Avonturir di Pondok Penampungan
Bila gelombang keterkejutan tidak lebih dulu membekukanku, pastilah aku sudah menjerit sejadi-jadinya.
Aku tidak tahu apa persisnya yang menuntunku pada momen mengerikan ini. Apa itu bisikan Lae di kamar pondok yang gelap, langkah kaki si kembar Arzak dan Arelia Meyraa yang mengendap-endap, atau buah keingintahuanku yang penasaran mengapa mereka masih terjaga padahal jam malam telah terlewati sejak lama.
Tahu-tahu saja aku sudah mengikuti mereka mendaki bukit di belakang desa sembari merapatkan mantel, memeluk tubuh dalam usaha untuk menghangatkan diri dari terjangan angin dingin yang menusuk.
Aku kehilangan jejak mereka ketika sampai di puncak, sejenak mempertimbangkan apakah bijak mencari ke dalam rapatnya pepohonan di depan.
Bunyi gemuruh di belakang lebih dulu menarik perhatianku, dan setelah menyipitkan mata untuk dapat melihat lebih jelas ke desa di bawah sana, teror melilit sekujur tubuhku hingga suaraku tercekat di tenggorokan.
Sulit kuingat apakah derap kaki-kaki besi dan tawa ganjil yang kudengar pertama atau tiupan trompet penjaga yang sontak membangunkan seisi desa. Satu tiupan panjang yang tak putus-putus menjeritkan peringatan bahaya. Bangun, bangun, bangun, pekiknya. Satu tiupan panjang lagi untuk menyuruh lari secepatnya. Sebab si penjaga tahu sia-sia bagi mereka melawan dengan tanpa daya.
Bunyi guruh besar diantarkan angin sewaktu sinar merah dilontarkan dari kelompok penyerang menuju tepat ke tengah desa, lekas menghanguskan apa pun yang disentuhnya. Api dengan cepat membakar rumah-rumah kayu dan asap hitam tebalnya membubung pada langit malam yang kelam.
Kali selanjutnya, lolongan makhluk buas dan jeritan panik penduduk bersahutan membelah udara.
Setelah pulih dari keterkejutan, aku bergegas menuruni bukit, ingat meninggalkan sesuatu yang penting di kamar pondok. Langkahku baru sampai lima saat dihentikan sepasang lengan yang sigap memelukku dari belakang, disertai suara akrab yang menyerukan namaku, bertanya apakah aku sudah hilang akal. Tangan-tangan lain menyentuhku, berusaha menahanku yang sibuk meronta. "Lepas! Lepas!" teriakku percuma.
"Crea! Berhenti!"
"Biarkan saja dia!" suara Are memekik kalut agak jauh di belakang, "biarkan! Biarkan! Mari pergi sebelum mereka melihat kita!"
"Crea! Jangan bertindak bodoh!" Mendadak saja Lae sudah berdiri di hadapanku, menghalangi jalanku dan menahan kedua pundakku dengan tangannya.
Amarah serta-merta membuncah dalam diriku. Aku menatap nyalang padanya. Ingin aku dorong tubuhnya, tetapi lengan kuat Arzak masih erat mendekapku seberapa keras pun aku meronta. "Tega sekali kau!" tuduhku murka. "Tega sekali! Kau sudah tahu mereka akan datang dan malah melarikan diri sendirian. Bagaimana dengan penduduk desa? Bagaimana dengan anak-anak lain di pondok? Tega sekali kau bahkan meninggalkanku?!"
"Ini rencanaku!" Arzak berbisik di telingaku, "Lae tidak tahu! Kita tidak punya banyak waktu. Penduduk desa tidak akan percaya, dan aku yakin kau akan mengikuti tanpa perlu kami meminta."
"Diam! Diam! Diam! Mereka akan dengar." Desakan di suara Are menghentikanku lebih dari apa pun. Aneh rasanya mendengar dia meracau panik dengan suara gemetar, padahal dia salah satu anak perempuan paling keras di pondok.
Arzak melepaskanku ketika aku sudah lebih diam, lantas mendekati Are untuk menenangkan saudarinya yang mulai terisak.
"Aku harus kembali, ada sesuatu yang tidak bisa aku tinggalkan di pondok," kataku pada Lae.
"Apa yang lebih penting dari nyawamu?! Kau akan mati kalau ke sana!"
"Lae!"
Aku tidak yakin apakah kekeraskepalaan atau keputusasaan yang Lae lihat dari mataku sampai dia menyerah. "Biar aku temani," ujarnya bergetar, keberaniannya terlalu dipaksakan.
"Kau tidak bisa, akan terlalu sulit buatmu."
Mulut Lae mengerucut dan alisnya saling bertaut, jelas merasakan kembali pedih dari kejadian yang baru setahun lalu mengantarkannya ke Pondok Penampungan.
"Biar aku saja. Lae, kau tunggu di sini dan jagalah Are."
"TIDAK!" Are sontak memekik, dia memegang kedua lengan Arzak keras-keras. "Tidak boleh! Kau tidak boleh meninggalkanku! Kau janji tidak akan meninggalkanku! Arzak, jangan! Kau tidak bisa begini padaku...."
"Are, sebentar saja. Aku akan kembali."
Arzak menyerahkan Are untuk dipegangi Lae setelah susah payah melepaskan diri dari kembarannya itu. Lekas dia menyambar tanganku dan menuntunku menuruni bukit menuju desa yang terbakar.
Ketika suara Are sudah tidak lagi terdengar, dia menoleh padaku untuk berkata tegas, "Jangan jauh-jauh dariku."
Aku mengangguk sebagai jawaban. Tidak berani mengeluarkan suara sebab kami sudah sampai di belakang desa. Cukup banyaknya pepohonan dan semak-semak tinggi di sini membantu kami mendekat tanpa terlihat.
Dari jarak sedekat ini, aku dapat mencium anyir darah dan asap kebakaran memekati udara. Raung dan geraman makhluk-makhluk ganjil yang tengah berpesta pora daging manusia berbaur bersama pekik jeri penduduk desa.
Bak pementasan horor dari mimpi buruk paling keji, langkahku tersendat-sendat ketika kulihat para makhluk itu membantai satu per satu orang yang mereka temui; menggorok leher, menebas tangan dan kaki, membelah batang tubuh jadi dua, meremukkan tulang menggunakan cengkeraman, bahkan menggigit mereka untuk kemudian disantap dagingnya. Yang tak dilahap, diperas darahnya untuk dikumpulkan ke dalam gentong.
"Makhluk apa itu?!" Tak sengaja kusuarakan rasa penasaranku kelewat lantang.
Arzak memberiku isyarat untuk diam seraya menarikku bersembunyi di balik roda pedati. "Wirac," bisiknya benci.
Para makhluk yang Arzak sebut wirac itu seperti peranakan ganjil manusia, hewan buas dan setan. Beberapa berkepala binatang, dengan taring tajam dan rambut di muka. Beberapa berkepala manusia, tak berhidung dengan daun telinga yang terlalu panjang. Namun, kesemuanya tampak luar biasa mengerikan. Seakan-akan Sang Pencipta memutuskan untuk tidak peduli dan memasang saja bagian-bagian tubuh dari berbagai makhluk hidup secara sembarang.
Jantungku berdentam hebat sewaktu kami kembali mengendap-endap menuju pondok. Aku nyaris takut para wirac itu dapat mendengar degupnya dari kejauhan, tetapi makhluk yang menghalangi jalan kami cuma hewan ternak yang bertemperasan melarikan diri.
Tampaknya para wirac tidak suka daging binatang. Tiada satu pun dari mereka yang mencoba menangkap ternak-ternak gemuk itu. Mereka lebih bersemangat merobek kepala manusia dari tubuhnya menggunakan tangan kosong.
Kami sudah nyaris tiba di pintu belakang pondok yang terbuka lebar ketika aku terpekik ngeri. Sebuah kepala baru saja menghantam lengan kiriku dengan keras hingga aku terjatuh ke samping dalam keterkejutan. Aku meludahkan darah yang terciprat masuk ke dalam mulut, mengerang saat kurasakan tangan kananku tertekuk ganjil akibat menahan bobot tubuh.
Aku tak bisa meratapi rasa sakit di tanganku lebih lama sebab Arzak yang tadinya ikut terjatuh bersamaku menarik bahuku untuk kembali berdiri. Terlambat aku menyadari kepanikan dalam raut wajahnya bukan karena mengkhawatirkan keadaanku, melainkan akibat beberapa wirac terdekat yang jadi menyadari keberadaan kami setelah mendengar pekik nyaringku.
Aku terpekik lagi. Kali ini sambil berlari panik menuju pondok. Keputusan yang luar biasa bodohnya bila kuingat momen ini nanti. Siapa pula yang berpikir mengurung diri dari kejaran makhluk pemakan daging manusia ke dalam pondok yang sudah setengah reyot bakal lebih aman daripada terbirit-birit melarikan diri? Aku. Itulah siapa.
Maka dalam momen nihil pertimbangan itu, aku dan Arzak pun berhasil masuk ke dalam pondok lewat pintu belakang, yang tidak bisa ditutup sebab daun pintunya tergantung miring disangga oleh satu engsel paling bawah.
Keadaan di dalam pondok tidak sekacau bayanganku, cuma beberapa perabot yang terguling dan berserakan di lantai. Tidak ada darah. Tidak ada potongan tubuh. Tidak juga satu pun wirac—meski sebentar lagi bakal lain cerita. Walau anak-anak pondok menyebalkan dan Bibi-bibi Pengasuh suka mengomeliku, aku berharap kesunyian ini berarti mereka sempat melarikan diri. Keterlaluan benar kalau ternyata mereka masih lelap dengan rusuhnya pembantaian di luar sana.
Kami berlari ke ruang tengah tanpa memedulikan teman-teman kelaparan yang ingin memutilasi tubuh kami sedang mengejar di belakang. Lantai dua tempat kamar anak-anak berada, itulah tujuanku.
Namun, belum lagi menapak kaki pada tangga, aku keburu terjengkang oleh tarikan tangan besar yang mencengkeram leherku. Kuku-kuku panjang yang tajam menekan kulitku sampai berdarah. Aku megap-megap, meronta seraya berusaha melepas tangan tak manusiawi itu dariku. Tanpa sadar aku menggunakan tangan kananku yang tadi cedera, sesak napas dan kehabisan darah dipadu lesatan nyeri menerjangku hingga mataku berkunang-kunang.
Dalam pusaran rasa sakit itu, aku dapat mendengar Arzak yang berusaha melawan para wirac. Meski dari erangan dan suara gedebuk keras kemudian kusimpulkan ia kalah jumlah dan tenaga.
Jadi beginilah. Crea Sreina. Lima belas tahun hidupnya berakhir dicekik makhluk pemakan daging manusia. Akibat dengan idiot menerjunkan diri ke arena pembantaian. Tidak cukup cuma menyiksa diri sendiri, dia juga menarik serta teman satu pondoknya. Saat tahu kematian kembarannya nanti, Arelia Meyraa bakal memburunya sampai ke dasar neraka.
Kepalaku sudah pening parah hingga penglihatanku menggelap. Aku merasakan wirac lain mulai mengerubungiku yang tergolek tidak berdaya di lantai, merabakan jemari kasar mereka untuk merobek lengan dan kaki dari badanku. Mereka mengeluarkan suara dengusan dan tawa aneh, napas mereka cepat sekali mirip anak kecil yang kesenangan sehabis diberi gula-gula.
Aku sudah menerima takdir kematianku ketika mendadak tangan-tangan itu menjauh serentak dari tubuhku. Para wirac menahan napas dan dari posisiku di lantai, dapat kulihat seseorang berperawakan jangkung menuruni tangga dari lantai dua. Sekujur tubuhnya berbalut jubah hitam legam, gerakannya begitu mulus dan tak menimbulkan suara. Ada hawa menyesakkan menguar darinya, memberati dadaku dengan teror. Inikah Kematian? Apakah ia datang menjemputku supaya hidupku tidak berakhir menyedihkan sebagai kudapan?
Para wirac terserak-serak keluar ketika ia sudah mencapai undakan terbawah.
Meski aku tidak dapat melihat netranya yang tersembunyi dalam kerudung kelam, aku dapat merasakan tatapannya menikamku tepat di mata. Menghajar membabi buta tanpa suara.
Di mana ....
Aku menjerit kala sebentuk suara asing menusuk ke dalam pikiranku. Tak repot mencari celah lemah untuk merasuk. Tanpa tedeng aling-aling langsung mengoyak selubung perlindungan di otakku sampai hancur lebur.
Di mana ....
Aku menjerit lagi, memejamkan mata rapat-rapat dan berguling-guling di lantai tanpa mampu melindungi diri. Dalam ledakkan warna di balik kelopak mata dan kebisingan yang menggempur telinga, masih dapat kudengar suara Arzak menjeritkan namaku. "Crea! Crea! Crea!" panggilnya berulang.
Sampai kemudian debam keras sesuatu yang berat menubruk dinding, rintih kesakitan, dan hilang.
Kitab Bayang! Di mana?!
Aku menjerit sampai tenggorokanku perih. Darah masih mengalir dari lima sobekan kuku di leherku, berdenyut-denyut, pelan-pelan menyemburkan nyawaku keluar dari badan.
Mendadak, aku merasa melayang. Aku memang melayang. Sesuatu mencekik leherku, lagi, hingga aku bergelantungan di udara. Kedua kakiku meronta-ronta. Tangan kananku menggantung tanpa daya sementara tangan kiriku mencakar-cakar cengkeraman yang tak kasatmata, memperparah luka yang sudah menganga.
Di mana?! Di mana?! DI MANA?!!!
Aku menjerit meski tak bersuara. Merasa sedang diledakkan dari dalam kepala.
Hingga sekonyong-konyong sinar surya menerobos melalui pintu dan jendela yang terbuka. Aku jatuh berdebam ke lantai dan sosok berjubah hitam melayang pergi sampai melenyap dari sudut mataku.
Aku pingsan oleh rasa sakit setelah itu. Sewaktu bangun, kepalaku sudah ada di pangkuan Lae, masih di ruang tengah pondok yang kini benderang oleh cahaya siang.
Arzak dan Are duduk di sebelahku, lelaki itu pun baru siuman setelah dilempar keras ke dinding kayu. Luka-luka yang didapatnya dari wirac sudah diperban, begitu pun luka-lukaku. Mereka hanya tidak tahu, luka di dalam kepalaku jauh lebih mengganggu.
Dari Are dan Lae, aku mendengar bahwa segera setelah matahari terbit pagi itu, para wirac berbondong-bondong pergi memasuki hutan, bersembunyi dalam belantara kegelapan.
Tiada seorang penduduk pun tersisa, syukur-syukur mayat mereka tergeletak utuh tak sempat tersentuh, sisanya tinggal potongan-potongan yang berserakan di seantero tanah perkampungan.
Aku bilang, mungkin saja anak-anak pondok dan Bibi-bibi Pengasuh berhasil melarikan diri. Ketiganya tampak tidak begitu peduli. Namun, ketika kami pergi ke kamar pondok siang itu, aku sadar hal mengerikan apa pun yang dilakukan si jubah hitam di atas sini telah mencerai-beraikan setiap anak menjadi cabikan daging seukuran kuku. Darah, sobekan kulit, sampai tulang yang sehancur bubur melapisi setiap jengkal ruangan itu.
Aku nyaris bisa mendengar suara asingnya menusuk pikiranku. Menanyakan satu hal, terus dan berulang-ulang.
Di mana?!
Dan aku tahu ini bukan kali terakhir kami bertemu.
***
Catatan penulis:
Kalo ada yang merasa tidak asing dengan cerita ini, yap, ini memang cerita lama yang macet di bab tiga dan akhirnya bisa ku-remake prolognya dan ku-revisi tiga bab awalnya, dan sudah kujanjikan untuk publikasi kembali :3
Terima kasih sudah membaca, sampai jumpa di bab pertama! ^^
03 November 2019 (Ditulis)
11 Desember 2019 (Publikasi)
Alulalyriss.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro