3-6 | One Missed Call [Part 1]
"Kita harus segera pergi dari sini."
Dylan bersama Sam sepanjang hari, dimulai dari jam makan siang hingga makan malam, membicarakan berbagai macam pekerjaan yang bisa Dylan lakukan untuk menambah pemasukan, termasuk joki tugas untuk murid-murid SMA. Sebelumnya, Chloe mengirimkan pesan untuk pemuda itu.
Aku ada urusan dengan Hannah di luar rumah susun. Kau bisa makan siang dan makan malam duluan bersama Sam.
Dylan hanya merespons pesan tersebut dengan satu kata; oke. Ia tidak berkomentar macam-macam. Sesekali membiarkan gadis itu bergaul dengan orang lain adalah hal yang bagus, mengingat ia dan Chloe selalu menghabiskan waktu berdua semenjak mereka resmi berpacaran.
Sekitar pukul sepuluh malam, Quentin mendatangi kamar Dylan. Raut wajah pemuda keturunan Jepang itu terlihat serius, seperti ada hal penting yang harus segera dibicarakan. Setelahnya, dua pemuda itu mendatangi kamar Chloe untuk mengajaknya bertemu, tetapi rupanya ruangan itu kosong. Quentin mengetuk beberapa kali, tidak ada jawaban dan lampu kamar pun dimatikan.
"Kau bilang Chloe ada urusan dengan teman sekamarnya. Apa yang mereka lakukan sampai selarut ini?" tanya Quentin pada Dylan. Keduanya berdiri di depan pintu kamar Chloe.
Dylan mengedikkan bahu. "Chloe tidak bilang. Mungkin mereka bersenang-senang dan lupa waktu? You know, girls day out."
"Bersenang-senang?" tanya Quentin dengan sedikit ketus. "Pertama, Amerika sedang mengalami resesi ekonomi. Kedua, tidak ada pengungsi yang berpikir untuk bersenang-senang dalan kondisi seperti ini!"
"K-kau benar," cicit Dylan.
Quentin berdecak sambil berkacak pinggang. "Lalu, bagaimana sekarang?"
"Kau tidak perlu khawatirkan Chloe. Jika apa yang akan kau katakan benar-benar penting, kau bisa memberitahuku terlebih dulu, dan aku akan memberitahu Chloe besok."
"Yah, ide bagus. Itu akan menghemat waktuku," ucap Quentin cuek. Lalu pemuda itu berbalik dan melangkah pergi dari depan kamar Chloe, Dylan mengikutinya di belakang.
Keduanya memutuskan untuk mengobrol di kamar Quentin. Kini, Dylan duduk di sebuah bangku kayu, berhadap-hadapan dengan si pemilik kamar yang duduk bersila di atas ranjang. Langit sudah semakin gelap. Lorong di luar kamar terdengar sangat sunyi. Petugas kebersihan dan pekerja lain yang tinggal di sekitar kamar Quentin telah beristirahat.
Quentin sedikit merunduk untuk mengikis jarak dengan Dylan, kemudian berbicara pelan. "Kita harus segera pergi dari sini."
Kedua alis Dylan bertaut. "What? Why?"
"Aku sudah menyelidiki rumah susun ini lebih dari dua minggu, dan tempat ini sangat mencurigakan."
"Whoa, whoa!" Dylan menginterupsi sambil menahan tawa. "Mengapa kau bisa berspekulasi seperti itu?"
"Orang-orang di rumah susun ini memberimu makan dan tempat tinggal secara gratis. Mereka bahkan menyediakan lapangan pekerjaan untuk beberapa penyintas. Jika kau sakit, klinik ini memberimu subsidi untuk obat dan perawatannya. Kau tidak curiga sama sekali dengan semua itu?" tanya Quentin.
"Itulah tujuan masyarakat Amerika membayar pajak, Quentin, untuk membantu pemerintah mengelola tempat seperti ini!" desis Dylan.
"Tapi tempat ini terlalu aneh! Rumah susun ini terlalu mewah untuk dikelola dengan uang pajak!" Quentin balas berdesis.
Dylan duduk tegak, melipat kedua tangan di dada. "Hanya itu argumenmu? Kau membenci pemerintah, itulah sebabnya kau skeptis dengan fasilitas ini."
"Kau tidak tahu apa-apa tentang rumah susun ini!" ketus Quentin.
"Lalu, apa yang kau ketahui tentang rumah susun ini? Aku menetap di sini lebih lama dibandingkan kau!" Dylan turut membalas dengan ketus.
Selama beberapa menit ke depan, Quentin menceritakan seluruh pengalamannya di rumah susun ini pada Dylan. Dimulai ketika ia bertemu Harold dan tidak pernah melihatnya lagi, lift yang rusak, hingga salah satu penyintas yang mengamuk di klinik karena tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan kerabatnya yang sakit.
"Mungkin pasien itu mengidap penyakit yang berhubungan dengan radiasi nuklir, seperti kanker, gangguan sumsum tulang, atau gangguan kehamilan? Itulah sebabnya ia harus diisolasi dan dilarang bertemu dengan kerabatnya. Kau terlalu paranoid." Dylan menjelaskan.
"Sepertinya kau tahu banyak tentang itu," ujar Quentin, sedikit meremehkan.
"Karena itulah yang terjadi padaku dan Chloe. Moorevale adalah zona kuning dan kami banyak menghabiskan waktu di sana. Sebelum dipindahkan ke rumah susun ini, kami diisolasi dan menjalani beberapa tes. Ketika kami dinyatakan sehat, barulah mereka membawa kami ke sini." Dylan kembali menjelaskan.
"Jadi kau dan Chloe sudah dinyatakan sehat? Obat apa yang mereka berikan padamu?" tanya Quentin curiga.
Dylan mengangguk. "Hasil pemeriksaan yang bilang begitu dan dr. Valentine hanya memberi kami pil yodium untuk berjaga-jaga. Itu bukan obat, hanya garam dalam bentuk pil."
"Tunggu." Quentin memotong. Mendadak, raut wajahnya menjadi lebih serius. "Valentine? Bianca Valentine?"
"Yeah." Dylan mengangguk. "You know her?"
"I met her this morning. Ia orang yang seperti apa?"
"Aku ... tidak terlalu mengenalnya, tapi ia selalu membuat pasiennya merasa nyaman. Mengapa kau bertanya?"
Quentin bergeming sebentar, lalu menggeleng dan menjawab, "Nothing."
Kamar Quentin lengang untuk sejenak, hanya terdengar lolongan anjing samar-samar dari arah luar gedung. Dua pemuda itu tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Dengar, kita tidak bisa pergi dari sini dengan gegabah. Maksudku, aku punya ibu yang juga tinggal di sini. Bagaimana aku menjelaskan semuanya pada Mom? Moorevale masih berstatus sebagai zona kuning, kami tidak punya tempat tinggal. Dan Chloe, ia tidak mau kembali ke keluarganya," lirih Dylan, memecah keheningan malam.
"Kalian bisa tinggal di bungker bersamaku," respons Quentin.
"Dan membiarkan Mom tinggal di tempat suaminya terbunuh? No way!" Dylan meninggikan suara. "Lalu, apa kau pikir Chloe mau tinggal di sana? Kau sadar tempat itu seperti klub malam untuk tikus dan kecoak?"
Buru-buru Quentin menjawab. "Bungker itu sudah berbeda dengan empat tahun yang lalu. Tempat itu sudah layak untuk ditinggali sekarang dan kamarnya banyak!"
"Tetap saja aku harus mendiskusikan hal ini dengan Mom dan Chloe terlebih dahulu!" bentak Dylan. Pemuda berambut cokelat itu berdiri, mengembuskan napas dan menjauh dari Quentin. Ia mengusap wajah kasar, bergeming sejenak. Jantungnya berdebar lebih cepat. Lalu ia berputar dan melangkah mendekati Quentin. "Kau tahu sekeras apa usahaku untuk membuang memori tentang malam itu? Kau pikir aku akan baik-baik saja setelah mendatangi tempat di mana aku menembak kepala ayahku sendiri? Aku tidak ingin kembali ke tempat itu," lirihnya.
Quentin tertegun. Dylan menolak bukan karena Chloe atau ibunya, melainkan karena traumanya. Bagaimana bisa Quentin tidak memikirkannya hingga sejauh itu? Prof. Ryouta juga terbunuh di tempat itu. Baginya, empat tahun waktu dunia nyata sudah lebih dari cukup untuk menyembuhkan diri dari luka, tetapi bagaimana dengan Dylan? Pemuda itu baru menginjak usia dewasa muda, emosinya masih belum stabil, dan kejadian kelam itu terasa seperti satu kedipan mata baginya, berhubung Dylan terjebak di dunia portal yang tentu perhitungan waktunya berbeda dengan dunia nyata.
Rasa sesal meliputi Quentin. Pemuda itu menunduk. "I'm sorry," lirihnya.
"It's cool." Dylan mengangguk dan tersenyum simpul. Melihat raut wajah Quentin, dirinya jadi merasa tidak nyaman. "Maaf juga sudah membentakmu."
"Kau benar, semua ini butuh pertimbangan matang, tapi kuharap kau tidak terlena untuk terus tinggal di fasilitas ini," tegas Quentin. "Apa pun rencanamu dengan Chloe, aku akan mendengar langsung darinya. Tanpa kehadiran Chloe, kita akan terus berkelahi seperti anjing dan kucing."
"Jika aku anjingnya, bolehkah aku menjadi bayi Siberian Husky? They're adorable," ucap Dylan polos.
Quentin yang awal mulanya merasa bersalah, kini tidak dapat menahan tawa. Perlahan, ia tersenyum. "Does it even matter?"
Keduanya terkekeh, cukup lama hingga tawa mereka mereda dengan sendirinya. Setelah itu, hening untuk beberapa saat sebelum Quentin berkata, "It's getting late. Sebaiknya kita lanjutkan pembicaraan ini besok dengan Chloe."
"Yeah." Dylan mengangguk, lalu beranjak dari tempatnya. "Aku akan mendatangi kamarmu lagi di jam yang sama."
*****
Setelah menemui Quentin, Dylan tidak langsung pulang ke kamarnya. Ia berbelok ke lorong tempat di mana kamar Chloe berada. Setelah sampai di depan pintu, ia mengetuk beberapa kali.
"Chloe?" panggilnya sambil mengetuk. Tidak ada jawaban. "Hannah?"
Masih tidak ada yang merespons. Dylan berhenti mengetuk, kemudian menengadah ke arah ventilasi. Gelap, lampu dalam ruangan tidak kunjung dinyalakan, menandakan si pemilik kamar belum juga pulang.
Dylan menyerah. Ia mengembuskan napas berat, kemudian berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Hari sudah terlalu larut, Dylan menguap beberapa kali, kedua netranya berair, tidak kuasa menahan kantuk. Sebelum merebahkan diri di ranjang, pemuda itu melakukan rutinitas malamnya; mencuci muka dan menggosok gigi.
Sang ibu sudah terlelap di ranjang bawah, Dylan memutuskan untuk menyusul wanita itu ke alam mimpi. Dengan langkah gontai dan kedua mata yang nyaris menutup, ia memanjat tangga besi menuju ranjang atas, berbaring di atas matras yang empuk dan menarik selimut. Hanya membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit, Dylan sudah tertidur.
Tiba-tiba saja, getaran dari benda pipih di sebelah bantal membawanya kembali ke dunia nyata. Spontan, kedua kelopak matanya terbuka. Tubuhnya tersentak ketika sebuah panggilan terhubung ke ponselnya. Saat itu lampu kamar telah dimatikan, membuat Dylan harus menyesuaikan pandangannya dengan suasana gelap dan pencahayaan ponsel yang cukup menyilaukan. Ia mengerang saat mengambil ponsel, lalu sedikit duduk tegak sambil mengucek mata. Kantuk yang dirasakannya berkurang saat melihat nama Chloe di layar ponsel. Tanpa berpikir lagi, pemuda itu mengangkatnya.
"Chloe! Ke mana kau dan Hannah pergi tadi siang? Sebelum tidur aku pergi ke kamarmu, tetapi ruangan itu masih kosong. Sekarang kau sudah pulang, 'kan?" tanya Dylan cepat. Bersyukur Nancy Grayson tidak terbangun akibat kegaduhan sang putra di ranjang atas.
Hening, tidak ada jawaban.
"Halo? Chloe?" tanyanya lagi. Senyap, Chloe masih tidak menjawab. "Kau masih di sana?"
Terdengar kegaduhan tipis-tipis, seperti sesuatu yang bergerak di seberang sana. Dylan mengernyit, kemudian memutuskan panggilan telepon. Apa mungkin Chloe banyak bergerak saat tertidur dan gadis itu tidak sengaja meneleponnya? Meskipun Dylan ingin sekali menyusul gadis itu ke kamarnya, tetapi rasa kantuknya lebih besar dari rasa cintanya. Setelah meletakkan ponselnya di sebelah bantal, Dylan kembali berbaring dan menarik selimut.
Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
13 Maret 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro