Pahlawan Kesiangan
"Perhatian bagi seluruh penduduk yang selamat. Keadaan telah diamankan dan mobil siap angkut menuju pengungsian tersedia di seluruh bagian kota. Harap warga sekitar Perumahan Pegawai Negeri bisa datang kemari. Kami tunggu hingga pukul dua belas."
Bunyi pengeras suara itu membangunkanku dengan keterkejutan. Aku menggoyangkan pundak Edith yang masih terlelap. "Edith, dengar itu. Ada orang dan bukan kerusuhan."
Pengumuman terus berlanjut. Mereka mengimbau agar kami bisa keluar dan mendatangi mobil angkut yang tersedia, tak cukup orang untuk harus mengetuk ke setiap pintu. Penuturannya memang benar. Keadaan semakin buruk sejak Hari Pembantaian dan badai salju nonstop. Listrik tak pernah menyala lagi, pasokan makanan menipis, dan hewan buas mulai berkeliaran ke kota saat malam.
Aku dan Edith segera berjinjit di depan jendela, mengintip keluar.
"Siapa mereka?" tanya Edith.
"Apa kamu tahu Avatar: The Legend of Aang? Pakaian mereka seperti suku Air."
Edith menggeleng, antara tidak mirip atau tidak mengerti. "Pakaian eskimo."
"Itu pun benar."
"Kenapa harus mengungsi?" tanya Edith.
"Apa kamu tidak menyadari alasan kita harus berjinjit di atas bangku seperti ini?" Aku menerawang keluar jendela. "Salju sudah menutupi setengah rumah."
Edith menganga lebar dan itu membuatnya terlihat seperti anak bayi kejang.
Kami bergegas ke setiap ruangan dengan pintu keluar, namun tak bisa membuka. Pintu itu harus didorong dan bukan ditarik sedangkan gunung salju menghambatnya. Tidak ada cara lain. Aku menarik Edith menaiki loteng dan membuka jendela yang amat keras—sudah beku.
"Kita lompat," titahku.
"Edith belum punya sayap."
"Tak perlu sayap, hanya perlu intuisi. Sekarang perhatikan tanah salju yang akan kita jejak dan tutup matamu. Siap? Satu, dua ...."
"Ya Tuhan—jangan melompat sekarang!"
Aku tertegun melihat pria yang panik itu, namun kata tiga sudah meluncur dari mulutku seperti aku dan Edith meluncur menuju patah tulang.
[]
Para penyelamat datang berkelompok. Ada tim khusus yang menangani bagian medis sehingga aku dan Edith menjadi pasien pertama mereka. Setelah diperiksa dan diberi sedikit perawatan, kami diarahkan ke sebuah jip sedang. Duduk bersisian dengan tampang datar dan tangan digips. Edith merengut sejak tadi, barangkali menahan umpatan keluar dari mulutnya. Dia masih sangat kecil sehingga belum tentu tahu soal umpatan. Lebih baik tidak perlu tahu.
Seorang gadis sepantaranku duduk di kursi seberang. Dia tak berhenti memamerkan sederet gigi putih berkawat yang sepertinya dikira trendi.
"Halo. Aku Kyra," sapanya untuk yang ketiga kali hari ini. "Kalian diselamatkan Paman Callihan. Dia pamanku. Dia menyelamatkan banyak orang."
"Terima kasih, Paman," kata Edith yang merujuk pada Kyra.
"Dia bukan paman itu," bisikku. "Dia gadis yang punya paman yang menyelamatkan kita."
Kyra terus memerhatikanku dengan matanya yang berbinar dan membuatku tak nyaman. Wajah itu seperti terlalu bersemangat entah karena apa padahal dunia sedang gila.
Aku mengerut. "Apa kamu tak merasa dari tatapanmu keluar ulat yang menggerogoti kewarasanku?"
"Halo Kyle! Aku Kyra." Ia tersenyum lebar.
"Halo Kyra," sapa Edith pelan. Aku yakin bukan untuk balik menyapa, tetapi agar menuntaskan harapan Kyra akan jawaban kami. Agar dia berhenti menyapa kami dengan wajah riang mengerikan yang tak pantas dengan keadaan malang ini.
Jip mulai bergerak dan naik turun seiring jalanan bersalju yang penuh gundukan. Entah ada apa di balik gundukan-gundukan itu. Ketika jip menanjak, aku dan Edith jatuh ke kiri hingga saling tindih meskipun setidaknya Edith yang berada di atas. Aku tak akan lagi menindihnya seperti waktu itu. Kyra membantuku duduk kembali karena susah untuk bangkit dengan tangan digips, namun dia membiarkan Edith masih tersungkur.
"Edith!" panggilku.
"Oh, aku lupa." Kyra tertawa tanpa dosa dan membantu Edith duduk. Edith terus saja merengut seolah semua hal ini membuatnya sebal. Itu adalah kolaborasi antara wajah penggerutu kecil yang menggemaskan.
Setelah perjalanan yang cukup lama, jip mengerem tiba-tiba dan membuatku serta Edith terjengkang kembali tapi kami bisa mengatasinya sendiri. Kyra membantuku keluar dari jip walaupun lagi-lagi meninggalkan Edith.
Aku memekik, "Edith!"
"Oh, lupa. Kali ke dua." Kyra tertawa dan menggendong Edith turun. "Apa kamu bisa berjalan sendiri, Anak Kecil?"
"Tangan Edith yang patah, kaki Edith baik-baik saja." Edith menekuk alisnya.
Kami mengikuti rombongan ke arah pemukiman tenda yang ternyata berada di lembah gunung. Pada mulanya, kupikir Callihan dan kelompok itu sudah sinting karena—betapa rawannya jika bebatuan gunung tergelincir!? Namun, memang ada risiko lain yang mereka pikirkan jika orang-orang tetap tinggal di kota. Hewan buas itu sudah berani menerobos perumahan dan membabi buta.
Sambil berbaris menunggu giliran menulis data diri, dari kejauhan kota ada kelompok berseragam merah mengangkut sesuatu—sesuatu yang banyak—lantas memasukkannya ke truk. Baru kusadari bahwa sesuatu yang banyak itu adalah manusia: mayat yang terkapar dan terlempar ke mana-mana. Sucinya putih salju terciprat darah tak terkecuali. Aku bergidik ngeri.
"Kyra, ajak teman-temanmu makan," perintah pria tegap berkumis tipis yang menghampiri kami. Entah bagaimana dia mirip sekali dengan Ayah jika diamati lekat-lekat, namun aku tahu dialah pria yang meneriaki kami agar tidak melompat dari jendela sebelum ini.
"Iya, Paman."
"Kalian tidak lupa padaku 'kan? Orang yang terlambat menangkap kalian." Callihan tergelak paksa dengan penuh penekanan, menatapku dan Edith bergantian.
"Kamu anak perempuan kecil yang manis sekali, sayang agak sedikit lugu," tuturnya sambil mengacak-acak puncak kepala Edith. Anak perempuan itu cemberut dan tampak ingin menepis tangan Callihan.
Callihan beralih padaku dengan tatapan yang sulit dimengerti dan mengulum senyum. "Kyle, aku jujur saja rindu padamu. Banyak yang ingin kubicarakan—mungkin lain waktu. Omong-omong, aku turut berduka." Dia menepuk pundakku.
"Rindu? Aku?"
"Jangan bilang kamu melupakan pamanmu ini?" Callihan menghela napas. "Kuharap kamu mengingat-ingat kembali. Nah, aku permisi."
Aku mengerutkan hidung dan mengikuti gelagat dia—menggosok-gosok puncak kepala Edith—sebelum anak perempuan itu mencengkeram tanganku. Sepertinya dia sebal jika diperlakukan seperti anak bodoh yang tidak tahu apa-apa.
"Bagaimana cara memanggil pamannya Kyra?" tanya Edith.
Kyra menyengir. "Panggil Paman saja. Mari makan."
Bukankah Callihan akan kebingungan jika ada tiga bocah yang memanggilnya Paman sekaligus? Bagaimana jika tahu-tahu ia menggendong Edith dan bertanya, Kyra? Mengapa kamu tidak mengalami pertumbuhan? Atau yang lebih buruk jika dia menggendongku dan bertanya, Kyra, sejak kapan kamu jadi transgender?
Tidak, tentu tidak akan. Dia lebih pintar dari itu.
Kyra menggiringku dan Edith ke tenda yang kutebak milik keluarganya. Kami duduk di meja persegi dan aku mulai bertanya-tanya. Apa yang sedang kami lakukan di sini? Apakah ini—sebuah perlakuan edisi terbatas—bagi hanya teman dekat pemilik pengungsian? Aku menatap Edith berharap ia bisa membaca pikiranku, tetapi dia hanya menggeleng. Antara tidak tahu atau menyuruhku jangan mengatakan itu.
"Omong-omong, kalian pasti berkenan membantu Paman setelah dia menyelamatkan nyawa kalian 'kan?" tawar Kyra. "Orang-orang kuat yang tinggal di pengungsian harus siap bekerja."
"Nyawa kecuali tangan Edith," bisik Edith.
Aku menahan tawa. "Membantu dan bekerja apa?" tanyaku sambil menggigit roti selai persik yang Kyra sajikan.
"Menyortir pasokan kebutuhan pokok, menjaga keamanan pengungsi, pertukangan, mengontrol jatah, dan sebagainya."
Aku mengangkat bahu menandakan bahwa itu bukan hal berat. Maka, aku dapat ikut serta dalam membangun pengungsian ini setelah lenganku dan Edith sembuh nanti. Setelah makan ringan dengan obrolan singkat, Kyra mengajak kami berkeliling sedikit di sekitar pengungsian. Gadis itu memang sudah lebih dulu tahu tempat ini setelah mengikuti Callihan survei bersama kelompok penyelamat. Dia bilang lereng mereka cukup luas dan memiliki pembatas batu natural yang seperti pagar juga tak terjangkau binatang buas. Hanya ada satu daerah yang tidak boleh didatangi.
"Kalian lihat palang kayu di sana?" Kyra menunjuk ke tikungan di celah antara dua gunung yang terhalang pepohonan beku. "Jangan sampai kalian ke sana."
"Mengapa?" Aku menatap palang itu heran.
"Karena berbahaya. Yang terpenting adalah kalian selamat di pengungsian dan tak perlu menjelajah ke mana-mana. Paman dan kelompoknya belum menguasai seluruh bagian gunung."
Menjelang malam, pengungsian yang sibuk sehari penuh kini mulai lengang dan lega. Para penyintas badai salju dan Hari Pembantaian telah mendapatkan ruang mereka dalam tenda masing-masing, juga disertai perut yang kenyang. Di dalam tenda itu mereka saling merenungi hidup, memutar kembali ingatan sejak kiamat aneh melanda kota kami.
Tenda perempuan dan laki-laki dipisah kecuali anak kecil yang butuh pengasuhan sehingga Edith masih boleh tidur bersamaku. Dia memang tak ingin diasuh oleh beberapa perawat yang menurutnya terlalu tua. Kami berada di satu tenda bersama beberapa anak lainnya.
"Perawat itu orang tua, mereka tak bisa bermain." Dia mendadak bangun dan menghadapku. "Edith mau bermain."
"Kita akan main besok agak siang." Aku menggenggam tangan mungilnya. "Malam ini terlalu dingin untuk keluar."
Edith memeluk dirinya sendiri dan menggigil. "Di dalam juga dingin."
"Tidak jika bersamaku. Kemarilah!" Aku membuka tangan sebelum Edith merebahkan diri di sana. Tubuhnya yang lebih kecil sangat mudah untuk dipeluk seperti boneka. Aku tak pernah memeluk robot mainanku sebelum ini, mereka terlalu keras dan tajam. Rambut Edith lembut seperti gulali.
"Menurutmu tempat ini tidak buruk?" tanyaku.
"Tidak buruk."
"Kamu punya teman baru, ya?"
"Kyra teman Edith, tapi dia lebih senang pada Kyle."
"Dan aku lebih senang padamu." Aku mengetuk puncak hidung Edith. "Ada banyak orang untuk berteman. Tak perlu risau jika satu-dua orang tak menyukai kita."
"Orang-orang di sini orang tua," Edith berkata sedih. "Hanya sedikit anak yang mengerti betapa salju menyenangkan."
"Ya, orang tua hanya melihat dari sisi yang buruk. Tapi, Edith, sesuatu yang berlebihan memang tak pernah baik! Contohnya salju ini. Ini salju jahat. Ini salju pembawa kematian."
"Edith belum ingin mati. Kita belum bermain."
"Sudah, tidurlah. Seharusnya kita bicara hal yang menyenangkan saja sebelum tidur atau kita bisa bermimpi buruk."
Aku menerawang ke jendela tenda yang transparan. Di luar sana bulan menggantung rendah dan kesepian. Tak ada bintang. Hanya ada awan mendung. Bulir-bulir salju masih tersisa sedikit bagaikan taburan gula pada tahap akhir menghias kue. Aku memejamkan mata sambil terus mendekap Edith dengan erat. Meremas arloji pemberian Ayah yang terus kusimpan di dalam saku mantel.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro