Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1

***

"Kamu akan langsung pulang?" tanya Clara kepada Lucy.

"E... iya. Sampai nanti di tempat les." Lucy menjawab begitu saja kemudian meninggalkan Clara, tak pikir panjang bahkan untuk berjalan bersama ke gerbang sekolah.

Bagi Lucy, Clara hanya teman sebangkunya selama bertahun-tahun sejak mereka pertama kali sekelas saat kelas 2 SMP. Meskipun bagi Clara sebaliknya, Lucy tak pernah ambil pusing untuk menganggap Clara sahabat dan akan melakukan apapun bersama. Selama 4 tahun ia berteman dengan Clara hanya karena ia malas mencari teman baru dan memulai proses perkenalan lagi. Ia mendesah, merasa sedikit bersalah pada Clara namun hanya sampai di situ saja. Lagipula Clara tak pernah protes padanya, sepertinya mereka berdua sama-sama setuju bahwa simbiosis mutualisme ini akan terus berlangsung seperti ini.

Ia berjalan keluar sekolah, menuju mobil jemputannya tanpa memedulikan yang lain, memang selalu begitu. Di mobil jemputannya yang kini telah melaju, Lucy menyempatkan untuk tidur sejenak. Membebaskan rasa kantuknya selama 15 menit saja. Dalam mimpinya ia melihat dirinya sedang berdiri di depan sekolah, sepi, gelap dan kedinginan. Kemudian teriakan muncul memecah keheningan itu, rasanya dia akrab dengan suara itu?

Matanya kemudian tertuju pada sosok yang melayang turun dekat dengan gedung sekolahnya, semuanya tampak lambat.

Dia sadar seketika, seseorang terjatuh dari rooftop. Seseorang yang ia kenal. Ia berteriak sekencang-kencangnya untuk tersentak bangun.

Lucy mengerjap berkali-kali dan dadanya berdebar hebat karena mimpi yang baru saja ia lihat. Ia terduduk di mobil jemputannya yang kini telah sampai di rumahnya dan terparkir di garasi. "Setengah empat sore nanti antar saya lagi ke tempat les ya Pak? Terimakasih."

***

Di tempat les, Lucy masih memikirkan mimpi singkatnya tadi. Rasanya begitu nyata, betapa ia tak sanggup berbuat apa-apa saat seseorang itu terjatuh. Ia masih berdebar-debar bahkan saat Clara duduk di sampingnya dan menyapanya. "Wah, kamu sudah mandi. Nggak apa-apa kan aku duduk di sini? Aku keringetan nih karena latihan barusan?"

"Kita sudah sebangku bertahun-tahun, Clar. Otakku sudah tidak menerima rangsang dari baumu lagi."

Jawaban Lucy membuat Clara tertawa kecil, "Selera humormu sepertinya nggak pernah berkembang dari dulu."

"Aku tidak melawak, lho." Lucy yang justru kebingungan dengan Clara, ia bahkan tak mencoba untuk melawak malah membuatnya tertawa. Entah karena Clara yang terlampau ramah atau memang selera humornya yang begitu buruk. Pasti salah satu di antara kedua opsi itu.

Pembicaraan ringan itu terhenti saat tutor mereka telah datang. Namun Lucy tetap saja tak bisa menghentikan otaknya untuk terus mengingat mimpinya yang semakin diingat terasa semakin jelas. Bahkan rasa penasaran akan Biologi yang biasanya menjadi favoritnya tak bisa membuang jauh-jauh rasa gundah karena mimpi itu.

Sampai di akhir kelas tambahannya sore itu, Lucy hanya mencatat tak lebih dari setengah halaman. Jelas bukan suatu hal yang biasa. "Kamu kenapa?" tanya Clara kepada Lucy yang sejak tadi memperhatikan Lucy yang tampaknya sedang gundah. "Mau cerita nggak? Apa yang bikin kamu jadi nggak fokus selama les tadi?" Rasanya aneh bagi Clara menawarkan pada Lucy agar bercerita padanya, ia sadar bahwa Lucy tak akan membagikan banyak hal padanya meskipun mereka sudah berteman sejak 4 tahun yang lalu. Apa bisa mereka disebut berteman?

"Ah, tidak usah. Aku tidak apa-apa," jawab Lucy singkat. Ia tahu itu jahat, tak mengacuhkan Clara yang dengan sangat baik hati menawarkan menjadi tempat curhat Lucy. Tapi ia bukan orang yang mudah membagi masalah pribadi, bahkan kepada kedua orang tuanya.

"Oke kalau gitu, sekarang masih jam 5 lebih 10 menit, kayaknya kamu belum dijemput. Mau jajan bareng nggak?" Untuk kedua kalinya Clara mencoba mendekat ke Lucy, meskipun ia tahu ke mana jawaban Lucy pada akhirnya.

"Maaf, Clar. Aku sudah kenyang. Aku jalan ke sekolah saja, tunggu dijemput di sana. Duluan ya, Clar." Lucy bangkit dari bangkunya dan berjalan keluar.

Perlahan ia menyusuri jalanan sore menuju sekolahnya yang dapat ditempuh selama 5 menit dari tempat lesnya. Mimpi tadi kembali memaksa untuk diingatnya, bagaimana sosok itu berteriak kencang dan terdengar menyedihkan, ingin selamat tapi juga pasrah.

Ia mendesah, jam ditangannya sudah menunjukkan pukul 17:21 dan mobil penjemputnya belum juga terlihat. Hari semakin gelap dan berwarna jingga, ia benci saat seperti ini. Warna jingga saat matahari tenggelam menyebalkannya karena saat inilah dia merasa paling buruk. Anginnya yang kencang dan menusuk, keramaian yang terdengar samar, dan orang-orang yang berwajah lelah memuakkannya, seperti tidak ada harapan. Ia menggerakkan kakinya, memindahkam tumpuan dari satu kaki ke kaki lainnya, karena tak nyaman. Ia cukup sabar untuk menunggu, tapi tidak saat suasana sore yang beranjak petang seperti ini.

Lebih dari tiga puluh menit kemudian Lucy masih berdiri di seberang sekolahnya menunggu pak sopir yang menjemputnya. Hari sudah benar-benar gelap sekarang, dan semakin dingin. Daerah sekolahnya pun berangsur-angsur sepi dan lampu jalan yang menyala justru menambah seram.

De javu.

Sepertinya ia pernah mengalami ini, perasaan yang sama, suasana yang sama, dan tempat yang sama. Perasaan yang lalu sungguh tak mengenakkan sampai-sampai ia tak ingin mengalaminya lagi, tapi disinilah ia sekarang.

Mimpi itu!

Jantung Lucy berdegup kencang karena kesadaran itu. Kemudian matanya mencari-cari sesuatu di mimpinya itu.

Di lantai teratas sekolahnya, taman rooftop yang belum selesai dibangun, seseorang sedang berdiri. Lucy tersentak. Siapapun itu berdiri terlalu tepi dan bisa-bisa ia terjatuh.

Seseorang itu merentangkan tangannya. Lucy semakin takut kalau akan terjadi apa-apa pada seseorang itu. Lucy biasanya bukan orang yang ambil pusing dan akan membiarkan kejadian berlalu begitu saja, tapi tidak kali ini. Setelah ia mengalami mimpi menyeramkan itu, melihat seseorang terjatuh dari ketinggian dan mendengarnya berteriak ketakutan. Teriakan itu benar-benar merasuk dalam ingatannya, teriakan seseorang yang ingin tetap bertahan hidup. Terdengar pilu, pasrah, dan menyesal.

Hal yang paling bodoh yang ia pikirkan saat itu adalah : Bagaimana ia bisa menghentikan seseorang disana? Bagaimana ia harus berteriak agar seseorang itu melihatnya? Hey? Hentikan? Jangan loncat? Semuanya terdengar bodoh.

Lucy tersentak dari gemelut pikiran bodohnya. Seseorang itu mencondongkan badannya ke depan. Tak ada waktu lagi untuk berfikir kata apa yang cocok dipakai.

SSSTTTOOOPPPPPP!!!!

Lucy menghambur ke depan. Sebelum seseorang itu meloncat dan menyesali keputusannya. Seseorang itu tak boleh meloncat.

Kemudian ia merasakan sisi kanan badannya bermandikan cahaya. Ia mendengar decit mobil yang mengalahkan suara klakson yang berisik dan bau ban yang terbakar pun menguar. Ia menoleh ke kanan, hanya mendapati badannya terantuk begitu keras dan rasanya ia melayang.

Tak ada rasa sakit.

Kemudian hanya gelap.

Dan rasanya kosong.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro