Sulit untuk Dijelaskan
Kami kedatangan guru lain di kelas pagi itu. Dia adalah seorang wanita paruh baya dengan pembawaan ramah dan lembut. Namanya Ashleigh. Pelajaran yang ia bawa juga sedikit berbeda bahkan dia membagi kelas menjadi khusus perempuan di jam pertama dan khusus laki-laki di jam kedua.
Aku tak tahu apa tujuan dia melakukannya sampai kami menerima pelajaran yang dia bawa. Itu adalah sesuatu yang disebut pendidikan seks. Aku pernah dengar bahwa para orang tua zaman dahulu menganggapnya hal tabu untuk dibicarakan. Namun, kata Ashleigh, pendidikan ini justru sangat penting bagi perkembangan anak terutama yang sudah beranjak remaja.
Aku tak terlalu merisaukannya dan hanya duduk menyimak. Para pemuda yang lain mungkin agak tegang atau kadang tertawa—Morderoy salah satunya. Entah apa yang sangat lucu. Namun, pembahasan itu menjadi rumit saat Ashleigh berkata, "Jika ada dari kalian yang tertarik pada seseorang, tak perlu malu atau menutupinya. Ketahuilah bahwa itu wajar."
"Tapi, siapa yang bisa kami sukai ketika tidak banyak anak gadis di sini?" Morderoy menaikkan alisnya seperti menantang. "Mereka semua sudah mati."
Kelas menjadi hening. Ashleigh pun tercengang sebelum ia berdeham dan berpikir agak lama. "Apa kau hendak menyukai banyak gadis sekaligus?"
Seisi kelas tertawa. Wajah Morderoy segera berubah merah dan tampak akan meledak. "Bukan seperti itu!"
Ashleigh tersenyum. "Kau pasti akan menemukan gadis yang tepat jika tiba waktunya. Tanda kalian mencintai seseorang adalah ketika kalian ingin terus bersamanya. Memberikan segalanya. Melindunginya."
"Tetapi, ingat." Ashleigh kembali mengetuk papan tulis dengan ujung spidol. "Ketahui batas di mana kalian boleh berbuat dan jangan melewatinya."
[]
Aku sedang menyusun kotak terakhir di pondok utama ketika seseorang datang. Kyra membawa sebatang cokelat dan berkata bahwa itu untuk kerja kerasku. Aku terdiam sejenak sebelum menerimanya dengan gelisah.
"Bagaimana pendapatmu tentang guru baru itu?" tanya Kyra saat kami duduk di bangku panjang. Uap mengepul setiap kali kami bicara.
"Kelihatannya baik."
"Dan ...?"
"Dan?"
Kyra menghela napas. "Kau sungguh tidak ingat? Itu Bibi Ash. Istri Paman Cal. Dia sudah mengenalimu sejak awal dan kau sama sekali tidak? Bayangkan perasaannya setelah kelas tadi."
"Dia tak menyapaku secara khusus." Aku terpegun. "Tapi, dapat kurasakan memang ada sesuatu yang berbeda. Kau tahu, setiap keluarga seperti punya ikatan tak kasat mata yang mengoneksi diri mereka."
"Aku tahu." Kyra terdiam cukup lama seolah tenggelam dalam pikirannya. Apa yang dia pikirkan? Mengapa dia memberiku semua perlakuan ini? Kyra pernah bercerita bahwa dia masuk di Orgon's Sekolah dan Asrama Putri. Itu adalah sekolah khusus tata krama yang kebanyakan diisi oleh anak-anak bermasalah.
Ada.
Memang ada sebenih masalah dalam diri Kyra yang kupikir belum juga dienyahkannya. Sekolah privat itu sama sekali tak membawa perubahan signifikan.
"Kyle," panggilnya. Suara Kyra rendah dan dalam. "Apa kau akan selalu memaafkan—segala hal—yang telah terlewati? Di masa lampau?"
Aku terdiam sebentar tanpa menoleh ke arahnya. Aku berpikir cukup keras dan Kyra menunggu dengan sabar. Sampai akhirnya, aku merasa seperti ada banyak beban yang menggantung dan perlu dilepas. Biarkan mereka menguap seperti air-air kolam di musim panas. Biarkan mereka diganti oleh air segar yang baru turun dari langit. Setiap orang punya kesempatan.
Setiap orang boleh mencoba dari awal, bukan?
"Ya," kataku. "Akan kumaafkan."
Lalu, kusadari bahwa Kyra sedang menangis ketika menangkupkan kedua tangan di wajahnya.
[]
Entah apa yang terjadi padanya dengan anak-anak di kelas, tetapi dia terus merengut bahkan tak mau membuka mulut. Makanan di hadapannya pasti akan segera beku jika tidak disantap walaupun kami berada di dalam tenda. "Edith, makan sekarang," titahku.
Dia menggeleng.
"Ada apa?" Aku mendekat dan menyelipkan helai rambutnya ke balik telinga. "Makan sekarang atau akan menyuapimu seperti bayi."
Dia diam saja.
"Kalau begitu, kau bayi." Aku menyendok sup dan menahannya di depan mulut Edith. Sup itu sangat panas di awal, namun semakin menjadi hangat seiring waktu. Aku mencontohkan agar ia membuka mulut. "Aaa."
Dia melirikku sekilas dan membuka mulutnya. Begitulah suapan pertama untuk makan siang berhasil Edith telan. "Kau mengambil kesempatan, ya? Kau sengaja karena mau disuapi."
Edith hanya mengunyah di balik syalnya yang menutup setengah wajah tanpa menggubris. Dia menurunkan syal itu setiap kali menyuap sendok lalu menaikkannya lagi. Aku terus memandangi Edith, berpikir bagaimana mungkin Tuhan menciptakan makhluk yang memesona ini? Dia menyesap air hangat dan mengelap mulut dengan tisu setelah selesai. Anak-anak lain sudah selesai sejak tadi dan meninggalkan kami berdua.
"Apa perasaanmu sedang buruk?" tanyaku.
Edith menggeleng. "Tidak lagi. Kyle sudah datang."
Aku tertegun dan mendekat. "Perasaanmu jadi lebih baik setelah ada aku? Sungguh?"
Edith mengangguk.
"Kalau begitu perasaanku berkali-kali lipat membaik setelah bersamamu." Aku mengelus pipinya dan menyentuh dagunya agar sedikit mendongak kepadaku. "Apa kau mengerti sesuatu, Edith? Aku tak bisa menjelaskannya padamu. Mungkin kau terlalu muda. Mungkin aku pun tak ada bedanya. Tetapi, kuharap kau mengerti."
Iris mata zamrud itu lurus menatapku, berbinar diterpa cahaya yang masuk dari celah jendela. Namun, tidak terdapat apa pun di sana. Hanya tatapan bingung yang menuntut penjelasan lebih. Apa bahkan dia butuh penjelasan? Aku sendiri membutuhkannya. Aku mengingat kata-kata Ashleigh. Tanda kalian mencintai seseorang adalah ketika kalian ingin terus bersamanya. Memberikan segalanya. Melindunginya. Tetapi, ingat. Ketahui batas di mana kalian boleh berbuat dan jangan melewatinya.
Apa—dan di manakah batas itu? Mengapa harus ada batas? Kapan hal ini menjadi tidak terbatas?
"Kyle?"
Aku berhenti dan tersadar. Wajahku semakin dekat dengannya. Aku menggeleng dan menarik diriku pergi keluar tenda. Aku bersumpah akan terus melindungi Edith dan tidak akan melakukan hal-hal buruk padanya. Semua itu karena aku menyayangi Edith. Dia satu-satunya bagiku.
Andaikan dia mengerti penyebab aku pergi saat itu juga dan meninggalkannya dalam kebingungan. Kuharap dia tidak marah. Kuharap dia mengerti.
Tetapi, apakah mungkin?
Aku melintasi pengungsian semakin ke belakang seperti tanpa arah. Aku selalu tak punya arah. Hanya berjalan, mengikuti ke mana kakiku bergerak selama tanah itu masih bisa dipijak. Sampai akhirnya aku menemukan ceruk-ceruk di tebing batu dan memanjatnya. Duduk di pinggir sana sambil memandang ke langit. Merutuki diriku. Lama-lama, dingin ini tidak lagi mengganggu.
"Kyle?"
Sebuah suara dari bawah membuatku menunduk. Di sana tegak seorang wanita paruh baya yang sedang membawa lentera dan kotak bekal. Ashleigh melambaikan tangannya. "Apa yang kau lakukan di tempat tinggi itu? Turun dari sana!"
"Mengapa?"
"Karena berbahaya." Ashleigh menggeleng. "Kau pikir aku tidak tahu insiden dua anak lompat dari loteng rumahnya?"
"Aku tidak sebodoh itu lagi—mungkin."
"Tetap saja berbahaya—ah!" Ashleigh terkejut saat ada serpihan batu bersalju jatuh dari pinggir tebing tempatku duduk. "Kyle, sungguh. Dengarkan aku atau kau bisa terluka. Kau tak bisa berbuat apa-apa saat terluka."
Aku tidak ingin tak bisa berbuat apa-apa.
Akhirnya, aku kembali ke bagian tebing tempatku memanjat dan berangsur turun. "Kenapa Bibi bisa sampai ke sini? Ini jauh dari pengungsian."
"Aku hendak ..." Ashleigh melirik sekilas pada barisan pohon yang berdempet dengan palang kayu besar sebelum beralih padaku, "... menemui seseorang."
Ia melanjutkan. "Seharusnya aku yang bertanya pada anak muda sepertimu. Apa yang kau lakukan di atas sana?"
"Mencemooh diriku."
"Mengapa?" Ashleigh duduk di sebuah batang kayu besar dan meletakkan barang-barang di samping. Aku ikut duduk di sebelahnya saat ia menyuruh.
"Bibi, apakah mencintai seseorang itu berbahaya?" tanyaku sambil merapatkan mantel. "Aku takut menyakiti seseorang yang kucintai. Aku merasa buruk."
"Cinta adalah karya paling indah dari Tuhan, Kyle. Tidaklah berbahaya," kata Ashleigh. "Selama kau memupuknya dengan benar hingga ia tumbuh sempurna."
"Aku kembali berpikir tentang apa yang Bibi sampaikan di kelas. Dulu sekali, Ayah dan Ibu juga pernah mengajariku walaupun aku tak terlalu mengerti. Sekarang aku merasakannya."
"Semua adalah lumrah." Ashleigh tersenyum. "Jika kau tak keberatan, bolehkah aku tahu siapa gadis beruntung yang mendapatkan cintamu itu?"
"Bibi tahu aku tak akan mengutarakannya."
Ashleigh tertawa ringan. Dia bangkit kembali dan menepuk pundakku. "Siapa pun dia, aku harap kau menjaganya dengan benar tanpa perlu khawatir, Kyle. Dia tak akan pergi ke mana pun selama dia benar-benar takdirmu. Jika tidak, maka Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik."
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro