggak woy?” tanya Kriya lagi dengan berbisik. Sebuah delikan ia tujukan langsung pada Zenry yang kini tengah menatapnya balik.
“Ih, kamu kenapa sih?” tanya Zenry sarkas.
Kriya memutar bola matanya sedikit malas, seraya menundukkan tubuhnya sedikit ke arah depan, bersembunyi di balik tubuh temannya yang ada di kursi depan. Kepalanya segera menengok ke arah Zenry.
Netra berwarna hitam itu menatap Zenry, menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulut perempuan tersebut.
“Apa?” tanya Zenry langsung, dengan sebelah alis yang terangkat.
Melihat reaksi yang berbeda dari ekspektasinya, Kriya langsung mejedotkam kepalanya ke atas meja. Ia benar-benar telah dibuat kesal oleh perempuan di sampingnya ini.
DUGH!
Sebuah bunyi yang cukup keras terdengar dari arah samping Zenry. “Aah. Kamu ngapain?!” Refleks, Zenry langsung mengangkat kepala Kriya, saat ia melihat Kriya yang menjedotkan kepalanya di atas meja dengan tak peduli.
“Aoi Zadie La Zenry!” tegur sang dosen yang tengah berdiri dengan tangan terlipat di depan dada.
“Ya! Sa—”
DUUAR!
Tiba-tiba saja, suara ledakan yang begitu dahsyat terdengar dari arah taman belakang gedung fakultas seni rupa. Bahkan, karena ledakan yang tercipta begitu kuat, hingga menimbulkan sebuah kepulan asap dan debu yang lumayan tebal di sana.
Pepohonan yang tumbang dan berantakan ditambah dengan tanah yang retak serta lubang cukup besar, perlahan mulai terlihat di balik kepulan debu tersebut.
“Aah! Ada apa ini?!” seru beberapa mahasiswi dengan ekspresi wajah yang memucat. Bahkan, beberapa ada yang langsung berdiri dari tempat duduknya dan berlari menuju kaca jendela di sisi belakang kelas.
“Suara ledakan apa itu!!?”
“Teman-teman, harap tenang, Pak Javier masih menyampaikan materi!” tegur sang ketua kelas yang berusaha membuat teman-temannya supaya tidak terlalu panik.
Namun, upayanya itu sia-sia saja, nyatanya ... tak ada satu pun dari mereka yang mendengarkan ucapan ketua kelas ini. Dengan kata lain, ia diabaikan begitu saja.
“Barusan itu ... bukan genset gedung yang meledak, kan?”
“Enggak, eh ... tapi, bisa jadi sih. Ah! Mana gue tahu lah.”
“Woy, lihat itu!”
Suasana kelas yang semula tenang, kini berubah menjadi begitu ricuh. Mahasiswa yang berada di dalam kelas panik bukan main ketika mendengar ledakan tersebut.
Ketegangan pun mulai tercipta saat salah satu mahasiswa berperawakan tinggi berteriak dengan lantangnya, dari arah kaca jendela yang ada di kelas.
“LIHAT!! I—ITU ... BAGAIMANA BISA KELAS NOMOR 98D DINDINGNYA JADI BERLUBANG BEGITU!?”
Raut wajahnya terlihat tak percaya, ada ekspresi takut namun juga takjub di saat yang bersamaan.
Begitu pun dengan mahasiswa lainnya yang berada di sana, menyaksikan pemandangan yang sungguh mencengangkan itu.
Sedangkan Zenry, yang tadi terkena teguran oleh dosennya, seketika terdiam. Netra dengan iris berwarna keemasan itu, menatap lurus pada dosennya yang tengah berdiri di depan sana dengan tatapan yang seketika berubah tajam.
DUUUAR!!
Sebuah ledakan kembali terdengar. Lantai terasa sedikit bergetar seiring dengan adanya sebuah ledakan lagi yang menyusul.
DUUARR!
“SEKARANG APALAGI INI?!”
“Lihat deh! Kok tembok kelas nomor 108 juga ikutan hancur gitu?!”
“Aaahh!!”
"Ayo kita keluar dari sini!!"
Kini, suasana kelas semakin kacau. Dengan adanya ledakan beruntun yang tiba-tiba tercipta, tak hanya kelas Zenry saja yang telah menjadi ramai karena kepanikan, namun, nyatanya satu gedung fakultas seni rupa juga sudah menjadi tak terkendali.
Zenry yang semula tenang, kini mulai merasa resah. Tidak hanya karena ledakan barusan, tetapi juga karena dosennya yang bernama Javier itu masih menatapnya dengan tajam.
Aku ... kayaknya dia marah besar deh. Batin Zenry. Tangannya terkepal hebat menahan rasa takut yang mulai muncul.
“Zen, kamu enggak apa-apa?” tanya Kriya dari arah kirinya.
Zenry yang masih terpaku pada Javier, langsung tersadar dan akhirnya sedikit mendekatkan kepalanya ke arah Kriya. “Aku ... eh, Pak Javier kayaknya marah deh sama aku,” bisik Zenry sedikit melirik ke arah Kriya.
Kriya yang tak percaya, langsung mengarahkan tatapannya ke arah depan, “Ma—” Dan, seketika itu juga ia menghentikan ucapannya.
“Gue enggak berani. Meskipun sesama pria, tapi ... asli, gue mengakui kalau tatapannya dia itu horor banget,” bisik Kriya jujur pada Zenry.
DUUUAAR!
Ledakan keempat yang terdengar, tak kalah kencang dari sebelumnya. Lantai yang dipijak bahkan terasa bergetar kembali.
"AAAAA!!"
"Gue mau keluar dari sini!!"
“PAK JAVIER! APA YANG HARUS KITA LAKUKAN PAK?!” teriak seorang mahasiswi di kelas tersebut dengan suara bergetar.
Javier yang mendengar teriakan tersebut, seketika tersentak. Netra dengan iris berwarna keemasan yang sejak tadi tanpa sadar menatap tajam pada salah satu mahasiswinya—Zenry—langsung berpaling melihat keadaan seisi kelas.
“DENGARKAN SAYA! PARA PRIA, BANTU SAYA EVAKUASI SELURUH MAHASISWI DAN BERKUMPUL DI TITIK KUMPUL YANG ADA DI LAPANGAN DEPAN GEDUNG FAKULTAS!”
DUUAR!!
Untuk yang kesekian kalinya, suara ledakan besar kembali terdengar, dan kali ini, berhasil mengguncang kencang gedung tersebut.
Suasana panik dan mencekam tak dapat dihindari, membuat semuanya berlutut di atas lantai gedung dengan jantung yang berpacu sangat cepat. Teriakan dan tangisan mulai terdengar di mana-mana.
“SEMUANYA HARAP TENANG! KITA LAKUKAN INI DENGAN BEKERJA SAMA! SILAKAN LAKUKAN EVAKUASI! UTAMAKAN KESELAMATAN!” perintah Javier dengan tangan yang melambai memberikan isyarat untuk segera bergerak.
“Zen! Ayo!” Kriya yang sudah berdiri di sisi kiri Zenry, segera menarik sedikit lengan hodie Zenry dengan panik.
“Kriya ....” Ucap Zenry dengan suara lirih. Entah kenapa, ada yang aneh dengan jantungnya. Detak jantungnya yang sejak semalam telah kembali normal, kini berpacu dengan sangat cepat, sama seperti ketika ia merasakan kekuatannya terbangkitkan.
Proses yang amat menyakitkan dan hanya dirasakan sekali seumur hidup oleh iblis berdarah murni yang merupakan keturunan dari Kerajaan Krida.
“Sepertinya—
DUAAR!
Lagi, ledakan kali ini memang terlihat kecil, namun berhasil melubangi dinding kelas Zenry. Di susul dengan angin kencang yang mengempas siapa pun. Lantai yang bergetar, membuat semuanya kembali menjadi sangat panik.
Kepulan debu yang berterbangan dengan lebatnya, membuat beberapa mahasiswa yang masih berada di sana, segera berlari cepat keluar kelas dengan tangan yang menutupi sedikit mata serta hidung mereka.
“ZENRY!!” panggil Kriya panik, saat mendapati Zenry terjatuh cukup jauh dari kursinya Dengan sigap, pria berperawakan tinggi itu membantu Zenry untuk segera bangkit.
Javier yang masih berdiri di depan kelas memperhatikan dua mahasiswanya—Zenry dan Kriya—itu dengan seksama.
“Kalian! Ayo segera keluar dari sini!” serunya memberikan sebuah peringatan.
“Ayo! Buset dah, woy! Lama-lama gue gendong dah nih!” Kriya menatap malas pada Zenry yang sedang berdiri.
“BERISIK!” bentak Zenry seketika. Tatapannya kini berubah tajam, perlahan ... Zenry mendongakkan kepalanya. Netra dengan iris berwarna keemasan itu menatap Kriya dengan berani.
“Zen ... elo ....” Kriya tergagap, ekspresinya seketika berubah menjadi bingung.
Zenry ... dia ... sebelumnya tak pernah membentak seperti ini.
Kriya benar-benar dibuat terdiam. Tubuhnya bahkan tak dapat bergerak sama sekali. Bibirnya kelu, ia tak dapat melanjutkan ucapannya barusan.
DEG! DEG!
Zenry terdiam untuk beberapa saat. Saat ini, ia dalam keadaan sadar. Sepenuhnya dalam keadaan tersadar!
Tapi, bagaimana bisa ia membentak seseorang seperti ini? Sebelumnya, ia tak pernah membentak seseorang, terlebih dengan suara yang amat keras seperti barusan.
“A—aku ....” ucap Zenry tergagap. Tatapannya yang semula menajam, kini berubah lembut. Tertuju lurus pada Kriya yang sedang membelalakkan matanya terkejut.
“Maaf,” sesal Zenry seraya berjalan mendekat pada mejanya, kemudian mengambil katana-nya yang terbungkus rapi, dengan tas berukuran kecil panjang berbahan kain berwarna merah yang ia taruh di kolong mejanya.
Sejak suara ledakan pertama muncul, jantungnya sudah berdetak tidak normal, dan seiring semakin banyaknya ledakan, ia dapat merasakan aura iblis yang sangat kuat telah muncul di sekitar kampusnya ini.
Namun, ia masih ragu dengan apa yang dirasakannya tadi, dan saat ini, ketika ia menggenggam katana-nya, Zenry dapat dengan jelas merasakan aura gelap tersebut benar-benar berasal dari para kaum iblis yang sebangsa dengannya.
Zenry kembali menatap Kriya, merasa menyesal bahwa ia telah membentak salah satu sahabat terbaiknya ini. Tetapi, tiba-tiba saja sebuah kerutan halus tercipta di dahi Zenry.
Sebelah alisnya terangkat, ekspresinya kini berubah menjadi kebingungan saat ia melihat Kriya yang sama sekali tak menjawab ucapannya, dan sekarang hanya berdiri diam dengan dua bola mata yang menyipit dan melebar, seperti meminta tolong.
“Eh, kamu kenap—” Zenry seketika terdiam. Jangan bilang ... bahwa tadi, aku telah menggunakan mind control padanya!?! Tak mungkin, bagaimana bisa kekuatanku aktif dengan sendirinya?
Emosinya sejak tadi dalam keadaan baik-baik saja, dan terkontrol dengan baik. Terkecuali ... Zenry langsung mengalihkan pandangannya pada katana yang berada digenggaman tangan kanannya.
Aku hanya meninggalkannya dalam jarak kurang dari dua meter saja ... dan kekuatanku aktif tanpa disadari?
“Ah, aku minta maaf, hehe.” Zenry mengangkat kepalanya kembali, menatap Kriya dengan sebuah cengiran, dan dengan cepat ia melepaskan Kriya dari pengaruh mind control miliknya
Kriya yang merasa sudah dapat bergerak, segera melahap oksigen dengan begitu rakus, padahal ia tadi tetap bernapas, namun sepertinya itu adalah gerakan refleks.
“Haah ... buset, gue kagak bisa bergerak! Haaah ....”
“Sekarang, udah enggak apa-apa?” tanya Zenry sedikit khawatir.
“Enggak, gue enggak apa-apa,” balas Kriya cepat, "Gila, tadi tubuh gue kanapa ya?!" lanjutnya.
"Aku juga enggak tahu," balas Zenry asal.
Sedangkan di depan kelas, Javier masih berdiri dalam diam memandang Zenry. Tatapannya seketika menyipit, menatap tajam Zenry dengan penuh curiga, hingga menimbulkan sedikit kerutan di dahinya. Dia ....
“Ayo kita keluar dari sini,” ajak Kriya dengan terburu, “ah! katana lo, udah dibawa?” lanjutnya seraya menatap ke arah kolong meja Zenry.
“Udah, nih.” Zenry mengangkat tangan kananya, menunjukkan tas kecil panjang berwarna merah marun miliknya ke arah depan.
“Bagus!” sebuah acungan jempol ditunjukkan Kriya pada Zenry.
“Zen, ngomong-ngomong ... emangnya, sekarang tiap pulang ngampus, lo harus rutin latihan pedang di dojo itu?” tanya Kriya seraya terus berlari menuju pintu keluar kelas.
“A—ah ... i—iya, ehehe ....” Zenry hanya bisa melengos, menjawab pertanyaan Kriya dengan penuh rasa bersalah.
Sejujurnya, bukan itu alasanku membawa katana ini setiap hari, Kriya. Haah~ lagi pula, enggak mungkin aku bilang ke dia yang sebenarnya, kan?
Belum sempat mereka keluar dengan sempurna dari kelas tersebut, sebuah ledakan kembali terdengar, dan kali ini pun sama seperti tadi, ledakan tersebut tertuju pada ruang kelasnya.
DUAAR!
Lantai kembali bergetar, kaca dan dinding kelas telah hancur porak-poranda, hanya menimbulkan pemandangan luas di luar sana. Angin kencang berembus menerpa punggung Zenry.
“Zen, ayo! Larinya cepetan!”
DEG!
Langkah Zenry seketika berhenti, tak menghiraukan ajakan dari Kriya yang terlihat sudah cukup panik sejak awal.
Aura ini .... Batin Zenry menebak.
Jantungnya kembali berpacu dengan sangat cepat, perlahan ... tubuhnya berbalik takut-takut. Netra dengan iris berwarna keemasan itu menatap tak percaya dengan apa yang tersaji di depan dinding kelasnya yang telah berlubang.
Sesosok pria dengan pakaian bak samurai, serta sayap berwarna hitam dan dua tanduk runcing seperti sosok iblis dirinya yang beberapa hari muncul. Pria itu, terlihat tengah melayang di udara dengan pandangan tajam yang tertuju lurus padanya.
Tangannya yang bergerak terangkat ke depan, tiba-tiba saja muncul sebuah lingkaran sihir berwarna merah di depan telapak tangannya itu, dan sebuah serangan secepat kilat langsung tertuju ke arah Zenry yang sama sekali tak sempat untuk menghindar.
BAAAM!
.
.
Bersambung.
.
.
Naskah :
Jakarta, 10-12 Juni 2020
Publish :
Jakarta, 15 Juni 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro