Chapter 2
***
Selama beberapa saat rasanya hampa. Lucy tak bisa merasakan tubuhnya namun kesadarannya tetap terjaga. Matanya terbuka namun tak ada apa-apa di depannya, hanya gelap. Ia berusaja mengerjap dan berharap terang akan datang, namun mengerjap pun rasanya tak bisa. Seketika itu juga kilasan-kilasan muncul di depannya, berasal dari benaknya yg menyeruak keluar dalam visi-visi mengambang di kegelapan itu.
Saat pertama kali ia berangkat sekolah.
Saat mendapatkan piala pertamanya.
Saat berlibur bersama orang tuanya ketika ia masih kecil.
Saat membuka pintu rumah dan hanya ia seorang.
Saat pertama kali mengenal Clara.
Dan saat-saat yang lain yang terus membanjiri kegelapan dengan warna-warni.
Ia ingin menggerakkan tangannya untuk menggapai visi-visi itu. Namun tak bisa, ia tak merasakan tangannya. Ia seperti berada di kehampaan bersama memori-memorinya yang semakin mangabur.
Saat memori-memori itu mengabur ia seperti tertarik suatu gaya entah dimana, rasanya seperti dililit. Udara terasa cepat diambil dari paru-parunya. Ia terjun bebas.
Ia merasakan permukaan keras di bawahnya dan Lucy sadar ia jatuh terduduk. Seketika itu juga ia berdiri dan menyadari bahwa pakaiannya telah berganti, dari celana jeans, kaos dan cardigan menjadi tunik putih polos. Rambutnya hitamnya tergerai dan kakinya menapak tanpa alas. Merasakan bahwa permukaan di bawahnya amatlah dingin, dengan perlahan mulai terasa membekukan.
Kamu akan mendapatkan kesempatan kedua, untuk memperbaiki semuanya.
Entah darimana datangnya suara itu, menggema ke seisi ruangan tanpa batas. Lucy berusaha mencari sumber suara, menengok kesana-kesini namun nihil, ia tetap sendiri.
Atau kau akan meneruskan perjalananmu. Menerima apa saja yang sedari awal sudah menjadi konsekuensinya.
Suara itu tetap tanpa wujud. Tetap menggema hingga terasa menggelitik. Untuk menghilangkan ketakutannya, Lucy pun menutup mata. Membiarkan suara itu untuk terus ada.
Kau akan kembali ke 222 hari sebelum kau datang, perbaiki semuanya dan biarkan kami memutuskan.
Pintu kanan yang haruslah kau ambil untuk kesempatan kedua itu.
Pintu kiri untuk melanjutkan perjalanan dan kau tak akan tahu harga yang harus dibayar.
Suara itu akhirnya berhenti. Lamat-lamat dipikirkannya apa yang terjadi pada dirinya. Seketika Lucy sadar bahwa ia telah mati dan entah sekarang berada di mana. Ia mati tertabrak mobil dan sekarang ia harus memilih antara dua pintu.
Mata Lucy terpejam. Tiba-tiba perasaan seperti ditarik datang lagi. Angin berdesir kencang di sekelilingnya dan Lucy terus memejamkan mata. Selama beberapa waktu ia masih dalam pusaran angin, tertarik, tergelitik, dan tetap terpejam. Sampai beberapa saat sensasi itu berhenti. Lucy serasa menginjak rerumputan hijau dan kerikil kecil. Ia akhirnya membuka mata. Memperhatikan lamat-lamat apa yang ada di sekelilingnya.
Ia sedang berada di pemakaman.
Dari jauh, ia melihat sekumpulan orang berbaju hitam sedang berkumpul, mengelilingi satu pusara yang telah digali. Lucy terasa terhenyak. Ia melihat mama dan papanya. Lucy melihat Clara. Dorongan untuk mendekat tiba-tiba saja membuatnya melayang menuju mereka. Orang tuanya yang menangis kehilangan putri semata wayangnya, Clara yang tertunduk dan terisak, guru-guru di sekolah yang menyukainya karena ia pintar, dan beberapa sanak saudara ada disana. Tapi tak banyak. Kemudian entah bagaimana, itu pusaranya.
Kemudian ia melihat orang-orang mulai menutup pusara itu dengan tanah. Mamanya jatuh berlutut. Dengan berat hati turut menaburkan tanah. Lucy ingin berteriak bahwa ia disana. Bahwa Mama tak perlu menangis, orang-orang tak perlu mengiringi jasadnya ke pemakaman. Tapi nihil, ia tetap tak terlihat.
Saat tanah sudah menutupi liang lahatnya, perlahan orang-orang mulai pergi. Dimulai dari gurunya, sanak saudaranya, dan akhirnya hanya tersisa kedua orang tuanya dan Clara. Clara masih menangis tertunduk. Isakannya teredam sapu tangan yang dipegangnya erat-erat.
"Maafin gue. Terimakasih banyak, lo temen-temen gue satu-satunya. Meski gue tahu lo nggak nganggep gue temen. Tapi makasih banyak udah bertahan sama gue selama 4 tahun. Kalau bukan karena lo, gue nggak mungkin berdiri di sini. Tapi karena gue...." Perkatan Clara itu terputus. Isakannya semakin menjadi. Lucy hanya terdiam.
Kenapa karena Clara? Apa Clara yang menabrakku malam itu? Tidak, Clara belum bisa menyetir mobil. Lantas, kenapa Clara menyalahkan dirinya sendiri? Apakah ia merasa bersalah karena tidak menemaniku malam itu?
Diantara pertanyaan itu, hal yang paling membuatnya bersedih adalah bahwa Clara menganggapnya teman selama ini meski ia tahu bahwa bagi Lucy, Clara bukan siapa-siapa. Lucy ingin sekali memeluk Clara, mengatakan hal yang sama. Bahwa Clara adalah temannya, bahwa ia juga berterima kasih karena Clara tetap bersamanya selama 4 tahun ini. Ia ingin meminta maaf kepada Clara dan membangun pertemanan mereka kembali. Namun sayang, ia sudah mati.
Clara kemudian berbalik. Dengan masih menunduk ia menjauh dari pusara Lucy. Bahunya bergetar karena isakannya yang tak kunjung berhenti. Sedangkan Lucy, tak bisa berbuat apa-apa. Hanya memandangi Clara yang semakin menjauh. Lucy melepas kepergian Clara meski hatinya merasa menyesal. Ia kemudian memandang kedua orang tuanya. Mamanya yang berlutut dan menangis diatas pusaranya dan Papanya yang berusaha tegar dan menguatkan Mama.
Lucy mendekat. Mengamati kedua orang tuanya lekat-lekat. Teringat semasa hidupnya yang jarang sekali memperhatikan mereka. Orang tuanya selalu sibuk karena profesi mereka sebagai dokter, namun Lucy yang lebih jahat. Setiap orang tuanya di rumah, ia akan mengunci kamarnya dan melakukan hal lain. Tak banyak interaksi yang ia lakukan dengan mereka. Dan sekarang ia menyesal, mengetahui bahwa kedua orang tuanya sangat mencintainya dan sedangkan Lucy tak pernah ada untuk mereka. Sangat menyesal.
Ia ingin kembali. Ia ingin memperbaiki semuanya. Ingin bersama Mama dan Papa, ingin bermain bersama Clara, dan ia ingin membuat kenangan indah sebelum waktu 222 hari yang diberikan habis. Ia sadar, hari ini di pemakamannya, tak banyak orang yang datang. Ia tak punya teman lain selain Clara yang begitu setia, guru-guru hanya menyukainya karena pintar dan bukan karena ia baik ataupun ramah. Ia ingin memperbaiki itu.
Jika ia mengambil kesempatan itu, ia akan memperbaiki hubungannya dengan orang tuanya.
Akan memulai pertemanan kembali dengan Clara.
Akan menjadi murid yang pintar dan juga baik hati.
Akan memiliki banyak teman.
Ia akan melakukan hal-hal baik. Ia tak akan melewatkan kesempatan ini
Seketika setelah ia menamatkan tekadnya, ia kembali lagi ke ruangan gelap dengan dua pintu itu. Sekarang ia tahu pintu mana yang akan pilih.
Pintu kanan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro