3-1 | Reunion [Part 1]
"You are the sister I never had."
Chloe Wilder membuka pintu kamar dan melangkah masuk, diikuti oleh pemuda yang baru saja dilawannya. Quentin berjalan menuju ranjang bertingkat dan mendaratkan bokongnya di tepian matras bagian bawah ketika gadis berambut merah itu menutup pintu. Chloe menarik kursi kayu yang terletak di ujung ruangan, membawanya ke depan ranjang untuk duduk. Kini, keduanya saling berhadapan.
"Explain." Chloe menekan ucapannya.
"Fine." Quentin mencebik sambil mengangkat kedua alisnya. "Kau ingin aku mulai dari mana?"
Alih-alih menjawab, Chloe beranjak dari kursi dan bergerak menuju ranjang, kemudian menghujamkan bogem mentahnya berkali-kali pada Quentin. Pemuda itu menjadikan kedua tangannya sebagai perisai.
"Hei!" seru pemuda itu.
"Kau kecoak pirang menyebalkan!" sembur Chloe.
"What?" Quentin ingin protes, tetapi Chloe tidak memberinya kesempatan berbicara. Pemuda itu terlalu sibuk melindungi tubuh dari pukulan.
"Di mana kau selama ini? Mengapa kau tidak membalas surelku dan malah langsung datang ke sini? Mengapa kau menendangku di koridor? Mengapa kau berpakaian seperti ini?" bentaknya dengan pertanyaan bertubi-tubi, kemudian ia melayangkan tinjunya lagi, tetapi dengan tenaga yang lebih besar. "Mengapa tidak bilang kalau kau masih hidup? Aku bertengkar dengan Dylan karena kau!"
Quentin menangkap kedua pergelangan Chloe untuk menghentikan pukulan. "Jeez, just calm down, okay? Let me explain!" serunya.
Chloe berhenti memukul dengan tangan yang masih terkepal, kedua netranya menatap Quentin tajam, rahangnya mengeras. Perlahan, napasnya yang memburu kini menjadi lebih stabil. Setelah gadis itu tenang, Quentin melepas cengkeramannya. Chloe mundur, kemudian kembali duduk di kursi.
"Pertama, ini penyamaran." Quentin mencubit seragam petugas kebersihan yang dikenakannya.
"Why?" desis Chloe.
"Kau menghilang di akhir tahun 2020 dan Moorevale gempar kala itu. Nama Theo Wilder tercemar dan saham perusahaan ayahmu anjlok!"
"Good for him," ucap Chloe santai. Ia melipat kedua tangan di dada dan bersandar di kursi sambil bertumpang kaki.
Quentin mengernyit. "What's with you with that freaking billionaire?"
"Aku tidak ingin membahas soal ayahku sekarang, jadi kita kembali ke topik semula. Mengapa kau berpakaian seperti petugas kebersihan?" tanya Chloe.
"Oke, sampai di mana kita tadi?" Quentin menjeda ucapannya. "Yeah, intinya, kau menghilang sejak akhir 2020 bersama Dylan. Aku mencarimu ke mana-mana, seperti aku mencari ayahku. Hingga satu bulan yang lalu, aku menerima surel darimu.
"Kau baru mengabariku empat tahun kemudian dan bahkan aku tidak percaya itu kau! Maksudku ... aku sempat menganggap kau dan Dylan sudah mati." Quentin berdecak, kemudian menunduk dan menggeleng pelan. "I dunno, aku benar-benar tidak mau berekspektasi banyak sejak tragedi di Portland. Mungkin saja kau sudah bernasib sama seperti ayahku. Ditambah lagi, perang nuklir itu telah terjadi."
"Dan tetap tidak menjelaskan mengapa kau berpakaian seperti petugas kebersihan," sanggah Chloe.
"Karena aku tidak percaya itu kau, aku melacak dari mana asal surel tersebut, dan kemudian menemukan tempat ini," jawab Quentin, "aku berpura-pura menjadi penyintas yang membutuhkan uang dan mereka mempekerjakanku sebagai petugas kebersihan. Aku juga membuat identitas palsu."
"You made a fake ID?" tanya Chloe kesal, suaranya meninggi.
"Yeah, kau mau lihat?" Quentin melepas ID tag di seragam petugas kebersihannya, lalu menyerahkannya pada Chloe.
Wajah Chloe merah padam ketika melihat ID tag palsu milik Quentin. Ia merasa sangat kesal, tetapi ingin tertawa secara bersamaan ketika melihat nama yang tertera, begitu pula dengan foto Quentin yang berambut pirang. "Sakaguchi Kento? Siapa orang bodoh yang percaya pada identitas palsumu?"
Quentin mengedikkan bahu. "Well, petugas di fasilitas ini percaya."
"Just ... why?" tanya Chloe. "Mengapa kau mengganti namamu? Jelas saja ...." Suaranya semakin pelan. Gadis itu bergeming sejenak, mengembuskan napas berat, kemudian menunduk sambil mengusap wajah. Ya, jelas saja Davis tidak bisa menemukannya.
"Aku perlu menyelidiki fasilitas ini."
Chloe mendongak, tertawa hambar. "Mengapa kau harus menyelidiki fasilitas ini? Ini milik pemerintah!"
"Our government is trash, remember?" ujar Quentin.
"Yeah, maksudku, aku aman di tempat ini. Aku bahkan tidak perlu mengeluarkan uang untuk makan dan minum."
"Masih tidak mengurangi niatku untuk menyelidiki tempat ini." Quentin bersikeras. "Dan ya, itu kesimpulannya. Selama dua minggu ini, aku sudah bekerja sebagai petugas kebersihan sambil mengamati keadaan sekitar."
Chloe mengembuskan napas berat sambil memijat pelipisnya. "Lalu jika kau sedang menyamar, mengapa kau sampai harus menendangku?"
"Kau mencekikku duluan!" protes Quentin.
"Itu tidak akan terjadi jika kau datang menghampiriku tanpa harus bersikap mencurigakan!" seru Chloe.
"Kau lari dariku! Lalu, apa yang harus kulakukan? Memanggilmu di depan semua orang? Itu akan menarik perhatian! Lagi pula, sekarang ini aku adalah petugas kebersihan!" Quentin balas berseru.
Chloe tidak menjawab lagi. Ia mendesah pelan, kemudian bergeming beberapa saat. Tidak ada yang berbicara kala itu.
"Lalu, sebelum kau datang ke sini, di mana kau berada? Apa kau kembali ke Jepang?" tanya Chloe, kali ini dengan nada yang lebih tenang, "aku tahu kau sempat punya akun Instagram."
"Yeah, aku menonaktifkannya setelah bom nuklir itu dijatuhkan," jawab pemuda berambut pirang itu, "aku menetap di Portland selama dua tahun ini. Kota itu dikategorikan sebagai zona hijau dan kurasa itu satu-satunya tempat yang layak untuk ditinggali."
"Kau tinggal di dalam bungker?" tanya Chloe lagi. Quentin menjawab dengan anggukan. "Apa kau ... tidak sedih ketika melihat makam ayahmu di sana?" Gadis itu kembali bertanya.
"Justru itu bagus. Aku bisa datang ke makam ayahku setiap bulan tanpa harus repot-repot." Pemuda itu tersenyum simpul. "Lagi pula, aku jadi merasa lebih dekat dengannya."
Chloe mengangguk pelan. Pandangannya menerawang ke lantai kamar. Karena percakapan barusan, gadis itu jadi merasa canggung. Keduanya lagi-lagi diliputi keheningan yang panjang.
"Bagaimana denganmu?" Quentin kembali membuka percakapan.
"Aku?"
"Kau menghilang di akhir tahun 2020. Ke mana kau dan Dylan pergi?"
Chloe memalingkan tatapan. "Aku dan Dylan pergi ke dunia portal dan terjebak di dalam sana."
Quentin mengernyit. "Mengapa kau pergi ke sana?"
"Malam itu Homecoming diadakan, Dylan menciumku, dan ...." Chloe memainkan kuku-kuku jarinya. Kedua pipinya memanas. "Rasanya kami berdua ingin menghilang dari hadapan semua orang." Gadis itu melirik Quentin malu-malu. "Please don't judge us."
Pemuda bermata sipit itu mengedikkan bahu. "Mengapa aku harus menghakimi keputusan kalian?"
"Kami melakukan hal bodoh karena kupu-kupu di perut kami sedang beterbangan."
Quentin menggeleng pelan. "Orang-orang bisa melakukan hal gila ketika sedang jatuh cinta." Kemudian ia tersenyum. Ya, pemuda itu tahu persis bagaimana rasanya, ketika banyak kupu-kupu menggelitik dinding perutnya untuk yang pertama kali, sebuah perasaan menyenangkan yang tidak mungkin ia lupakan.
"Aku dan Dylan tidak berniat menetap di sana selama itu." Chloe kembali menjelaskan. "Kami berniat kembali dan memutar waktu ke malam Homecoming dengan smart watch milik Sean, tetapi partikel di dalam tubuh kami tidak membiarkan kami pulang."
"Why?"
"Karena Kota Moorevale sudah dipenuhi partikel radioaktif dan kami bisa saja mati jika kembali ke sana? Benda kecil itu melindungi kami." Chloe mengedikkan bahu. "Hanya teoriku dan Dylan, tapi itu lumayan masuk akal."
"Partikel yang sangat pintar." Quentin mengangguk berkali-kali. Sedetik kemudian, kedua netranya menyipit. "Anyway, where's Dylan?"
"We had a fight," jawab Chloe, "kurasa ia sudah kembali ke kamarnya."
"Oh, jadi ia menetap di fasilitas ini juga?" Quentin mengedarkan pandangan ke seluru penjuru kamar, lalu menghirup wewangian yang cukup feminin, seperti aroma bunga dan vanila. "Lalu, dengan siapa kau tinggal?"
"Dengan salah satu perawat perempuan yang bekerja di fasilitas ini."
Quentin mengangguk singkat, pandangannya tidak lepas dari sepasang iris hazel milik Chloe. Tanpa sadar, senyumnya mengembang.
Chloe mengernyit ketika melihat tatapan itu. "What?"
"It's nice to see you again." Quentin berucap lirih. "Aku benar-benar tidak menyangka kau masih hidup dan menetap di fasilitas ini. Kalaupun kau hidup, anak orang kaya sepertimu rasanya tidak mungkin menetap di pengungsian seperti ini. Mungkin ... keluarga Wilder akan mengungsi ke luar negeri?"
"Yeah, ucapanmu ada benarnya, keluargaku mungkin mengungsi ke tempat yang jauh." Chloe melirik Quentin sambil tersenyum simpul. "Selama tinggal di fasilitas ini, aku menggunakan nama margamu."
Quentin mengernyit. "Ryouta adalah marga orang Jepang dan kau bahkan punya lipatan mata!"
"Aku tidak mau semua orang tahu bahwa aku seorang Wilder," respons Chloe, "it's complicated, but ... aku tidak ingin ayahku tahu keberadaanku. Terlebih lagi kau bilang bahwa nama Chloe Wilder sempat ramai di tahun 2020, 'kan?"
Quentin mengedikkan bahunya cuek. "Yeah, dan semua orang akan bertanya-tanya bagaimana bisa dua saudara dengan etnik yang berbeda memiliki nama marga yang sama."
"Aku juga sempat menyangka kau telah tiada akibat serangan nuklir itu." Chloe bergeming, Ia menunduk, memainkan kuku-kuku jarinya. "I saw you die in my dream. Radiasi membakar tubuhmu, membuatmu memuntahkan darah. Aku juga melihat Kelsey di sana."
"Aku juga melihat seseorang menikam perutmu di dalam mimpiku," ujar Quentin, membuat Chloe mendongak. "Saat terbangun, aku benar-benar kalut. Aku menyesal telah mengabaikan surelmu. Saat kau dinyatakan hilang, aku merasa tidak akan bisa bertemu denganmu lagi dan rasa sesalku kian membesar." Pemuda itu menjeda perkataannya. "Seseorang menyadarkanku bahwa aku benar-benar peduli padamu. You are the sister I never had, Chloe," lirih Quentin.
Chloe tersenyum simpul, kedua netranya memburam akibat air mata. Ada rasa sesak di dadanya, tetapi bukan kesedihan yang gadis itu rasakan, melainkan kelegaan yang luar biasa. Seluruh tubuhnya menghangat, merasa sangat bersyukur masih ada seseorang yang begitu memedulikannya jauh dibandingkan keluarganya sendiri.
"Please don't cry. You will make me cry too," celetuk Quentin.
Mendengarnya, Chloe tertawa, diikuti oleh Quentin. Gadis itu mengerjap, kemudian mengusap air matanya dengan kedua tangan. Setelah tawa mereka mereda, adik dan kakak yang tidak memiliki hubungan darah itu diliputi keheningan yang damai. Pandangan mereka bertemu, disertai dengan senyum yang begitu hangat. Keduanya menjadi rileks ketika hormon bahagia membanjiri tubuh.
"Berjanjilah untuk tidak lagi melakukan hal bodoh bersama Dylan. Tidak, kau boleh melakukan apa pun, tapi jika itu hal yang bodoh, setidaknya biarkan aku mengetahuinya," tegas Quentin.
"Wow, you're such a bossy big brother," sindir Chloe.
"I take it as a compliment." Quentin tersenyum.
Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
1 Februari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro