3-3 | Harold [Part 1]
"Namaku cukup panjang. Panggil saja Ken."
Satu bulan yang lalu, sebuah surel masuk ke dalam kotak masuk Quentin, membuat perasaannya campur aduk. Bagaimana tidak? Ia sempat mengira si pengirim surel sudah tewas. Pemuda itu merasa skeptis dengan pesan yang diterimanya. Alih-alih membalasnya, Quentin mencari tahu lebih dulu kebenaran dari surel itu.
Pemuda bermata sipit dengan rambut pirang itu hanya membutuhkan waktu setengah hari untuk melacak dari mana surel tersebut dikirim. Selama beberapa jam ke depan pula Quentin mencari tahu segalanya tentang tempat itu. Keningnya berkerut ketika melihat segala informasi yang tertera di layar laptop. Chloe, sang pengirim pesan, adalah putri dari salah satu pria paling kaya di negeri ini. Lantas, apa mungkin gadis itu mengirimkan surel dari tempat pengungsian? Apakah Theo Wilder tidak punya tempat yang aman untuk bertahan hidup dari sisa-sisa radiasi nuklir?
Quentin mendesah pelan. Ia duduk bersandar pada kursi kerjanya, mengelus dagunya yang tidak gatal. Cahaya temaram di dalam bungker merefleksikan netra cokelat tuanya. Keningnya berkerut, atensinya masih tertuju pada layar laptop. Ketika mencari tahu tentang pengungsian tersebut, tidak banyak informasi yang ia dapatkan, dan hal itu sungguh mengganggunya. Tidak ada cara lain selain mencari tahu secara langsung, 'kan?
Maka, di sinilah Quentin. Pemuda bermata sipit itu memutuskan untuk menyamar sebagai penyintas yang membutuhkan pekerjaan. Beruntung, mereka mempekerjakannya sebagai petugas kebersihan. Bukan profesi yang ia harapkan, tetapi posisi ini memberikan Quentin banyak keuntungan.
Contohnya, Quentin mendapatkan perspektif baru bahwa setiap individu melihat seseorang dari status sosialnya. Selama dirinya mengenakan seragam petugas kebersihan, tidak pernah ada orang yang menatapnya bersahabat, atau bahkan tersenyum. Semua orang mengangkat dagu, berjalan melewatinya begitu saja meskipun ia sedang membersihkan lantai. Akibatnya, pemuda itu harus mengepel dua kali untuk menghilangkan jejak-jejak sepatu yang mereka hasilkan. Terlebih lagi perihal tampang. Sebagai pemuda keturunan Jepang, mendapatkan perilaku rasis adalah makanan sehari-harinya.
Petugas kebersihan idealnya bekerja dari pagi hingga sore, begitu pula dirinya. Di hari pertamanya bekerja, sekitar jam tujuh pagi, pemuda itu keluar dari dalam kamar, lengkap dengan seragam petugas kebersihan biru-hitamnya. Setelah mengunci pintu, Quentin berpapasan dengan seorang pria yang terlihat lebih tua sekitar lima tahun darinya. Kaukasia, rambut cokelat terang, sedikit gempal, dagunya dihiasi janggut tipis.
Pria itu menoleh. Ketika kedua netranya bertemu dengan milik Quentin, ia tersenyum, kemudian berhenti tepat di depan pintu kamar sebelah. "You're new here?" tanya pria itu sambil membuka kunci pintu di hadapannya.
"Yeah," jawab Quentin singkat. Kedua netranya melirik ID tag yang menempel di seragam pria itu. Desainnya identik dengan miliknya.
Pria itu menoleh, mengulurkan tangan. "Harold, petugas kebersihan yang tinggal di sebelah kamarmu."
Quentin menyambut uluran tangan tersebut. "Namaku cukup panjang. Panggil saja Ken."
"Alright, Ken." Harold melepasnya, kemudian menutup mulut dengan tangan ketika menguap. Bulir air mata tampak di sudut matanya. Ketika diamati lebih jauh, terdapat lingkaran hitam di bawah netranya.
"Kau terlihat lelah," ujar Quentin.
"Yeah, memang." Harold mengangguk. "Aku bekerja di malam hari ketika petugas kebersihan lainnya tertidur."
Quentin mengangkat kedua alisnya. "Kukira semua petugas kebersihan bekerja di siang hari?"
"Yeah, kebanyakan memang begitu," jawab Harold cuek. Pria itu membuka pintu kamar. "Aku akan hibernasi terlebih dahulu sebelum kembali bekerja nanti malam."
Quentin mengangguk. Pintu kamar tertutup dan Harold sudah menghilang dari pandangan. Tidak mau ambil pusing, pemuda keturunan Jepang itu berbalik badan dan turun ke lantai dasar untuk bekerja.
Harold adalah seseorang yang pertama kali dikenal Quentin selama bekerja di fasilitas ini. Sayangnya, sejak itu mereka tidak pernah bertemu lagi akibat jam kerja yang bertolak belakang. Sejak itu pula Quentin mengetahui bahwa tidak semua petugas kebersihan bekerja di siang hari.
*****
Tiga hari telah terlewati, Quentin mulai terbiasa dengan pekerjaan bersih-bersihnya. Pada jam makan siang, para penyintas dan pekerja yang berada di lantai satu melakukan rutinitasnya seperti biasa. Tidak ada yang aneh, hingga Quentin mendengar kegaduhan di depan area klinik. Pemuda berambut pirang itu berhenti mengepel, kemudian menoleh, mendapati wanita berusia tiga puluh tahunan dengan potongan rambut bob berdiri berhadapan dengan dua orang dokter. Di dekat pintu klinik, berdiri pula dua orang perawat wanita.
"Adik Anda sedang dalam kondisi serius. Sebaiknya Anda tenang dan bersabar menunggu kabar selanjutnya. Kami akan melakukan yang terbaik," ujar seorang wanita berambut ikal berkulit eksotis dengan sneli putih bersih.
"Bagaimana bisa aku tenang? Kalian tidak membiarkanku menemuinya! Aku kakaknya, dan ia bukan terkena semacam penyakit menular atau apalah. Biarkan aku tetap berada di sampingnya!" Wanita berambut bob yang berdiri di hadapannya mencengkeram bisep sang dokter, mengguncang-guncangnya kasar sehingga seorang perawat harus turun tangan menenangkan wanita itu.
"Ma'am, maaf, tapi anda harus tenang." Salah satu perawat bertubuh gempal meremas pelan bisep wanita berambut pendek itu, kemudian mengelusnya lembut.
"Saya tahu, tapi ini prosedur klinik kami, karena adik Anda pernah berada di zona merah. Anda bisa kembali tiga hari lagi untuk mengecek keadaannya," jawab dokter laki-laki di sampingnya. Tubuhnya cukup jangkung.
Wanita berambut pendek itu akhirnya melepas cengkeramannya, suaranya parau. "Selamatkan adikku, kumohon ... aku akan melakukan apa pun. Uang, donor, apa pun ...."
Dokter laki-laki itu mengangguk dan tersenyum. "Baiklah. Itu memang sudah tugas kami. Biarkan kami bekerja dengan tenang, oke?"
Pada akhirnya, wanita itu menyerah. Ia berbalik badan, melangkah pergi dari sana sambil menahan tangis, sedangkan dokter dan perawat yang baru saja berhadapan dengan wanita itu kembali ke dalam klinik. Para penyintas yang menyaksikan keributan tadi bubar, kembali beraktivitas seperti sedia kala, begitu pula Quentin.
Beberapa hari ini, klinik memang terlihat lebih ramai dari biasanya. Pada awalnya, Quentin tidak tertarik akan hal itu. Namun, entah mengapa kerabat pasien yang tadi ia lihat berhasil mengundang rasa penasaran pemuda itu.
Tiga hari setelahnya, wanita berusia tiga puluh tahunan berambut bob itu benar-benar kembali ke klinik untuk mengecek keadaan sang adik. Siapa pun yang melihat bisa menebak bahwa apa yang terjadi tidak sesuai dengan harapan. Wanita itu mengamuk, berusaha mendobrak masuk ke dalam klinik. Beberapa perawat kesulitan menghadang wanita itu. Quentin menghentikan aktivitas bersih-bersihnya dan berjalan mendekat, begitu pula beberapa penyintas yang kebetulan berada di area itu.
"Kalian sendiri yang bilang tiga hari lagi aku bisa menemuinya, 'kan?" teriak wanita itu. Dengan sekuat tenaga, ia mendorong dua perawat yang menahannya, kemudian menerobos masuk. "Minggir!"
Area di sekitar klinik menjadi gaduh. Beberapa penyintas saling berbisik, ada pula yang diam-diam merekam kejadian itu dengan ponselnya. Dua orang perawat masuk ke dalam, mengejar wanita itu, sedangkan seorang dokter perempuan berambut ikal memerintahkan salah satu perawat untuk memanggil tentara yang berjaga.
Melalui celah di antara kerumunan manusia, Quentin mengintip ke dalam klinik. Di lorong, wanita itu masih mengamuk. Tidak lama kemudian, dua tentara datang, membelah kerumunan untuk masuk dan membawa wanita itu keluar bersama beberapa perawat. Para penyintas yang berkerumun di sekitar pintu klinik membuka jalan, membiarkan mereka membawa kakak sang pasien keluar. Setelahnya, keadaan bisa sedikit terkendali. Manusia yang berkerumun sedikit demi sedikit meninggalkan lokasi kejadian.
Masih memegang pel, Quentin berdiri di samping pria beruban yang juga salah seorang penyintas, lalu bertanya, "Kau tahu apa yang baru saja terjadi di dalam sana?"
Pria tua di sampingnya menoleh. "Kudengar kerabatnya dirawat inap, keadaanya cukup parah dan harus mendapatkan perawatan khusus, tetapi wanita itu bersikeras ingin menemui pasien."
Alis Quentin berkerut. "Perawatan khusus?"
Pria itu mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu pasti apa penyakitnya, tapi itulah yang kudengar. Yah ... kurasa kita tidak berhak ikut campur."
Quentin mengangguk pelan, hening sejenak sebelum pria tadi pergi meninggalkannya. Setelah itu, Quentin kembali melakukan rutinitas bersih bersihnya. Jam makan siang hampir usai, area lantai satu mulai lengang, para penyintas telah kembali ke kamar masing-masing, membuat pemuda berambut pirang itu bisa lebih leluasa membersihkan lantai tanpa ada seorang pun yang meninggalkan jejak sepatu.
Ketika sedang mengepel, ujung matanya menangkap presensi seseorang dengan pakaian yang sama dengannya. Ia menoleh ke kanan, melihat seorang pria berambut coklat terang yang sedikit gempal berjalan di area lobi. Pria itu juga membawa peralatan kebersihan, sama sepertinya. Quentin tentu mengenalnya. Namun, ada yang tidak lazim dengan kehadiran si petugas kebersihan itu. Seketika rasa penasaran menjalar di otaknya.
Bukankah Harold hanya bekerja di malam hari?
Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
18 Februari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro