BAB 4 : Kehidupan Normal
Zenry terus melangkahkan kakinya di atas trotoar, pagi ini ia ada kelas di kampusnya yang terletak di Komplek Taman Ismail Marzuki daerah Cikini. Sehingga, ia harus menggunakan transportasi kereta untuk menghemat biaya perjalanan ke sana.
Jadwal kuliah sebelumnya yang sempat tak dihadiri, membuatnya menjadi sangat kerepotan.
Di tambah lagi, kerja sampingannya di Rapopomart, sampai tengah malam pun ia terpaksa harus menelepon Pak Nurdin, yang merupakan Kepala toko, atau bisa dibilang beliau adalah orang yang menduduki posisi chief of store di Rapopomart pada cabang gang seratus itu.
“Aku bukan manusia, melainkan anak dari penguasa dunia kegelapan. Punya tanduk, rambut putih, sklera warna hitam, iris mata keemasan, di tambah lagi telingaku jadi kayak peri yang ada di film kartun itu. ARGH! Sebenernya kenapa jadi begini sih?” Zenry menggaruk kepalanya dengan frustasi.
Penampilannya saat ini telah kembali seperti biasa, perubahan sosok iblis yang kemarin muncul akhirnya dapat kembali disembunyikan dengan adanya katana buatan Raja Iblis yang diberikan oleh Daiki.
“Tapi, meskipun begitu ....” Kedua kakinya terus melangkah memasuki stasiun Tanjung Barat, suasana ramai terlihat jelas di sana. Ini adalah jam sibuk, dan sudah pasti, dalam gerbong kereta nantinya akan sangat sesak.
Setelah ia membeli tiket dan melakukan tab in menggunakan kartu tersebut, Zenry melangkah masuk.
“Aku tetap ingin tinggal di sini. Kehidupanku selama ini adalah sesuatu yang tak dapat kutinggalkan begitu saja. Aku sangat bahagia dengan adanya mereka di sampingku, meskipun ... sejujurnya aku rindu dengan orang tua kandungku,” gumam Zenry.
“Lily dan Desy adalah sahabatku di kampus yang sangat pengertian. Berkat mereka, aku dapat bangkit dari keterpurukan karena kasus bully sewaktu duduk di bangku sekolah menengah atas. Haah~” Beberapa kali, Zenry menepuk kepalanya sendiri lumayan keras.
Sungguh, ia merasa sangat bingung dan frustasi dengan semua kejadian yang telah menimpanya. Kenyataan bahwa dirinya bukanlah manusia.
Kenyataan bahwa orang tuanya saat ini hanyalah orang tua angkat, dan kenyataan yang sesungguhnya bahwa orang tua kandungnya adalah sepasang penguasa dunia kegelapan, menambah beban tersendiri pada dirinya.
“Penguasa dunia kegelapan ... ya?” tanya Zenry tanpa sadar. Pandangannya tertuju lurus pada lantai peron.
Penguasa, itu artinya, kedua orang tuanya memiliki hak penuh atas dunia tersebut, memiliki keududukan yang sangat berpengaruh dan tentunya, kedudukan tertinggi.
Tanggung jawab yang berat dan tak sembarangan. Dia adalah keturunannya, itu berarti, bukankah ia juga akan mewarisi kewajiban tersebut? Tanggung jawab yang sama sekali Zenry tak tahu.
Tetapi, kedua orang tuanya saat ini tak jelas bagaimana keadaanya, tak adanya koneksi seperti yang dibicarakan Daiki sang Jenderal Iblis, sudah dapat dipastikan bahwa saat adanya kudeta 228 tahun yang lalu, masa kejayaan Kerajaan Krida telah runtuh.
Zenry mengusap wajahnya asal. “Haah~ Kepalaku jadi sakit mikirin itu terus.”
Sesekali ia menengok ke kanan ataupun ke kiri untuk melihat keadaan di sekitarnya, dan ... seketika itu juga mood-nya mulai menurun. Ia menjadi pusat perhatian. “Sialan,” dengusnya pelan.
Tangan kanannya segera menarik sedikit tudung kepala dari hoodie-nya ke depan, menutupi kepalanya dengan sempurna.
“Seandainya aku enggak bawa katana, pasti enggak bakalan diliatin orang terang-terangan begini.” Netra dengan iris berwarna keemasan itu melirik ke arah pundak kanannya.
Di mana, sebuah katana yang terbungkus tas khusus yang berwarna merah marun dengan tali hitam tersampir di sana. Meskipun terbungkus rapat, bentuknya yang panjang hampir setinggi dada Zenry dan berbentuk unik, sudah pasti menarik minat orang-orang untuk menatapnya.
Zenry menghentikan langkahnya di dekat sebuah tiang, dan kebetulan kereta yang ditunggunya, beberapa detik lagi akan masuk ke stasiun Tanjung Barat itu.
Ding! Dong! Deng! Dong!
Suara kencang dari pengeras suara yang tersedia, membuat Zenry langsung menutup kedua telinganya. Kenapa suaranya jadi kedengaran kencang banget begini deh. Keluh Zenry dalam hati.
Biasanya ia akan bersikap tak terganggu, tetapi kali ini ... berkat kekuatannya yang telah terbangkitkan, semua indra milik Zenry menjadi lebih tajam dari sebelumnya.
“Udah bawa-bawa benda ini, pendengaranku jadi begini ... lengkap sudah nasibku.” Netra dengan iris berwarna keemasan miliknya, tertuju lurus pada kereta yang datang di kejauhan sana.
Masih menunggu, Zenry akhirnya menyandarkan tubuhnya pada tiang di belakangnya seraya kedua tangannya terus menutup telinga hingga semua suara yang terdengar mulai mereda, dan kereta tersebut berhenti dengan sempurna di depannya.
****
“Gimana matkul desain interior lo?” tanya seorang laki-laki bertubuh tinggi, dengan kulit kuning langsat dan wajah yang cukup tampan disertai rambut lurus yang sedikit gondrong, dari arah belakang Zenry.
“Enggak bisa dibilang baik-baik saja sih. Tapi, seenggaknya aku sudah bisa adaptasi lah. Dosennya juga ... bagusnya ganti, enggak kayak kemarin, empat semester dapatnya yang killer melulu,” keluh Zenry.
Kedua tangannya memegang erat sebuah nampan berisi makan siangnya kali ini. Setelah mengambil menu makanan yang paling terakhir, ia melangkahkan kakinya untuk sedikit menepi pada dinding di depan sana.
“WAHAHA ... AHAHAHA ... aduh perut gue—”
BUGH!
Sebuah pukulan yang cukup kencang, tiba-tiba saja mendarat dengan mantap di bahu kanan pria tersebut. “Aduh! Woy, lu—”
“Heh, Kriya! Mulut lu tolong ditutup dulu ya. Lu kagak lihat apa? Itu orang di belakang pada ngantri mau ngambil makan.”
Zenry yang melihat kedua sahabatnya kapan pun dan di mana pun selalu saja bertengkar, langsung menghembuskan napas pasrah. "Haah ...." Sama seperti saat ini, pemandangan tersebut sudah tak asing lagi bagi Zenry.
Akhirnya, ia memutuskan untuk segera menengahi mereka berdua, “Udah Mer, enggak apa-apa, dia kan sambil ketawa juga tetap menyendok makanannya ke piring. Tau sendiri si Kriya kayak gimana.”
“Tuh, Zenry mah baik. Enggak kayak elo, yang kasar dan enggak jelas,” sahut Kriya seraya mendekat ke arah Zenry.
Meriyana yang sedang menyendok sayur capcay ke mangkuknya, seketika berhenti. Kepalanya menengok ke arah kiri, matanya mendelik pada Kriya yang berdiri di samping Zenry.
“Bocah kampret satu ini! Awas saja nanti, pulang mau lewat mana lu, hah? Kriya Notonegoro,” sungut Meriyana dengan tak santai.
Dengan terburu, ia melangkahkan kakinya mendekat pada Kriya, namun, belum sempat Meri menangkapnya, pria itu telah kabur terlebih dahulu.
Berlari kencang meninggalkan Meri yang sedang menahan kemurkaannya, dan Zenry yang berdiri mematung menahan suara-suara keras yang masuk ke dalam indra pendengarannya.
“WOY KRIYANOTO! Jangan di sana, duduk di pojok saja!” teriak Meri spontan saat melihat Kriya berjalan ke sisi tengah kursi yang ada di kantin.
“Haish, dia dengar atau enggak sih?!” Langkahnya berjalan terburu menyusul Kriya yang berjalan cepat di depan sana, meninggalkan Zenry begitu saja di belakang.
“Haah~” helaan napas pasrah
terdengar dari arah Zenry. Tangan kanannya langsung terangkat ke atas, mengusap telinganya secara bergantian.
“Aduh, telingaku ... kalau tiap hari harus begini bagaimana ceritanya? Huwaa ... Ibu ....” Ekspresinya yang semula biasa saja, kini terlihat seperti ingin menangis.
Dengan bibir yang sedikit mengerucut karena sebal, Zenry segera menarik tudung hoodie-nya hingga menutupi ke dahi. Kemudian melangkahkan kakinya untuk menyusul kedua sahabat somplaknya itu.
Perasaan Zenry saat ini sedang tidaklah baik, ia ingin menangis, tapi sebal juga rasanya, dan itu membuat Zenry menjadi serba salah.
Apalagi di tambah dengan suasana kantin kampus Institut Quillon Jakarta yang saat ini sedang terlihat begitu ramai, banyak mahasiswa yang memiliki waktu luang dan memutuskan untuk mengisi perut mereka di sini. Tentu saja, itu langsung membuat Zenry menciut dan menyembunyikan perasaannya.
Belum lagi ... kalian ingat, kan? Bahwa Zenry sedang membawa sebuah katana yang sudah di bungkus rapat dan di sampirkan pada bahu kanannya?
Benda itu masihlah menarik perhatian mata siapa pun untuk melihat ke arahnya. Katana atau sebuah pedang jepang, yang pada zaman modern seperti ini sudah tak ada yang menggunakannya, terkecuali hanya untuk koleksi, dan pajangan dinding.
“Sabar Zenry ... sabar ... kamu mau aman, kan? Maka, hiraukan saja tatapan mereka dan kita selesaikan hari ini dengan tenang,” ucap Zenry yang ditujukan pada dirinya sendiri.
Kakinya terus melangkah pasti ke arah di mana temannya telah duduk dengan santai di kursi kantin. Secara hati-hati, ia membawa nampan makanannya melewati mahasiswa lain yang berlalu lalang di sana.
“Wah-wah ... lihat ini, bukankah ... dia adalah Aoi Zadie La Zenry?”
DEG!
Zenry yang tengah berjalan dengan kepala sedikit menunduk, seketika berhenti dan terdiam di tempatnya. Tubuhnya yang semula baik-baik saja tiba-tiba mulai gemetar, begitu pun dengan jantungnya yang berpacu sangat cepat seakan ingin meledak.
Suara ini ....
“Hoho ... dia berhenti, bukankah ia benar adalah Aoi?” Lagi, suara itu berbicara ke arah Zenry yang masih terdiam di tempatnya.
“Kau tak ingat dengan kami?” Perlahan, suara tersebut semakin mendekat dari arah kiri Zenry.
Seorang perempuan berperawakan kurus tinggi dengan menggunakan pakaian cukup menarik dan terbuka, kini telah berdiri di samping Zenry, tubuhnya merunduk dengan kepala yang sedikit miring tepat di depan tubuh Zenry. Netra dengan iris berwarna hitam itu tertuju lurus pada wajah Zenry.
DEG!
Zenry semakin terdiam dalam rasa ketakutan yang mulai menyeruak dari relung hatinya. Matanya menatap terkejut pada seseorang yang sedang melihatnya dari arah bawah seperti ini.
“Ah~ ternyata, dugaanku benar. Kau adalah Aoi kami.” Sebuah senyum sinis mengembang di bibir perempuan tersebut. Membuat Zenry langsung melangkah mundur, sebisa mungkin menjauh dari perempuan ini.
Bagaimana bisa ... DIA ADA DI SINI?! Bukankah ia melanjutkan kuliahnya di luar negeri?.
Zenry menatap bingung pada nampan yang tengah dipegangnya saat ini. Perempuan ini ... adalah ketua geng yang telah melakukan bullying pada Zenry sewaktu di sekolah menengah atas dua tahun lalu.
“Kenapa Aoi takut padaku? Apa aku semenyeramkan itu?” tanya perempuan tersebut pada Zenry, yang tak terlihat melakukan pergerakan sama sekali.
“Hey, kau teman Zen—” Meri yang melihat wajah perempuan tinggi di hadapan Zenry ini, seketika menghentikan kalimatnya. Ekspresinya seketika berubah marah, tatapannya yang tajam mengintimidasi perempuan tersebut.
“Apa lagi yang ingin lu lakukan di sini, hah!? Masih belum puas sama yang waktu itu?” Meri berkata dengan sinis seraya menarik Zenry dengan perlahan ke arah belakang tubuhnya.
“Aah~ ternyata ... eh? E—enggak kok, gu—gue cuma nyapa aja, kebetulan lagi main ke sini,” balas perempuan tersebut dengan takut-takut.
“Dengar ya, Eva, kalo lu masih berani mengganggu sahabat gue ini, gue sama Kriya enggak akan segan-segan balas apa yang udah lu lakuin ke Zenry.”
SREET~
Zenry yang berdiri dengan kepala tertunduk, menarik sedikit sudut baju sebelah kanan bagian bawah milik Meri. Sekilas, Meri melihat jari Zenry yang sedikit gemetar memegang bajunya, dengan sigap ia meraih jari tersebut. Memberikan rasa hangat dan ketenangan pada sahabatnya ini.
“Lu paham kagak?!” sentak Meri seketika saat melihat tak ada respon dari perempuan bertubuh tinggi yang bernama Eva ini.
“A—ah, iya-iya, gue paham kok! Ck!” Setelahnya, Eva berbalik dengan perasaan kesal, meninggalkan Zenry dan juga Meri.
Melihat Eva yang telah pergi menjauh bersama tiga orang temannya, Meri segera berbalik menghadap Zenry, menatap setiap jengkal tubuh Zenry dengan perasaan khawatir, “Enggak ada yang terluka, kan?” tanya Meri seraya membolak-balikkan tangan Zenry dengan gerakan cepat.
“Enggak ada kok, aku baik-baik saja.” Zenry memaksakan dirinya untuk tersenyum ke arah Meri.
“Haaah~ syukurlah jika kau baik-baik saja. Yuk ah, kita makan, Kriya sudah ngomel melulu tuh dari tadi.”
Zenry langsung menatap ke arah Kriya yang sedang duduk dengan tangan melambai ke arah mereka. “Kan, baru juga dibilang, tuh orang sudah lambai-lambai tangan kayak begitu.” Meri menepuk dahinya pelan, seraya melangkahkan kakinya menuju tempat duduk mereka.
“Iya ....” Balas Zenry cepat. Ia mengikuti langkah Meri, berjalan tepat di belakangnya dengan perasaan yang masih tidak karuan.
Tahan emosimu Zenry. Batin Zenry. Kedua matanya terpejam sesaat menahan detak jantungnya yang tiba-tiba saja berdetak dengan sangat cepat.
DEG! DEG!
Ah, kumohon jangan keluar! teriak Zenry dalam hati. Netra dengan iris berwarna keemasan itu langsung terbuka lebar, menatap tangan kanannya yang sedikit mengeluarkan api biru.
Dengan panik, ia memasukkan tangannya ke saku jaket. Tatapannya sedikit melirik ke arah kanan dan kirinya penuh waspada.
Semoga tak ada yang melihatnya. Sungguh sial, bagaimana bisa, hanya gejolak emosi seperti tadi dapat memicu api biru ini keluar?
.
.
Bersambung.
.
.
Haloha~ saya kembali lagi doong! Ahaha. 😈😂
Enggak terasa yah, empat hari sudah berlalu, dan masih ada sisa waktu 6 hari lagi, yang artinya ... cerita ini akan semakin mendekat kepada konflik, dan ending. Ohoho!
Baiklah, bagi kalian yang suka dengan cerita ini, silakan berikan vote dan simpan ke dalam perpustakaan kalian yaw. 💕🙏🏻
Jika ada yang ingin memberikan krisar, amat dipersilakan dan akan saya terima dengan senang hati. Asalkan! Menggunakan bahasa yang baik dan sopan. 😉
So~ sampai bertemu di next bab!
Mata ashita ne! 😉👋🏻👋🏻
.
.
Naskah :
Jakarta, 07-09 Juni 2020
Publish :
Jakarta, 14 Juni 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro