Chapter 3-1
***
Sinar matahari yang menyeruak melalui sela-sela gorden membuatnya terbangun. Matanya mengerjap berkali-kali. Ia tertegun. Mimpinya kali ini sangatlah panjang dan menyeramkan. Ia melihat orang tuanya dan Clara menangis di pemakamannya. Lebih-lebih, mimpinya juga tentang ia yang tertabrak mobil dan itu sangat terasa nyata. Sangat menyeramkan dan ia berharap mimpi kali ini akan segera dilupakannya.
Ia terbangun dan segera bersiap untuk memulai harinya. Hari ini, tiba-tiba ia merasa menjadi Lucy yang baru. Ia tak sabar. Hari Senin yang bagi orang lain memuakkan justru membuatnya bersemangat. Orang tuanya telah kembali dari konferensi selama 2 minggu, hari ini ia akan bertemu dengan Clara, ia juga akan belajar hal-hal baru.
Ah, betapa senangnya.
Saat Lucy menuruni tangga, kedua orang tuanya sedang menikmati sarapan mereka. Melihat mereka duduk bersama tiba-tiba Lucy merasakan dadanya sesak. Entah mengapa ia merasa menyesal dan sedih. Satu bulir air matanya tiba-tiba saja sudah membasahi pipinya. Ia secara aneh, merindukan mereka. Di ujung yang dalam hatinya bersuara, mendorongnya untuk terus melangkah menuju meja makan. Untuk membuat perubahan.
Ketika ia mengingat mimpinya. Kedua orang tuanya yang menangis di pusaranya. Lucy yang tak bisa berbuat apa-apa karena jasadnya sudah tertimbuh jauh di bawah tanah. Ia tahu ia harus apa.
Biasanya, ia akan makan dalam diam dan berbicara apabila orang tuanya bertanya bagaimana sekolah dan hal-hal kecil lainnya, kemudian setelah ia menyelesaikan sarapannya ia akan berpamitan singkat, dan berangkat. Begitu saja. Tapi kali ini tidak, dalam hatinya mengatakan bahwa ia harus berubah. Bahwa kesempatan tidak akan datang lagi, orang tuanya ada di depannya saat ini dan ia tidak boleh menyia-nyiakannya.
Ia yang kemudian mengambil duduk di seberang Mamanya tak tahu harus mulai darimana. Bagaimana cara memulai percakapan dengan orang tuanya? Apa bertanya kabar akan cukup? Tapi sepertinya terlalu kaku. Bagaimana kalau ia memulai tentang sekolahnya? Bisa-bisa orang tuanya terkejut dan mengira Lucy mengalami sesuatu hal yang aneh. Lantas bagaimana?
"Mmm, Mama dan Papa gimana kabarnya?" Lucy tak berani mengangkat kepalanya, matanya tertuju pada piringnya. Ia tak kuasa melihat ekspresi orang tuanya setelah ia melontarkan pertanyaannya. Pasti terkejut.
Benar saja. Papa dan Mama Lucy sangat terkejut. Tidak terbayangkan oleh mereka bahwa Lucy yang kaku dan pendiam mau membuka percakapan. Orang tuanya bertukar pandang, merasa ada sesuatu yang berubah dari Lucy hari ini. "Mama dan Papa baik-baik saja, Kamu gimana, sayang? Apa ada masalah di sekolah?" jawab Mamanya.
"Di sekolah lancar kok, Ma. Lucy juga baik-baik aja seperti biasanya." Lucy terdiam sejenak, kalau begini percakapan akan berakhir begitu saja. Ia harus melontarkan sesuatu yang lain. "Gimana konferensinya Ma, Pa? Lancar?"
Papanya tersenyum. Entah apapun yang terjadi pada putri semata wayangnya, jelas ini merupakan hal yang positif kalau ia mau berusaha lebih dekat dengan orang tuanya. "Lancar dong. Mama dan Papa ketemu banyak dokter baru."
Percakapan pagi itu berlanjut. Lucy bukan lagi yang mencari topik pembicaraan, tapi Mama dan Papanya yang melanjutkan yang telah dimulai Lucy. Mereka tahu bahwa Lucy sudah berusaha untuk memulai pembicaraan dan let them do the rest.
Lucy pun bersyukur kedua orang tuanya tidak bertanya lebih lanjut kenapa dan bagaimana tiba-tiba ia menjadi sosok yang mampu memulai pembicaraan. Meskipun ini bukanlah suatu yang istimewa bagi sebagian besar orang, bagi Lucy itu sebuah pencapaian baru. Ia sadar, bahwa pembicaraan kecil yang ia mulai kemudian berujung pada hal-hal yang banyak ia lewatkan. Lucy pun tahu bahwa Papanya dicalonkan menjadi Ketua Departemen Bedah di rumah sakit dan Mamanya sedang mempertimbangkan untuk mengajar di Universitas. Mimpinya telah menyadarkannya bahwa orang tuanya adalah hartanya yang paling berharga. Lucy akan membayar dengan apapun agar ia bisa memulai hubungan anak dan orang tua yang penuh kasih sayang dan mengetahui hal-hal yang ia lewatkan. Dan sekarang, ia sedang memulainya.
Setelah selesai sarapan, ia bangkit dari kursinya, meraih tasnya dan bersiap untuk berangkat. "Ma, Pa, Lucy berangkat sekolah dulu,ya."
"Papa hari ini libur, mau Papa antar ke sekolah?"
Lucy terkejut. Sejak ia masuk SMP, orang tuanya tidak pernah mengantarkan Lucy lagi. Yang pertama, karena orang tuanya sibuk dan kedua, karena Lucy menolak. Bukan karena malu atau apa, Lucy canggung duduk semobil dengan Papanya kala itu, ia yang sudah beranjak remaja dan mulai berpikir bahwa ia yang harus memikirkan bagaimana dirinya. Entah kenapa. Tapi, ia berjanji akan memulai semuanya dan ini saatnya. "Mmmm, boleh Pa. Kalau Papa engga sibuk."
"Nope. Papa nggak sibuk kok." Papa nya kemudian bangkit dan mereka bersiap untuk ke sekolah.
***
Menyusuri lorong sekolahnya pagi ini terasa berbeda. Hari sebelum hari ini, ia hanya akan berjalan lurus tanpa melihat sekitar atau menunduk untuk membaca buku, tapi hari ini tidak. Ada dorongan aneh yang membuatnya mulai mengamati lingkungannya, melihat satu-persatu wajah setiap siswa, guru, dan staff yang berpapasan jalan dengannya. Ia baru sadar banyak wajah yang terasa akrab namun tak banyak yang ia kenal. Beberapa kali ia berpapasan dengan teman sekelasnya, tapi ia terlalu canggung bahkan untuk menyapa. Bahkan ketika ia berpapasan dengan guru yang mengenalnya ia hanya tersenyum canggung, meskipun biasanya ia tidak akan melakukan itu. Satu-satunya orang yang bisa ia sapa secara leluasa hanyalah Clara, karena ia mengenal Clara. Dan karena Clara adalah temannya.
Ngomong-ngomong tentang Clara, saat ia melintasi lapangan sekolahnya ia melihat Clara di ujung jauh yang sedang berkumpul dengan tim cheerleader sekolahnya untuk latihan pagi. Lucy hanya tahu bahwa dalam waktu dekat akan ada kompetisi bola basket dan cheerleader yang paling ditunggu-tunggu. Itulah mengapa, hampir setiap pagi Clara harus berlatih cheerleader.
Lucy akhirnya sampai di kelas. Sepertinya ia baru orang kelima yang sudah datang. Ia pun menempati tempat duduknya dengan Clara. Terdepan dan di tengah. Dia memilih bangku depan bukan karena ia ambisius dan mencari muka di depan guru-gurunya, hanya saja kalau ia memilih duduk di belakang, terlalu banyak pengganggu dan itu menyebalkan. Untung saja, Clara juga setuju duduk di bangku paling depan bersamany. Padahal anak sepopuler Clara biasanya duduk di belakang untuk mengobrol hal-hal yang menurut Lucy tidak penting.
Empat orang teman lainnya yang ada di kelas sibuk dengan urusannya masing-masing. Popi, yang selalu meraih peringkat 2, di bawah Lucy, sedang duduk di bangkunya depan meja guru dan sepertinya sedang belajar. Hana, gadis baik hati yang biasanya sering menyapa Lucy sedang memainkan handphone-nya. Dan di kursi paling belakang--yang Lucy lupa namanya--sedang tertidur di meja berbantalkan kedua tangannya. Sepertinya aku tak ada teman ngobrol sampai Clara datang.
Saat Lucy mempertimbangkan untuk membaca buku yang baru ia beli atau mendengarkan lagu terbaru dari band favoritnya, seseorang yang memakai kacamata dan berjalan tertunduk memasuki kelas. Siapa namanya, ya? Doni? Dio? Dino? Bukan. Ah, ya! Dirga! Ia tahu Dirga, mereka pernah sekelompok saat kelas 10. Meskipun hanya Lucy yang mengerjakan tugasnya, karena anggota kelompok yang lain sangat tidak bertanggung jawab. Ditambah lagi, Lucy tidak ingin repot-repot menghubungi dan mengingatkan mereka. Dan, Dirga hanyalah satu-satunya anggota kelompok itu yang menawarkan bantuan pada Lucy. Tentu saja Lucy ingat, ia menghargai gestur itu meskipun ia tetap tak mau repot. Ia menghargai Dirga sebagai anggota kelompok itu dan hanya menuliskan namanya dan nama Dirga. Ia melaporkan anggota kelompok yang lain karena tidak berpartisipasi, itulah salah satu alasan mengapa banyak yang tidak menyukai Lucy.
Mata Lucy terus mengikuti Dirga yang berjalan ke mejanya di area belakang. Lucy berharap, mata mereka akan bertemu dan ia bisa melemparkan senyum atau usaha lain untuk kenal dengan teman sekelasnya ini. Bukan apa, karena ini adalah salah satu langkah untuk menjadi Lucy yang baru! Ia tetap sabar menunggu mata mereka akan bertemu, mengamati gerak-gerik Dirga yang terus saja tertunduk. Saat Dirga sudah menempati bangkunya pun, Dirga tidak mendongak. Ia justru menghela napas panjang dan menangkupkan kedua tangannya ke dahi. Akhirnya Lucy tidak lagi berharap bisa menyapa Dirga pagi itu. Ia akhirnya memutuskan untuk membaca buku barunya sampai menunggu Clara datang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro