Orang-orang Pengungsi
"Perhatian bagi anak-anak di bawah lima belas tahun, silakan berkumpul ke sini. Sekali lagi silakan berkumpul ke sini. Berbaris yang rapi sesuai usia kalian. Hei kau, Anak Muda, berapa usiamu? Empat belas tahun? Kau di sini. Tidak, bukan ke sana. Ya, temanmu juga."
Aku menekuk lutut di hadapan Edith. "Tampaknya kita harus berpisah dulu. Barisanku tidak sama dengan barisan bayi."
"Edith bukan bayi." Anak perempuan itu mengernyit. "Edith sudah besar dan pintar."
"Tentu, tentu kamu pintar bahkan bisa melebihiku." Aku menyeringai kecil. "Selama kamu menyukai Matematika dan bukan Bahasa karena aku lebih pandai dalam Bahasa. Aku membaca kamus. Kamu pasti tidak tahu?"
"Tidak ada anak yang membaca kamus."
"Kalau begitu kamu menemukan satu." Aku berdiri dan merapikan syal yang Edith kenakan. Syal yang kuberikan itu selalu tampak nyaris menenggelamkan wajahnya yang mungil dan merona. Jika aku juga memberikan kuplukku pada Edith, apakah bahkan ada bagian wajahnya yang masih bisa terlihat?
Setelah memastikan Edith bersama perawat sudah tenang di barisan, aku pergi mencari barisan anak-anak sepantaran. Aku bisa berhitung. Aku berada dalam kategori anak usia dua belas hingga lima belas tahun yang berkumpul di dekat pondok utama. Mereka sudah berdiri rapi mendengarkan seorang pria yang menyebut dirinya ketua pengarah. Aku tak terlalu menyimak apa-apa yang dia ucapkan karena berbelit dan susah dimengerti.
"Halo, Kyle. Apa kabar?" Kyra tahu-tahu sudah berdiri di sisiku sambil melambaikan tangan. "Semoga tidur pertamamu di pengungsian nyenyak. Tidur adalah hal yang penting setelah kita lelah."
"Anak sekolah dasar juga tahu itu."
"Hanya mengingatkan. Kulihat kamu menunjukkan tanda-tanda mata panda. Kamu perlu istirahat yang cukup sebelum beraktivitas di sini."
"Terima kasih," kataku sedikit menekan. "Atas nasihat yang tak kuminta."
"Oh benar, Paman bilang agar kita menjadi teman baik. Masa-masa sulit ini sungguh membutuhkan orang untuk saling mendukung."
"Ya, kita akan berteman." Aku beranjak maju untuk mengambil kertas yang dibagikan ketua pengarah dan kembali. "Selama kamu juga berteman dengan Edith."
Kyra tertegun sejenak. "Aku yakin kalian bukan bersaudara, tidak mirip sama sekali. Lantas mengapa kamu amat peduli padanya?"
"Bersaudara ataupun bukan, aku adalah keluarganya sekarang. Kami tak punya siapa-siapa lagi."
"Kamu punya paman. Paman Callihan adalah pamanmu, ingat?"
"Aku tak ingat, jadi aku tak merasa bahwa ia pamanku. Bukankah keluarga itu saling berkunjung sebelum ini? Aku tak pernah melihat batang hidungnya memasuki rumah kami."
"Hanya karena kamu tak ingat bukan berarti tidak benar. Aku akan membuatmu ingat, Kyle."
Aku melirik Kyra dengan terkejut sebelum ia beranjak maju untuk mengambil kertas. Entah kenapa aku merasa ada nada lain yang tersirat dari kalimatnya yang terakhir.
Setelah proses yang agak lama, ternyata kelompok penyelamat itu membagi anak-anak untuk kelas belajar. Mereka akan merutinkan sekolah sederhana agar pendidikan kami tidak terputus. Beberapa anak menghela napas kecewa. Mereka pikir kiamat aneh ini adalah awal dari kebebasan dari sekolah dan awal bermain sepuasnya. Sekolah belum dimulai hari ini karena anak-anak diarahkan untuk membiasakan diri di pengungsian—lereng gunung salju. Mereka juga perlu membereskan beberapa barang dan menyingkirkan ranting atau batu sehingga tempat menjadi lebih nyaman.
Aku tak terlalu banyak membantu karena tangan kiriku masih digips. Ketua pengarah memaklumi itu walaupun anak-anak lain sebal. Bahkan aku tak sengaja mendengar ada yang berharap agar tangannya juga patah. Uh. Kalau saja dia tahu bagaimana rasa sakit itu?
"Kyle, kamu bisa bersamaku untuk membantu di dalam tenda." Kyra menghampiriku dengan sekardus pakaian di dekapannya. "Pekerjaan ringan yang tak terlalu butuh tangan kiri."
Aku mengangguk dan mengikutinya ke beberapa tenda untuk membagikan pakaian hangat. Semua pakaian hangat itu dilapisi kantung transparan yang mirip plastik, tetapi bukan plastik. "Dari mana semua ini?" tanyaku.
"Dari luar kota. Jaringan komunikasi memang terputus dan akses ke sini terhalang badai—kamu tahu 'kan laut yang memisahkan kota kita dengan kota lainnya? Mereka yang mendengar kabar keanehan kota kita berusaha mengirim segala pasokan dengan drone. Kadang ada yang berhasil tiba. Kadang tidak."
"Siapa?"
"Entahlah." Kyra mengedikkan bahu. "Barangkali pemerintah? Para penderma? Atau orang yang tidak tahu harus memakai kekayaannya untuk apa."
Kegiatan kerja bakti tak terlalu panjang karena setelah itu anak-anak dipersilakan beristirahat. Aku melihat Edith dalam kelompok seusianya yang sedang membuat lingkaran di bawah terpal. Mereka diberikan segelas teh hangat dan mendengarkan sang perawat bercerita. Wajah anak perempuan itu tak terlalu tampak karena separuhnya tertutup oleh syal. Kemudian, mereka diperbolehkan bermain bebas.
"Halo," sapaku saat Edith datang. "Apa kamu mendapatkan teman yang kamu mau?"
Edith menggeleng. "Mereka lucu, tapi tak mengerti."
"Apa yang tak dimengerti?"
"Rasa sakit." Kelopak mata Edith merendah. "Ada yang memukul tangan Edith."
Aku mendelik. "Memukul tanganmu! Mengapa?"
"Mereka pikir itu mainan. Padahal itu tangan sungguhan yang dibalut."
"Kasihan sekali." Aku mengusap tangan Edith yang digips seperti mengusir rasa sakit itu. Pergilah, rasa sakit. Pergilah. "Apa sekarang kamu sudah baik-baik saja?"
Edith mengangguk. Aku menggandeng lengannya yang lain untuk berkeliling. Kami menyusuri sekitar pengungsian yang masih ramai. Para orang dewasa berlalu-lalang dengan banyak barang, berbicara serius meskipun kadang kala tertawa. Aku tak mengerti apa yang mereka tertawakan. Guyonan orang dewasa seringkali aneh.
Lain lagi dengan sekumpulan anak remaja yang memangkal di pondok utama. Mereka tampak meniru gelagat orang dewasa dengan bicara diplomatis yang dipadukan bahasa gaul. Aku tak pernah menemukan bahasa gaul dalam kamus. Hanya sedikit yang pernah ada seperti kata hang out dalam kategori frasa. Dengar-dengar, mereka mengeluhkan wajib kerja sepulang sekolah. Mengapa tidak salah satu saja? sekolah atau bekerja. Tidak keduanya. Begitu kata mereka.
Segelintir wanita dewasa kini sibuk menyiapkan dapur praktis yang mereka bangun di dekat pondok penjaga. Mereka pun berjuang untuk menyalakan api dengan bahan seadanya karena kompor listrik (yang katanya akan dikirim) belum tiba. Untunglah masih ada beberapa pemanas air tenaga baterai yang selama ini digunakan untuk menyeduh teh, kopi atau cokelat hangat. Kami boleh mengambil dua jatah minum sebelum jam dua belas dan dua jatah lagi pada petang hingga malam.
"Aw!" Aku terkejut saat ditabrak seseorang yang bergegas. Edith refleks ikut berhenti dan memandang pria yang kini berbalik kepadaku.
"Ah, maaf. Apa kalian baik-baik saja?" Callihan memastikan dengan gelisah. "Aku sedang buru-buru. Ada seorang pria tua di tenda empat yang sekarat."
"Tidak apa-apa." Aku mengusap lengan. Tubuh Callihan kuat dan kekar sekali sampai tabrakan pelan saja membuatku nyeri. "Bergegaslah, Paman!"
Dia mengangguk sebelum beranjak. Beberapa petugas lain turut menyertainya sehingga muncul sedikit keramaian. Aku melihat gelagat Callihan yang kian lama kian menyerupai Ayah. Mungkin saja dia memang pamanku? Dia saudara Ayah. Lekuk wajah mereka memang agak mirip. Dan Kyra bisa saja sepupu jauhku.
"Kyle," lirih Edith. Genggaman tangannya semakin mengendur seiring tubuhnya goyah. Aku menangkap Edith yang nyaris limbung.
"Edith? Kamu baik-baik saja?" Aku memandangi wajahnya yang pucat. Matanya lelah dan sayu perlahan. "Lebih baik kita kembali. Apa kamu sanggup berjalan?"
Edith menggeleng. "Badan Edith—beku. Di—dingin—"
Aku segera menggendong Edith dan mencari perawat terdekat yang sedang melintas. Dia menuntun kami ke pondok kesehatan untuk memberikan Edith penanganan. Baru kusadari bahwa Edith tidak mengenakan sarung tangannya. Kata perawat, dia terkena radang dingin.
"Ini sudah pasti salahku." Aku terduduk lemas di bangku kayu dan menutup wajah. Aku belum bisa menjadi keluarga yang baik untuknya. "Mulai sekarang, aku akan selalu memperhatikanmu. Edith, aku berjanji akan terus menjagamu ...."
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro