Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3-2

***


Clara. Memikirkan nama Clara lagi-lagi membuatnya ingat akan mimpinya. Clara yang berada di pemakamam hingga akhir, Clara yang bersedih untuknya, Clara yang menganggap Lucy temannya. Tapi apa yang Lucy lakukan selama ini? Ia sadar perilakunya bukanlah yang terbaik, tapi Clara tetap bertahan dengannya dan menjadi satu-satunya teman Lucy. Seberapa pun Lucy tak mengacuhkannya, selalu egois, mendorong Clara agar tak ikut campur dengannya, Clara tetap bertahan di sisi Lucy. Lucy tak bisa meminta sahabat yang lebih baik dari Clara. Clara yang sudah bertahan selama ini, mulai sekarang Lucy juga akan selalu ada untuk Clara.

Tak terasa waktu berjalan sampai pemilik bangku sebelahnya telah datang. Ia mendongak dan mendapati Clara telah mengganti bajunya. Lucy kemudian tersenyum, "Udah selesai ya latihannya?" Pertanyaan bodoh yang sebenarnya tanpa dijawab pun, semua orang sudah tahu.

Clara tersentak. Pertanyaan itu jarang sekali dilontarkan Lucy meskipun hanya sekedar basa-basi, dan kali ini Lucy mengatakannya sambil tersenyum! "Iya nih. Turnamennya mulai sebentar lagi."

Lucy meletakkan bukunya. Perhatiannya terfokus pada Clara, temannya. "Turnamen apa, sih? Dan kapan?"

Kalau tadi Clara hanya tersentak, sekarang lebih dari itu. Lucy yang biasanya hanya akan menjawab 'Oh', dan sekarang Lucy sedang mencoba mempertahankan percakapan. "Turnamen basket dan cheers se-Provinsi. Masih 4 bulan lagi sih, tapi kita udah mulai bikin koreografi, belajar trik baru. Apalagi besok ada sparing sama SMA tetangga."

"Oh, ya? Kamu tampil juga waktu sparing nanti? Boleh aku nonton?"

Keterkejutan Clara makin menjadi. Tidak pernah sekalipun Lucy mau menonton pertunjukkan cheers, pertandingan basket, dan bahkan Pensi sekolah mereka. Dan sekarang Lucy menawarkan diri? Ada apa dengan Lucy hari ini? "Boleh kok, nanti kamu nonton sama siapa?" Kali ini Clara benar benar terfokus pada Lucy. Menerka jawaban selanjutnya. Lucy tak akan mungkin mau duduk sendiri menonton pertandingan basket yang mungkin tidak dipahaminya dan penampilan cheers yang tak ada gunanya.

"Aku nonton sendiri nggak ada masalah. Yang penting kamu tampil yang terbaik!"

Tuhan! Ada apa dengan temanku? Clara benar-benar tak bisa berkata-kata. Pasti sesuatu terjadi kepada Lucy. Kalau tidak, mana mungkin tiba-tiba pagi ini ia berubah total. Namun sebelum ia menjawab pertanyaan Lucy, tanpa ia sadari guru mereka sudah berada di depan kelas dan memulai pelajaran pagi itu.

Selama pelajaran berlangsung, Clara tak berani mengucapkan sepatah katapun ke Lucy, karena ia tahu Lucy membencinya. Ia hanya bertanya-tanya dalam hati tentang perubahan Lucy yang sangat drastic ini. Mungkin ia ada masalah? Mungkin ia ingin sesuatu dariku? Atau mungkin Lucy memang benar benar telah berubah?

"Clar, kamu sekelompok sama aku, ya?" Akhirnya Lucy membuka percakapan lagi dengan Clara yang sepertinya hanya melamun sepanjang pelajaran. Ia tidak heran, Clara pasti terkejut dengan perubahannya. Tapi bagaimana lagi, ia mau berubah. Apalagi terhadap Clara, temannya yang bersedia bersama Lucy empat tahun ini.

"Ha? Apa? Eh, iya. Boleh boleh." Clara yang sudah menyadari bahwa kini Bu Rosyida sedang menjelaskan tugas kelompok yang harus dikerjakan oleh dua orang.

"Tapi kelompoknya ibu yang tentukan, ya!" ujar Bu Rosyida tiba-tiba, sepertinya sadar bahwa muridnya sebenarnya telah memilih pasangan kelompok mereka masing-masing. Namun Bu Rosyida ingin semuanya dapat turut andil dan saling membantu, sehingga ia memutuskan untuk memilih kelompo-kelompok itu.

Lucy melengos. Ia paling tidak suka apabila tugas kelompok harus dikerjakan dengan seseorang yang tak ia kenal dengan baik. Terlebih tugas ini hanya dikerjakan oleh dua orang. Tapi Lucy bimbang, ia sudah berjanji untuk menjadi Lucy yang baru dan mau untuk berbaur dengan partner kelompoknya atau menjadi Lucy yang biasanya mengerjakan tugas kelompok sendiri? Pilihan pertama. Aku sudah bertekad untuk berubah. Perlahan, pasti bisa!

"Hana Putri dengan Erwin Alexander."

"Popi Melisa dengan Clara Pradibdo."

"Dirga Setyabudi dengan Oryza Sativa."

"Lucy Devina dengan Giovanno Darmawan."

Satu-persatu nama anggota kelompok telah dibacakan oleh Bu Rosyida. Pasangan Lucy adalah Giovanno, namun sejujurnya Lucy tidak tahu ada teman sekelasnya yang bernama Giovanno. "Clar, kamu tahu Giovanno? Memang ada ya di kelas ini?"

Clara tersenyum. Setidaknya Lucy belum berubah total, ia masih Lucy yang bahkan tidak hapal nama-nama teman sekelas mereka. Clara menoleh ke belakang mencari sosok yang bernama 'Giovanno' itu. "Itu yang pakai jaket hitam dan sedang tidur di kursi paling belakang."

"Dia anak baru, ya? Kenapa aku tidak pernah lihat?"

Clara lagi-lagi tersenyum. "Tidak, kok. Hanya saja kita baru sekelas dengannya tahun ini."

"Oh, maaf ya. Aku masih belum hapal teman sekelas." Lucy terkekeh.

"I don't know what happened with you today. But it's nice to see you got some changes. Mungkin... mmm, kamu mau cerita ada apa?" Clara seperti meniti jembatan yang rapuh. Ia melihat perubahan dari Lucy dan ingin bertanya ada apa. Namun, ia juga sebenarnya takut pertanyaannya akan membuat Lucy kembali menjadi seperti biasa, Lucy yang berjarak. Lucy yang biasanya pun tidak akan bercerita tentang hal pribadi ke Clara, membuatyanya ia tak berharap.

"I have a lot to tell you. But later, for now seems like I need to talk with Giovanno. Nggak papa kan, Clar?" jawab Lucy sambil meringis.

Clara lagi-lagi terkejut. Lucy akan bercerita padanya. Lucy akan membuka diri. Dan ia akan berbicara ke Gio?

Lucy menghampiri meja Giovanno yang sepertinya masih tertidur. Dengan perlahan, Lucy menepuk pundaknya untuk membangunkannya. Tak ada respon. Lucy menepuk sekali lagi. Akhirnya Giovanno sepertinya telah terbangun. Ia mendongak dari tidurnya dengan mata memicing. Sejujurnya, tatapan Giovanno sedikit membuat takut Lucy namun perasaan itu segera ditepisnya. Seorang Lucy bukanlah penakut. "Giovanno, kan?"

"Gio." Jawab cowok di depan Lucy dengan singkat.

"Okay, Gio. Aku Lucy dan aku partner kamu buat tugas Sosiologi."

Mata Gio yang tadinya terus menatap Lucy kini kembali terpejam, ia masih merebahkan sebagian tubuhnya di meja. "Terus?."

Sebelum Lucy membalas pertanyaan itu, Gio kembali mendongak dan menatap mata Lucy. Tatapan dingin GIo itu membuat Lucy sedikit bergidik. "Oke, oke. Bakal aku kerjain sendiri. Anggap itu amal. Kamu nggak perlu repot-repot mengerjakan tugas." Dan kemudian Lucy melenggang pergi dari meja Gio. Ia berjanji tak akan pernah berurusan dengan seorang Giovanno Darmawan lagi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro