Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Keluarga akan Abadi

Hari-hari di pengungsian terasa amat lama terutama ketika pemandangannya selalu sama. Bahkan tahun-tahun berlalu seperti tak ada bedanya. Hanya ada hamparan salju putih, pepohonan pinus beku, gumpalan awan yang menyelimuti langit hingga tak ada warna selain putih. Aku tak yakin sinar matahari mampu menerobos itu—atau kalaupun bisa—tentu tidak seberapa.

Ini menyebabkan kulit para penyintas menjadi pucat, dapat terlihat jelas ketika aku memandang dari dalam tenda. Mereka seperti mayat-mayat yang berjalan dengan pakaian penuh. Aku pun tak ada bedanya.

Aku menoleh saat merasa ujung mantelku ditarik. Ternyata Edith sedang memanggilku untuk bertanya, "Bagaimana cara membaca ini?"

Aku mengernyit pada kertas gambar yang ia coret. Ada coretan krayon dengan bentuk segitiga, huruf Q, E dan J. "Apa kau sedang berusaha menulis apel?"

"Edith menulis apel. A-P-E-L. Apel."

"Nah, kalau begitu ada sedikit yang perlu diperbaiki." Aku ikut tengkurap di sebelahnya dan membuka telapak tangan, mengisyaratkan agar dia memberi krayon padaku. "Letakkan garis di tengah segitiga—bukan di bawah—untuk huruf A. Yang ini namanya huruf Q, kau balik agar menjadi P. Kalau yang ini huruf J, balik ini juga agar menjadi L. Selesai."

Raut wajah Edith berpikir keras sebelum ia meraih krayon dan mulai menulis ulang. Kali ini lebih perlahan. Aku bertopang dagu sambil mengamatinya dan teringat untuk merapatkan selimut kami yang bergeser. Udara tetap sama sepanjang waktu. Hanya dingin, dingin, dingin. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir. Kapan kami bisa tenang dan merasakan es-es mencair diterpa cahaya musim semi, merasakan sinar matahari yang begitu hangat.

"Apa ini tugas sekolah?" tanyaku memecah keheningan. Anak-anak lain sudah tidur dan meninggalkan kami yang masih terjaga.

"Tidak." Dia terus mencoret-coret. "Edith mau lebih hebat."

"Arogan sekali."

Edith diam saja dan terus mencoret. Antara dia tak merasa arogan atau dia tak mengerti apa itu arogan. Dia masih sangat kecil. Ketika pertama kali kami bertemu pun aku tak yakin dia sudah masuk sekolah dasar. Mungkin sekitar enam tahun? Berarti sekarang ia sudah delapan tahun.

"Apa kau mau dengar ceritaku hari ini?"

Edith mengangguk walaupun masih sibuk. Sekarang dia menggambar pemandangan dan bukan menulis kata.

"Tadi siang, Morderoy mengajakku bertarung. Sebenarnya dia sudah ingin melakukan itu sejak tanganku sembuh tahun lalu. Mungkin dia mencari kesempatan saat kami hanya berdua tanpa ada pengawasan."

"Apa Kyle kalah?"

"Mengapa kau malah bertanya seperti itu?" Aku mendelik. "Tentu saja kami masih seri. Secara fisik dia memang lebih bugar, tapi otakku lebih bugar daripadanya. Otak Morderoy seperti gir-gir yang bersawang."

"Apa dia mendapatkan memar?"

"Nah, kalau pertanyaan ini aku suka." Aku menyeringai. "Ya, ya dia mendapatkan memar tepat di hidung. Aku tak akan merasa bersalah ketika dia bersin-bersin sampai hidung memerah. Dia harus membayar lenganku yang terpelintir."

Edith menguap dan kelopak matanya merendah. Aku melepaskan krayon dari genggamannya secara perlahan dan membereskan kertas gambar. Anak perempuan itu sudah hampir terpejam saat aku memindahkannya ke tempat kami tidur, menaikkan selimut.

"Kau sudah berusaha," kataku sambil membelai kepalanya, melirik hasil tulisan dan gambar yang ia buat. Sebuah lanskap kebun hijau dengan pohon-pohon apel ranum dan rumah kayu. Di sana ada tiga orang yang kuduga adalah dia, ibu, dan neneknya. Tertulis: keluarga. Manis sekali meskipun huruf-hurufnya masih berantakan. Kemudian, aku melihat kertas gambar lain dan menemukan latar yang tetap putih. Di tengah kertas itu ada seorang anak perempuan dan anak laki-laki yang bergandengan tangan. Tertulis: keluarga 2.

Aku beralih menatap wajah mungil Edith yang tertidur pulas. Sungguh aku tak akan membiarkan wajah itu tergores oleh apa pun. Sungguh aku akan terus bersamamu di tengah kiamat salju ini, Edith, tak akan pernah kutinggalkan. Aku mendekapnya dengan erat hingga terlelap dan memasuki alam mimpi.

[]

Pagi-pagi sekali, aku dikejutkan karena Edith sudah tidak berada di tempat. Aku membangunkan anak-anak yang lain dan bertanya, tetapi tak satu pun dari mereka tahu (lagi pula mereka masih setengah sadar bahkan menyuruhku kembali tidur). Hei! Ini sudah pukul tujuh pagi!

Sebenarnya normal saja memulai hari agak siang di kondisi seperti ini karena udaranya sangat dingin menggigit. Justru karena itulah aku khawatir dengan ketiadaan Edith. Aku segera bergegas keluar dan menghampiri tenda lain, pondok-pondok ... namun tak juga menemukannya. Sampai kulihat seorang pemuda sedang menggandeng tangan anak perempuan yang tenggelam dalam syalnya yang kebesaran.

"Edith!" Aku bergegas mendatangi mereka dan bertekuk lutut di depan Edith. "Dari mana kau? Pergi tanpa bilang padaku?"

"Wow, tenanglah Kyle," tanggap Flynn. "Pengungsian ini tak cukup besar sampai seorang anak bisa hilang."

"Tapi, cukup besar bagi seseorang untuk menculik anak," tukasku.

"Jangan memandangku seperti itu." Flynn tertawa. "Kebetulan kami bertemu di depan tenda dan dia ingin diantar minum. Kami pergi ke dapur terbuka."

Aku beralih kepada Edith. "Kenapa kau tidak memintaku?"

"Edith sudah membangunkan Kyle, tapi Kyle bilang, Jangan dekat-dekat!" terangnya sambil menepuk wajahku.

"Tentu saja aku bukan mengatakan itu padamu." Aku menahan tangan Edith, membiarkannya tetap di keningku. "Pasti aku bermimpi dan mengigau lagi. Tampar saja jika aku mengatakan hal-hal aneh ketika tidur."

"Apa kalian masih berada di tenda yang sama?" Flynn terkejut. "Bulan berapa ini? Kukira pembagian tenda akan diperbarui setiap tahun."

"Ya, memangnya kenapa?" balasku heran. "Edith masih delapan tahun dan belum wajib menempati tenda khusus perempuan."

"Begitu?" Flynn menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu lagi dan tak akan peduli. Yah, setidaknya kau juga tak dapat melakukan apa pun."

"Melakukan apa?" tanyaku semakin heran. Memang benar pembahasan para pemuda itu kadang tak mampu kumengerti. Entah kapan benak kami bisa satu frekuensi.

"Lupakan saja." Flynn agak menunduk untuk mengelus kepala Edith. Dia tersenyum. "Sampai nanti."

Aku tercengang dan tak bisa berkata-kata bahkan sampai Flynn sudah berlalu. Apa? Apa-apaan gerakan itu? Dia sedang menebar pesona? Aku menuntun Edith kembali ke tenda untuk mengambil peralatan bersih-bersih.

"Tidak bisa," gumamku setelah kami selesai dan tinggal menunggu sarapan. Orang-orang juga sudah mulai mengantre untuk mengambil jatah mereka.

"Apa yang tidak bisa?" tanya Edith.

"Saudara angkat tidak cukup untuk melindungimu!"

"Tapi, Edith senang menjadi saudara angkat."

"Sepertinya Flynn benar." Aku menggenggam kedua lengan Edith. "Aku harus menikahimu agar tidak ada lagi yang berani dekat-dekat. Setidaknya kita akan tetap menjadi keluarga walaupun bukan saudara angkat."

Edith menatapku datar. "Apa itu menikah?"

Aku berpikir sejenak. "Kata kamus, itu berarti menjadi suami atau istri yang diterima secara sah dari seseorang dalam suatu upacara resmi atau keagamaan. Aku juga tidak mengerti, tapi sepertinya kita harus mengadakan upacara."

"Apa Kyle butuh banyak orang?"

"Tampaknya begitu. Kita akan membuat barisan yang panjang ..." aku membuka tanganku, "... seperti ini. Aku melihatnya di televisi. Tapi, terasa lama sekali orang-orang itu berdiri hingga mengantuk."

"Apa mereka butuh kursi?"

"Ya! Kita berikan mereka kursi. Dan meja. Bagaimana cara mereka makan?"

"Mengambil ke dapur terbuka." Edith menadahkan tangannya ketika petugas dapur memberikan senampan sarapan. Aku menyusul di belakangnya menuju tenda.

"Kita akan panggil koki terbaik di kota."

"Apa Kyle akan membuat istana lolipop?"

"Ya!" Aku menggigit roti yang masih hangat. "Apa pun untukmu."

Seusai sarapan dan kelas, aku bertemu kembali dengan Flynn di perjalanan menuju pikap-pikap pasokan yang baru datang. Dia berkata, "Halo, Sobat. Bagaimana keadaanmu setelah pagi ini?"

"Aku dan Edith sudah menikah, jadi kau tidak boleh lagi dekat dengannya."

Langkah Flynn terhenti—tercengang. Dia melongo sebelum menyeringai aneh dan memijat-mijat pelipis. "Sejak awal aku memang tidak berbakat bicara," gumamnya.

[]

Aku dan beberapa pemuda lain dikejutkan oleh huru-hara yang mendekat ke arah kami. Dua orang—anak perempuan dan laki-laki—sedang bergaduh hingga melempar salju ke segala arah. Ini bahkan bisa lebih dahsyat dari hujan salju biasa.

"Tarik ucapanmu atau mati saja!" pekik Kyra sebelum melempar sebongkah salju, namun meleset dari target utamanya. Dia menggeram.

"Apa untungnya bagiku?" sahut Morderoy. Dia balas mencongkel gundukan salju dengan sekop hingga terlontar menghujani Kyra. "Kau saja yang terlalu dengki!"

Flynn bergerak untuk menengahi mereka. Sosoknya yang tinggi tegap dan bersuara lantang mampu membuat Kyra dan Morderoy terpaku sesaat. Mereka berhenti beradu mulut walaupun tetap saling menyalang. Flynn menyuruh keduanya kembali bekerja dan lebih baik melapor ketimbang langsung bertikai. Jangan ada lagi masalah tambahan sesudah kiamat ini, pungkasnya.

Selama itu, kuperhatikan raut wajah Kyra sangat murung. Tampak benar-benar jengkel setelah kejadian tempo waktu. Pada jam istirahat, akhirnya aku datang ke sebuah tenda yang cukup besar sambil membawa dua gelas cokelat panas. Pintu tenda itu dibuka oleh seorang gadis yang terkejut. Dia mempersilakanku masuk.

"Aku sangat mengerti bagaimana tabiat Morderoy. Jadi, ada ribut-ribut apa tadi? Apa lagi keonaran yang dia bawa?" tanyaku. Kami duduk di sofa panjang yang menghadap jendela, memandang orang-orang yang melintas.

Kyra terdiam sejenak, perlahan menyesap cokelat panasnya. "Anak laki-laki itu nakal sekali. Apa dia kenalanmu waktu kecil?"

"Kami selalu berada di satu kelas—dan bertarung."

"Yah, dia bertarung fisik denganmu. Kau tidak merasakan bertarung verbal dengannya—yang mana berkali lipat menyebalkan." Kyra seolah tersentak menyadari sesuatu. "Oh, maaf. Aku tak bermaksud sok tahu. Tentu kau yang lebih berpengalaman menghadapi si badung itu."

"Jangan terlalu ambil pusing dengan Morderoy. Dia hanya kurang kerjaan dan suka mencari pekerjaan tambahan yang buruk," tuturku. "Memang, apa yang dia katakan kepadamu?"

"Dia ..." Kyra mengerling sekilas padaku sebelum menunduk, "... aku tak tahu bagaimana pendapatmu, Kyle, tapi dia bilang bahwa semua orang membenciku. Tak ada satu pun anak di pengungsian ini yang menyukaiku termasuk kau."

"Itu tidak benar," sanggahku. "Aku suka padamu. Aku suka Paman Cal. Aku suka Edith. Kalian semua baik dan aku menyukainya. Aku hanya membenci yang jahat seperti Ronan the Accuser atau—yah—Morderoy."

Kyra tercengang dan segera berlalih menatapku. "Sungguh?"

"Ya. Kenapa kau begitu terkejut?"

"Tidak." Kyra bersandar ke pundakku. "Aku hanya bertanya-tanya apakah kau juga menganggapku keluarga seperti kau menganggap Edith."

"Tentu, Kyra. Sekarang kita semua keluarga di pengungsian ini." Aku menepuk pundaknya agar ia merasa lebih tabah. "Hanya saja, definisi keluarga mungkin bisa berbeda. Kau akan menjadi sesuatu, dan orang lain akan menjadi sesuatu yang lain. Memang tak semua hal dapat disamakan."

"Tapi yang jelas, segalanya akan baik-baik saja selama kita semua bersama. Ayahku pernah berkata bahwa tidak ada sesuatu yang abadi kecuali keluarga. Keluarga belum tentu harus sedarah asalkan mereka selalu ada dan memberikan yang terbaik untuk kita ...."

Tubuh Kyra berguncang seiring tangisnya mulai terdengar. Aku bertanya ada apa dengannya? Apakah aku salah bicara? Namun, dia hanya menggeleng. Katanya, dia sangat merindukanku sejak bertahun-tahun silam.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro