Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3-15 | Joker

 "You are a monster. She's just ... a girl, a human being."

Dua belas jam setelah menghilangnya Chloe

Henderson berdiri bersandar pada tembok, mengisap lintingan tembakau selama kurang lebih lima belas menit. Ia memejamkan mata sambil mengembuskan asapnya, kemudian membukanya kembali. Di hadapannya banyak pepohonan, matahari sudah nyaris sampai puncak, cahayanya begitu menyilaukan. Beruntung, Henderson dapat berlindung di balik dedaunan yang cukup rindang.

Bersantai di belakang rumah susun di sela-sela pekerjaan terasa begitu sempurna. Hening, tidak ada teriakan atasan dan perintah-perintah menyebalkan itu, hanya ada dirinya dan sebatang rokok yang entah sudah berapa lama tidak ia nikmati. Ya, Henderson pantas mendapatkan sedikit ketenangan sebagai hadiah atas dedikasinya dalam pekerjaan.

Setelah rokoknya nyaris habis, ia membuangnya ke tanah, menginjaknya hingga padam. Henderson beranjak dari posisinya berdiri, memasukkan kedua tangan di saku celana taktikalnya dan berjalan menuju gedung. Tenggorokannya terasa kering, ia membutuhkan air mineral untuk melepas dahaga. Ketika sampai di persimpangan gedung, seseorang menarik kaus latihannya dengan kasar, kemudian mendorongnya ke tembok. Henderson mengerang ketika punggung dan kepala belakangnya beradu dengan permukaan yang keras.

"What the fuck, Dude?" umpatnya sambil menangkis tangan yang mencengkeram leher kausnya.

"It was you," desis Davis, sosok yang ada di hadapan Henderson. "What have you done?" bentaknya.

"Minggir!" Henderson mendorong tubuh Davis lalu melengos pergi. Beruntung, Davis dapat menjaga sedikit keseimbangan tubuhnya. Ia kembali menarik kaus yang dikenakan Henderson dan mendorongnya ke tembok.

"Dia memberi kita dua pilihan!" geram Davis. "Sudah kubilang jangan sentuh anak itu!"

"Yang perempuan atau laki-laki sama saja!" ketus Henderson, ia melepaskan cengkeraman Davis di bajunya. "Kita hidup untuk uang dan mereka berdua sama besar nilainya! Lagi pula, yang perempuan lebih mudah untuk dibawa karena sering berkeliaran sendirian!"

Davis menatap tajam rekan kerjanya dengan rahang yang mengeras. Keheningan yang cukup intens meliputi mereka. Setelah membaca raut wajah Davis, Henderson menyeringai, kemudian tertawa sarkastik. "Kau tidak serius jatuh cinta pada anak itu, 'kan?"

Davis menggertakan gigi lalu melangkah mundur, membuat jarak dengan Henderson. Ia mengerang, mengacak-acak rambutnya frustrasi. Hening ketika tentara muda itu mondar-mandir sambil bersedekap. Rahangnya mengeras, alisnya bertaut. Sedangkan Henderson sibuk merapikan pakaiannya.

"Bisakah kau tenang dan berhenti mondar mandir?" tanya Henderson.

"Bagaimana aku bisa tenang ketika mengetahui tindakan sembronomu!" geram Davis lagi. Rahangnya mengeras, urat-urat di lehernya terlihat. "Aku tahu kau, Henderson! Kau selalu melakukan segalanya dengan gegabah! Kita sama-sama mendapatkan tugas ini dan kau tidak berdiskusi dulu denganku. Kau malah bekerja sama dengan tentara lain yang tidak ada hubungannya dengan semua ini!"

"Itu karena kau selalu menunda-nunda! Ketika ada sesuatu yang menyangkut kemanusiaan, kau langsung ragu. Apa kau mengerti bagaimana cara kita bekerja?" desis Henderson. "Oh, jangankan manusia, kau bahkan tidak tega membunuh seekor anjing pomeranian yang terpapar radiasi!"

Meskipun kesal karena Henderson mengungkit-ungkit kesalahannya di masa lalu, Davis lebih memilih mengalihkan pembicaraan. "Bagaimana jika ada seseorang yang melihatmu?"

"Aku membawa anak itu nyaris tengah malam dan tidak ada yang melihatku!"

Davis tertawa remeh. "Oh, ya? Bagaimana dengan CCTV?"

"Aku sudah membereskannya," jawab Henderson santai. "Petugas-petugas itu mudah disuap. Tidak ada siapa pun yang bisa melacak keberadaanku malam itu. Relax!"

"Tetap saja ...." Davis menghentikan ucapannya. Tentara muda itu bergeming dengan tangan yang terkepal, ingin sekali meninju seseorang di hadapannya, tetapi sosok itu lebih senior darinya, dan tentu saja tenaganya tidak dapat menandingi Henderson yang memiliki massa otot lebih banyak. Pemuda gondrong itu mendesah pelan kemudian menunduk, menatap kosong tanah di bawah kakinya.

"Dengar." Henderson memecah keheningan. "Tugas kita sudah selesai. Kau tidak bisa berbuat apa-apa lagi."

"Belum." Davis mendongak, menatap intens rekan kerjanya. "Dylan tidak bodoh. Pacarnya menghilang, tentu saja ia akan mencarinya!"

"Memangnya ke mana anak itu bisa mencari pacarnya?" tanya Henderson enteng. "Jika ia bertanya, kau tinggal bilang tidak tahu, 'kan, sesuai dengan perintah yang dia berikan pada kita?"

"Lalu sampai kapan aku harus menyangkal? Apa kau pikir hilangnya salah satu penyintas tidak akan membuat kegaduhan?" balas Davis.

"Dia sudah mengatur semuanya. Tidak akan ada yang menyadarinya, kau tidak perlu khawatir." Henderson menjeda perkataannya. "Dengar, kita sudah melakukan yang terbaik. Kita mengorbankan satu individu demi kesejahteraan hidup orang banyak. Kau bisa menemukan cinta di manapun, tetapi tidak di sini."

Davis meraih bagian leher kaus yang Henderson kenakan, lalu melangkah maju dan menatap kedua netra pria itu tajam. "You are a monster, Henderson," desis Davis dengan rahang yang mengeras. "She's just ... a girl, a human being. Bagaimana bisa kau membawa gadis itu itu untuk dijadikan tikus percobaan laboratorium, bahkan tanpa rasa bersalah sama sekali?"

"Well, you're also a monster." Henderson menyeringai. "Kau tidak akan bereaksi berlebihan seperti ini jika aku membawa pemuda yang satunya."

Davis tertohok, ucapan rekan kerjanya tepat sasaran. Tatapannya pada Henderson semakin tajam dan intens. Rahangnya kian mengeras. Dirinya benar-benar ingin menyangkal, tetapi apa yang Henderson katakan benar adanya. Dirinya pasti tidak akan semarah ini seandainya Dylan yang menjadi korban. Sungguh menjijikan.

"Munafik. Berhenti bersikap sok baik! Kau tidak sedang membicarakan kemanusiaan, kau berbicara soal cinta monyet konyolmu pada seorang gadis yang lebih cocok menjadi adikmu." Henderson melepas cengkeraman Davis di bajunya, lalu pria itu beranjak dari posisinya. "Bersiaplah menunggu perintah! Mungkin dia akan meminta kita membawa yang laki-laki juga," ucap Henderson dingin.

"Jadi tidak cukup hanya membawa satu orang saja?" geram Davis.

"Aku melihat apa yang bisa dilakukan anak laki-laki itu, Davis, satu bulan yang lalu di depan vending machine," ujar Henderson, "Mata dan jarinya berkilauan. Ia bisa mengangkat sekaleng cola dengan pikirannya."

Davis tertawa sarkastik. "Apa kau mabuk saat itu?"

"Terserah mau percaya atau tidak. Dan lagi, keduanya kebal terhadap radiasi. Kau tidak merasa itu hal yang aneh? Wajar jika dia tertarik pada dua remaja itu," ucap Henderson.

Hening untuk sejenak. Davis masih menatap intens lawan bicaranya. Ucapan Henderson terasa seperti bualan, tetapi mengapa pria itu mengatakannya dengan penuh percaya diri?

"Kau bisa berhenti kapan saja jika tidak menyukai pekerjaan ini." Lalu Henderson melengos, pergi meninggalkan Davis.

Davis menoleh, menatap punggung bidang Henderson yang kian menjauh hingga menghilang di persimpangan bangunan. Ia tidak pernah merasa semarah ini sebelumnya, baik pada diri sendiri maupun orang lain.

Saat itu juga, Davis menyesali pilihan hidupnya.

*****

Ruangan putih nan steril itu terbagi menjadi beberapa sekat. Kain berwarna putih menjulang tinggi, membingkai brangkar-brangkar yang ada di sana. Lampu fluorescent bernuansa cool white yang redup menghiasi langit-langit. Bunyi elektrokardiograf memenuhi udara, saling bertumpuk dan susul menyusul.

Semua brangkar yang ada di sana ditempati oleh masing-masing satu orang, terbaring lemah dengan napas yang tidak teratur. Beberapa menderita mengi, ada pula yang merintih kesakitan. Tenaga medis dengan pakaian serba putih yang dilengkapi dengan masker dan penutup kepala berjalan cepat ke sana kemari. Semuanya tampak sibuk, membuat ruangan putih ini terasa lebih dingin dan mencekam dari biasanya. Bisikan pria dan wanita bergaung di udara, susul menyusul dan pada akhirnya bertumpuk, membuat suara denyut dari mesin elektrikardiograf tidak terdengar lagi.

You are a gift.

You can save us.

You are a gift.

You can save us, right now.

Chloe Wilder membuka kedua mata. Tubuhnya tersentak akibat terbangun secara tiba-tiba. Jantungnya berdebar cepat, napasnya memburu, peluh membanjiri dahinya. Dalam posisi berbaring, gadis itu melihat langit-langit putih bersih yang sama dengan pertama kali ia membuka mata. Punggung tangan kanannya terasa berdenyut. Ketika Chloe mengangkatnya, ada jarum infus di sana. Aneh, bukankah ia sudah mencabutnya beberapa saat yang lalu?

"Ah, kau sudah bangun."

Suara lembut dari seorang wanita membuat Chloe menoleh. Di samping brangkar, Hannah Quinn duduk di kursi, lengkap dengan pakaian perawatnya. Ia menyerahkan segelas air mineral pada Chloe.

"Hannah?" tanya Chloe lemah. Ia berusaha duduk tegak dengan sisa tenaganya. Jika dibandingkan beberapa saat lalu, tubuhnya sudah lebih bertenaga. Chloe mengambil gelas itu, kemudian meminum isinya. Ia melirik sekitar. Ruangan di mana ia berada sekarang berbeda dengan mimpinya. Meski begitu, suasanannya mirip. Bulu-bulu halus di leher dan lengannya berdiri akibat hawa dingin yang menusuk.

"Seharusnya kau tidak mencabut infus dan memaksakan diri untuk berjalan. Efek Ketamin dalam tubuhmu belum sepenuhnya hilang." Hannah kemudian berdiri, mengambil sesuatu dari dalam lemari tinggi di sudut ruangan, kemudian berjalan kembali ke brangkar di mana Chloe berbaring. "Boleh pinjam jarimu?"

Chloe menurut saja. Ia menyerahkan tangan kanannya. Hannah memasang oximeter di telunjuk gadis itu. Setelah angka yang tertera di layar keluar, Hannah melepasnya. Ia tersenyum puas dan mengangguk ketika melihat hasilnya. Perawat wanita itu mengambil papan klip yang terbuat dari kayu, kemudian menuliskan sesuatu di atas kertas yang dijepit di sana. Chloe yang masih setengah linglung menatap kosong Hannah yang sedang mengecek seluruh tanda-tanda vitalnya. Tatapannya sayu.

"Berapa lama aku ada di sini?" tanya Chloe.

Hannah mengedikkan bahu. "Sekitar ... dua belas jam?"

"Apa yang terjadi? Mengapa bisa kau ada di sini?" lirih Chloe.

Hannah meletakkan papan klip di atas nakas, kemudian kembali duduk di kursi dan meraih tangan Chloe, mengelusnya lembut. "Aku benar-benar minta maaf, Chloe. Mereka memperlakukanmu dengan tidak menyenangkan."

Chloe menggeleng pelan sambil meletakkan gelas di atas nakas. "I don't understand ...."

"Kami ingin mereka membawamu dengan damai, tapi yang terjadi malah sebaliknya."

Chloe bergeming, berusaha meresapi perkataan Hannah. Kemudian, kilasan peristiwa terlintas di kepalanya. Chloe ingat segalanya. Ketika sedang menelepon Dylan, seseorang menariknya dengan kasar, menghalangi pandangan dan menutup mulutnya. Kemudian ia dibaringkan di tempat ini dan seseorang menyuntiknya dengan cairan yang Hannah sebut-sebut sebagai Ketamin. Kedua matanya membola, menatap teman sekamarnya horor.

"Apa yang kau lakukan padaku?" desis Chloe.

"Kami mengambil sampel darahmu." Hannah menjawab dengan jujur. "Hanya darahmu, untuk sekarang."

"Kau mengambilnya tanpa izinku? What the hell, Hannah! I trusted you!" bentaknya. "Siapa yang kau sebut 'kami'? Apa yang akan kalian lakukan pada darahku?"

Hannah mendesah pelan. Ia mengusap wajahnya kasar. Setelahnya, gadis itu menatap kedua manik hazel Chloe, tatapan penuh penyesalan, lalu menggeleng pelan. "Ini demi kebaikan kita semua. Kau bisa menyelamatkan kami semua, Chloe."

Ketika sadar dirinya diperlakukan seperti tikus laboratorium, dengan segera Chloe mengambil papan klip kayu di atas nakas dan mengayunkannya ke wajah Hannah. Perawat itu menjerit kesakitan. Akibat kehilangan keseimbangan, Hannah jatuh dalam posisi terjungkal ke belakang bersama kursi yang didudukinya. Untuk kedua kali, Chloe mencabut infus di punggung tangannya dan berteriak, kemudian mengeraskan rahangnya untuk menahan perih. Dengan cepat ia melompat dari atas brangkar dan menghampiri Hannah.

Perawat itu berusaha bangun dengan mencengkeram paha Chloe, tetapi Chloe lebih dulu menendang hidungnya dengan lutut. Ketika Hannah fokus akan rasa sakitnya, Chloe mencabut ID tag yang digantung di seragam gadis itu dan berlari menuju pintu otomatis. Meskipun tertatih-tatih, setidaknya tubuh Chloe tidak selemah ketika pertama kali mencoba kabur.

Sambil mengerang dan menahan nyeri di seluruh tubuh, Hannah berusaha bangun. Ia menyeka darah yang ada di hidungnya. Perawat itu bangkit, menjadikan besi di sisi brankar sebagai tumpuan untuk berdiri. Dengan sisa tenaganya, ia menekan tombol nurse call di dinding atas brankar dan berteriak di depan microphone. "Subjek berusaha melarikan diri!"

"Shit, shit, shit," umpat Chloe ketika sampai di depan pintu dan menempelkan ID tag milik Hannah di mesin pemidai kartu. Tidak kunjung terbuka, gadis itu membolak balik posisi kartu. Chloe menoleh ke belakang, kemudian semakin panik ketika pandanganya bertemu dengan Hannah yang mulai bergerak untuk menangkapnya. Pada akhirnya, pintu otomatis terbuka dan Chloe menghambur keluar.

Dengan langkah gontai dan napas memburu, Chloe berjalan cepat menelusuri lorong yang dingin. Di depannya, tepat di persimpangan lorong, terdengar derap langkah kaki. Kemudian, seorang perawat laki-laki berbelok dan berlari ke arahnya. Chloe mengerem langkahnya, kemudian memutar badan dan berlari ke arah sebaliknya. Sayangnya, dari arah berlawanan pun jalannya terhalangi oleh perawat pria yang lain.

"Shit, shit, shit, shit, shit," umpat Chloe. Gadis berambut merah itu berhenti berlari, menoleh ke depan dan belakang. Chloe tidak tahu apakah tubuhnya sudah kuat untuk berkelahi atau belum, tetapi ia tidak memiliki cara lain. Perawat pertama yang tubuhnya paling kurus berusaha menangkap Chloe, tetapi gadis itu merunduk dan meninju ulu hatinya. Ketika pria itu lengah akan rasa sakitnya, Chloe berputar 360 derajat, menendang kaki perawat itu hingga limbung dan jatuh. Punggung dan kepala belakangnya mengenai lantai, pria itu meringis.

Chloe berputar, hendak melawan perawat lain yang tubuhnya lebih berisi. Ketika melihat Chloe memasang kuda-kuda untuk melawan, perawat itu refleks meninju pipi bawah Chloe cukup keras. Gadis itu menjerit dan berjalan mundur ketika bagian dalam bibirnya mengenai gigi. Ia memegangi mulutnya yang terasa amis.

Ketika melihat darah di bibir Chloe, perawat yang tidak memiliki dasar ilmu bela diri itu panik. "Astaga, aku pasti dipecat!" cicitnya. Tentu saja, ia diperintahkan untuk menangkap subjek, bukan melukainya.

Chloe menatap lawannya tajam, kemudian menggeram, "Kau tidak boleh memukul anak perempuan!"

Chloe maju, meninju rahang perawat kedua. Dengan tangan yang lain, ia meninju pria itu tepat di hidungnya. Setelahnya, ia menendang selangkangan si perawat. Erangan kesakitan memenuhi udara. Perawat itu bersimpuh di lantai, tidak mampu berdiri lagi.

Perawat kurus yang pertama menangkap gadis itu dari belakang. Untuk melepas tangan yang melingkar di tubuhnya, Chloe membuat momentum antara kaki dengan lantai. Pria itu sedikit sulit menyeimbangkan tubuh akibat serangan yang sebelumnya, sehingga ketika Chloe mendorongnya ke belakang, pria itu dengan mudah terhuyung ke arah tembok. Ketika punggung perawat itu beradu dengan tembok, Chloe menyundul kepalanya. Erangan menyakitkan memenuhi udara ketika kepala belakang pria itu membentur permukaan yang keras, cengkeramannya lepas. Belum selesai sampai di situ, Chloe berputar dan menyikut rahangnya. Sedetik kemudian pria itu ambruk tidak sadarkan diri.

Chloe berbalik dan hendak berlari. Namun, langkahnya terhenti ketika Hannah sudah berada di hadapannya. Ia mengarahkan stun gun ke perut Chloe. Segalanya terjadi begitu cepat, belum sempat Chloe menghindar, kejutan listrik sudah lebih dulu melumpuhkannya. Chloe menjerit kesakitan, pandangannya kabur, tubuhnya ambruk seketika. ID tag milik Hannah terlepas dari genggamannya.

Dalam posisi telentang, Chloe merintih dan berusaha bangun, tetapi tubuhnya enggan diajak bekerja sama. Gadis itu memandang Hannah dengan tanda tanya besar di kepalanya.

"Why?" bisik Chloe.

Hannah menggigit bibir, kemudian menggeleng pelan. "Asal tahu saja, ini semua bukan karena aku benci padamu." Kemudian ia kembali mengarahkan stun gun ke perut Chloe, lalu memungut ID-nya di lantai. Sekali lagi, gadis berambut merah itu merasakan sengatan listrik yang begitu menyakitkan. Tidak kuasa menahan nyeri, tubuhnya kembali ambruk, kesadarannya kian menurun. Pada akhirnya, Chloe kehilangan kesadaran sepenuhnya.

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

20 Juni 2022

*****

Long time nggak updateee😭🙏 Aku kehabisan tabungan draft dan perlu ngerombak phase 4 karena ngerasa stuck dan nggak sreg sama alurnya. Tapi sekarang udah ada pencerahan dan bisa ngetik sedikit demi sedikit.

Dengan berakhirnya part ini, berakhir juga phase 3 Avenir: Redemption!✨

Siap-siap di phase 4 bakalan banyak action-nya dan ngebahas sesuatu yang agak 'berat' (soalnya aku yang ngetiknya aja berasa emotionally drained lol). Sampai jumpa minggu depan dan sampai berjumpa di phase 4~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro