Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Juvenil Pekerja Keras

Ada beberapa hal yang berubah seiring waktu. Aku tahu tidak sependek dulu. Aku bisa merasakan bahwa tubuhku meninggi dan rambutku memanjang sampai poni mengikal di depan mata. Biasanya aku akan menguncir itu atau memasukkannya ke dalam kupluk agar tidak mengganggu pekerjaan. Pekerjaan juga semakin sulit ketika seorang anak bertambah usianya.

Belakangan ini ada banyak pasokan yang datang dan perlu disortir setelah berhenti bulan lalu. Aku masih tidak mengerti bagaimana pasokan itu datang dengan pikap-pikap besar sebelum pergi kembali. Dari mana mereka datang? Siapa yang mengirim mereka? Kenapa musim dingin ini seperti tiada ujungnya?

Hidup di pengungsian memang amat merepotkan ditambah keadaan cuaca ekstrem. Kadang-kadang hujan salju begitu deras hingga kami harus bekerja ekstra menyingkirkan gundukan. Terkadang cuaca itu disertai angin kencang atau es. Di lain waktu bisa menjadi tenang sampai tak satu pun suara terdengar seolah waktu di kota ini berhenti seperti ajaib.

Sejak aku berkenalan dengan orang-orang lain, segalanya tak menjadi terlalu buruk karena aku tahu aku tak sendiri. Bukan hanya aku yang menderita akibat bencana ini bahkan ada yang tertimpa musibah lebih parah. Di sini ada Callihan, pamanku yang kadang meluangkan waktu bersama karena ia amat sibuk. Kyra juga menjadi teman sebaya yang tak buruk, menyenangkan untuk berbincang. Morderoy adalah samsak ketika aku merasa jengkel dengan sesuatu.

Kemudian, tentu saja semua ini menjadi lebih baik karena keberadaan Edith. Dia seperti penawar natural saat perasaanku kacau. Dia memberiku ruang untuk terus bercerita, tidak menyela dan tanpa banyak tanggapan. Aku lebih suka seperti itu. Hanya tepukan kecil di tanganku atau tingkahnya yang lucu, menyiratkan agar aku tak berlarut-larut dalam kesedihan. Dalam amarah.

"Hei, buat dirimu berguna dan jangan diam!" seru seseorang sambil menghempas boks-boks di sebelahku. Morderoy memang tak pernah tidak menyakiti telingaku dengan suaranya yang keras. Maksudku, jika dia ingin tuli, tuli saja sendiri! Jangan membawa orang lain.

"Ada apa ini?" tanya Callihan yang kebetulan melintas. Dia baru saja selesai bicara dengan seorang petugas dan menghampiriku.

"Tidak ada, hanya pekerjaan baru," jawabku. "Paman, mengapa pasokan baru tiba sekarang? Kemarin orang-orang sempat panik dan gelisah."

Callihan menghela napas. "Ada kecelakaan kecil di bawah. Kau tahu? Pikap-pikap itu mengangkut barang yang ditinggalkan drone di dermaga. Perjalanannya jauh, sukar, dan banyak ancaman hewan buas."

"Dari mana drone-drone itu? Tidak bisakah kita meminta diselamatkan dari kota lain?"

Callihan menggeleng. "Sayang sekali akses menuju ke sini sangat berbahaya. Ada badai yang mengelilingi kota ini. Setiap kapal yang berlayar di laut akan digulung ombak. Setiap helikopter atau pesawat penyelamat akan hilang kontak dan terpaksa berbalik akibat badai. Hanya drone, teknologi dengan harga terjangkau dan mampu melewatinya tanpa mengancam nyawa siapa pun."

Aku mengangguk saja dan kembali bekerja bersama anak-anak lain. Tak banyak anak sepantaranku bahkan mungkin hanya Kyra dan Morderoy. Sisanya lebih tua seperti Flynn atau lebih muda seperti Edith.

"Halo, Kyle. Apa kau bisa membantu di bagian sana?" Kyra datang kepadaku saat waktu istirahat. "Ada tenda yang nyaris rubuh. Kata ketua pengarah, tali-talinya butuh diperbarui dan besinya diganti. Terlalu beku."

"Baiklah." Aku menghabiskan segelas air sebelum bangkit. "Panggil anak yang lain. Mereka akan lebih mendengar jika gadis yang bicara."

"Dari mana teori tidak masuk akal itu?"

"Cukup masuk akal." Aku mengedikkan bahu dan hendak beranjak. "Laki-laki lebih tertarik pada gadis dan bukan sesamanya."

Kyra mendelik. "Sungguh aneh, tapi aku tetap akan memanggil mereka karena kau yang menyuruhku. Lihat? Aku akan lebih mendengarkan jika kau yang bicara."

Kau memang selalu begitu, pikirku. Dia melakukan berbagai hal seolah sangat menyanjung tinggi diriku. Terkadang itu tampak seperti lelucon atau dia mengejekku dengan cara yang halus walaupun dia tidak mengakuinya.

"Oh, Anak Muda. Kau yang akan membantu kami, ya?" Seorang wanita tua menengadah tepat saat aku tiba. "Tenda itu tampaknya akan segera rubuh."

Aku mengamati beberapa bagian tenda dan menggunakan pengganjal sementara hingga pemuda-pemuda lain datang. Ada tiang penyangga yang sangat beku sampai-sampai nyaris retak. Bagian itu perlu diganti. Serta beberapa tali yang beku dan nyaris putus. Kami bekerja cukup keras sehingga tenda itu tidak miring seperti sebelumnya.

Setelah ini, ada tenda lain yang perlu diperbaiki dan begitu kemudian. Semenjak usiaku sudah cukup besar, pekerjaan pun menjadi lebih berat. Ada banyak barang yang perlu disortir, ada banyak sarana yang perlu diperbaiki. Kegiatan sekolah juga tetap berjalan meskipun tanpa tugas-tugas yang membebani. Hanya saja, segala kesibukan ini cukup untuk mengikis waktuku bersama Edith.

Dalam sepekan ini, beberapa kali Edith hendak menghampiriku, namun aku belum bisa karena harus segera ke lokasi perbaikan. Menjelang waktu tidur yang biasanya kami gunakan untuk bermain dan bercerita, kini langsung kugunakan untuk—yah—tidur.

"Kyle."

Kurasakan sesuatu yang mirip kain wol menepuk-nepuk pipiku. "Kyle."

Pipiku ditepuk lagi. "Kyle."

Pada tepukan selanjutnya, aku sudah menangkap tangan mungil itu dan membuka mata. Di bawah remang-remang tenda, Edith menatap dengan kuyu. "Ada apa, Edith?" tanyaku serak.

"Edith haus. Kyle tidak memberi Edith minum sebelum tidur."

Aku memejamkan mata sejenak dan menghela napas. "Lemari pasokan sudah dikunci sekarang."

"Kalau begitu Edith pergi sendiri!"

Aku tersentak begitu mengingat kejadian dulu ketika Edith pergi ke dapur terbuka dan diculik Flynn. Oh, tidak. Aku menahan tangan Edith yang sudah akan beranjak. "Kita hanya bisa menyeduh air panas, bukan cokelat."

"Edith mau air panas."

"Baiklah." Aku bangkit dan merapatkan mantel. Kami beranjak keluar tenda menuju dapur terbuka yang sempat dibangun beberapa tahun lalu. Edith duduk di bangku kayu sementara aku menyiapkan air panas untuknya. Sesekali aku menguap dan mengerjap untuk menghilangkan kantuk. Belakangan ini aku terlampau lelah. Seharusnya itu tidak baik bagi siapa pun dalam cuaca ekstrem begini. Mungin hanya tinggal menunggu waktu sampai kematian itu datang lebih cepat?

Aku menghampiri Edith yang mengayun-ayunkan kakinya. Seluruh tubuhnya bahkan nyaris tenggelam oleh mantel, syal, dan kupluk yang kebesaran. Sepatu botnya pun tampak akan menerkam kakinya. Sungguh, rasanya perlu berpikir dua kali untuk mengalami mati lebih cepat. Aku merasa akan berusaha hidup lebih lama untuknya. Aku tidak boleh meninggalkan anak perempuan ini sendirian.

Dapur terbuka itu sebenarnya cukup nyaman dan terlindungi. Ada perapian yang boleh kami nyalakan kapan saja. Lentera menggantung di setiap sudut atapnya yang berbentuk heksagonal. Untunglah cuaca malam ini sedang tenang tanpa ada salju yang turun. Aku memperhatikan Edith yang minum dari gelas menggunakan kedua tangan mungilnya. Dia menengadah dan menyodorkan gelas itu setelah selesai.

"Kau tahu, kau sangat manis," gumamku.

"Edith suka permen manis."

Aku merogoh saku mantel dan mengambil permen gel pemberian Kyra. Aku mengangsurkan permen gel itu pada Edith yang segera melahapnya.

"Enak?" tanyaku.

Edith mengangguk.

Aku merogoh saku mantel lagi untuk mendapatkan permen, namun justru menemukan sebuah arloji. Itu hadiah dari Ayah beberapa tahun silam. Aku membukanya dan mengamati jarum yang bergerak statis. Apa yang mengejutkan? Ini hanya arloji tua yang tak lebih seperti hadiah perpisahan.

Baru kusadari bahwa Edith terus memandangi arloji di tanganku. Aku menaikkan alis. "Kau tertarik? Ingin memegangnya?"

"Edith ingin pegang."

"Pegang tanpa melihat atau lihat tanpa memegang?"

Edith mengerut dan berpikir keras. Eskpresi bingungnya selama beberapa saat itu membuatku tertawa. Menyenangkan sekali. "Pegang dan lihatlah sesukamu," kataku.

Dia mengutak-atik arloji sepanjang jalan kami menuju tenda. Saat sudah masuk dan bersiap tidur, dia berkata, "Edith menemukan tombol."

Aku berbaring menghadapnya sambil bertopang kepala. "Tombol?"

"Ini." Edith mengangkat arloji dan menekan bagian yang agak timbul, sebelum terbuka ruangan lain di dalamnya. Di sana terpampang sebuah foto lama dua orang bocah yang berangkulan. Keduanya berambut cokelat gelap dan bermata ambar.

Ayah benar saat mengatakan itu adalah kejutan. Aku terpaku sesaat dan tenggelam dalam memori yang kembali terputar. Dulu sekali. Dua anak itu sungguh ada. Bertahun-tahun sebelum kiamat salju ini menerjang kota kami ....

"Kyle?" Edith menyentuh pipiku. "Kenapa Kyle menangis?"

Baru kusadari bahwa air mataku telah berderai sejak tadi.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro