Hari-hari Putih
Anak-anak sudah mulai bersekolah. Setiap kelas berada di dalam tenda besar yang mampu menampung lima hingga delapan anak dan seorang guru dengan papan tulisnya. Pelajaran yang kami dapat hanyalah dasar-dasar matematika dan ilmu sosial. Terkadang ada pula ilmu geografi. Ini terjadi karena itu, itu terjadi ini ... sehingga kami menjadi lebih paham terhadap keadaan.
Dan keadaan ini tidaklah benar.
"Musim dingin hanya terjadi sekitar empat bulan. Jika melebihi itu, berarti sesuatu telah terjadi pada posisi matahari dan poros bumi sehingga mempengaruhi iklim di seluruh dunia," tutur guru itu.
"Dan ini tidak terjadi di seluruh dunia?" tanya Kyra.
"Begitulah. Memang ada wilayah tertentu yang beriklim ekstrem seperti Siberia dan—kotanya yang terdingin—Oymyakon. Tetapi, itu normal bagi wilayah ibun abadi sementara kota kita tidak terletak di sana."
Kyra seolah kaget. "Apa itu ibun abadi?"
"Lapisan tanah beku di bawah suhu nol derajat celsius," jawabku. "Kamu akan tahu jika pernah membaca kamus. Cari di bagian P untuk permafrost."
Kyra mengangguk kagum. "Oh begitu. Jadi, musim dingin panjang tanpa sinar matahari normal untuk wilayah ibun abadi, tapi tidak normal bagi wilayah lain?"
"Benar," tanggap sang guru. "Sehingga muncul kesimpulan aneh bahwa tragedi ini hanya terjadi di kota kita. Tidakkah kalian berpikir ada yang salah?"
Setelah kelas yang berlangsung selama dua jam itu, anak-anak boleh istirahat lalu mulai bekerja. Apakah hanya aku atau semua anak juga memikirkan hal yang sama? Kami selalu dituntut untuk merenungi ada apa sebenarnya dengan kota ini. Tentu saja harus secara ilmiah dan bukan karena kutukan leluhur. Kota kami terletak di barat laut Eropa dan belum pernah mengalami fenomena seperti ini, lantas bagaimana bisa?
Aku sedang menyekop gundukan salju ketika sesuatu menimpa kepalaku: itu salju lainnya. Seorang anak laki-laki baru saja menyekop saljunya hingga terlontar. Aku mengernyit. "Apa kau punya masalah, Bung?"
"Ah!" Anak lelaki itu terkejut. Aku pun mengamatinya lamat-lamat sampai menyadari sesuatu yang familiar. Rambut hitam jabrik, mata bulat besar yang suka mengintimidasi, tubuh gemuk ...
Oh, sudah pasti Morderoy.
"Kau hidup," ledekku. Baru kusadari bahwa ia tidak mengikuti kelas sejak pagi.
"Kau yang lebih aneh karena hidup!" pekiknya. "Bukankah kau lemah?"
"Kau yang lemah. Kau kalah melawanku terakhir kali."
"Itu saat aku lengah! Kau mau lihat kecermatanku sekarang?" Morderoy melempar sekopnya ke sembarang arah dan mengambil ancang-ancang. "Ayo, ayo kita bergulat."
"Tidak adil, dia sedang terluka," tukas Kyra yang mendadak muncul di antara kami. Dia berkacak pinggang. "Sedangkan kau sehat dan berisi. Kyle butuh lebih banyak makan."
Apa? Apa-apaan nasihat keibuan yang memperlakukanku seperti bocah itu?
"Tidak perlu." Aku menggeleng, beralih pada Morderoy. "Aku akan bertarung sekarang juga jika kau pecundang dan meminta. Tentu kau sudah cukup umur untuk mengetahui aturan bergulat."
Morderoy berdecak. Dia memperbaiki syalnya yang sempat melorot sebelum kembali mengambil sekop. "Kau beruntung pandai berkata-kata. Aku akan menunggu hingga kau melepas gips itu dan segera bertarung."
"Anak pintar," celetuk Kyra. Dia berjinjit untuk membersihkan butir-butir salju yang tertinggal di kepala dan pundakku sebelum tangannya kusingkirkan.
"Aku bisa sendiri," tukasku sambil lanjut menyekop gundukan salju.
Hujan salju yang tak berhenti itu membuat jalanan tertimbun tinggi dan sulit diakses. Beberapa anak termasuk aku bertugas menguranginya. Kami sekilas mirip pekerja galangan kapal yang menyalakan gergaji mesin di Sungai Lena setelah es membuatnya tidak bisa dilewati hampir sepanjang tahun. Jika jalanan sudah datar kembali, maka para pikap bisa lewat untuk membawa pasokan kebutuhan. Kudengar bahwa pekerjaan bagi kami akan semakin sulit seiring bertambahnya usia.
"Kyle, apa kau mau singgah di tendaku?" tawar Kyra ketika sesi istirahat. "Paman punya setoples permen gel manis. Rasa kacang hazel dan lemon. Kita bisa main otello atau kau lebih menyukai scrabble?"
"Aku suka scrabble."
"Kita akan main scrabble." Kyra mengangguk. "Apa kau suka minuman hangat yang mereka sajikan? Kau boleh ambil jatahku. Aku tak akan terlalu khawatir."
"Aku akan mengambil jatahmu untuk Edith. Tidak masalah bukan?"
Kyra bergeming sejenak. "Tentu. Silakan ambil untuk siapa pun yang kau mau."
Kami mengembalikan peralatan kerja ke pondok utama dan beriringan menuju tenda Kyra. Namun, aku berbelok dahulu sebelum itu. Kyra tampaknya baru sadar dan buru-buru menyusulku. Aku menghampiri seorang anak perempuan yang juga sedang berjalan ke mari.
"Bagaimana sekolahmu?" tanyaku. "Sudah cocok?"
"Tidak." Edith menggeleng lambat dan berkali-kali. "Tidak akan pernah."
Aku mendelik kaget. "Masih ada yang memukul tanganmu?"
"Tidak. Hanya saja mereka terlalu berisik dan terus bergerak. Edith dibuat pusing."
"Kau tahu 'kan semua anak-anak memang begitu?" Aku menggandeng tangannya yang bebas dari gips. "Mereka banyak bergerak dan bicara kecuali jika berat badannya sudah di atas rata-rata. Bergerak tidak lagi menyenangkan."
"Nah, kau seharusnya bisa lebih terbiasa," timpal Kyra tiba-tiba. Dia mengusap kepala Edith sebelum ditepis sampai kaget. "Kau galak, ya."
"Dia tidak galak. Dia hanya butuh banyak ruang dan tidak senang jika dikurangi." Aku beralih menatap Edith. "Apa pendapatmu kalau kita bermain sebentar di tenda Kyra? Lebih baik kita tidak berlama-lama di luar sini atau akan terserang radang dingin."
Edith mengangguk. Kami bertiga memasuki tenda Kyra yang cukup besar setelah aku mengambil jatah cokelat hangat untuk Edith. Kata Kyra, dia memang punya tenda pribadi bersama Callihan dan istrinya meskipun aku belum pernah melihat istrinya itu. Barangkali dia berbaur di antara para wanita pengungsi atau para perawat.
Edith pernah memuji tenda Kyra yang cukup luas, dia bilang lebih hangat dan nyaman. Aku bilang bahwa dia bisa mendapatkan kehangatan dan kenyamanan di mana pun selama bersamaku. Edith memukul wajahku dengan tangan mungilnya setelah aku mengatakan itu. Apa dia pikir aku sedang bercanda?
"Dulu, aku belajar di Orgon's Sekolah dan Asrama Putri. Anak-anaknya suka bermain scrabble karena mereka semua perempuan dan rajin. Tidak banyak anak lelaki yang menyukai gim ini."
"Dan kau menemukan satu," kataku saat mengambil tujuh ubin huruf. "Aneh sekali caramu membuat kategori permainan sesuai gender pemainnya. Bukankah itu tidak berhubungan?"
"Kadang-kadang berhubungan." Kyra melebarkan papan scrabble dan menatapku lama. "Apa dia ikut bermain?"
"Apa itu perlu ditanyakan?" tanyaku heran. "Tentu saja dia kuajak ke mari untuk turut serta. Bagaimana pendapatmu, Edith?"
"Edith tidak mengerti permainan papan."
"Ini, ambil ubin-ubin huruf ini. Kau hanya perlu menyusun kata dari ubin huruf yang kau punya, ucapkan lewat kalau tidak ada ide kata, atau menukarnya. Lakukan salah satu dari hal itu ketika giliranmu."
"Edith akan coba."
"Hebat!" Aku beralih pada Kyra. "Lihat 'kan? Dia anak yang cerdas."
"Ya, tentu." Entah hanya perasaanku atau sekilas kulihat kening Kyra mengerut? Dia tampak amat sebal walaupun berusaha menahannya sekuat tenaga. Dia menarik napas. "Baiklah. Mari kita mulai dari Kyle, aku, lalu kau ... Edith."
[]
Aku sesekali memperhatikan bagaimana anak-anak lain menjalani aktivitas mereka. Sedikit yang masih beruntung karena satu dari orang tua mereka hidup walaupun sebagian besar sudah tidak. Termasuk aku dan Edith. Kami harus mengurus diri kami sendiri mulai dari mengantre makan, mengambil minuman bahkan membersihkan diri. Agak susah untuk bersih-bersih dengan air ketika udara begitu dingin. Untunglah ada pakaian kulit dengan tumpukan bahan yang terus menggesek kulit dan menghilangkan kotoran darinya. Banyak pengungsi pun hanya menggunakan lap tebal yang dibasuh air hangat untuk diusap ke bagian wajah atau kepala. Aku mengajari Edith cara melakukan itu dan ia sudah bisa sendiri. Aku tahu dia anak yang mandiri dan tak suka merepotkan orang jika menurutnya tidak perlu. Namun, dia masih butuh bantuan untuk menyikat gigi kadang-kadang.
"Naik turun di depan dan melingkar di samping." Aku membantu Edith memegang sikat giginya dan menuntun gerakan. "Lihat? Mudah sekali."
Edith berkumur dengan air hangat yang kami ambil dari dapur terbuka dan berkata, "Tetap saja Edith akan mencolok kerongkongan jika melakukannya sendiri."
"Kalau begitu jangan kau colok."
"Tidak bisa. Tangkai sikat gigi terlalu panjang."
"Ini sudah ukuran kecil yang pas untukmu, Edith."
"Edith butuh yang lebih kecil. Seperti itu." Dia menunjuk ke pondok anak-anak. Untuk beberapa saat aku menyipitkan mata dan mengamati ada apa di sana. Ternyata ada setoples permen lolipop.
"Jangan coba nakal denganku!" Aku mengetuk ujung hidung Edith. "Aku tahu itu hanya alasan agar kau mendapat jatah permen lebih. Tidak boleh, Edith. Setiap anak harus mendapatkan sama."
"Kenapa?" Edith bersungut. "Mama menyebutkan kalau adil tidak harus sama."
"Tapi, kondisi kalian sekarang adalah berusia sama dan jatahnya terbatas. Kau harus mulai peduli dengan anak lain, mengerti? Kita sedang dalam masa sulit."
"Edith peduli pada Kyle," celetuknya dengan nada seolah aku patut dikasihani. Dia memainkan ujung syalku. "Apa Kyle ingin lolipop? Edith bisa ambilkan untuk Kyle."
"Kau mulai nakal lagi." Aku menyeringai dan mencubit pipinya. "Tidak. Aku tak akan memberikan lolipop ekstra sampai aku melihatmu bicara langsung pada perawat."
"Edith akan bicara langsung pada nyonya perawat."
Aku tersenyum. "Akan kutunggu."
Setelah waktu bersih-bersih, kami akan dipandu untuk sarapan dan sekolah, lalu membantu para orang dewasa bekerja. Sedikit waktu yang bisa kugunakan untuk bertemu Edith bahkan terkadang hanya kebetulan. Namun, aku selalu mencari celah agar bisa bersamanya.
Aku akan mengajari Edith membaca walaupun sekolah belum melakukannya. Untung saja di salah satu kardus pasokan itu ada tumpukan buku yang tampak sudah lama. Tidak apa-apa. Setidaknya masih bisa dibaca.
"Lihat ini, Edith. Valentine Bersalju karya David Petersen." Kami duduk bersandar pada dinding tenda sambil berselimut. Aku meletakkan buku-buku dongeng di pangkuan. "Cerita ini seperti menarik karena terjadi di musim dingin."
"Apa musim dingin yang sama seperti ini?"
"Kurasa tidak." Aku membuka halaman pertama. "Apa kau sudah belajar huruf?"
"Edith tahu huruf, tapi bukan susunan huruf."
"Apa kau bisa membaca tulisan seperti ini?" Aku menunjuk halaman pertama.
Edith menggeleng. Mungkin latihan membaca bisa di lain waktu. Saat ini biarlah aku yang akan membacakan buku-buku untuk Edith.
Aku mulai membaca ketika Edith sudah tidak sabar dan menepuk-nepuk tanganku agar cepat membalik halaman. Buku itu bercerita tentang Kelinci Jasper yang ingin mencari hadiah bagi istrinya, Lilly, di hari kasih sayang. Dia keluar menembus udara dingin dan mengunjungi beberapa teman. Anak-anak landak merajut untuk ibu yang mereka cintai, Katak Mariam membungkus lalat berlapis cokelat, Rakun Everett menjajakan bunga-bunga fantastis (yang kemudian layu akibat cuaca dingin). Tetapi, tak satu pun barang-barang itu dapat cocok bagi Lilly.
"Kasihan Kelinci Jasper," kata Edith sambil menunjuk ilustrasi kelinci dalam pakaian musim dingin. "Dia hanya ingin hadiah."
Kemudian, Kelinci Jasper ditemui oleh Rubah Teagan dan diajak mengunjungi rumahnya. Edith langsung menggeleng-geleng seolah Kelinci Jasper dapat melihat itu. "Tidak, jangan ke rumah rubah."
Namun, Kelinci Jasper terlanjur datang. Mereka berbincang hangat pada awalnya sebelum terkuak bahwa Rubah Teagan juga sudah menyiapkan hadiah: sup kelinci bagi pasangannya. Edith menyuruh Kelinci Jasper untuk lari—dan kelinci itu memang akan lari. Ia akhirnya selamat dan singgah di pohon. Burung kardinal menyadarkan Kelinci Jasper bahwa ia sudah memiliki hadiah itu sejak lama: bukan berupa barang. Kelinci Jasper kembali pulang menemui Lilly dan mengatakan bahwa ia punya seluruh cinta untuknya.
"Akhir bahagia," pungkasku sambil menutup buku. "Kau suka?"
Edith merenung sejenak. Tahu-tahu, dia menatapku sangat lama. "Apakah cinta itu sangat berarti dari berbagai barang di dunia sehingga Lilly senang?"
"Hm ... mungkin saja." Aku kembali membuka halaman terakhir sebelum menunjuk ilustrasi Kelinci Jasper dan Lilly. "Lihat betapa senangnya dia."
"Apakah cinta lebih bagus daripada lolipop?"
"Aku tak tahu. Apakah ada yang bisa menandingi lolipop?"
"Edith tidak tahu." Anak perempuan itu menunduk. "Mama menyebutkan kalau dia mencintai Edith. Itu bagus selama berasal dari Mama. Tapi, Edith tidak tahu bagaimana wujud cinta."
"Kupikir itu tidak berwujud. Di dalam kamus, cinta masuk kategori predikat. Contohnya: aku mencintaimu. Tapi, itu juga bisa menjadi nomina. Contohnya: anak-anak butuh cinta yang banyak."
Edith merapatkan selimutnya sambil berbaring di pangkuanku. Dia menguap dan memejamkan mata. Samar-samar dia bergumam, "Kalau cinta memang bagus melebihi lolipop, Edith ingin mendapatkannya dari seseorang dan memberikannya untuk seseorang ...."
[]
Sudah beberapa bulan kami mendekam di pengungsian, menghadapi cuaca yang terus berubah dari badai salju, hujan es, angin kencang dan seterusnya. Sebuah keajaiban karena para pengungsi masih dapat bertahan. Cuaca juga bisa tiba-tiba menjadi tenang seolah memberikan kami ruang untuk bernapas lega meskipun segala anomali itu tak menghentikan rutinitas.
Anak-anak bermain, masuk kelas dan bekerja jika usia mereka sudah cukup. Aku biasa istirahat di tenda utama bersama pemuda lain setelah bekerja. Mereka lebih tua karena tampaknya hanya Morderoy dan Kyra yang sepantaranku. Mereka suka berbincang tentang banyak hal, tetapi aku lebih sering mendengarkan. Sesekali memang ada bahasan yang tak kumengerti dan mereka bilang, "Kau akan mengerti saat usia yang tepat—atau bahkan lebih cepat."
Seorang anak perempuan menaiki tangga pondok sambil terengah-engah, tepat sebelum hujan salju kembali turun deras—memicu gerutuan dari mereka yang terjebak. Dia menghampiriku tanpa mempedulikan tatapan pemuda-pemuda lain.
"Edith tidak mau kelas berikutnya."
"Mengapa?" Aku menepuk bangku kosong di sebelah agar Edith duduk di sana. "Aku tahu sekolah kadang menyebalkan, tapi Ayah bilang itu penting."
Edith tetap menggeleng. Aku penasaran ada apa sebenarnya dengan teman-teman sekelas Edith? Dulu sekali aku pun sama enggannya seperti dia karena kehadiran Morderoy. Dia sangat sombong dan sering menindas anak lain, maka aku memilih bergulat dengannya daripada terus menghindar dengan bolos sekolah. Apa jangan-jangan Edith juga akan bergulat dengan temannya jika dia tetap masuk kelas?
Oh, tidak.
"Apa dia adikmu?" tanya Flynn. Dia salah satu pemuda dari kelompok kelas yang sama denganku meskipun usianya mungkin terpaut tiga tahun. Kelas kami memang tidak punya standar usia melainkan rentang antara dua belas hingga lima belas tahun, enam belas hingga sembilan belas tahun dan seterusnya.
"Sepertinya begitu." Aku mengerling pada Edith yang sibuk menarik serat-serat halus dari benang syalnya. Entah bagaimana dia langsung menjadi sorotan karena yang lain pun sedang kehabisan topik. Terjebak di pondok selama hujan salju itu cukup menjenuhkan.
"Hm hm ... tidak mirip sama sekali. Lihat mata ambar dan hijau yang kontras itu," kelakar Flynn. "Aku meragukan status kalian."
Aku berpikir sejenak. "Tidak apa-apa. Kami bisa jadi saudara angkat. Benar 'kan, Edith?"
"Apa saudara angkat selalu bersama?" tanya Edith tanpa beralih dari serat kain.
"Kupikir begitu."
"Edith mau jadi saudara angkat."
Flynn berdeham sebelum duduk merangkulku. "Kau tahu, Kyle. Sesama saudara tidak bisa menikah kecuali itu akan menjadi bencana. Meskipun aku tak yakin hukum-hukum tetap berlaku saat kota kita separuh kiamat."
Aku mengernyit. "Menikah? Aku tak berencana melakukannya. Itu kegiatan orang dewasa yang merepotkan—walaupun aku suka kue besar dan air mancur cokelat—tetap merepotkan. Mereka lebih banyak berdansa."
"Tapi, suatu hari kau pasti akan melakukannya kecuali jika kau tak normal." Flynn tahu-tahu berhenti merangkulku. "Lagi pula, satu-satunya cara jika kau mau melindungi anak ini hanyalah dengan begitu ... atau dia akan mudah direbut orang."
"Tidak ada yang boleh merebut Edith." Aku menggenggam lengan Edith. "Dia bukan mainan yang bisa direbut atau dipinjam. Dia keluargaku dan aku akan melindunginya."
Flynn tertawa geli. "Aku tak tahu, Bung, karena menurutku dia sangat menarik. Banyak orang tentu akan berpikiran sama."
Lama-lama, Flynn membuatku bingung. Apakah dia sedang berkelakar atau bicara serius? Dia menakutiku seolah Edith akan segera diculik oleh seseorang. Kalau memang akan begitu, aku rela melakukan apa pun demi menjaga Edith. Dia sudah menyelamatkanku maka aku pun akan sebaliknya.
Edith mulai menggigil dan menekuk lutut di atas bangku. "Edith ingin masuk tenda. Di luar terlalu dingin."
"Bersabarlah," kata Flynn. Dia memerintahkan pemuda lain untuk menambah bahan bakar perapian agar lebih besar. Tirai-tirai yang menutup celah pondok juga telah diturunkan walaupun kerap kali tertiup angin. "Menerobos hujan salju untuk masuk tenda justru akan membuatmu sakit. Siapa yang akan merawatmu?"
"Edith tidak akan dirawat karena Kyle tidak akan membiarkan Edith sakit," tukas anak perempuan itu sebelum diikuti bersin kecil. Aku memasangkan kuplukku pada Edith karena ia tidak mengenakan penutup kepala sejak tadi.
"Kenapa kau sering sekali kehilangan kupluk yang sudah diberikan?" tanyaku heran. "Jangan bilang seseorang dari kelasmu mengambilnya."
"Edith hampir mengatakan itu."
Aku menggeram kecil. "Mereka ini masih sekolah dasar, tapi berbahaya!"
"Anak-anak sekolah dasar selalu berbahaya." Flynn kembali duduk setelah mengurus lubang pada dinding pondok, namun kali ini di sebelah Edith. "Lihat bagaimana kelicikan mereka ditutup oleh paras yang lugu."
"Tapi, tidak semua. Edith juga masih sekolah dasar dan tidak berbahaya," sanggahku.
"Benarkah?" Flynn menatap Edith lamat-lamat sampai aku gelisah. Apa? Ada apa dengan sorot mata itu? "Menurutku dia cukup berbahaya. Kau tahu ... karena satu hal yang dia miliki."
Aku memangku Edith, mendekapnya dari belakang sebelum mengerling pada Flynn. "Setiap orang punya sisi yang berbahaya dari dirinya, dan aku akan menerima sisi apa pun dari Edith."
"Kyle, wow." Flynn menaikkan kedua alisnya seolah terkejut. "Keberanian yang luar biasa? Atau harus kukatakan cukup agresif."
Apa maksud perkataan Flynn? Para pemuda ini sering sekali menggunakan kalimat yang tak kupahami.
Salju itu turun deras sampai setengah jam dan menahan kami untuk pergi keluar. Aku sama sekali tak berniat merubah posisi. Anak-anak lelaki yang lain mulai bertanya, apakah mereka memang begitu? Dan aku tak perlu menjawab karena Flynn sudah mengatakan, tidak apa-apa. Biarkan saja dua saudara ini saling berbagi kehangatan. Apa kalian iri?
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro