Dua Hati Kecil
Itu adalah hari-hari yang sunyi meskipun lebih baik daripada sendirian. Terkadang kami bermain petak umpet, ular dan tangga, atau rumah pura-pura. Edith suka bermain rumah pura-pura. Dia memerankan seorang anak di keluarga yang punya kebun anggur dan senang mencukur bulu domba. Katanya, hukuman bagi domba setelah mencuri anggur. Domba adalah makhluk suci. Tidak sepatutnya makan anggur.
Aku tak tahu dia belajar bicara dari mana, namun itu tak terlalu penting. Yang penting adalah kami bisa minum dan makan secara normal. Ada persediaan air botol yang cukup di bufet dan kaleng buah. Ada kaleng sarden dan bahan-bahan sup. Pernah suatu kali Edith terserang pilek. Dia hanya berbaring di kasur dengan hidung merah.
"Kata Ibu, anak yang pilek harus makan sup."
Dia mengangguk. "Edith mau sup."
"Baiklah, tunggu aku membuatnya."
Aku memang tidak tahu cara memasak sup seperti Ibu. Untunglah di dapur ada pamflet kecil berisi resep walaupun sedikit tidak jelas karena dipenuhi coretan. Aku bahkan tak yakin jika itu adalah coretan untuk resep penambah. Contoh tulisannya adalah burn out, cold, hectic, pain ... itu tak familier seperti bahan masakan. Namun, ada pula beberapa coretan yang betul-betul bahan. Misalnya tulisan daging dicoret dan diganti jamur, bawang dicoret dan diganti vetsin ....
"Ini untukmu," kataku sambil menyodorkan senampan mangkuk sup kepada Edith. Aku telah berhasil membuatnya sesuai arahan resep.
Namun, anak perempuan itu justru mengernyit dan menolak suapan kedua. Dia bilang, "Edith tidak suka air garam."
[]
Kejadian sakit itu bergilir. Ada kalanya Edith yang harus berbaring dan aku sibuk, ada kalanya aku yang berbaring dan Edith sibuk. Dia sibuk menyeduhkan cokelat hangat untuk dia minum setengahnya sebelum diberikan padaku. Aku tidak kesal. Aku tahu dia hanya sangat suka cokelat hangat dan tak mampu menahan untuk tak meminumnya.
"Aku ingin roti," kataku. "Bisa kau ambilkan di meja makan?"
"Roti tidak bagus. Sepertinya diserang."
"Oleh apa?"
"Mama menyebutnya kapang. Kapang membuat iritasi dan kematian."
Aku bergidik ngeri. "Seberbahaya itu?"
Edith mengangguk. "Mama menyebut makanan lama tidak baik. Ada banyak makanan lama di sini."
"Kita perlu menyingkirkannya—" aku bersin dan menutup mulut dengan sapu tangan, "—dibuang ke perapian. Kita butuh lebih banyak api agar hangat."
"Edith ingin hangat."
Aku mendekap Edith erat-erat. "Kita semua ingin."
[]
Ada kalender di meja kerja Papa yang kuambil dan kuletakkan di kamar. Setiap hari berganti, aku selalu menyilang tanggal sebelumnya. Sudah banyak tanda silang pada kalender itu, tetapi kami masih terjebak di dalam. Badai salju terus bergemuruh sepanjang waktu dan tak ada tanda-tanda kehidupan di luar. Mungkin ada. Dan mereka yang hidup itu pasti akan mematikan siapa pun yang mereka temukan.
Edith menyusut ingus. Dia terus berdiri di atas bangku pendek di depan jendela dan memandang keluar. Apa yang dia pandang? Hanya ada putih yang menyapu seluruh daratan. Rumah-rumah hanya tinggal bayangan di antara kabut dan hujan salju.
"Kamu rindu keluarga?" Aku berdiri di sebelahnya. Wajah kami jadi sejajar karena dia menaiki bangku pendek. "Siapa keluarga itu?"
"Mama dan Nenek."
"Apa rumah kalian jauh?"
Edith menggeleng, antara tidak atau tidak tahu.
"Aku sungguh heran mengapa kamu bisa tinggal di dalam gua. Itu gua rahasia yang hebat dan seram, tapi sangat aman."
"Edith bersembunyi."
"Dari siapa?"
"Dari Mama. Mama mengajak Edith bermain petak umpet."
"Lalu? Apakah dia yang menutup mata?"
"Ya, Mama melarang Edith keluar sampai ia temukan, tapi ia tak pernah temukan."
Aku tak bisa bertaruh bahwa ibunya Edith masih hidup dan berjalan di kota kami jika keadaannya seperti itu. Termasuk untuk keberadaan neneknya yang pasti sulit jika harus sendirian. Aku hanya bisa mendekap Edith dari belakang agar ada kehangatan yang meliputinya.
"Tidak apa-apa. Bahkan kalau kamu tak bisa berjumpa dengan dia, aku ada di sini."
"Kyle ingin menjadi mamanya Edith?"
"Tidak, aku tak akan menjadi wanita. Aku anak laki-laki."
"Lalu, akan menjadi apa?"
"Aku tak tahu. Abangmu? Ayahmu? Pamanmu? Kakekmu?"
"Kalau begitu jadilah kakeknya Edith. Kakek Kyle."
Aku merengut dan memandang wajahnya dari samping. "Tapi, kakek berambut putih. Rambutku tidak putih. Kakek memakai tongkat. Aku tidak memakai tongkat—aku ingin Mjolnir. Itu lebih berguna untuk mengalahkan penjahat."
Edith menguap. Aku menepikan helai-helai rambut pirang panjangnya yang menutup wajah. "Sudah menjelang malam. Kamu butuh tidur. Aku akan menjaga apinya tetap menyala."
Aku menggendong Edith ke atas kasur dan menyelimutinya. Dia sudah minum cukup air dan kupastikan tak kehausan lagi di tengah-tengah tidurnya. Aku membelai puncak kepalanya. "Mimpi indah, Edith. Hilangkan biru dan beku yang menghantuimu. Bayangkan cahaya matahari bersinar penuh ...."
Itu adalah kata-kata yang sering diucapkan Ayah sebelum kami tidur. Dia pandai merangkai kata indah. Dia selalu menyusupkan ketenangan dalam diriku untuk membayangkan dunia yang lebih baik. Dunia bisa berubah, katanya. Dan kepercayaan akan membuatnya lebih cepat.
Aku merogoh saku mantel dan mengeluarkan sebuah arloji. Itu hadiah dari Ayah. Dia bilang, aku akan menemukan kejutan di dalamnya. Padahal ... aku hanya menemukan kerinduan yang menyiksa.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro