Kegaduhan Besar
Setahun berlalu.
Aku ingat jelas sekali bahwa Ayah tidak seperti ini: terbaring tak berdaya di atas ranjang sepanjang hari. Dulu ia seorang pegawai dewan kota yang gagah dan sibuk, namun sekarang tak lebih dari memori tua yang lambat laun akan segera hilang. Dia perlu istirahat lebih banyak untuk memulihkan tubuh. Ibu perlu bekerja lebih keras untuk mempertahankan kami hidup.
Ibu sudah berpakaian lengkap dan aku merengek ingin ikut ke mana pun ia pergi. Aku sudah dua belas tahun, kubilang padanya. Aku sudah dewasa seperti Ayah.
"Di luar berbahaya, Kyle," tutur Ayah sambil bangkit seolah hendak menarikku agar menetap, namun Ibu menahannya turun dari kasur. Dia tak boleh turun sejak kecelakaan itu menimpa kami. Mereka berdebat sedikit tentang siapa yang berhak membeli kebutuhan rumah sampai melupakan keberadaanku.
Ayah kembali menghela tubuhnya di atas kasur dan menatapku nanar. Kulitnya putih nyaris seperti porselen, kerutan terbentuk di sudut mata dan keningnya, bahkan sudah ada satu-dua helai rambutnya yang seperti benang salju. Kupikir tatapan itu menyiratkan kesedihan sehingga aku merangkak naik ke atas seprai dan memeluk Ayah.
"Tidak apa-apa walaupun dingin. Aku senang keluar. Ibu juga senang. Ayah bisa menyusul saat sudah sembuh."
Tangan Ayah yang kokoh balas mengeratkan pelukan seolah ia ingin mengatakan sesuatu yang amat berat, namun susah sekali untuk bicara. Kurasakan ada tetesan pelan yang mengenai bahuku. Aku menengok dengan bingung. "Apa Ayah menangis?"
"Keringat," sanggahnya.
"Kukira tak ada lagi kata keringat sejak musim salju."
"Ada. Kata itu tak pernah terhapus dari kamus yang selalu kamu baca."
Aku memang sering membaca kamus. Banyak sekali kata-kata baru yang terkadang unik, keren atau menggelikan. Menyenangkan saat menyebut mereka. Grumbletonian: para pembenci pemerintah. Blatherskite: yang banyak omong kosong. Mellifluous: merdu.
Tetapi, entah mengapa banyak anak-anak tidak suka kamus dan ketakutan saat melihatnya. Mungkin mereka fobia kertas-kertas yang bertumpuk tinggi. Mungkin mereka trauma dengan buku tebal. Suatu kali saat aku sekarat dan tak sanggup menyingkirkan Morderoy yang menindih tubuhku, aku menggapai kamus dari laci meja dan memukul kepalanya. Kemudian dia kabur.
"Ya, aku tahu. Aku hanya berpikir orang-orang tidak pernah menyebut keringat lagi sejak mereka semua kedinginan, jadi Ayah seperti berbohong."
"Apa kamu mau membaca bersama Ayah lagi setelah pulang nanti?"
"Mau!" tanggapku sebelum sadar bahwa Ayah sepertinya mengalihkan topik obrolan kami. Tetapi, tak masalah. Dia sudah menjanjikan padaku untuk membaca bersama lagi (kegiatan ini sebagai pengganti karena ia tak bisa main yang berat-berat).
[]
Aku dan Ibu jalan beriringan di bawah payung karena hujan salju masih tak berhenti. Perjalanan pun beberapa kali lebih berat setelah salju-salju menebal dan menjadikan aspal licin. Banyak mobil yang tak bisa berfungsi akibat mesinnya membeku.
"Kamu tidak lelah?" tanya Ibu saat kami berbelok memasuki kawasan pohon-pohon oak yang daunnya mengeras sampai biru. "Ini agak terjal."
"Tidak, sepatu bot ini super. Bahkan aku seperti bisa berlari secepat Flash."
"Oh tentu kamu adalah Flash." Ibu membelai kepalaku. "Ini tokonya. Kamu sudah lama tidak berjumpa dengan Nyonya Belleza 'kan?"
"Ibunya Brandon?" Aku bergidik. "Apa dia tak akan membenciku setelah aku menjahili anaknya dengan kostum Bloody Painter?"
"Nyonya Belleza juga tahu kesenangan Halloween," jawab Ibu santai. "Segala hal hanyalah tipuan."
"Atau permen," imbuhku.
Kami memasuki toko yang menyisipkan sedikit kehangatan yang sempat hilang saat di luar. Pembawa acara televisi memang benar: orang-orang hanya akan selamat saat di dalam karena hangat. Cuaca di luar tak pernah lagi bersahabat.
Sambil berbelanja, Ibu juga menyapa Nyonya Belleza dan sesekali berbincang. Topik mereka agak ringan sebelum berita di televisi menayangkan gerombolan orang di depan balai kota. Ada poster besar, spanduk, kayu-kayu yang dibakar sebelum apinya padam. Ibu mulai bicara serius begitu pula Nyonya Belleza.
"Berhati-hatilah. Tampaknya demo itu tak hanya di pusat kota melainkan juga di setiap daerah. Perumahan kalian adalah rawan." Nyonya Belleza menepuk pundak Ibu.
"Benar. Belakangan ini masyarakat juga mengincar pegawai pemerintah. Semoga saja mereka tak menjajah hingga ke sana."
"Bukan bermaksud menakutimu, Jean, tapi aku pun tak bisa menjamin."
"Kami berlindung bersama Tuhan."
"Semoga Tuhan menyertai kalian."
"Kalian juga."
Ibu pamit bersama Nyonya Belleza yang hanya melambaikan tangan padaku. Dia sempat berkata bahwa Brandon sedang flu dalam sepekan ini dan tak mau bertemu siapa pun. "Pasti dia tak makan sup dengan cukup," komentarku saat kami keluar.
"Tak mungkin, ibunya punya banyak sekali stok makanan."
"Bukankah kita juga punya?"
Ibu bergeming.
"Bu? Benar 'kan kita juga punya banyak bahan untuk sup? Setiap hari Ibu membuatkannya untukku. Kuah itu sangat lezat meskipun aku tak tahu mengapa cepat sekali lapar."
"Benar, kita punya." Ibu tersenyum getir sambil mengusap pipiku. Kami terus bergerak menyusuri jalan yang sama sebelum terdengar suara-suara gaduh dari jauh. Ibu segera berhenti dan menahan tanganku.
"Ada apa—"
Bunyi ledakan membelah udara bersama sorakan-sorakan keras. Aku berteriak kaget dan ikut merunduk bersama Ibu. Dia mencengkeram tanganku kuat sekali sambil berlari menjauh. Gemetar cengkeraman Ibu masih terasa bahkan dengan sarung tangan tebal yang menyelimutinya. Jantungku ikut berdebar saat derap langkah kasar di atas salju berbondong-bondong terdengar dekat.
Ibu menarikku ke dalam sebuah gang dengan cepat. Aku masih sesekali menoleh ke belakang dan terbelalak. Toko Nyonya Belleza sudah diserbu, kacau balau dan penuh sesak oleh sekumpulan manusia dengan tongkat teracung-acung.
Napasku tersengal. "Mereka—kenapa—Bu?"
"Kelompok—pemberontak," Ibu terengah-engah, "mereka hendak menghabisi—para pegawai pemerintah."
"Tapi, bukankah Ayah dan Ibu juga pegawai—"
Sesuatu kembali meledak di berapa tempat. Jeritan terdengar di mana-mana. Napasku memburu, kakiku tersaruk-tersaruk dan angin dingin menusuk wajahku. Sepatu bot ini tak lagi terasa super melainkan kekuatannya berpindah ke tangan Ibu: dia tak pernah melepasku.
Suara amukan massa kian mendekati daerah yang sedang kami lalui sedangkan kami tak menemukan jalan lain. Semua arah seperti telah dikepung.
"Tak ada waktu," bisik Ibu saat ia mengeluarkan kaleng dari kantong belanja dan memecahkan kaca mobil yang parkir di bawah kanopi rusun. Dalam sekejap dia membuka kunci dan mendorongku masuk.
Kami merunduk di lantai, berusaha setenang mungkin walaupun deru napas tak bisa tertahan lajunya. Gemuruh terdengar hingga kusadari bahwa itu adalah derap kaki gerombolan manusia yang membawa senjata. Dengan tongkat, pisau bahkan pistol atau apa pun itu, kemudian memporak-porandakan jalanan. Aku menutup telinga dari suara-suara bising yang menyerukan protes, kata kasar, hinaan, sampai berakhir dengan bunyi saling pukul, tembak, pekikan kematian ....
Itu terdengar seperti ada banyak kelompok yang berbeda dan saling bermusuhan, bukan satu kesatuan yang bergerak menuju rumah dinas dewan kota. Apa lagi setelah mobil berat melindas jalan dan tentara-tentara turun bersama senapan. Ada gas berasap.
Mereka bertempur.
Entah untuk apa atau karena apa.
Yang jelas semuanya gila.
Ibu memelukku erat dan semakin erat lagi sebelum berbisik, "Maaf. Maaf karena membawamu, Kyle. Tak seharusnya begitu. Maafkan ibumu yang idiot ini."
"Tidak!" bisikku. "Ibu cerdas dan baik. Akulah yang patut dimarahi Ayah karena nakal. Aku berjanji tidak akan memaksa lagi."
"Perkaranya bukan itu, Kyle."
"Lalu bagaimana? Apakah Ayah akan menyusul?"
"Kyle!" Ibu menangis bahkan ketika air matanya seolah beku di atas pipi. "Kita bisa mati kapan pun," bisiknya seolah putus asa. "Mengapa kamu tak juga mengerti?"
Mendadak seonggok tubuh manusia terpelanting dan mendarat di kaca depan mobil—meretakkannya. Aku akan menjerit sebelum Ibu menutup mulutku sekencang mungkin. Kepala pria itu mengocorkan darah segar, matanya terbelalak dan berputar-putar menatap kami yang meringkuk malang. Ketika mulutnya terbuka lebar untuk meneriakkan sesuatu, aku tahu itu pertanda buruk.
Orang-orang berdatangan mendekati mobil dengan beringas. Aku menjerit kaget saat banyak tampang mirip monster memukul kap mobil habis-habisan. Seperti mayat hidup! Andaikan aku sudah lebih tua untuk mengendarai mobil dan bisa menabrak mereka seperti film gila.
"Kyle! Ibu alihkan mereka, kamu lari sejauh dan sekencang mungkin!"
"Tidak! Mustahil meninggalkan Ibu—aah!" teriakku saat kaca-kaca jendela mulai pecah. Aku mulai menangis saking takutnya. "Ibu—juga harus pergi!"
"Tentu, tentu juga akan pergi! Yang super bukan hanya sepatu botmu, Kyle. Ibu pun super dan bisa menyusul secepat Flash." Dia menyeringai kecil dengan alis yang terus tertekuk. Itu ekspresi yang memaksa tersenyum di antara kepanikan besar!
Aku menggeleng.
"Tak ada waktu lagi—aah!" Ibu merunduk saat kaca di belakangnya pecah. Dia menatapku dalam. "Lari selaju yang kau bisa dan jangan menoleh jika kamu mencintai Ibu!"
Pintu menjeblak terbuka hingga lepas—Ibu segera berputar cepat dan memukul orang-orang yang hendak menyerang dengan botol dari kantung belanja. "Lari!" teriaknya.
Saat melihat celah, begitu saja kakiku melangkah lebar-lebar dan secepat kilat. Jantungku bertalu dan air mataku terus mengucur walaupun rasanya beku. Aku tak meninggalkan Ibu, bukan? Dia bisa menyusul secepat Flash. Dia selincah Black Widow. Dia akan segalak Hulk ketika murka.
Ibu bisa lolos.
Ibu sedang berlari di belakangku sambil tertawa 'kan, Bu?
Ibu berjanji akan menonton Avengers bersamaku.
Ibu—
Aku tersandung kala menyusuri jalan setapak di pinggir trotoar hingga tersungkur ke bawah. Namun, aku kembali bangkit dan berlari terus, terus bahkan jika tenagaku tak mampu lagi terkuras. Karena aku percaya Ibu bisa menyusul dan pulang bersamaku. Ibu ... ada di belakangku 'kan?
Rasa-rasanya aneh jika wajahku memanas ketika udara dingin menyergap seluruh tubuh yang nyaris limbung. Pandanganku buram. Sedikit lagi aku tiba di rumah dan sengatan memori itu kembali. Aku telah melanggar larangan itu agar tidak menoleh ke belakang—dan aku menoleh! Aku tahu kenyatannya bahkan sejak awal pelarian: Ibu sudah tak berdaya karena kepalanya ditembak.
Ibu ditembak mati di hadapanku.
Apa lagi yang pantas kusandang selain pengecut setelah aku sungguh-sungguh meninggalkannya? Meninggalkan Ibu yang sekarat di antara para pembunuh? Dasar Kyle pengecut sejati. Pengecut sejati!
Kini aku tiba di komplek perumahan dan hampir saja menampakkan diri secara gamblang. Para pemberontak itu telah merajalela ke setiap sudut kota. Andaikan aku tak refleks tengkurap di belakang rongsokan besi, tentulah aku santapan yang jatuh ke lubang pemangsa. Orang-orang itu menjarah ke semua tempat tak terkecuali rumahku. Maka ketika mereka beranjak pergi, aku keluar dari persembunyian dengan sekujur tubuh yang kaku.
Tanganku gemetar menatap ceceran darah di atas pelataran rumah yang telah tertimbun salju. Genangan merah di atas putih kontras. Sangat kontras dan berhasil membuatku muntah saat itu juga. Ketika pandanganku mengikuti jejak darah yang mengarah ke pintu rumah ... aku tercenung. Aku melotot. Lagi-lagi, perutku terlilit dan hendak menumpahkan segala isi lambung yang bahkan sudah terkocok sejak awal.
Namun, bukan tetesan darah itu yang selanjutnya membuat tungkaiku lemas sampai terkulai jatuh. Tenggorokanku tercekat. Gigiku bergemelatuk. Bulu romaku meremang dan aku menunduk hingga kepala yang kucengkeram menyentuh tanah salju. Tersungkur. Aku tersungkur di hadapan jasad Ayah.
Itu ayahku.
Kedua tangannya terpaku di atas pintu yang terbuka lebar seperti tongkat salib, tubuhnya menggantung ngeri dan kepalanya tergolek ke depan. Darah segar merembes di seluruh pakaiannya.
Aku menangis keras, tidak mengerti apa yang sebenarnya dilakukan para orang dewasa. Aku tidak paham pola pikir mereka. Aku tidak paham. Mengapa terjadi huru-hara, mengapa harus ada pertumpahan darah? Aku masih anak-anak! Benar aku masih anak-anak dan dengarkanlah itu! Tetapi, aku tahu pasti apa julukan yang tepat untuk hari ini: Hari Pembantaian. Hari gila.
Aku terlalu frustrasi untuk bisa berpikir jernih. Aku terlalu lembek dan membiarkan kebodohan mendekam begitu lama. Ya, aku bodoh! Bisa-bisanya aku menggerung ketika para pemberontak itu masih ada di ujung jalan! Mereka segera berbalik, mendelik padaku dan merangsek maju.
Sejujurnya aku tak mampu berkutik lagi, namun secercah akal sehat masih mendorong anggota tubuhku untuk bangkit dan berlari. Tentu bukan masuk ke rumah karena aku menghindari mati konyol di balik selimut: aku memutar ke belakang rumah. Ke hutan besar yang kini semakin gelap. Itu adalah pasukan pohon-pohon pinus yang sering kusangka anggota militer sedang menyamar. Kuterobos ranting-ranting dan dahan es yang pecah ketika aku lagi-lagi jatuh tersungkur, meringis saat luka menggores pipi, kembali bangkit lalu berlari. Dasar tukang jatuh!
Sorakan mereka semakin keras yang menandakan betapa dekatnya malaikat maut dengan ragaku sekarang. Namun, ketika memasuki wilayah pepohonan yang lebih lebat dan rapat, langkahku melambat seiring kepalaku pusing. Pandanganku buram. Bersamaan dengan tubuh yang semakin lunglai dan akan rubuh—sebuah tangan mungil menarikku jatuh, melesak ke lubang pada batu besar yang tertutup pohon raksasa—sebelum aku sempat menjerit konyol.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro